STEP 1
In vitro : uji yang dilakukan di luar tubuh, di sel nya, atau bagian tubuh lain. In = dalam ,
vitro = kaca, di letakkan di cawan petri atau tabung reaksi
In vivo : merupakan bahasa lain untuk organisme hidup, diujikan di dalam makhluk
hidup. (hewan coba)
Bixin : zat yang terkandung dalam selaput biji kesumba keling yang mengandung tanin,
steroid, terpenoid, flavanoid, dan zat pewarna
STEP 2
STEP 3
2. Apa saja kriteria yang menentukan in vitro atau in vivo, atau in vitro yang dilanjutkan in
vivo?
4. Apa kelebihan dan kekurangan dari uji in vitro dan in vivo, beserta contohnya?
In vitro
Kelebihan Kekurangan
Lebih cepat Banyak percobaan biologi seluler di luar
tubuh tidak sesuai dengan di dalam
tubuh
Biaya murah Sering dijelaskan in vitro bertentangan
dengan in vivo studi studi in vitro
dilanjutkan dengan in vivo
Sampel lebih sedikit Tidak bisa untuk meneliti farmakokinetik
Contoh : obat vertilitas : dengan tikus yang memiliki anak banyak - pengamatan
baik apabila sampel banyak
5. Apa saja persamaan dan perbedaan in vitro dan in vivo?
Persamaan Perbedaan
Uji preklinik In vitro : tidak bisa farmakokinetik
In vivo : bisa dengan farmakokinetik
In vitro : subjek uji tidak banyak
In vivo : banyak
In vitro : efek yang diamati parsial
In vivo : efek yg diamati cenderung total
In vitro : ke hewan coba
In vivo : lebih invasif ke subjek coba
In vitro : mengambil dari suatu sistem
organ
In vivo : subjek penelitian hewan hidup,
dalam keadaan sadar atau teranastesi
In vivo : mencerminkan kondisi tubuh
manusia
In vitro : tidak
In vitro : tidak bisa dilihat pengaruh
terhadap organ tubuh (farmakodinamik)
In vivo : bisa
In vitro
1) Menumbuhkan sel hela atau sel yg lain dan kemudian dimasukkan ke dalam
tabung conical ditambah 5 ml media pencuci lalu di kocok
2) Panen sel
3) Hitung sel
4) Mengkultur sel dan pemberian sampel
5) Penetapan viabilitas sel
In vivo
- Pemilihan sampel
- Pemberian perlakuan
- pengamatan
STEP 7
Shah (1972) mencoba membagi design penelitian menjadi enam kenis, yaitu :
Design untuk penelitian yang ada control
Design untuk studi deskriptif dan analitis
Design untuk studi lapangan
Design untuk studi dengan dimensi waktu
Design untuk studi evaluatif - nonevaluatif
Design dengan menggunakan data primer atau data sekunder
Design penelitian memiliki beragam jenis dilihat dari berbagai perspektif, antara lain :
a) Desain penelitian dilihat dari perumusan masalahnya ;
Penelitian eksploratif
Penelitian uji hipotesis
(http://www.scribd.com/doc/30385686/Desain-penelitian-kualitatif-dan-kuantitatif)
Ratio prefalensi : angka yang menggambarkan prevalensi dari suatu penyakit dalam
populasi yang berkait dengan faktor resiko yang dipelajari atau timbul sebagai akibat
faktor resiko tertentu.
2. Case Control
Faktor resiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospektif, efek
diidentifikasi dahulu, baru faktor resiko dipelajari secara retrospektif
Odd ratio : perhitungan risiko relatif secara tidak langsung
3. Rancangan Penelitian Kohort (prospektif)
Suatu penelitian non eksperimen yang paling baik dalam mengkaji hubungan antara
faktor risiko dengan efek.
Suatu penelitian yang digunakan untuk mempelajar dinamika korelasi antara faktor
risiko dengan efek melalui pendekatan longitudinal ke depan atau prospektif. Artinya
faktor risiko yang akan dipelajari diidentifikasi dulu kemudian diikuti ke depan
secara prospektif timbulnya efek, yaitu penyakit atau salah satu indikator status
kesehatan.
