Anda di halaman 1dari 3

Isolasi Sosial : Dampak dan Solusinya

Ima Sri Rahmani, MA., Psikolog


Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Di dalam sepanjang kehidupan, manusia tidak dapat terhindar dari kondisi yang dapat
menimbulkan tekanan atau stress yang dapat memberikan implikasi baik positif (eustres)
maupun negatif (distres). Jauh sebelum alat ukur yang dapat digunakan untuk mendeteksi
kondisi stres ditemukan, para ahli sudah berusaha mengidentifikasi berbagai sumber stres yang
paling umum dialami oleh manusia. Diantaranya adalah Schedule of Recent Life Event yaitu
sebuah inventori yang dikembangkan oleh Holmes dan Rahe di tahun 1967 yang dapat
digunakan untuk mengetahui berbagai peristiwa yang dipandang penting di sepanjang hidup
manusia baik peristiwa positif ( seperti kelahiran) maupun negatif (seperti sakit yang dialami
oleh anggota keluarga) dan peristiwa yang jarang terjadi (kematian anggota keluarga), yang
sering kali terjadi (seperti kemacetan lalu lintas) bahkan tekanan politik (karena perbedaan
pemahaman politik). Seiring dengan berkembangnya kajian tentang stres ternyata ditemukan
berbagai peristiwa kehidupan yang sulit untuk dimasukan ke dalam kategori seperti diuraikan
di atas. Salah satunya adalah tekanan yang disebabkan karena isolasi sosial. Sebagai contoh
adalah isolasi sosial akibat perbedaan keyakinan agama, perbedaan partai politik dan perbedaan
gagasan yang tampak terjadi beberapa waktu terakhir.

Isolasi sosial menjadi wacana yang semaking banyak di telaah akhir-akhir ini. Bahkan
dipandang sebagai persoalan psikososial yang sangat beracun dan ditemukan memiliki
hubungan yang tinggi dengan resiko kematian baik bagi manusia dewasa maupun pada anak
usia dini. Salah satu bentuk isolasi sosial yang kerap dilakukan adalah merundung (bulliying).
Perundungan (bully) adalah satu tindakan agresif yang berupa tekanan terus menerus dengan
memberikan ancaman yang bersifat langsung (dalam bentuk perilaku nyata) maupun tidak
langsung (dalam bentuk psikologis) terhadap korbannya yang tujuannya untuk menyakiti. Tak
jarang berakhir dengan tragis : bunuh diri. Meskipun pada awalnya fenomena ini khas kerap
dilakukan di lingkungan sekolah, namun pada kenyatannya hal ini juga terjadi di berbagai
ranah kehidupan. Bahkan dalam ranah kehidupan inti : keluarga.

Mengapa isolasi sosial menjadi sangat berbahaya? Meskipun penjelasannya sangat


sederhana, namun pada kenyataanya hal ini tidaklah mudah untuk diatasi. Karena berbeda
dengan tekanan hidup yang lainnya, isolasi sosial dapat menghantam self esteem seseorang
secara langsung. Self-esteem (keyakinan diri terkait nilai dan harga diri) berbeda dengan
keyakinan diri, dalam hal ini penulis lebih memilih kata yang sepadan dalam bahasa Indonesia
adalah ‘kemantapan diri’ yang muncul dari penilian positif terhadap diri sendiri, rasa diri
berharga. Ketika tekanan kehidupan mampu menghancurkan self-esteem seseorang maka
kondisi ini dapat mempengaruhi fisik dan psikis secara bersamaan.

Ketika self-esteem terancam, dua komponen tubuh yang bereaksi terhadap kondisi
distress adalah sistem syaraf simpatis atau SNS (Sympathetic Nervous System) dan Axis HPA
(Hypothalamic Pituitary Adrenocortical). SNS sangat penting dalam proses metabolisme
tubuh yang merespon signal ancaman dengan meningkatkan tekanan darah, debar jantung, dan
sirkulasi udara untuk menstimulasi ketersediaan asam lemak dan glukosa yang merupakan
sumber energi. Sementara itu Axis HPA bertanggung jawab dalam menyediakan kortisol yang
dapat membantu memperbaiki mekanisme pertahanan dan sistem keseimbangan yang
diakibatkan oleh adanya ancaman.

Di saat yang sama, secara psikologis manusia terdorong untuk melakukan antisipasi,
coping. Selama ini dikenal dua mekanisme coping stres yang kerap dilakukan yaitu Fight dan
Flaight. Sesuai dengan arti katanya, Fight berarti perlawanan berupa tindakan antagonis dan
flaight yang berarti terbang atau menarik diri (lari dari persoalan). Namun demikian, kedua
mekanisme coping ini dipandang tidak efektif. Alih-alih meredam stres, justru tetap
menstimulasi stres berkembang karena persoalannya tidak terselesaikan sehingga kondisi
distres menjadi lebih parah. Karena seungguhnya persoalan yang dihadapi bersifat sosial
namun tidak diselesaikan secara sosial.

