Anda di halaman 1dari 8

KLIPING

TENTANG KERAJAAN MATARAM


D

OLEH

KETUA :
GANESA NANDA IQWAL BAROKA
ANGGOTA : FEBRI
KELAS : VII. C

SMP NEGERI 2 KELAPA KAMPIT


TAHUN PELAJARAN
2018/2019
Kerajaan Mataram Kuno

Mataram Kuno: Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra


Di Jawa Tengah pada abad ke-8 M telah berdiri sebuah kerajaan, yakni
Mataram. Mataram yang bercorak Hindu-Buddha ini diperintah oleh dua dinasti
(wangsa) yang berbeda, yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Ibukota
Mataram adalah Medang atau Medang Kamulan hingga tahun 925. Pada Prasasti
Canggal terdapat kata-kata “Medang i bhumi Mataram”. Namun, hingga sekarang
letak pasti ibukota ini belum diketahui.
Berdasarkan Prasasti Canggal diketahui, Mataram Kuno mula-mula diperintah
oleh Raja Sanna. Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya, Sanjaya.
Sanjaya adalah anak Sanaha, saudara perempuan Raja Sanna (Sanna tidak
memiliki keturunan). Sanjaya memerintah dengan bijaksana sehingga rakyat
hidup makmur, aman, dan tenteram. Hal ini terlihat dari Prasasti Canggal yang
menyebutkan bahwa tanah Jawa kaya akan padi dan emas. Selain pada Prasasti
Canggal, nama Sanjaya juga tercantum pada Prasasti Balitung.
Prasasti Canggal

Prasasti Canggal
Prasasti ini menceritakan tentang pendirian lingga (lambang Siwa) di desa
Kunjarakunja oleh Sanjaya. Diceritakan pula bahwa yang menjadi raja mula-mula
adalah Sanna, kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha, saudara
perempuan Sanna.
Terjemahan bebas isi prasasti adalah sebagai berikut:
Bait 1 : Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung
Bait 2-6 : Pujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu
Bait 7 : Pulau Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak
menghasilkan padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan
penduduk dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunjadesa
Bait 8-9 : Pulau Jawa yang dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat
bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati
kepada rakyatnya. Ketika wafat Negara berkabung, sedih kehilangan pelindung
Bait 10-11 : Pengganti raja Sanna yaitu putranya bernama Sanjaya yang
diibaratkan dengan matahari. Kekuasaan tidak langsung diserahkan kepadanya
oleh raja Sanna tetapi melalui kakak perempuannya (Sannaha)
Bait 12 : Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman Negara. Rakyat dapat tidur
di tengah jalan, tidak usah takut akan pencuri dan penyamun atau akan
terjadinya kejahatan lainnya. Rakyat hidup serba senang. Kunjarakunja-desa
dapat berarti "tanah dari pertapaan Kunjara", yang diidentifikasikan sebagai
tempat pertapaan Resi Agastya, seorang maharesi Hindu yang dipuja di India
selatan.
Setelah Sanjaya, Mataram diperintah oleh Panangkaran. Dari Prasasti
Balitung diketahui bahwa Panangkaran bergelar Syailendra Sri Maharaja Dyah
Pancapana Raka i Panangkaran. Hal ini menunjukkan bahwa Rakai
Panangkaran berasal dari keluarga Sanjaya dan juga keluarga Syailendra.
Sepeninggal Panangkaran, Mataram Kuno terpecah menjadi dua, Mataram
bercorak Hindu dan Mataram bercorak Buddha. Wilayah Mataram-Hindu
meliputi Jawa Tengah bagian utara, diperintah oleh Dinasti Sanjaya dengan
raja−rajanya seperti Panunggalan, Warak, Garung, dan Pikatan. Sementara
wilayah Mataram- Buddha meliputi Jawa Tengah bagian selatan yang diperintah
Dinasti Syailendra dengan rajanya antara lain Raja Indra.
Perpecahan di Mataram ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 850, Rakai
Pikatan dari Wangsa Sanjaya mengadakan perkawinan politik dengan
Pramodhawardhani dari keluarga Syailendra. Melalui perkawinan ini, Mataram
dapat dipersatukan kembali. Pada masa pemerintahan Pikatan−Pramodhawardani,
wilayah Mataram berkembang luas, meliputi Jawa Tengah dan Timur. Pikatan
juga berhasil mendirikan Candi Plaosan.
Sepeninggal Pikatan, Mataram diperintah oleh Dyah Balitung (898 −910 M).
Setelah Balitung, pemerintahan dipegang berturut−turut oleh Daksa, Tulodong,
dan Wawa. Raja Wawa memerintah antara tahun 924−929 M. Ia kemudian
digantikan oleh menantunya bernama Mpu Sindok.
Pada masa pemerintahan Mpu Sindok inilah, pusat pemerintahan Mataram
dipindahkan ke Jawa Timur. Hal ini disebabkan semakin besarnya pengaruh
Sriwijaya yang diperintah oleh Balaputradewa. Selama abad ke−7 hingga ke−9
terjadi serangan−serangan dari Sriwijaya ke Mataram. Hal ini mengakibatkan
Mataram semakin terdesak ke timur. Selain itu, adanya bencana alam berupa
letusan Gunung Merapi merupakan salah satu penyebab kehancuran Mataram.
Letusan gunung ini diyakini oleh masyarakat Mataram sebagai tanda kehancuran
dunia. Oleh karena itu, mereka menganggap letak kerajaan di Jawa Tengah sudah
tidak layak dan harus dipindahkan.