1. Rancangan Praeksperimen
a. Post test only design
Dalam rancangan ini perlakuan atau intervensi telah dilakukan (X), kemudian
dilakukan pengukuran (observasi) atau postest (02). Hasil observasi ini hanya
memberikan informasi yang bersifat deskriptif. Dalam rancangan ini sama sekali
tidak ada kontrol dan tidak ada internal validitas. Sifatnya cepat dan mudah. Tidak
memiliki dasar untuk melakukan perbandingan sehingga kesimpulan dapat
menyesatkan.
X 02
b. One group pretest - post test
Juga tidak memiliki pembanding (kontrol), tetapi paling tidak sudah dilakukan
observasi pertama (pretest) yang memungkinkan menguji perubahan yang terjadi
setelah adanya eksperimen (program). Kelemahan rancangan ini antara lain tidak ada
jaminan bahwa perubahan yang terjadi pada variabel dependen karena intervensi atau
perlakuan.
01 X 02
Perlakuan Posttest
Kelompok eksperimen X 02
Kelompok kontrol 02
c. Rancangan penelitian postetst dengan kelompok kontrol (Posttest only control group)
Tidak diadakan pretest, kasus telah dirandomisasi baik pada kelompok kontrol
maupun eksperimen.
Perlakuan Posttest
R (Kelompok Eksperimen) X 02
R (Kelompok Kontrol) 02
2. Apa saja kriteria yang menentukan in vitro atau in vivo, atau in vitro yang dilanjutkan in
vivo?
Kriteria invitro dilanjutkan invivo
- Banyak percobaan biologi seluler dilakukan di luar organisme atau sel ; karena
kondisi pengujian mungkin tidak sesuai dengan kondisi di dalam organisme, ini dapat
mengakibatkan hasil yang tidak sesuai dengan situasi yang muncul dalam organisme
hidup. Akibatnya, hasil eksperimen tersebut sering dijelaskan dengan in vitro,
bertentangan dengan in vivo.
Namun, kondisi yang terkendali hadir dalam sistem in vitro berbeda secara signifikan dari
yang in vivo, dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Oleh karena itu, dalam studi
in vitro biasanya diikuti oleh studi vivo.
Contohnya termasuk:
Dalam biokimia, fisiologis stoikiometri konsentrasi non-aktif dapat mengakibatkan enzim
dalam arah terbalik, misalnya beberapa enzim dalam siklus Krebs mungkin tampak memiliki
tata-nama, salah.
DNA dapat mengadopsi konfigurasi lainnya, seperti A DNA .
Protein lipat mungkin berbeda seperti dalam sel ada kepadatan tinggi protein lain dan ada
sistem untuk membantu lipat, sementara in vitro, kondisi kurang bergerombol dan tidak
membantu.
http://farmasi. com/2010/10/perbedaan-in-vivo-in-vitro-dan-ex-vivo.html
Ex vivo (Latin: keluar dari hidup) berarti yang terjadi di luar organisme . Dalam ilmu, ex
vivo mengacu pada percobaan atau pengukuran dilakukan di dalam atau pada jaringan dalam
suatu lingkungan buatan luar organisme dengan perubahan minimum kondisi alam. Kondisi
ex vivo memungkinkan eksperimen dengan kondisi yang terkendali lebih dari mungkin
dalam organisme utuh, dengan mengorbankan mengubah “alam” lingkungan.
Keuntungan utama menggunakan jaringan ex vivo adalah kemampuan untuk melakukan tes
atau pengukuran yang akan tidak mungkin atau etis dalam kehidupan subyek. Jaringan dapat
dihapus dengan berbagai cara, termasuk di bagian, secara keseluruhan organ , atau sistem
organ yang lebih besar.
