Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM LAB.

METALURGI I

MODUL VI

PERLAKUAN PANAS DAN UJI HVN

Praktikan:
Deara Putri Supriadi
123.15.013

Asisten:
Albayruni Mostavan, S.T.

Tanggal Praktikum:
9 Desember 2017

PROGRAM STUDI TEKNIK METALURGI DAN MATERIAL

FAKULTAS TEKNIK DAN DESAIN

INSTITUT TEKNOLOGI DAN SAINS BANDUNG

2017
Laboratorium Teknik Metalurgi I

A. Tujuan Percobaan

Adapun tujuan yang dicapai adalah:

1. Mempelajari prinsip proses perlakuan panas pada paduan alumunium.


2. Menganalisis hubungan antara perlakuan panas terhadap struktur mikro dan sifat
mekanis paduan alumunium.
B. Dasar Teori

Aluminium merupakan logam non-ferrous yang paling banyak digunakan di dunia,


dengan pemakaian tahunan sekitar 24 juta ton[10]. Aluminium dengan densitas 2.7 g/cm3
sekitar sepertiga dari densitas baja (8.83 g/cm3 ), tembaga (8.93 g/cm3 ), atau kuningan (8.53
g/cm3 ), mempunyai sifat yang unik, yaitu: ringan, kuat, dan tahan terhadap korosi pada
lingkungan luas termasuk udara, air (termasuk air garam), petrokimia, dan beberapa sistem
kimia. Aluminium memiliki resistansi terhadapn korosi karena adanya proses pasivasi,
dimana terbentuknya lapisan aluminium oksida dalam keadaan terbuka di udara bebas.
Konduktivitas panas dan listrik yang baik juga turut memperkaya sifat aluminium.
Aluminium dalam bentuk paduan yang sering dikenal dengan istilah aluminium alloy
merupakan jenis aluminium yangdigunakan cukup besar saat ini. Berdasarka metode
peleburannya, paduan aluminium dikelompokkan menjadi dua kelompok utama yaitu paduan
tempa (wrought) dan paduan tuang (casting).
Jenis paduan aluminium saat ini sangat banyak dan tidak menutup kemungkinan
ditemukannya lagi jenis paduan aluminium baru, oleh karena itu dibuatlah sistem penamaan
sesuai dengan komposisi dan karakteristik paduan aluminium tersebut untuk memudahkan
pengklasifikasiannya. Salah satu penamaan paduan aluminium adalah dengan standar AA.
Jenis paduan Alumunium :
a. 1 xxx : Al Murni
Kemurnian Alumunium murni mencapai 99, 85 % atau bahkan mendekati 100 %. Seri
1 xxx ini memiliki resistensi yang tinggi terhadap korosi. Memiliki konduktivitas panas dan
listrik yang tinggi serta kemampuan kerja yang luar biasa. Namun sifat mekanik dari paduan
seri 1 xxx ini rendah.

b. 2 xxx : Al- Cu

1
Laboratorium Teknik Metalurgi I

Untuk mendapatkan material yang bagus, paduan ini memerlukan heat-treatment.


Pada paduan ini dapat mengalami pengerasan signifikan dalam beberapa hari melalui proses
Aging dengan temperature ambient. Aging (penuaan) dalam paduan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan sifat mekanik paduan ini. Pemadu dalam paduan ini, merupakan unsure Cu
yang dapat memberikan struktur butiran yang halus, dapat meningkatkan kekuatan, kekerasan
dan keuletan pada paduan. Namun, ketahanan korosi menurun karena paduan Cu.

c. 3 xxx : Al- Mn
Unsur pemadu Mangan tidak mengurangi ketahanan korosi alumunium, memiliki
ductility yang tinggi, bahkan Mangan meningkatkan kekuatan Alumunium. Contoh paduan
Al- Mn yaitu paduan 3003 (Al- 1,2 % Mn) dan paduan 3004 (Al- 1,2 % Mn- 1,0% Mg).
Paduan tersebut tidak perlu mengalami heat treatment agar tahan korosi. Dibandingkan seri
1xxx, paduan seri 3 xxx memiliki kekuatan 20 % lebih tinggi.

d. 4 xxx : Al- Si
Paduan Al- Si memiliki kekuatan yang tinggi setelah mengalami heat treatment.
Unsur silicon memiliki ketahanan korosi, konduktivitas listrik, konduktivitas panas yang baik,
serta koefisien muai yang kecil. Namun unsure silicon dapat menurunkan machinability
Alumunium menjadi kurang baik.

