Oleh :
NIM : 1808004
SEMARANG
2018
1. Definisi
a. Saifuddin, 2002, hal 347
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila proses
ini berlangsung jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian
b. Sarwono, 2007, hal 709
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam
uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam
kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir.
c. JNPK-KR, 2008, hal 144
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir.
Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia
sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat
atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan.
d. Jitowiyono, Sugeng, 2010, hal 71
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernafas secara spontan
dan teratur segera setelah lahir.
e. Manuaba, I. B. G, 2010 cetakan ke II, hal 421
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak menangis setelah lahir yang tidak dapat bernafas
spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin meningkatkan
CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. Tujuan
tindakan perawatan terhadap bayi asfiksia adalah melancarkan kelangsungan
pernafasan bayi yang sebagian besar terjadi pada waktu persalinan.
2. Etiologi
Hipoksia janin yang dapat menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena
gangguan pertukaran gas serta transport O2 dari ibu ke janin sehingga terjadi gangguan
dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan Ini dapat berlangsung
secara menahun akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama kehamilan atau secara
mendadak karena hal-hal yang diderita ibu dalam persalinan. (Wiknjosastro, 2010,
hal.709).
Hipoksia janin dapat merupakan akibat dari :
a. Oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama anestesi,
penyakit jantung sianosis gagal pernafasan, atau keracunan karbonmonoksida
b. Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi, yang dapat merupakan komplikasi
anestesi spinal atau akibat kompresi vena cava dan aorta pada uterus gravid
c. Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta akibat adanya tetani
uterus, yang disebabkan oleh pemberian oksitosin berlebih-lebihan
d. Pemisahan plasenta prematur
e. Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat adanya kompresi atau
pembentukan simpul pada tali pusat
f. Vasokonstriksi pembuluh darah oleh kokain
g. Insufisiensi plasenta karena berbagai sebab, termasuk toksemia dan pasca
maturitas. (Nelson, 2000, hal 581)
3. Patofisiologi
Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia
dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin.
Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia.
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan terhadap
nervus vagus sehingga DJJ (Denyut Jantung Janin) menjadi lambat. Jika kekurangan
O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini
rangsangan dari nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler
dan menghilang.
Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa kemudian
terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi
atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang. Apabila asfiksia berlanjut,
gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung mulai menurun sedangkan tonus
neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apneu
primer. Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung
terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terluhat lemas
(flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu
sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam
darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan
tidak akan menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi jika
resusitasi dengan pernafasan buatan dan pemberian tidak dimulai segera. (Aziz, 2010)
4. Tanda Gejala Serta Diagnosa
a. Asfiksia ringan
1). Takipnea dengan napas >60x/menit
2). Bayi tampak sianosis
3). Adanya retraksi sela iga
4). Bayi merintih
5). Adanya pernapasan cuping hidung
6). Bayi kurang aktif
7). Dari pemeriksaan auskultasi deperoleh hasil ronchi, rales, dan wheezing positif
b. Asfiksia sedang
1). Frekuensi jantung menurun menjadi 60-80 kali permenit.
2). Usaha napas lambat
3). Adanya pernapasan cuping hidung
4). Adanya retraksi sela iga
5). Tonus otot dalam keadaan baik/lemah
6). Bayi masih bisa bereaksi terhadap rangsangan yang diberikan namun tampak
lemah
7). Bayi tampak sianosis
8). Tidak terjadi kekurangn oksigen yang bermakna selama proses persalinan
c. Asfiksia berat
1). Frekuensi jantung kecil, yaitu <40x/menit
2). Tidak ada usaha na Adanya retraksi sela igaas
3). Tonus otot lemah bahkan hamper tidak ada
4). Bayi tidak dapit memberikan reaksi jika diberi rangsangan
5). Bayi tampak pucat bahkan sampai berwarna kelabu
6). Terjadi kekurangan oksigen yang berlanjut sebelum atau sesudah persalinan.
5. Klasifikasi
a. Asfiksia Ringan
Skor APGAR 7-10. Bayi dianggap sehat, dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
b. Asfiksia Sedang
Skor APGAR 4-6. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi detak jantung
lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas
tidak ada.
c. Asfiksia Berat
Skor APGAR 0-3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari
100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, reflek
iritabilitas tidak ada, pada asfiksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung fetus
menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung
menghilang post partum pemeriksaan fisik sama asfiksia berat (Kamarullah, 2005).
Cara menilai tingkatan APGAR score menurut Utomo (2006) adalah dengan :
1). Menghitung frekuensi jantung.
2). Melihat usaha bernafas.
3). Menilai tonus otot.
4). Menilai reflek rangsangan.
5). Memperlihatkan warna kulit.