Contoh menggunakan spesimen ex vivo meliputi:
1. pengukuran fisik , termal , listrik , mekanik , optik jaringan dan properti lainnya, terutama
di berbagai lingkungan yang mungkin tidak mendukung kehidupan (misalnya, pada ekstrim
tekanan atau suhu )
2. model yang realistis untuk prosedur bedah pembangunan
3. penyelidikan interaksi jenis energi yang berbeda dengan jaringan
4. Sebagai hantu dalam pencitraan pengembangan teknik
Dalam biologi sel , ex vivo prosedur sering melibatkan sel hidup atau jaringan yang diambil
dari suatu organisme dan berbudaya dalam laboratorium aparat, biasanya dalam kondisi
steril dengan tanpa perubahan sampai 24 jam. Percobaan berlangsung lebih lama dari ini sel-
sel hidup menggunakan atau jaringan biasanya dianggap in vitro. Satu banyak dilakukan
studi ex vivo adalah chick membran chorioallantoic (CAM) assay. Dalam uji ini,
angiogenesis adalah dipromosikan pada membran CAM dari ayam embrio di luar organisme
(ayam).
http://farmasi. com/2010/10/perbedaan-in-vivo-in-vitro-dan-ex-vivo.html
4. Apa kelebihan dan kekurangan dari uji in vitro dan in vivo, beserta contohnya?
Relatively inexpensive
Cells are treated outside their normal ‘environment’ (no surrounding tissues, no blood
supply, no normal supply of nutrients, …)
(http://www.bbemg.be/en/elf-emf-and-health/study-methods/info-invitro-studies.html)
kekurangan :
- Banyak percobaan biologi seluler dilakukan di luar organisme atau sel ; karena
kondisi pengujian mungkin tidak sesuai dengan kondisi di dalam organisme, ini dapat
mengakibatkan hasil yang tidak sesuai dengan situasi yang muncul dalam organisme
hidup. Akibatnya, hasil eksperimen tersebut sering dijelaskan dengan in vitro,
bertentangan dengan in vivo.
- Namun, kondisi yang terkendali hadir dalam sistem in vitro berbeda secara signifikan
dari yang in vivo, dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Oleh karena itu,
dalam studi in vitro biasanya diikuti oleh studi vivo.
Contohnya termasuk:
- Dalam biokimia, fisiologis stoikiometri konsentrasi non-aktif dapat mengakibatkan
enzim dalam arah terbalik, misalnya beberapa enzim dalam siklus Krebs mungkin
tampak memiliki tata-nama, salah.
- DNA dapat mengadopsi konfigurasi lainnya, seperti A DNA .
- Protein lipat mungkin berbeda seperti dalam sel ada kepadatan tinggi protein lain dan
ada sistem untuk membantu lipat, sementara in vitro, kondisi kurang bergerombol dan
tidak membantu.
-
Kelebihan
Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit
Murah dan cepat
Dalam penelitian in vitro yang lebih cocok dibandingkan in vivo untuk menyimpulkan
tindakan mekanisme biologis. Dengan variabel yang lebih sedikit dan perseptual
diperkuat menyebabkan reaksi halus, hasil yang umumnya lebih jelas.
in vitro lebih cocok untuk mengamati efek keseluruhan percobaan pada subjek hidup
Contoh :
- uji pada mikroba jika antibiotic;
- pada sel kanker dari hewan utk obat anti kanker;
- pada plasmodium utk obat anti malaria;
- pada jamur missal candida pada obat anti keputihan/candidiasis;
- pada cacing utk obat cacing;
- pada virus utk obat antivirus;
- pada bagian organ tertentu dari hewan contoh obat asma bronkodilator diuji pada otot
polos trachea marmot;
- pada jantung hewan dalam chamber utk obat angina dan aritmia; dll.
(http://chemedu09.wordpress.com/2012/05/23/apa-sih-bedanya-antara-in-vivo-in-vitro-dan-
ex-vivo/)
kekurangan
Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak
Mahal dan lama
(http://chemedu09.wordpress.com/2012/05/23/apa-sih-bedanya-antara-in-vivo-in-vitro-
dan-ex-vivo/)
1. Vignais, Paulette M.; Pierre Vignais (2010). Discovering Life, Manufacturing Life:
How the experimental method shaped life sciences. Berlin: Springer. ISBN 90-481-
3766-7 .
