Anda di halaman 1dari 10

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini, penulis akan membahas secara rinci pelaksanaan asuhan
keperawatan yang telah diberikan pada Ny. U. Pembahasan pada bab IV ini
meliputi kesenjangan yang terjadi antara teori dengan kondisi Ny. U mulai dari
pengkajian keperawatan keluarga, diagnosa keperawatan, perencanaan
keperawatan, implementasi keperawatan, faktor pendukung dan faktor
penghambat dalam memberikan asuhan keperawatan serta solusi dari faktor
penghambat.

A. Pengkajian Keperawatan Keluarga


Hasil pengkajian keperawatan yang didapatkan Ny. U berusia 45 tahun
dengan pendidikan terakhir SMA/sederajat dengan kehidupan sehari-hari
yang sederhana. Didalam keluarga Ny. U mengatakan sebelumnya ada
yang mempunyai Diabetes Melitus tipe II yaitu ibu dari Ny. U dan saat ini
ibunya sudah meninggal dunia pada tahun 10 tahun yang lalu, didalam
kebiasaan sehari-hari Ny. U sering minum teh manis 3x sehari pada pagi,
siang dan sore hari dengan takaran gula 3 sendok dalam 1 gelas. Sesuai
dengan konsep teori menurut (Nanda, 2016) Diabetes Melitus tipe 2
Disebabkan oleh kegagalan relative sel beta dan resistensi insulin. Faktor
resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya Diabetes Melitus Tipe
II yaitu usia, riwayat didalam keluarga dengan Diabetes Melitus Tipe II.

Berdasarkan hasil pengkajian yang didapatkan dari Ny. U keluhan yang


dirasakan saat ini yaitu Ny. U Tn. M mengatakan mengalami batuk
berdahak hingga batuk berdarah kurang lebih selama 1 bulan. Tn. M juga
mengalami sesak napas. Tn. M mengatakan nafsu makan mulai turun dan
lemas untuk beraktivitas. Pernapasan Tn. M terdengar mengi. Tn. M
menimbang berat badan pada tanggal 13 Maret 2019 dengan hasil 59 kg.
Pada tanggal 8 April 2019, dilakukan penimbangan berat badan dengan
hasil 51 kg. Tn. M mengatakan sebelum sakit makan sehari 3 kali 1 porsi,
sedangkan semenjak sakit Tn. M sehari makan 2 atau 3 kali hanya 3
sampai 5 sendok. Manifestasi klinis TB Paru dapat berupa demam dengan
suhu mencapai 40-410C, penurunan berat badan, rasa lelah, batuk
berdahak hingga batuk berdarah, sesak napas, nyeri dada, mengalami
malaise seperti nafsu makan menurun, meriang, keringat pada malam hari
(Siti Setiati et all, 2018). Menurut Jainurakhma (2018), batuk, batuk
berdahak, hemaptoe, sesak napas, pernapasan mengi, nyeri dada dan tanpa
gejala merupakan manifestasi klinis penyakit TB. Berdasarkan data yang
didapatkan pada Tn. M terdapat perbedaan dengan teori yaitu Tn. M tidak
mengalami nyeri dada, demam.

Tn. M mengatakan melakukan pemeriksaan sputum pada tanggal 19 Maret


2019. Pada tanggal 21 Maret 2019, hasil dari pemeriksaan sputum
menyatakan BTA positif. Pemeriksaan penunjang menurut Somantri
(2012) yaitu kultur sputum dilakukan untuk mengetahui bakteri
Mybacterium tuberculosis pada stadium aktif.