Di bawah ini adalah tabel untuk menentukan tingkat derajat asfiksia yang dialami
bayi:
Tanda tanda vital Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2
Tubuh
Seluruh
Appearance kemerahan Seluruh tubuh
tubuh biru
(warna kulit) Ekstermitas kemerah-merahan
atau putih
biru
Pulse
< 100 x/
(Frekuensi jantung) Tidak ada > 100 x/ menit
menit
Grimance
(reflek) Tidak ada Menyeringai Batuk/Bersin/Menangis
Activity Fleksi
Tidak Ada
(tonus otot) ekstremitas Fleksi kuat, gerak aktif
Gerakan
(Lemah)
Lambat
Respiration atau tidak Menangis kuat atau
Tidak ada
(pernapasan) teratur keras
(Merintih)
Pemantauan nilai apgar dilakukan pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai
apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor
mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru
lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi
dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti
penilaian skor Apgar) Sumber : Utomo, (2006).
7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Hidayat (2005), Cara pelaksanaan resusitasi sesuai tingkatan asfiksia, antara
lain :
a. Asfiksi Ringan (Apgar score 7-10)
1). Bayi dibungkus dengan kain hangat
2). Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada hidung kemudian mulut.
3). Bersihkan badan dan tali pusat.
4). Lakukan observasi tanda vital dan apgar score dan masukan ke dalam inkubator.
b. Asfiksia sedang (Apgar score 4-6)
1). Bersihkan jalan napas.
2). Berikan oksigen 2 liter per menit.
3). Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki apabila belum ada
reaksi,bantu pernapasan dengan melalui masker (ambubag).
4). Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis berikan natrium bikarbonat
7,5%sebanyak 6cc. Dextrosa 40% sebanyak 4cc disuntikan melalui vena
umbilikus secara perlahan-lahan, untuk mencegah tekanan intra kranial
meningkat.
c. Asfiksia berat (Apgar skor 0-3)
1). Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui lambubag.
2). Berikan oksigen 4-5 liter per menit.
3). Bila tidak berhasil lakukan ETT (Endotracheal Tube).
4). Bersihkan jalan napas melalui ETT (Endotracheal Tube).
5). Apabila bayi sudah mulai benapas tetapi masih sianosis berikan natrium
bikarbonat 7,5% sebanyak 6cc. Dextrosa 40% sebanyak 4cc.
8. Penatalaksanaan Asfiksia
a. Langkah awal
1). Mencegah kehilangan panas, termasuk menyiapkan tempat yang kering dan
hangat untuk melakukan pertolongan.
2). Memposisikan bayi dengan baik, (kepala bayi setengah tengadah/sedikit
ekstensi atau mengganjal bahu bayi dengan kain)
3). Bersihkan jalan nafas dengan alat penghisap yang tersedia Bersihkan jalan nafas
dengan ketentuan sebagai berikut :
a). Bila air ketuban jernih (tidak bercampur mekonium), hisap lendir pada
mulut baru pada hidung.
b). Bila air ketuban bercampur dengan mekonium, mulai mengisap lendir
setelah kepala lahir (berhenti seberi tar untuk menghisap lendir di mulut dan
hidung). Bila bayi menangis, nafas teratur, lakukan asuhan bayi barn lahir
normal. Bila bayi mengalami depresi, tidak menangis, lakukan upaya
maksimal untuk membersihkan jalan nafas dengan jalan membuka mulut
lebar-lebar dan menghisap lendir lebih dalam secara hati-hati.
c). Menilai bayi dengan melihat usaha nafas, denyut jari tung dan warna kulit
kemerahan, lakukan asuhan bayi barn lahir normal. Bila bayi tidak menangis
atau megap-megap, warna kulit biru atau pucat denyut jari tung kurang dan
100 xlme4it, lanjutkan langkah resusitasi.
b. Langkah resusitasi
1). Sebelumnya periksa dan lakukan bahwa alat resusitasi (baton resusitasi dan
sungkup muka) telah tersedia dan berfungsi baik (lakukan test untuk baton dan
sungkup muka)
2). Cuci tangan dan gunakan sarung tangan sebelum memegang atau memeriksa
bayi
3). Selimuti bayi dengan kain yang kering dan hangat kecuali muka dan dada
bagian atas, kemudian letakkan pada alas dan lingkungan yang hangat.
4). Periksa ulang posisi bayi dan pastikan kepala berada dalam posisi tengadah
5). Letakkan sungkup melingkupi dagu, hidung dan mulut sehingga terbentuk
6). semacam tautan sungkup dan wajah.
7). Tentukan balon resusitasi dengan dua jari atau dengan semua jari tangan
(tergantung pada ukuran balon resusitasi)
8). Lakukan pengujian pertautan dengan melakukan ventilasi sebanyak dua kali
dan periksa gerakan dinding dada
9). Bila pertautan baik ( tidak bocor) dan dinding dada mengembang maka lakukan
ventilasi dengan menggunakan oksigen (bila tidak ada atau tersedia oksigen
guna udara ruangan)
10). Perhatikan kecepatai ventilasi sekitar 40 kali per 60 detik, dengan tekanan yang
tepat sambil melihat gerakan dada (naik turun) selama ventilasi
11). Bila dinding dada tidak naik-turun dengan baik berarti ventilasi berjalan secara
adekuat.