e. 5 xxx : Al- Mg
Paduan ini memiliki ketahanan korosi yang baik, machinability yang baik, kekuatan
dan weldability yang cukup baik. Untuk paduan 5xxx Series Magnesium adalah unsur utama
dalam 5xxx-seri dan membentuk bersama-sama dengan larutan padat aluminium dalam
berbagai komposisi yang berbeda. Paduan ini mengandung magnesium dalam sekitar 0,8%
hingga 5%. Paduan Al-0,8% Mg memiliki kekuatan luluh dan kekuatan tarik yaitu 125 MPa
dan 160 MPa. Dengan tingkat tertinggi 310 Mpa. Ketika kandungan magnesium mencapai
lebih dari 3-4%, menjadikan β-fase memiliki kecenderungan untuk mengendap di pita slip
dan batas butir yang dapat menyebabkan korosi. Endapan β juga dapat meningkat dengan
meningkatnya jumlah work-hardening.

f. 6 xxx : Al- Mg- Si


Paduan ini memiliki kekuatan yang lebih baik sebagai bahan tempa. Unsur pemadu
pada seri 6xxx adalah silikon dan magnesium. Unsur-unsur ini dicampur sehingga

2
Laboratorium Teknik Metalurgi I

membentuk magnesium silisida (Mg2Si). Secara umum sifat paduan AlMgSi memiliki
ketahanan korosi yang baik, kemampuan mesin dan ketahanan terhadap stress-corrosion
crack baik, namun kekuatannya lebih rendah dibandingkan dengan 2xxx dan seri 7xxx.

g. 7 xxx : Al- Zn
Penambahan unsur pemadu Zn pada paduan Alumunium ini sekitar 1-8% dari
keseluruhan kandungan paduan. Penambahan Zn ini dapat meningkatkan sifat mekanis
seperti machinability. Karena Alumunium memiliki resistansi terhadap korosi, paduan ini
banyak digunakan untuk jembatan ringan militer, gerbong kereta api, militer dan pesawat
sipil. Dibawah ini merupakan komposisi paduan pada badan pesawat (air frame) :

h. 8 xxx : unsure lain (Li)


Penambahan paduan lain seperti Lithium. Penambahan Litihium pada Alumunium
dikarenakan yang pertama massa jenis pada elemen membuat massa jenis paduan alumunium
berkurang 3% untuk setiap penambahan 1% lithium, meskipun kelarutan padat maksimum
adalah 4% untuk lithium (pada 610 ° C).

 Perlakuan panas pada aluminium
Perlakuan panas pada aluminium paduan dilakukan dengan memanaskan sampai
terjadi fase tunggal kemudian ditahan beberapa saat dan diteruskan dengan pendinginan cepat
hingga tidak sempat berubah ke fase lain. Jika bahan tadi dibiarkan untuk jangka waktu
tertentu maka terjadilah proses penuaan (aging). Perubahan akan terjadi berupa presipitasi
(pengendapan) fase kedua yang dimulai dengan proses
nukleasi dan timbulnya klaster atom yang menjadi awal dari presipitat. Presipitat ini dapat
meningkatkan kekuatan dan kekerasannya. Proses ini merupakan proses age hardening yang
disebut natural aging. Jika setelah dilakukan pendinginan cepat kemudian dipanaskan lagi
hingga di bawah temperatur solvus (solvus line) kemudian ditahan dalam jangka waktu yang
lama dan dilanjutkan dengan pendinginan lambat di udara disebut proses penuaan buatan
(artificial aging).
Proses dari pemanasan awal hingga pendinginan cepat disebut proses perlakuan
pelarutan (solution treatment), dan proses sesudahnya disebut proses perlakuan pengendapan
(precipitation treatment).