Faktor resiko infeksi bakteri Tuberkulosis pada lingkungan fisik rumah


menurut Agustina (2015) yaitu kebiasaan untuk membuang dahak pada
sembarang tempat atau tempat terbuka, kebiasaan batuk atau bersin tanpa
menutup mulut, kebiasaan tidak membuka jendela rumah, kebiasaan tidak
memakai masker selama dirumah atau diluar rumah yang dapat
menyebabkan keluarnya percikan bakteri dari mulut penderita TB Paru.
Data yang didapatkan pada klien adalah Tn. M mengatakan suka
membuang dahak secara sembarangan didepan rumah dan jarang memakai
masker dirumah karena tidak nyaman memakai masker. Istri Tn. M
mengatakan tidur berdua bersama Tn. M. Dari data yang diperoleh
terdapat data perbedaan yaitu tidak terpantaunya saat Tn. M bersin, ketika
Tn. M batuk ia menutup mulutnya hanya menggunakan tangan.
Selama Tn. M mengkonsumsi OAT, Ny. R dan Ny. Y yang menjadi
pengawas minum obat Tn. M. Anggota keluarga Tn. M merawat Tn. M
dengan pengetahuan seadanya yang dimiliki. Menurut Kemenkes (2011),
syarat dari PMO adalah seseorang yang dikenal oleh penderita, seseorang
yang harus disegani dan di hormati oleh penderita, seseorang yang tinggal
tidak jauh dengan penderita, seseorang yang rela membantu penderita
dengan ikhlas, seseorang yang bersedia untuk mendapatkan penyuluhan
bersama-sama dengan penderita. Dari data yang didapatkan yaitu PMO
Tn. M adalah istrinya dan anak bungsunya, PMO Tn. M memiliki
pengetahuan yang seadanya.

Efek samping yang dialami Tn. M dari mengkonsumsi OAT adalah


merasa mual, nafsu makan menurun, lemas untuk beraktifitas. Menurut
Kemenkes (2011), efek samping dari mengkonsumsi OAT adalah tidak
nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai dengan rasa
terbakar di kaki, warna kemerahan pada urine. Perbedaan yang didapat
antara teori dan data adalah Tn. M tidak mengalami sakit perut, nyeri
sendi, kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki, warna kemerahan
pada urine tetapi Tn. M merasakan lemas untuk beraktifitas yang
disebabkan nafsu makan menurun sehingga asupan makanan yang menjadi
energi di dalam tubuh berkurang.

Tn. M sedang mengkonsumsi Isoniazid 60 mg per hari via oral,


Rifampisin 10 mg per hari via oral, Pirazinamid 45 mg per hari via orang
di minum setiap hari pada pukul 06.00 WIB setelah sarapan pagi.
Penatalaksaan medis TB Paru yang dijalani Tn. M sesuai dengan
Kemenkes (2011) yaitu pada tahap intensif atau awal, klien mendapatkan
obat yang dikonsumsi setiap hari dan diawasi oleh PMO untuk mencegah
terjadinya resistensi obat.
Faktor pendukung yang didapatkan pada saat pengkajian yaitu keluarga
Tn. M yang tidak terganggu dengan kedatangan penulis sehingga keluarga
Tn. M kooperatif pada saat pengkajian dan wawancara dengan
memberikan informasi yang terbuka mengenai kesehatan keluarga Tn. M,
sedangkan untuk Faktor Penghambat pada saat pengkajian tidak
ditemukan hambatan. Solusi: Tidak ada solusi.

A. Diagnosa Keperawatan
Menurut SDKI, 2016 ditemukan 4 diagnosa pada penderita TB Paru yaitu
Bersihan jalan napas tidak efektif, Defisit nutrisi, Defisit pengetahuan,
Resiko infeksi.

Berdasarkan data aktual yang didapatkan dari hasil pengkajian dan analisis
data pada Tn. M yang mengalami Tuberkulosis Paru, penulis menegakkan
3 diagnosa yaitu Bersihan jalan napas tidak efektif, Resiko Tinggi Infeksi
Bakteri Tuberkulosis dan Resiko ketidakpatuhan.

Diagnosa pertama Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif. Menurut


Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2016), bersihan jalan napas
tidak efektif adalah ketidakmampuan dalam membersihkan sekret atau
obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten.
Rasional: radang tahunan yang terjadi di bronkus sehingga pertahanan
primer tidak adekuat terjadinya pembentukan tuberkel yang
mengakibatkan kerusakan membran alveolar yang menghasilkan
pembentukan sputum yang berlebihan (NANDA, 2016). Data Subjektif:
Tn. M mengatakan batuk berdahak hingga terkadang batuk berdarah
kurang lebih selama 1 bulan dan untuk mengatasi batuknya Tn. M
mengkonsumsi air hangat. Tn. M mengatakan juga mengalami sesak
napas. Tn. M mengatakan merokok sejak umur 16 tahun dan baru berhenti
sejak terdiagnosa penyakit TB Paru. Data Objektif: Hasil tanda-tanda
vital: TD: 110/70 mmHg, N: 86 x/menit dengan irama teratur dan kuat,
RR: 24 x/menit dengan penggunaan otot bantu napas, S: 36 0C. Keadaan
umum Tn. M baik dengan kesadaran compos mentis. Tn. M terlihat sesak.
Kedalaman napas Tn. M dangkal. Tn. M mengalami batuk berdahak
dengan konsistensi kental. Terdapat bunyi napas tambahan ronchi di
lapang paru sebelah kiri. Tn. M telah melakukan pemeriksaan SPA pada
tanggal 19 Maret 2019 dengan hasil BTA positif. Faktor Pendukung: Tn.
M dan keluarga kooperatif dan memberikan informasi secara terbuka.
Faktor Penghambat: Tidak ada faktor penghambat untuk menegakkan
diagnosa. Solusi: Tidak ada solusi.