Jika respon tubuh baik fisik maupun psikologis terkait distres ini terjadi sekali dua kali
saja, tentu baik imbasnya terhadap tubuh. Karena memberikan kondisi waspada. Sehingga
tubuh menjadi bugar dan segar walaupun dalam kondisi distres. Namun karena kamampuan
tubuh dalam merespon kondisi distress sangat terbatas maka jika terjadi terus menerus maka
sistem metabolisme akan menjadi kacau dan secara psikologis memberikan imbas yang negatif.
Hal ini yang dapat mendorong timbulnya berbagai penyakit.

Sebagai alternatif Shelly Taylor di di tahun 1998 menawarkan sebuah konsep mengatasi
stress dengan dengan mekanisme yang kemudian disebutnya dengan konsep Tending dan
Befriending. Konsep ini meyakini bahwa persoalan sosial harus diselesaikan secara sosial. Hal
ini sebenarnya merupakan sebuah kondisi alamiah. Karena ternyata di saat kondisi distres
akibat isolasi sosial yang terjadi sesungguhnya adalah sistem hormon oxytocin dan opioid di
dalam tubuh juga diaktifasi. Seperti diketahui hormon oxytocin menstimulasi tindakan
sosialisasi/berafiliasi dan cairan opioid memberikan perasaan tenang dan nyaman. Keduanya
menstimulus dikeluarkan neurotransmiter dopamin yang memberikan perasaan senang dan
bahagia. Kedua sistem ini dapat meredam ketegangan yang muncul menyertai peristiwa
distress, khususnya karena isolasi sosial. Sistem inilah yang kemudian secara mekanistik
mendorong seseorang untuk melakukan afiliasi dan bersosialisasi. Jadi jangan heran, jika
dalam kondisi tertekan penuh himpitan terutama diterpa fitnah. Ada perasaan dalam diri ingin
mencari pertolongan. Sekedar untuk curhat atau berbagi perasaan.

Dengan demikian, sesungguhnya tubuh sudah secara otomatis mendorong ke arah


sosialisasi dibanding tindakan antagonis atau menarik diri. Berdasarkan riset, mekanisme
Tending lebih banyak dilakukan oleh perempuan dibanding laki-laki. Hal ini terutama terjadi
diantaranya di saat produksi hormon oxcytocin terbanyak terjadi di sepanjang masa pengasuhan
ataupun masa perawatan anak. Terutama disaat selepas masa persalinan, terutama di sepanjang
masa menyusui bayi. Sebuah masa yang hanya dialami oleh perempuan. Riset membuktikan,
ibu yang memberikan ASI ditemukan memiliki tingkat kecemasan, depresi dan stres yang lebih
rendah dibanding ibu yang memberikan susu formula. Demikian pula dengan Befriending.
Konsep ini berkaitan dengan kecenderungan untuk berbagi, saling memberikan dukungan dan
terlibat dalam pertemuan rutin. Berdasarkan riset hal ini pun lebih banyak ditemukan pada
kelompok perempuan dari pada laki laki dan memberikan imbas yang signifikan terhadap
angka harapan hidup. Perempuan ditemukan lebih sehat dan lebih memiliki harapan hidup lebih
besar dibanding laki – laki.

Mekanisma mengatasi distress dengan konsep Tending/Befriending ini mengingatkan


kita pada seruan Rasulallah dari Anas bin Malik, “ Barangsiapa ingin dilapangkan baginya
rezeki dan dipanjangkan untuknya umurnya hendaknya ia melakukan silaturahim” (HR.
Bukhari dan Muslim). Tentu saja, karena berdasarkan analisis di atas, membuka diri dan
menjalin hubungan baik dengan orang lain (silaturahmi) dapat memberikan implikasi yang luar
biasa terhadap kesehatan. Tak hanya itu, dalam menghadapi distress akibat isolasi sosial,
mekanisme ini memberikan ruang komunikasi yang lebih luas yang bukan tidak mungkin dapat
memberikan implikasi pada rezeki. Dengan demikian, distress akibat isolasi sosial dalam
perspektif ini bermakna lebih positif dibanding memberikan reaksi frontal yang
membahayakan jiwa. Oleh sebab itu, meninggalkan perselisihan dan membangun persahabatan
sesungguhnya fitrah manusia. Karena senyatanya, tubuh ini telah Allah lengkapi dengan
perangkat tubuh yang selalu mendorong manusia untuk selalu berafiliasi. Bersilaturahim, satu
dengan yang lain.

Anda mungkin juga menyukai