Candi Plaosan
Dinasti Syailendra yang bercorak Buddha berpusat di Jawa Tengah bagian
selatan, sedangkan Dinansti Sanjaya yang bercorak Hindu berpusat di Jawa
Tengah bagian utara. Perbedaan letak antara dua dinasti ini terlihat dari perbedaan
arsitektur candi-candi yang ada di Jawa Tengah bagian selatan dan utara.
Berdasarkan Prasasti Canggal (732 M) diketahui, raja pertama Mataram dari
Dinasti Sanjaya adalah Raka i Mataram Ratu Sanjaya yang memerintah di ibukota
Medang Kamulan. Berdasarkan isi Prasasti Mantyasih (Kedu) terdapat beberapa
dari Wangsa Sanjaya yang memerintah di kemudian hari.
Antara Wangsa Syailendra dengan Sanjaya terjadi persaingan, namun kedua
wangsa tersebut sempat menjalin hubungan baik. Pada abad ke-9 terjadi
perkawinan antara Rakai Pikatan dari Sanjaya dengan Pramodawardhani dari
Syailendra. Perkawinan ini mendapat tentangan dari Balaputeradewa, adik
Pramodawardhani. Setelah bertikai dengan Pikatan dan kalah, Balaputeradewa
kemudian melarikan diri ke Sriwijaya, dan menjadi raja di sana, karena
Balaputeradewa mempunyai darah Sriwijaya dari ibunya, Dewi Tara, yang
merupakan keturunan Sriwijaya. Sedangkan Rakai Pikatan yang berhasil
menyingkirkan Balaputradewa mendirikan Candi Roro Jonggrang (Prambanan)
yang bercorak Siwa. Rakai Pikatan dan Pramodawardhani yang berbeda agama ini
banyak mendirikan bangunan yang bercorak Hindu maupun Buddha. Rakai
Pikatan mendirikan Candi Loro Jongrang, sedangkan Pramodarwadhani sangat
memperhatikan Candi Borobudur di Bumisambhara yang dibangun oleh ayahnya,
yaitu Samaratungga pada 842 M.

Candi Prambanan / Loro Jonggrang


Susunan raja-raja yang memerintah di Mataram berdasarkan Prasasti Balitung
(Mantyasih) adalah: Rakai Mataram Ratu Sanjaya, Rakai Tejah Purnapana
Panangkaran, RakaI Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung Patapan, Rakai
Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watukumalang, Watukura Dyah Balitung
Dharmodaya Mahasambu, Daksa, Tulodhong, Wawa, dan Mpu Sindok.
Prasasti ini dibuat oleh Dyah Balitung yang memerintah dari 898 hingga 910.
Setelah Mpu Sindok menjadi raja (929), pusat-pusat pemerintahan Mataram
dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Pemindahan ini dikarenakan pusat
kerajaan mengalami kehancuran akibat letusan Gunung Merapi. Mpu Sindok
kemudian mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isyana. Ia memerintah hingga
tahun 949. Pengganti Mpu Sindok yang terkenal adalah Dharmawangsa yang
memerintah 990−1016. Dharmawangsa pernah berusaha untuk mengalihkan pusat
perdagangan dari Sriwijaya pada 990, akan tetapi mengalami kegagalan karena
Sriwijaya gagal ditaklukkan.
Pada tahun 1016 Dharmawangsa dan keluarganya mengalami pralaya
(kehancuran) akibat serangan dari Sriwijaya yang bekerja sama dengan kerajaan
kecil di Jawa yang dipimpin Wurawari. Akibat serangan ini kerajaan
Dharnawangsa mengalami kehancuran. Menantu Dharmawangsa yang bernama
Airlangga kemudian membangun kembali kerajaan, dan pada tahun 1019 ia
dinobatkan menjadi raja. Keberhasilan Airlangga membangun kerajaan
diabadikan dalam karya sastra Mpu Kanwa yaitu Arjuna Wiwaha. Pada 1041
Airlangga membagi dua kerajaan menjadi Janggala dan Panjalu.