3
Laboratorium Teknik Metalurgi I

Gambar 6.1 Perlakuan panas pada


 Al
 Solution Treament
Solution treatment dapat dilakukan pada media udara, oli atau tungku garam. Media
oli (200 – 300°C) dan garam (300 – 500 °C) memiliki keuntungan daripada media udara
dalam hal keseragaman temperatur prosesnya, tetapi dari segi kemudahan proses dan
pencapaian temperaturnya yang tinggi, media udara lebih banyak digunakan.
Solution treatment dilakukan untuk mendapatkan fasa tunggal yang sesuai dan stabil.
Berdasarkan diagram fasanya, fasa yang stabil adalah fasa α. Sebagai ilustrasi, rentang
temperatur stabil untuk paduan 4wt% Cu adalah antara 500 – 550 °C, maka agar terjadi
proses difusi unsur paduan ke dalam matriksnya (sebagai syarat untuk merubah struktur
mikro), paduan tersebut harus mengalami solution treatment di antara temperatur tersebut.
Pada solution treatment, paduan dipanaskan hingga membentuk larutan padat sempurna
(yaitu wilayah fasa tunggal pada diagram fasa). Kondisi fasa matriks pada temperatur ini
memungkinkan elemen-elemen paduan berdifusi ke dalam matriks induknya dan terdistribusi
dengan sendirinya secara merata. Komposisi yang terjadi disebut sebagai larutan padat.
Larutan padat kemudian didinginkan dengan cepat (quench) hingga mencapai temperatur
kamar. Setelah diquench, atom-atom yang terlarut akan tetap terdistribusi merata dalam
larutan padat lewat jenuh (supersaturated solid solution) yang memiliki sifat sangat lunak dan
ulet.
Struktur mikro paduan alumunium hasil casting terdiri dari kristal silikon eutektik
berbentuk jarum, Mg2Si berwarna keabu-abuan dan fasa alumunium pro-eutektoid. Proses
solution treatment menyebabkan Mg2Si terlarut ke dalam matriks alumunium, sementara
kristal eutektik silikon yang tadinya berbentuk jarum berubah menjadi nodular. Transisi ini
memerlukan waktu yang cukup lama. Semakin lama waktu solution dan semakin tinggi

4
Laboratorium Teknik Metalurgi I

temperaturnya maka proses akan menghasilkan efek yang lebih baik. Tetapi bagaimanapun
juga, kedua parameter tersebut memiliki batas tertentu.

 Quenching
Proses quenching merupakan proses yang kritikal untuk menghasilkan distribusi fasa
presipitat yang seragam pada saat proses aging. Jika proses pendinginannya berlangsung
terlalu lambat, presipitat akan terbentuk di batas butir, yang akan menyebabkan sifat
mekaniknya keras dan getas. Pembentukan presipitat di batas butir alumunium berpotensi
menyebabkan terjadinya intergranular embrittlement (perambatan retak melalui batas butir
alumunium).
Proses quenching yang melibatkan pendinginan cepat (rapid cooling) fasa padat α
yang kaya akan elemen paduan (Si, Mg, Cu) dalam air hingga mencapai temperatur kamar.
Pendinginan cepat ini akan mempertahankan larutan padat dengan cara mencegah difusi
atom-atom paduan keluar dari matriksnya, menghasilkan larutan padat lewat jenuh
(supersaturated solid solution – SSS)). Proses ini dikenal sebagai proses solid solution
hardening.
Bila paduan didinginkan dengan lambat setelah proses solution treatment, Mg2Si dan
elemen-elemen lain yang tadinya sudah berdifusi ke dalam matriks alumunium akan kembali
ke keadaan awal sebelum solution treatment. Tetapi jika paduan didinginkan dengan cepat ke
dalam air, Mg2Si akan tetap terlarut dalam matriks, seperti kondisi saat solution treatment.
Proses pendinginan cepat ini dikenal sebagai proses quenching. Dengan kata lain, proses
quenching memaksa Mg2Si terlarut dalam matriks pada kondisi padat sehingga matriks
bersifat lewat jenuh (supersaturated solid solution). Semakin cepat laju pendinginannya akan
semakin baik, tetapi bila terlalu cepat akan menyebabkan material terdeformasi. Oleh sebab
itu material diquench dalam air hangat (80 °C).

 Aging
Langkah terakhir adalah pemanas ulang (re-heating) larutan pada temperatur tertentu
dan ditahan pada temperatur tersebut selama beberapa waktu, dikenal sebagai proses aging.
Setelah proses quenching, paduan yang memiliki struktur larutan padat lewat jenuh
(supersaturated solid solution) cenderung tidak stabil dan bertendensi membentuk presipitat
Mg2Si. Saat waktunya tiba, Mg2Si akan terdispersi dan terpresipitasi. Peristiwa ini disebut
sebagai aging.