2. ^ Jacqueline Nairn; Price, Nicholas C. (2009). Exploring proteins: a student's guide
to experimental skills and methods. Oxford [Oxfordshire]: Oxford University
Press. ISBN 0-19-920570-1 .
3. ^ Sunshine, Geoffrey; Coico, Richard (2009). Immunology: a short course. Wiley-
Blackwell. ISBN 0-470-08158-9 .
4. ^ "Existing Non-animal Alternatives" . Source: AltTox.org .
Contoh :
- utk obat fertilitas digunakan hewan uji tikus/rat galur Sprague Dowley/SD bukan
Wistar atau jenis tikus lainnya, krn tikus jenis SD memiliki anak banyak shg pengamatan
akan lbh baik dg jumlah sample yg banyak.
- Utk uji painkiller digunakan mencit/mice jika utk menilai nyeri ringan yakni dengan
penyuntikan asam asetat glacial ke peritoneum mencit, tapi jika sasarannya nyeri tekanan
digunakan tikus bias Wistar atau SD, karena tikus akan dijepit ekornya atau telapak
jarinya dengan alat tertentu, sementara kalo nyeri berupa panas, digunakan boleh mencit
atau tikus krn hewan akan diletakkan di hot plate.
- Utk antiemetik/anti muntah digunakan burung merpati, krn bisa dirangsang utk
muntah berkali-kali sbg kuantifikasi, sementara hewan lain hanya muntah sekali.
- Utk obat antihipertensi, digunakan kucing atau anjing teranestesi, krn system
kardiovaskulernya paling mirip dg manusia
- Utk obat antiinflamasi digunakan baik tikus yang disuntik karagenan di bawah
kulitnya shg melepuh atau telinga mencit disuntik croton oil, bahkan kaki tikus sering
dipotong utk menimbang udem yg terbentuk
- utk antipiretik/penurun panas, digunakan kelinci utk diukur suhu duburnya setelah
disuntik pyrogen
- Utk asam urat digunakan ayam/burung yg dikasih makan jus hati ayam (ayam makan
ayam) krn metabolisme asam urat pada manusia mirip dg yg terjadi dg biokimiawi di
keluarga burung.
- Uji stamina digunakan tikus atau mencit, krn tubuhnya kuat dan tahan di dalam air,
hewan diuji dg berenang dan lari di treadmill.
- Utk uji kanker, digunakan punggung tikus yg diimplan dg sel kanker, atau paru-paru
tikus setelah dipejankan benzo(a)pirena
Hasilnya berupa : efek farmakologi, dosis terapi ED50=dosis yang menghasilkan 50%
efek maksimum.
(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA)
In vivo ( bahasa Latin untuk "dalam hidup") adalah eksperimen dengan menggunakan
keseluruhan, hidup organisme sebagai lawan dari sebagian organisme atau mati, atau in vitro
dalam lingkungan yang terkendali. Hewan pengujian dan uji klinis dua bentuk dalam
penelitian in vivo. Dalam vivo pengujian sering mempekerjakan lebih in vitro karena lebih
cocok untuk mengamati efek keseluruhan percobaan pada subjek hidup. Hal ini sering
dijelaskan oleh pepatah di veritas vivo.
Dalam biologi molekular in vivo sering digunakan untuk merujuk pada eksperimen
dilakukan di sel isolasi hidup bukan di seluruh organisme, misalnya, berasal dari sel-sel
kultur biopsi. Dalam situasi ini, istilah yang lebih spesifik adalah ex vivo . Setelah sel
terganggu dan bagian individu yang diuji atau dianalisis, ini dikenal sebagai in vitro. dalam
percobaan vivo dalam hidup; dalam studi in vitro dalam tabung reaksi.