12). Bila dinding dada tidak naik, periksa ulang dan betulkan posisi bayi atau terjadi
kebocoran lekatan atau tekanan ventilasi kurang
Lakukan ventilasi selama 2 x 30 detik atau 60 detik kemudian lakukan penilaian
segera tentang upaya bernafas spontan dan warna kulit:
a). Bila frekwensi nafas normal (30-60 x/menit), hentikan ventilasi, lakukan
kontak kulit ibu-bayi, lakukan asuhan normal bayi barn lahir (menjaga bayi
tetap hangat, mulai memberikan ASI dm1 dan mencegah infeksi dan
imunisasi)
b). Bila bayi belum bernafas spontan ulangi lagi ventilasi selama 2 x 30 detik
atau 60 detik kemudian lakukan penilaian ulang.
c). Bila frekwensi nafas menjadi normal (30-60 x/menit) hentikan ventilasi
lakukan kontak kulit it lakukan asuhan normal bayi barn lahir.
d). Bila bayi bernafas, tetapi terlihat retraksi dinding dada, lakukan ventilasi
dengan menggunakan oksigen (bila tersedia)
e). Bila bayi tidak bernafas, megap-megap, teruskan bantuan pernafasan
dengan ventilasi.
f). Lakukan penilaian setiap 30 detik dengan menilai usaha bernafas denyut jari
tung dan warna kulit
g). Jika bayi tidak bernafas secara teratur setelah ventilasi 2-3 menit, rujuk ke
fasilitas pelayanan perawatan bayi resiko tinggi.
h). Jika tidak ada nafas sama sekali dan tidak ada perbaikan frekwensi denyut
jari tung bayi setelah ventilasi selama 20 menit, hentikan ventilasi, bayi
dinyatakan meninggal (jelaskan kepada keluarga bahwa upaya pertolongan
gagal) dan beri dukungan emosional pada keluarga.
C. Perencanaan Keperawatan
Dx. I : Gangguan pemenuhan kebutuhan O2 b.d ekspansi yang kurang adekuat.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam kebutuhan O2 terpenuhi dengan
kriteria tidak ada pernafasan cuping hidung dan tidak sianosis.
Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Beri penjelasan pada keluarga tentang Agar keluarga tahu tentang penyebab
penyebab sesak yang dialami oleh sesak yang dialami oleh bayinya.
pasien.
2. Atur kepala bayi dengan posisi ekstensi. Melonggarkan jalan nafas.
3. Batasi intake per oral, bila perlu Mencegah aspirasi.
dipuasakan.
4. Longgarkan jalan nafas. Memudahkan untuk bernafas.
5. Observasi tanda-tanda kekurangan O2. Mengetahui tingkat kekurangan O2.
6. Hangatkan bayi dalam incubator. Mencegah sianosis.
7. Kolaborasi dengan tim medis untuk Mendukung perawatan dan
pemberian O2. penatalaksanaan medis.
Intervensi:
Tujuan :
Perfusi jaringan kembali normal.
Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Pemberian diuretic sesuai dengan
indikasi.
2. monitor laboraturium urine.
3. pemeriksaan darah.
4. Ajarkan pasien/ anggota keluarga
tentang prosedur perawatan luka.
5.
Tujuan :
Pasien menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas.
Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Menyediakan stimulasi lingkungan
yang minimal.
2. menyediakan monitoring jantung
paru
3. mengurangi sentuhan
4. memberikan posisi yang nyaman
5. kolaborasi analgetiksesuai kondisi,
Dx. VI : Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi yang dialami dan
proses pengobatan.
Tujuan :
Mendemonstrasikan hilangnya ansietas dan memberikan informasi tentang proses penyakit,
program pengobatan.
Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Jelaskan tujuan pengobatan pada Mengorientasi program pengobatan.
keluarga.
2. Kaji ulang tanda / gejala yang Berulangnya memerlukan intervensi medik
memerlukan evaluasi medik cepat. untuk mencegah / menurunkan potensial
komplikasi.
3. Kaji ulang praktik kesehatan yang Mempertahanan kesehatan umum
baik, istirahat. meningkatkan penyembuhan dan dapat
mencegah kekambuhan.
4. Dorong pasien / orang terdekat untuk
menyatakan masalah / perasaan.
5. Beri penguatan informasi pasien
yang telah diberikan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi. 8. Jakarta:
EGC.
Dewi, Vivian. 2011. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba Medika
Hidayat, Aziz. 2009. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta
Rahayu, Sri Dedeh. 2009. Asuhan Keperawatan Anak dan neonatus. Jakarta: Salemba
Medika
Sarwono Prawirohardjo, 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: EGC