Diagnosa kedua Resiko Tinggi Infeksi Bakteri Tuberkulosis. Resiko


infeksi menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (2016) adalah
resiko untuk mengalami peningkatan terserang organisme patogenik.
Rasional: Droplet nuclei yang terhirup sangat kecil ukurannya sehingga
dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan
sampai alveolus. Infeksi bakteri Tuberkulosis ini dimulai saat kuman TB
berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru. Jika tidak
ada penanganan yang serius untuk dilakukan maka bakteri akan menyebar
ke orang lain yang sering berinteraksi dengan klien (Siti Setiati et all,
2018). Data Subjektif: Istri Tn. M mengatakan faktor pencetusnya adalah
anak pertamanya yang mengalami TB Paru dan sekarang sudah meninggal
pada tahun 2013. Tn. M mengatakan anak sulungnya mengalami TB Paru
dan meninggal di tahun 2013 lalu anak kedua Tn. M juga mengalami TB
Paru dan meninggal di tahun 2015 dan istri Tn. M mengalami TB Paru
pada tahun 2017 dengan pengobatan 6 bulan dan di nyatakan sembuh. Tn.
M mengatakan suka membuang dahak secara sembarangan di depan
rumah dan jarang memakai masker dirumah karena tidak nyaman
memakai masker. Istri Tn. M mengatakan tidur berdua dengan Tn. M.
Data Objektif: Rumah klien terlihat banyak barang dan baju yang
berantakan karena tidak adanya tempat penyimpanan lagi. Ventilasi dan
pencahayaan dirumah Tn. M tidak mencukupi sehingga sirkulasi udara
tidak berjalan dengan baik. Keadaan di rumah Tn. M dan juga pengap. Tn.
M dan keluarga yang lain terlihat tidak memakai masker. Didalam rumah
klien terdapat cucu klien bernama An. K yang lebih beresiko. Faktor
Pendukung: Tn. M dan keluarga kooperatif dan memberikan informasi
secara terbuka. Faktor Penghambat: Tidak ada faktor penghambat untuk
menegakkan diagnosa. Solusi: Tidak ada solusi.

Diagnosa ketiga Resiko Ketidakpatuhan. Menurut Standar Diagnosis


Keperawatan Indonesia (2016), resiko ketidakpatuhan merupakan perilaku
individu dan atau pemberi asuhan yang tidak mengikuti rencana
keperawatan atau pengobatan yang sudah disepakati dengan tenaga medis
sehingga menyebabkan hasil yang tidak efektif. Rasional: Pencegahan
resiko ketidakpatuhan yang dibutuhkan penderita TB Paru adalah PMO
yang dapat mengawasi dan mengingatkan penderita untuk tidak putus
meminum OAT. Data Subjektif: Tn. M mengatakan malas minum OAT
karena setelah meminum OAT merasakan mual. Tn. M mengatakan
selama mengkonsumsi OAT badannya menjadi lemas sehingga malas
untuk beraktifitas. Data Objektif: Tn. M kooperatif, mengkonsumsi OAT
sejak 21 Maret 2019. Faktor Pendukung: Tn. M dan keluarga kooperatif
dan mau menjalankan anjuran penulis. Faktor Penghambat: Tidak ada
faktor penghambat untuk menegakkan diagnosa. Solusi: Tidak ada solusi.

B. Intervensi dan Implementasi Keperawatan


Dari masalah yang ditemukan pada Tn. M, prioritas masalah disusun
berdasarkan hirarki kebutuhan dasar manusia menurut Maslow yaitu
Bersihan jalan napas tidak efektif, Resiko tinggi infeksi bakteri
tuberkulosis, Resiko ketidakpatuhan.

