Anda di halaman 1dari 3

ANALISA KASUS

Dilaporkan pasien Ny. R usia 26 tahun yang di rawat di bangsal Kenanga masuk
tanggal 1 November 2018.
Dari anamnesis didapatkan pasien keluhan lemas yang dirasakan terutama pada kedua
kaki sejak 1 hari SMRS. Lemas muncul tiba-tiba setelah os bangun tidur pagi. Lemas
dirasakan hingga pasien tidak bisa berdiri maupun berjalan. Keluhan lemas juga dirasakan
pada kedua tangan namun tidak seberat kaki. Dari keluhan utama pasien menunjukkan
adanya kelemahan akut pada daerah ekstremitas, hal ini dapat merupakan manifestasi klinis
dari stroke, tetapi setelah dianamnesa lebih lanjut mengenai keluhan utamanya maka
diagnosis stroke dapat dilemahkan karena pasien tidak mengeluhkan adanya gangguan
sensoris dan gangguan pada saraf kranial, tetapi hal ini masih memungkinkan terjadi stroke
apabila lesi hanya berada di korteks motorik. Selain itu keluhan pasien yang bersifat motorik
dan timbul secara berkala, dapat mengarah kepada kelemahan tipe LMN, adapun penyakit
yang dapat menimbulkan kelemahan tipe LMN adalah paralisis periodik, gullian barre
sindrom, miastenia gravis.
Pasien menyangkal adanya keluhan sakit kepala, gangguan menelan, riwayat
penurunan kesadaran maupun trauma/terjatuh, demam, batuk-pilek. Berdasarkan keluhan
pasien tersebut menunjukan bahwa tidak adanya tanda peningkatan intrakranial, dan
gangguan fungsi otonom yang semakin melemahkan diagnosa stroke dan mempertegas
bahwa kelemahan yang dialami pasien bersifat murni motorik. Selain itu melemahkan pula
diagnosa gullian barre sindrom karena pasien tidak memiliki riwayat demam maupun batuk-
pilek dalam 1 bulan terakhir. Diagnosa miastenia gravis juga dapat dilemahkan karena pada
myastenia gravis, kelemahan terutama terjadi pada otot yang sering digunakan seperti otot
bola mata, otot – otot untuk menelan dan berbicara.
Pasien mengeluhkan kelemahan muncul pagi hari setelah bangun tidur. Berdasarkan
keluhan pasien sesuai dengan gejala paralisis periodik, dimana kelemahan pada paralisis
periodik dapat terjadi pada pagi hari sehabis bangun tidur, setelah aktivitas fisik yang berat
maupun setelah memakan makanan dengan kandungan tinggi karbohidrat.
Pasien mengaku ada sebelumnya mual muntah 2 hari terakhir, serta pasien tidak nafsu
makan 3 hari terakhir. Kondisi ini dapat menyebabkan penurunan asupan kalium serta
peningkatan ekskresi kalium oleh ginjal akibat alkalosis metabolik serta peningkatan sekresi
aldosteron melalui mekanisme renin-angiotensin-aldosteron.
Pasien mengeluhkan sudah beberapa kali mengalami keluhan serupa sejak 3 tahun
terakhir. Hal ini semakin menguatkan diagnosis paralisis periodik, dimana onset awal saat
muda, dan serangan sudah terjadi berulang.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kelemahan pada kedua lengan dan tungkai, hal ini
sesuai dengan kepustakaan dimana dikatakan bahwa pada periodik paralisis ini ditandai
dengan kelemahan dari otot-otot skeletal episodik tanpa gangguan dari sensoris ataupun
kognitif yang berhubungan dengan kadar kalium yang rendah di dalam darah. Pada refleks
fisiologis tidak didapatkan peningkatan refleks, hal ini menyingkirkan semua diagnose
banding dari lesi UMN.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hipokalemia, hal ini menunjukkan
kelemahan otot pada pasien terjadi karena hipokalemia, menurut kepustakaan periodik
paralise adalah kelainan yang ditandai dengan hilangnya kekuatan otot, umumnya terkait
dengan abnormalitas K+ dan abnormalnya respon akibat perubahan K+ dalam serum. Periodik
paralise dapat dikelompokkan menjadi (1) Periodik paralise hipokalemia yang dapat
disebabkan oleh : genetik, hipertiroid, hiperaldosteronism, gagal ginjal kronik dan idiopatik,
(2) Periodik paralise hiperkalemia. (3). Periodik paralise normokalemia.
Pada pemeriksaan EKG didapatkan hasil QT interval yang memanjang. Secara teori,
perubahan pada EKG ini dapat mulai terjadi pada kadar kalium serum dibawah 3,5 dan 3,0
mEq/L. Kelainan yang terjadi berupa inversi gelombang T, timbulnya gelombang U dan ST
depresi, pemanjangan dari PR, QRS, dan QT interval.
Pada pasien ini diberikan IVFD RL dengan KCl 50 mEq 20 tpm, serta obat-obatan
simptomatik dengan jalur intravena. Pasien juga mendapatkan KSR tablet oral 3 kali sehari.
Penatalaksanan periodik paralisis hipokalemi harus didasari dengan prinsip terapi untuk
keadaan hipokalemia, yaitu mengembalikan jumlah kalium dalam tubuh kembali ke nilai
normal. Pemberiannya dapat melalui parenteral maupun oral, dengan evaluasi elektrolit untuk
mencegah resiko hiperkalemia. Pada pasien non-diabetes, infus atau cairan parenteral dengan
dekstrosa akan menstimulasi sekresi insulin dalam tubuh, yang kemudian menyebabkan
residtribusi kalium dari ekstrasel ke intra sel, sehingga justru secara paradoks menyebabkan
hipokalemia. Pada banyak kasus, KCl secara parenteral dapat dicampur dengan cairan
parenteral normal saline. Jika KCl yang dibutuhkan banyak (konsentrasinya besar), maka
KCl diberikan dengan dosis normal saline sebagian untuk mencegah terjadinya hipertonisitas.
Pasien mendapat spironolakton 50mg 1x1. Secara teori pemberian spironolakton
terbukti efektif mencegah terjadinya serangan pada penderita periodik paralisis hipokalemia.
Spironolakton yang merupakan antagonis aldosteron, bersaing dengan aldosteron untuk
memperebutkan reseptor di tubulus distal ginjal. Kondisi ini menghalangi efek aldosteron
dalam ekskresi kalium sehingga pengeluaran kalium dari ginjal menurun.
Prognosis pada pasien in ad bonam, karena dengan pengobatan konservatif sebagian
besar pasien akan pulih dan kembali menjalankan aktivitasnya dengan normal.

Anda mungkin juga menyukai