Sebuah prosedur dilakukan in vitro ( bahasa Latin : dalam kaca) dilakukan tidak dalam hidup
organisme tetapi dalam lingkungan terkontrol, misalnya di dalam tabung reaksi atau cawan
Petri . Banyak percobaan biologi seluler dilakukan di luar organisme atau sel ; karena kondisi
pengujian mungkin tidak sesuai dengan kondisi di dalam organisme, ini dapat mengakibatkan
hasil yang tidak sesuai dengan situasi yang muncul dalam organisme hidup. Akibatnya, hasil
eksperimen tersebut sering dijelaskan dengan in vitro, bertentangan dengan in vivo.
Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel eksperimental pada
subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini cenderung untuk memfokuskan pada
organ , jaringan , sel , komponen sel, protein , dan / atau biomolekul . Dalam penelitian in
vitro yang lebih cocok dibandingkan in vivo penelitian untuk menyimpulkan mekanisme
biologis tindakan. Dengan variabel yang lebih sedikit dan perseptual diperkuat menyebabkan
reaksi halus, hasil yang umumnya lebih jelas.
Penerapan besar murah in vitro biologi molekular teknik telah menyebabkan pergeseran dari
in vivo penelitian yang lebih istimewa dan mahal dibandingkan dengan mitra molekulnya.
Saat ini, dalam penelitian in vitro adalah vital dan sangat produktif.
http://farmasi. com/2010/10/perbedaan-in-vivo-in-vitro-dan-ex-
vivo.html
Penelitian yang memanfaatkan hewan coba, harus menggunakan hewan percobaan yang
sehat dan berkualitas sesuai dengan materi penelitian. Hewan tersebut dikembang-biakkan
dan dipelihara secara khusus dalam lingkungan yang diawasi dan dikontrol dengan ketat.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan defined laboratory animals sehingga sifat genotipe,
fenotipe (efek maternal), dan sifat dramatipe (efek lingkungan terhadap fenotipe) menjadi
konstan. Hal itu diperlukan agar penelitian bersifat reproducible, yaitu memberikan hasil
yang sama apabila diulangi pada waktu lain, bahkan oleh peneliti lain.
Berbagai hewan kecil memiliki karakteristik tertentu yang relatif serupa dengan manusia,
sementara hewan lainnya mempunyai kesamaan dengan aspek fisiologis metabolis manusia.
Dalam penelitian kesehatan yang memanfaatkan hewan coba, juga harus diterapkan prinsip 3
R dalam protokol penelitian, yaitu: replacement, reduction,dan refinement.
Replacement adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah diperhitungkan secara
seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur untuk menjawab pertanyaan
penelitian dan tidak dapat digantikan oleh mahluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan.
Replacement terbagi menjadi dua bagian, yaitu: relatif (mengganti hewan percobaan dengan
memakai organ/jaringan hewan dari rumah potong, hewan dari ordo lebih rendah) dan
absolut (mengganti hewan percobaan dengan kultur sel, jaringan, atau program komputer).
Reduction diartikan sebagai pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin, tetapi
tetap mendapatkan hasil yang optimal. Jumlah minimum biasa dihitung menggunakan rumus
Frederer yaitu (n-1) (t-1) >15, dengan n adalah jumlah hewan yang diperlukan dan t adalah
jumlah kelompok perlakuan. Kelemahan dari rumus itu adalah semakin sedikit kelompok
penelitian, semakin banyakjumlah hewan yang diperlukan, serta sebaliknya. Untuk
mengatasinya, diperlukan penggunaan desain statistik yang tepat agar didapatkan hasil
penelitian yang sahih.