Intervensi yang sudah di buat oleh penulis untuk ketiga diagnosa


keperawatan yang di tegakkan mengacu pada teori menurut NANDA,
NIC, NOC (2016) dan telah disesuaikan dengan kondisi klien, keluarga
dan lingkungan pada rumah klien yaitu sebagai berikut:

Diagnosa pertama Bersihan jalan napas tidak efektif. Diagnosa ini


ditegakkan menjadi diagnosa utama dan perlu dilakukan intervensi karena
saat terlalu banyak sputum yang terbentuk akan mengganggu jalan napas
klien. Jika terjadi terus menerus produksi sputum berlebih maka klien akan
mengalami sesak napas. Intervensi keperawatan pada diagnosa
pertama adalah ukur tanda-tanda vital klien, kaji irama napas, bunyi
napas, kecepatan napas, kedalaman napas dan penggunaan otot bantu
dalam napas, kaji kemampuan dalam mengeluarkan sekret, ajarkan batuk
efektif, ajarkan klien untuk latihan teknik relaksasi, anjurkan klien untuk
banyak minum air putih, libatkan anggota keluarga lain untuk membantu
klien latihan batuk efektif dan teknik relaksasi. Implementasi yang sudah
dilakukan kepada Tn. M adalah mengukur tanda-tanda vital klien,
mengkaji irama napas, bunyi napas, kecepatan napas, kedalaman napas
dan penggunaan otot bantu dalam napas, mengkaji kemampuan dalam
mengeluarkan sekret, mengajarkan batuk efektif, mengajarkan klien untuk
latihan teknik relaksasi, menganjurkan klien untuk banyak minum air
putih, melibatkan anggota keluarga lain untuk membantu klien latihan
batuk efektif dan teknik relaksasi. Faktor Pendukung: Implementasi yang
dilakukan sesuai dengan rencana yang sudah dibuat di bantu dengan
keluarga yang kooperatif, mau mengikut anjuran penulis dan mampu
menerapkan apa yang sudah di implementasikan. Faktor penghambat:
Tidak ditemukan faktor penghambat pada pelaksanaan implementasi.
Solusi: Tidak ada.

Diagnosa kedua Resiko tinggi infeksi bakteri Tuberkulosis. Diagnosa


ini dijadikan sebagai diagnosa kedua dan perlu dilakukan intervensi karena
Tn. M dan keluarga belum mengetahui dan belum mengerti mengenai
bagaimana bakteri Tuberkulosis dapat menginfeksi orang sehat,
bagaimana cara mencegah resiko penyebaran bakteri Tuberkulosis dan
bagaimana memodifikasi lingkungan agar menjadi lingkungan sehat.
Intervensi keperawatan: ajarkan klien untuk etika batuk, ajarkan anggota
keluarga lain untuk menghindar ketika klien sedang batuk atau bersin,
anjurkan klien dan anggota keluarga untuk memakai masker setiap hari,
jelaskan pentingnya terapi obat sampai tuntas secara rutin bagi klien,
jelaskan pentingnya melakukan pemeriksaan BTA ulang secara periodik
selama pengobatan, bantu modifikasi lingkungan rumah klien.
Implementasi yang sudah dilakukan adalah mengajarkan klien untuk etika
batuk, mengajarkan anggota keluarga lain untuk menghindar ketika klien
sedang batuk atau bersin, menganjurkan klien dan anggota keluarga untuk
memakai masker setiap hari, menjelaskan pentingnya terapi obat sampai
tuntas secara rutin bagi klien, menjelaskan pentingnya melakukan
pemeriksaan BTA ulang secara periodik selama pengobatan, membantu
modifikasi lingkungan rumah klien. Faktor Pendukung: Implementasi
yang dilakukan sesuai dengan rencana yang sudah dibuat di bantu dengan
keluarga yang kooperatif, mau mengikut anjuran penulis dan mampu
menerapkan apa yang sudah di implementasikan. Faktor penghambat:
Tidak ditemukan faktor penghambat pada pelaksanaan implementasi.
Solusi: Tidak ada.