5
Laboratorium Teknik Metalurgi I

Aging terbagi menjadi dua kategori : aging dingin, dimana presipitasi berlangsung
pada temperatur kamar (natural aging) dan aging panas dimana paduan dipanaskan untuk
mempercepat terbentuknya presipitat (artificial aging). Semakin tinggi temperatur aging dan
semakin lama waktunya, paduan akan menjadi semakin keras. Tetapi bila temperatur terlalu
tinggi atau waktunya terlalu lama, proses presipitasi akan mencapai puncaknya dan presipitat-
presipitat yang telah terbentuk akan saling berdifusi dan beraglomerasi membentuk struktur
baru, sehingga jumlah presipitat dalam matriks akan berkurang. Hal ini menyebabkan
kekerasan paduan akan menurun. Peristiwa ini disebut sebagai overaging.
Pada beberapa kasus, sampel hasil solution – quenching akan membentuk presipitat
pada temperatur ruang, yang disebut sebagai natural aging. Proses yang melibatkan
peningkatan temperatur dengan maksud mempercepat terjadinya presipitat disebut sebagai
artificial aging.

Gambar 6.2 Diagram fasa perubahan mikrostruktur paduan Al-Cu



 Uji VHN
Uji kekerasan vickers menggunakan indentor piramida intan yang pada dasarnya
berbentuk bujur sangkar. Besar sudut antar permukaan piramida intan yang saling berhadapan
adalah 1360. Nilai ini dipilih karena mendekati sebagian besar nilai perbandingan yang
diinginkan antar diameter lekukan dan diameter bola penumbuk pada uji kekerasan brinell
(dieter, 1987).

6
Laboratorium Teknik Metalurgi I

Angka kekerasan vickers didefinisikan sebagai beban dibagi luas permukaan lekukan.
Pada prakteknya. Luas ini dihitung dari pengukuran mikroskopik panjang diagonal jejak.
VHN dapat ditentukan dari persamaan berikut :

Keterangan :
P = gaya yang diberikan (N)
d = panjang diagonal (mm)
θ = sudut antara permukaan intan yang berhadapan = 136⁰

Gambar 6.3 Indentor uji Vickers Gambar 6.4 alat Vickers

Keuntungan uji Vickers :


1. Skala kekerasannya yang kontinuuntuk rentang yang luas, dari yang sangat lunak
dengan nilai 5 maupun material yang sangat keras dengan nilai 1500

2. Beban tidak perlu diubah dan tidak bergantung pada besar beban indentor.

3. Uji Vickers ini dapat dilakukan pada benda-benda dengan ketebalan yang tipis sampai
0.006 inchi.

Kerugian uji Vickers :


1. Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menentukan nilai kekerasan sehingga
jarang dipakai pada pengujian yang rutin.

7
Laboratorium Teknik Metalurgi I

C. Alat dan Bahan


Alat Bahan
 Muffle furnace  Empat buah spesimen uji (paduan
 Cawan / crucible alumunium
 Penjepit cawan  Amplas
 Wadah berisi air
 Vickers Microhardness Tester

D. Prosedur Percobaan

Diamplas spesimen A, B, C dan D

Muffle furnace dipanaskan hingga temperatur SHT yaitu


500 °C

Pemanasan pada T = 250°C ditahan selama 15 menit

Pemanasan pada T = 500°C ditahan selama 15 menit

Dimasukkan spesimen A, B, dan C ke furnace. T = 500 °C


selama 45 menit (Solution Heat Treatment)

Quenching

 Proses Aging

Dimasukan spesimen A ke furnace pada T = 150 °C selama 1


jam.

Dimasukan spesimen B ke furnace pada T = 25 °C selama 1 jam.

8
Laboratorium Teknik Metalurgi I

Spesimen C langsung uji kekerasan.

Diuji kekerasan spesimen A, B, dan C.