Arca Airlangga
Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Mataram Kuno
Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha membawa perubahan baru
dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Struktur sosial dari
masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang ber-evolusi namun
progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan: dari yang semula
sistem barter hingga sistem nilai tukar uang.
Sumber−sumber berita Cina mengungkapkan keadaan masyarakat Mataram dari
abad ke−7 sampai ke−10. Kegiatan perdagangan baik di dalam maupun luar
negeri berlangsung ramai. Hal ini terbukti dari ditemukannya barang-barang
keramik dari Vietnam dan Cina. Kenyataan ini dikuatkan lagi dengan berita dari
Dinasi Tang yang menceritakan kebesaran sebuah kerajaan dari Jawa, dalam hal
ini Mataram.
Dari Prasasti Warudu Kidul diperoleh informasi adanya sekumpulan orang
asing yang berdiam di Mataram. Mereka mempunyai status yang berbeda dengan
penduduk pribumi. Mereka membayar pajak yang berbeda yang tentunya lebih
mahal daripada rakyat pribumi Mataram. Kemungkinan besar mereka itu adalah
para saudagar dari luar negeri. Namun, sumber−sumber lokal tidak memperinci
lebih lanjut tentang orang−orang asing ini. Kemungkinan besar mereka adalah
kaum migran dari Cina.
Dari berita Cina diketahui bahwa di ibukota kerajaan terdapat istana raja yang
dikelilingi dinding dari batu bata dan batang kayu. Di dalam istana, berdiam raja
beserta keluarganya dan para abdi. Di luar istana (masih di dalam lingkungan
dinding kota) terdapat kediaman para pejabat tinggi kerajaan termasuk putra
mahkota beserta keluarganya. Mereka tinggal dalam perkampungan khusus di
mana para hamba dan budak yang dipekerjakan di istana juga tinggal sekitarnya.
Sisa-sisa peninggalan pemukiman khusus ini sampai sekarang masih bisa kita
temukan di Yogyakarta dan Surakarta. Di luar tembok kota berdiam rakyat yang
merupakan kelompok terbesar.
Kehidupan masyarakat Mataram umumnya bersifat agraris karena pusat Mataram
terletak di pedalaman, bukan di pesisir pantai. Pertanian merupakan sumber
kehidupan kebanyakan rakyat Mataram. Di samping itu, penduduk di desa
(disebut wanua) memelihara ternak seperti kambing, kerbau, sapi, ayam, babi, dan
itik. Sebagai tenaga kerja, mereka juga berdagang dan menjadi pengrajin.
Dari Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh informasi tentang kegiatan
perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diadakan setiap hari melainkan bergilir,
berdasarkan pada hari pasaran menurut kalender Jawa Kuno. Pada hari Kliwon,
pasar diadakan di pusat kota. Pada hari Manis atau Legi, pasar diadakan di desa
bagian timur. Pada hari Paking (Pahing), pasar diadakan di desa sebelah selatan.
Pada hari Pon, pasar diadakan di desa sebelah barat. Pada hari Wage, pasar
diadakan di desa sebelah utara.
Pada hari pasaran ini, desa−desa yang menjadi pusat perdagangan, ramai
didatangi pembeli dan penjual dari desa−desa lain. Mereka datang dengan
berbagai cara, melalui transportasi darat maupun sungai sambil membawa barang
dagangannya seperti beras, buah−buahan, dan ternak untuk dibarter dengan
kebutuhan yang lain.
Selain pertanian, industri rumah tangga juga sudah berkembang. Beberapa hasil
industri ini antara lain anyaman seperti keranjang, perkakas dari besi, emas,
tembaga, perunggu, pakaian, gula kelapa, arang, dan kapur sirih. Hasil produksi
industri ini dapat diperoleh di pasar−pasar tadi.
Sementara itu, bila seseorang berjasa (biasanya pejabat militer atau kerabat istana)
kepada Kerajaan, maka orang bersangkutan akan diberi hak memiliki tanah untuk
dikelola. Biasanya tempat itu adalah hutan yang kemudian dibuka menjadi
pemukiman baru. Orang yang diberi tanah baru itu diangkat menjadi penguasa
tempat yang baru dihadiahkan kepadanya. Ia bisa saja menjadi akuwu (kepala
desa), senopati, atau adipati atau menteri. Bisa pula sebuah wilayah dihadiahkan
kepada kaum brahmana atau rahib untuk dijadikan asrama sebagai tempat tinggal
mereka, dan di sekitar asrama tersebut biasanya didirikan candi atau wihara.

Anda mungkin juga menyukai