Diagnosa ketiga Resiko ketidakpatuhan. Diagnosa ini ditegakkan


karena pada klien ditemukan data, klien malas untuk meminum obat
karena mengalami mual setelah meminum obat. Jika diagnosa ini tidak
dilakukan intervensi akan mengakibatkan pengobatan ulang dengan
meminum obat jangka waktu lebih panjang. Intervensi keperawatan:
identifikasi kemungkinan penyebab perilaku ketidakpatuhan klien, kaji
faktor-faktor problematika dari terapi yang di resepkan seperti biaya, efek
yang merugikan, berikan motivasi positif terhadap ketidakpatuhan untuk
mendukung perilaku positif terus menerus, jelaskan manfaat minum obat
dan efek samping dari obat TB Paru, libatkan keluarga sebagai PMO,
jelaskan manfaat pelayanan kesehatan untuk penanganan masalah TB
Paru. Implementasi yang sudah dilakukan adalah mengidentifikasi
kemungkinan penyebab perilaku ketidakpatuhan klien, mengkaji faktor-
faktor problematika dari terapi yang di resepkan (seperti biaya, efek yang
merugikan), memberikan motivasi positif terhadap ketidakpatuhan untuk
mendukung perilaku positif terus menerus, menjelaskan manfaat minum
obat dan efek samping dari obat TB Paru, melibatkan keluarga sebagai
PMO, menjelaskan manfaat pelayanan kesehatan untuk penanganan
masalah TB Paru. Faktor pendukung: Tn. M dan keluarga kooperatif.
Faktor penghambat: Tn. M masih mengeluh malas untuk mengkonsumsi
OAT setiap hari tetapi Tn. M ingin cepat sembuh. Solusi: Beri Tn. M
motivasi untuk tetap semangat minum obat dan libatkan keluarga dalam
PMO.

C. Evaluasi Keperawatan
Dalam melakukan evaluasi keperawan harus diterapkan langkah-langkah
evaluasi keperawatan berdasarkan SOAP (Subjektif, Objektif, Assesment,
dan Planning). Pada evaluasi terakhir pada tanggal 12 April 2019, masalah
Bersihan jalan napas tidak efektif teratasi, Resiko tinggi infeksi bakteri
Tuberkulosis tidak menjadi aktual, Resiko ketidakpatuhan tidak menjadi
aktual.

Diagnosa pertama yaitu Bersihan jalan napas tidak efektif teratasi


pada tanggal 12 April 2019 dibuktikan dengan hasil tanda-tanda vital: TD:
110/80 mmHg, N: 84 x/menit, RR: 20 x/menit, S: 36,5 0C. Keadaaan Tn.
M baik dengan kesadaran compos mentis. Tn. M dapat melakukan batuk
efektif dengan benar. Tn. M terlihat lebih leluasa untuk bernapas, otot
bantu napas tidak ada, masih terdengar rochi di lapang paru kiri Tn. M.
Bunyi mengi pernapasan Tn. M sudah membaik, pola pernapasan Tn. M
teratur. Faktor pendukung: Tn. M kooperatif dalam pemberian asuhan
dan menjalani anjuran dari penulis. Faktor penghambat: Tidak
ditemukan hambatan dalam diagnosa ini. Solusi: Tidak ada.

Diagnosa kedua Resiko tinggi infeksi bakteri Tuberkulosis tidak


menjadi aktual pada tanggal 12 April 2019 dibuktikan dengan Tn. M dan
keluarga terlihat berkomunikasi memakai masker. Terlihat jendela dan
pintu rumah Tn. M terbuka sehingga ventilasi dan pencahayaan sehingga
ventilasi dan pencahayaan masuk kedalam rumah dengan baik, barang
dirumah Tn. M lebih tertata rapi. Tn. M masih mengalami keringat pada
malam hari, produksi sputum Tn. M berwarna putih kental, nafsu makan
Tn. M membaik. Faktor pendukung: Tn. M dan keluarga kooperatif,
mampu melakukan perbaikan pola perilaku dan mampu memodifikasi
lingkungan rumah. Faktor penghambat: Tidak ditemui penghambat pada
diagnosa ini. Solusi: Tidak ada.

Diagnosa ketiga Resiko Ketidakpatuhan tidak menjadi aktual pada


tanggal 12 April 2019 dibuktikan dengan Tn. M kooperatif dan menjalani
anjuran dari perawat, kemauan Tn. M untuk mematuhi pengobatan
membaik, Tn. M menunjukkan perilaku mengikuti program pengobatan
membaik, Tn. M menunjukkan perilaku menjalankan anjuran membaik.
Faktor pendukung: Keluarga Tn. M kooperatif, mampu melakukan
anjuran dari penulis dan Tn. M berkeinginan sembuh. Faktor
penghambat: Tn. M mengatakan malas meminum obat karena jumlahnya
yang banyak. Solusi: Beri semangat kepada Tn. M agar semangat minum
obat tanpa putus dan libatkan keluarga menjadi PMO.

Anda mungkin juga menyukai