E. Data Percobaan

D1 D2
No Nama Sampel (µm) (µm)
41,09 40,17
A 42,09 41,22
1
(Langsung)
43,78 43,66
40,9 41,11
B 41,87 42,77
2
(Quenching)
43,88 43,69
35,8 37,53
C
3 38,17 37,45
( Natural Aging) 41,25 39,87
32,42 31,94
D 31,77 32,07
4
(Artificial Aging)
31,25 32,57

Keterangan : Gaya beban yang diberikan = 100 g = 0,1 kg

F. Pengolahan Data

D1 D1 D2 D2 HV rata-
No Nama Sampel HV
(µm) (mm) (µm) (mm) rata
1 A 41,09 0,0411 40,17 0,0402 112,348
(Langsung) 42,09 0,0421 41,22 0,0412 106,8849 105,4164

43,78 0,0438 43,66 0,0437 97,01613

2 B 40,9 0,0409 41,11 0,0411 110,2891

9
Laboratorium Teknik Metalurgi I

(Quenching) 41,87 0,0419 42,77 0,0428 103,5526


103,5234
43,88 0,0439 43,69 0,0437 96,72857
3 C 35,8 0,0358 37,53 0,0375 138,0199
38,17 0,0382 37,45 0,0375 129,7267 126,8337
( Natural Aging)
41,25 0,0413 39,87 0,0399 112,7543

4 D 32,42 0,0324 31,94 0,0319 179,0835


(Artificial Aging) 31,77 0,0318 32,07 0,0321 182,0066 181,0949

31,25 0,0313 32,57 0,0326 182,1947

Keterangan:

G. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengolahan data diatas, didapatkan nilai Hardness Vickers (HV) :
Sampel A : 105,413
Sampel B : 103,526
Sample C : 126,826
Sampel D : 181,103
Dari hasil perolehan tersebut, dapat dibandingkan bahwa tiap sampel memiliki nilai
kekerasan yang berbeda-beda.
Pada sampel B yang dilakukan proses Quenching memiliki nilai kekerasan yang
rendah dibandingkan sampel A yang langsung diuji kekerasannya. Hal tersebut dikarenakan,
proses quenching pada logam aluminium akan membuat aluminium menjadi lebih lunak dan
fasa yang terbentuk tetap. Pada proses quenching, aluminium tidak terbentuk struktur
martensit sehingga sampel yang telah diquench lebih lunak. Berbeda dengan baja.
Kemudian, sampel C dan sampel D dilakukan proses Aging yaitu Al dipanaskan
kembali pada temperature dan waktu tertentu. Perbedaan kedua sampel tersebut adalah
sampel C dilakukan proses Natural Aging sedangkan sampel D dilakukan proses Artificial
Aging. Dari hasil yang diperoleh, sampel D memiliki nilai Hardness Vickers yang lebih besar
dari sampel C. Hal ini dikarenakan, sampel C hanya dibiarkan di temperatur kamar selama 1
jam. Dibiarkan di temperature kamar akan membuat sampel C lebih lunak daripada sampel D

10
Laboratorium Teknik Metalurgi I

yang dipanaskan di tungku pada suhu 150°C selama 1 jam karena proses artificial aging pada
sampel D akan mempercepat pembentukan presipitat. Semakin tinggi temperatur aging dan
semakin lama waktunya, paduan akan menjadi semakin keras.
Perlakuan panas pada aluminium memiliki perbedaan dari baja. Perlakuan panas pada
aluminium bertujuan agar logam aluminium menjadi lebih lunak. Sedangkan perlakuan panas
pada baja akan membuat baja menjadi keras karena terbentuk struktur martensit saat proses
quenching dilakukan.
Diagram TTT Al-Cu:

Diagram TTT menunjukan perubahan fasa dan struktur yang terjadi pada saat variasi
temperature dan waktu dilakukan.

H. Kesimpulan dan Saran


 Kesimpulan
1) Prinsip proses perlakuan panas pada aluminium meliputi Solution Heat Treatment
(SHT), Quenching, Aging, Annealing.
2) Perlakuan panas pada aluminium membuat aluminium memiliki sifat yang lebih
lunak, berbeda dengan baja apabila dilakukan perlakuan panas akan menjadi keras.
3) Sampel yang melalui proses Artificial Aging memiliki kekerasan yang tinggi
daripada sampel tanpa dilakukan proses Artificial Aging.
 Saran
1) Dilakukan percobaan kekerasan terhadap sampel yang diberi perlakuan Annealing.

11
Laboratorium Teknik Metalurgi I

I. Daftar Pustaka

MODUL PRAKTIKUM MM 3141 – LAB METALURGI I ITSB

ASM HANDBOOK. 199., formerly ninth edition metals handbook volume 9 “Metallography and
Microstrukturees”. ASMmmInternasiona. USA

Basuki, Edi Agus. Diktat Transformasi dan Perlakuan Panas Logam. Bandung. Departemen
Teknik Pertambangan. 2005

12

Anda mungkin juga menyukai