Metode Uji In Vitro merupakan metode uji absorbsi obat yang dilakukan di luar
tubuh makhlik hidup, dapat menggunakan organ terisolasi maupun lainnya. Uji in
vitro ini terdiri atas beberapa jenis: uji permeasi (uji difusi, metode usus terbalik,
maupun caco -2 cell monolayer), uji disolusi, maupun uji disintegrasi.
m=5–a
b
2. Menghitung secara langsung rasio dari dua nilai KKk yang diperoleh.
Rasio konsentrasi kematian pestisida B terhadap pestisida A untuk KKk =
kkk
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/47224/BAB%20II%20Tinjaua
n%20Pustaka_%20G11had.pdf?sequence=6
Sumber: kuliah pak israhnanto dan buku petunjuk praktikum modul herbal
8. Apa saja faktor2 dari subjek uji yang berpengaruh dalam in vitro dan in vivo?
2. Faktor eksternal
Meliputi suplai oksigen, pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang, suasana
asing atau baru, pengalaman hewan dalam penerimaan obat, keadaan ruangan tempat hidup
seperti suhu, kelembaban, ventilasai, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan), pemilihan
keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan atau organ untuk percobaan. Faktor-faktor
tersebut dapat mempengaruhi hasil percobaan, dan mempengaruhi efek farmakologinya,
apabila hewan yang sudah biasa di beri obat maka akan terlihat lebih rilex dan santai berbeda
dengan hewan percobaan yang masih baru dan masih asing makan akan lebih berontak dan
agresif, sehingga kita membutuhkan penelitian dan perawatan yang baik terhadap hewan
percobaan sebelum melakukan percobaan.
DAFTAR PUSTAKA
Malole, M.M.B, Pramono, C.S.U., (1989), “ Penggunaan Hewan-hewan
Percobaan Laboratorium”, Penelaah Maskudi Pertadireja, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Bioteknologi, IPB, Bogor.
3.b.1. PRINSIP
Sekelompok hewan uji dengan jenis kelamin yang sama diberikan dosis bertingkat
menggunakan metode fixed doses antara lain: 5, 50, 300 dan 2000 mg/kg (dosis dapat
ditambah hingga 5000 mg/kg). Dosis awal dipilih berdasarkan uji pendahuluan sebagai dosis
yang dapat menimbulkan gejala toksisitas ringan tetapi tidak menimbulkan efek toksik yang
berat atau kematian. Prosedur ini dilanjutkan hingga mencapai dosis yang menimbulkan efek
toksik atau ditemukan tidak lebih dari 1 kematian, atau tidak tampak efek toksik hingga dosis
yang tertinggi atau adanya kematian pada dosis yang lebih rendah.
3.b.2. PROSEDUR
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih (strain Sprague Dawley atau Wistar) atau
mencit (strain ddY atau BALB/c dan lain-lainnya). Umumnya digunakan tikus betina
karena sedikit lebih sensitif dibandingkan tikus jantan. Namun bila bahan uji (menurut
literatur) secara toksikologi atau toksikokinetik menunjukkan bahwa tikus jantan lebih
sensitif, maka jenis kelamin jantan harus digunakan untuk uji. Secara prinsip jika hewan
jantan digunakan maka diperlukan alasan yang kuat. Hewan diseleksi secara acak, diberi
tanda untuk identifikasi tiap-tiap hewan, dan dilakukan aklimatisasi sekurang-kurangnya 5
hari sebelum diberi perlakuan.
Sediaan uji dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai (misalnya aquadestilata, minyak
nabati). Tergantung dari formulasi bahan uji, pemilihan cairan untuk suspensi/emulsi yang
aqueous lebih dianjurkan dari pada larutan suspensi/emulsi yang larut dalam minyak
(minyak jagung) dan apabila menggunakan pelarut non aqueous maka karakteristik
toksisitas cairan pembawa sudah harus diketahui.
Hewan uji harus dipuasakan sebelum diberikan perlakuan (tikus dipuasakan selama 14-18
jam, namun air minum boleh diberikan; mencit dipuasakan selama 3-4 jam, air minum boleh
diberikan). Setelah dipuasakan, hewan ditimbang dan diberikan sediaan uji. Sediaan uji
diberikan dalam dosis tunggal dengan menggunakan sonde. Pada keadaan yang tidak
memungkinkan untuk diberikan dosis dengan satu kali pemberian, sediaan uji dapat
diberikan beberapa kali dalam jangka waktu pemberian zat tidak boleh melampaui 24 jam.
Setelah diberikan perlakuan, pakan boleh diberikan kembali setelah 3-4 jam untuk tikus dan
1-2 jam untuk mencit. Bila sediaan uji diberikan beberapa kali, maka pakan boleh diberikan
setelah perlakuan tergantung pada lama periode pemberian sediaan uji tersebut. Volume
cairan maksimal yang dapat diberikan tergantung pada ukuran hewan uji. Pada rodensia,
jumlah normalnya tidak melampaui 1 mL/100 g berat badan, namun bila pelarutnya air
(aqueous) dapat diberikan hingga 2 mL/100 g berat badan. Umumnya sediaan uji diberikan
dalam volume yang tetap selama pengujian (konsentrasi berbeda), akan tetapi jika bahan uji
berupa cairan atau campuran cairan, sebaiknya digunakan dalam bentuk tidak diencerkan
(konsentrasi tetap).
Tujuan dari uji pendahuluan adalah mencari dosis awal yang sesuai untuk uji utama. Dosis
awal pada uji pendahuluan dapat dipilih dari tingkatan fixed dose: 5, 50, 300 dan 2000 mg/kg
BB sebagai dosis yang diharapkan dapat menimbulkan efek toksik (Lampiran 1, 2).
Pemeriksaan menggunakan dosis 5000 mg/kg hanya dilakukan bila benar-benardiperlukan.
Diperlukan informasi tambahan yaitu data-data toksisitas in vivo dan in vitro dari zat-zat
yang mempunyai kesamaan secara kimiawi dan struktur. Jika informasi tersebut tidak ada,
maka dosis awalnya ditentukan sebesar 300 mg/kg BB. Interval waktu pengamatan sekurang-
kurangnya 24 jam pada setiap dosis dan semua hewan harus diamati sekurang-kurangnya
selama 14 hari. Bila kematian terjadi pada dosis 5 mg/kg BB, sehingga nilai cutt-off LD50
adalah 5mg/kg BB (masuk kategori 1 GHS) maka penelitian sudah harus dihentikan tanpa
perlu melakukan uji utama. Namun, jika diperlukan penegasan nilai LD50 maka prosedur
tambahan dapat dilakukan sbb: Pada hewan uji kedua diberikan dosis 5 mg/kg. Jika hewan
kedua ini mati, maka kategori 1 GHS terkonfirmasi dan percobaan dihentikan. Jika hewan
ini hidup, maka pemberian bahan uji dosis 5 mg/kg BB secara berurutan dilanjutkan kepada
3 hewan uji lainnya. Interval waktu pemberian antara satu hewan dengan hewan berikutnya
harus cukup agar dapat dilakukan penilaian apakah hewan tersebut akan tetap hidup atau
tidak. Jika hewan ke-3 mati (jika dihitung dari awal merupakan kematian kedua hewan uji),
maka pemberian bahan uji dihentikan dan tidak diteruskan kepada hewan ke-4 dan ke-5.
Berdasarkan Lampiran 2, maka bahan uji masuk kelompok A (kematian 2 atau lebih), dan
berlaku klasifikasi pada dosis 5 mg/kgBB (Kategori 1 jika ada 2 atau lebih kematian atau
Kategori 2 jika hanya ada 1 kematian).
Uji utama dilakukan dengan memperhatikan tingkat dosis dimana terjadi kematian pada uji
pendahuluan. Penentuan dosis antara setiap tingkatan didasarkan pada waktu terjadinya
gejala toksik. Pengujian tidak diteruskan pada dosis selanjutnya sampai diketahui apakah
hewan masih bertahan hidup atau mati (Lampiran 3, 4). Secara umum terdapat 3 pilihan yang
akan diambil: menghentikan uji, melanjutkan uji dengan dosis yang lebih tinggi atau
melanjutkan uji dengan dosis yang lebih rendah. Pada umumnya, klasifikasi bahan uji sudah
dapat ditentukan pada dosis awal dan uji selanjutnya tidak diperlukan. Pada uji ini
diperlukan sejumlah 5 ekor hewan uji untuk tiap tahapan dosis uji. Kelima ekor hewan
tersebut terdiri atas 1 ekor hewan dari uji pendahuluan dan 4 ekor hewan tambahan.
Interval waktu antara dosis uji ditentukan oleh onset, lama dan beratnya toksisitas. Peralihan
pemberian bahan uji pada tahap dosis berikutnya harus ditunda sampai diperoleh petunjuk
bahwa hewan uji tersebut bertahan hidup. Umumnya diperlukan interval waktu peralihan
selama 3-4 hari, namun dapat diperpanjang bila hasilnya tampak meragukan. Sehubungan
dengan animal welfare, bila akan menggunakan dosis diatas 5000 mg/kg, dipertimbangkan
bahwa dosis tersebut sangat relevan dengan kepentingan untuk melindungi manusia, hewan
atau lingkungan.
Jika pada uji pendahuluan tidak ada kematian pada tingkat dosis 2000 mg/kg dan pada uji
utama hanya 1 ekor atau tidak ada hewan yang mati pada tingkat dosis 2000 mg/kg, maka
tidak perlu diberikan dosis melampaui 2000 mg/kg.
3.b.2.7. Pengamatan
Hewan uji diobservasi secara individual sekurang-kurangnya pada 30 menit pertama setelah
pemberian sediaan uji, dan secara periodik setiap 4 jam selama 24 jam pertama dan sehari
sekali setelah itu selama 14 hari. Namun durasi pengamatan dapat bervariasi dan
diperpanjang tergantung dari reaksi toksik dan waktu onset serta lama waktu kesembuhan.
Waktu timbul dan hilangnya gejala toksisitas (khususnya jika ada kecenderungan tanda-tanda
toksik yang tertunda) harus dicatat secara sistematis dalam catatan individual yang dilakukan
untuk setiap hewan.
Pengamatan tambahan perlu dilakukan jika hewan menunjukkan gejala toksisitas secara
terus-menerus. Pengamatan yang dilakukan termasuk pada: kulit, bulu, mata, membran
mukosa dan juga sistem pernafasan, sistem syaraf otonom, sistem syaraf pusat, aktivitas
somatomotor serta tingkah laku. Selain itu, perlu juga pengamatan pada kondisi: gemetar,
kejang, salivasi, diare, lemas, tidur dan koma. Hewan dalam kondisi sekarat dan hewan
yang menunjukkan gejala nyeri yang berat atau tampak menderita harus dikorbankan.
Hewan uji yang dikorbankan atau ditemukan mati, waktu kematiannya harus dicatat. Hal-
hal yang harus diamati dalam periode observasi adalah:
b. Berat Badan
Berat badan masing-masing hewan harus dimonitor pada saat sebelum diberikan sediaan uji
dan sekurang-kurangnya seminggu setelahnya. Perubahan berat badan harus dianalisis. Pada
akhir penelitian, hewan yang masih bertahan hidup ditimbang dan kemudian dikorbankan.
c. Pemeriksaan Patologi
Seluruh hewan (termasuk yang mati selama penelitian maupun yang dimatikan) harus
dinekropsi. Semua perubahan gross patologi dicatat untuk setiap hewan uji. Pemeriksaan
mikroskopik dari organ yang menunjukkan adanya perubahan secara gross patologi pada
hewan yang bertahan hidup selama 24 jam atau lebih setelah pemberian dosis awal dapat
dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berguna.
Data masing-masing hewan harus tersedia dan semua data harus diringkas dalam bentuk
tabel yang menunjukkan dosis uji yang digunakan; jumlah hewan yang menunjukkan gejala
toksisitas; jumlah hewan yang ditemukan mati selama uji dan yang mati karena
dikorbankan; waktu kematian masing-masing hewan; gambaran dampak toksik dan waktu
dampak toksik; waktu terjadinya reaksi kesembuhan; dan penemuan nekropsi.