Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan
tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh
Clostridium tetani.Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease" (Harum,
2014). Setara dengan pernyataan Laksmi (2014), tetanus merupakan penyakit
infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani,
ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang- kejang otot rangka.
Penyakit ini tidak meyebar dari orang ke orang, tetapi melalui kotoran yang masuk
ke dalam luka.
2.2 Etiologi
Penyebab tetanus adalah Clostridum tetani yang dapat berkembang biak dan
memproduksi racun sehingga menimbulkan gangguan terhadap sistem saraf
manusia. (Manutu, et al., 2013). Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang
lurus, memiliki ukuran tubuh dengan panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4- 0,5 mikron.
Bakteri ini termasuk bakteri gram positif anaerobic berspora, yang mengeluarkan
eksotoksin. Eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Namun
yang menyebabkan penyakit tetanus adalah tetanospamin.Clostridium tetani ini
biasanya terdapat di tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang. Spora dari
clostridium tetani resisten terhadap panas. Selain itu biasanya terdapat antiseptis.
Sporanya dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249,80F (1210C) selama 10-15
menit. Sporanya juga resisten terhadap phenol dan agen kimia lainnya. Spora
Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh
karena terpotong, Gigi berlubang, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi
tali pusat (Tetanus Neonatorum) (Harum, 2014).
Ciri- ciri yang dapat ditemukan dari clostridium tetani adalah:

1. Clostridium tetani sensitif terhadap panas.


2. Anaerob obligat (tidak dapat mentolerir adanya oksigen) dan sangat
bergantung dengan yang namanya fermentasi.
3. Menyebabkan penyakit tetanus, karena spora bakteri ini masuk ke dalam
tubuh melalui luka terbuka dan berkecambah sekali di dalam.
4. Alat geraknya berupa flagela berputar. Organisasi flagella yang dimiliki
clostridium tetani ini adalah peritrichous yang berarti bahwa ada flagella
acak yang memiliki banyak macam di sekitar selnya.
5. Dapat ditemukan di tanah, debu, sedimen, tubuh manusia (saluran usus),
tubuh hewan.
6. Bentuk tubuh dari clostridium tetani ini adalah basil, atau berbentuk batang.
Umumnya tampak berbentuk seperti tongkat pemukul atau raket tenis.
7. Bersifat parasit.

Gambar 2.1 Clostridium Tetani


(sumber : https://agroteknologi.web.id/sains/bakteri-clostridium-tetani/)
2.3 Gejala Klinis
Menurut Laksmi (2014), periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7
hari). Pada 80-90% penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. Selang
waktu sejak munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut
periode onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara signifikan
menentukan prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi
<7 hari) menunjukkan makin berat penyakitnya. Tetanus memiliki gambaran klinis
dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot, dan ketidakstabilan otonom.
Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih dahulu pada kelompok otot dengan
jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat
masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan
otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit
tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus otot- otot trunkal meng akibatkan
opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat,
menghasilkan penampakan tidak simetris.

Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni

1. Lokalized tetanus ( Tetanus Lokal )


Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten,
pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal
inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya
ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya
menghilang secara bertahap.
2. Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa
inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti
dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk
adanya benda asing dalam rongga hidung
3. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan
komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala
timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering
dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter,
bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya
kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus
(Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot
punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa
terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam
otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa
mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan
darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal.
Klasifikasi gejala menurut Nugroho (2011) yaitu :
1. Stadium 1 : tanpa kejang tonik umum, trismus 3 cm.
2. Stadium 2 : kejang tonik umum bila dirangsang, trismus 3 cm atau lebih
kecil.
3. Stadium 3 : kejang tonik umum spontan, trismus 1 cm.
2.4 Patofisologi
Suasana yang memungkinkan organisme anaerob Clostridium Tetani
berpoliferasi disebabkan keadaan/porte d’entree antara lain : luka tusuk dalam
dan kotor serta belum terimunisasi, luka karena lalu lintas, luka bakar, luka
tembak, prawatan luka tali pusat yang tidak baik.

Clostridium tetani mengeluarkan toksik, toksin diabsorpsi pada ujung saraf


motorik dan melalui sumbu silindrik ke SSP

Dari susunan limfatik ke sirkulasi darah arteri dan masuk


ke SSP

Toksik bersifat neurotoksik/tetanospamin, tetanulisin,


menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit

Perubahan fisiologis intrakranial

Penekanan area Kejang tonik umum, Peningkatan


fokal kortikal kejang rangsang, permeabilitas
kejang spontan, kejang darah/otak
pada abdomen, dan
Kesulitan membuka retensi urine
mulut (trismus), kaku Proses
kuduk (epistotonus), inflamasi
kaku dinding perut, dan di
kaku tulang belakang Perubah Peruba Penurun jaringan
an han an otak
eliminasi mobili kemam (peningka
Sulit menelan/ uri dan tas puan tan suhu
menyusui alvi fisik batuk tubuh)

Intake nutrisi tidak kuat Ganggu Bersihan Hipeter


an Gang
guan jalan mi
pemenu napas
han mobi
Perubahan nutrisi litas tidak
kurang dari kebutuhan elimina efektif
si uri fisik
dan alvi
2.5 Penalaksanaan
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus menurut Laksmi (2014), antara lain :

1. Membuang sumber tetanospasmin.


Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk
mengurangi muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.
Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk
tujuan pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada penelitian di
Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan
kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15
mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari.
Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman Clostridium tetani
bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain
50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap
penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur
lebih dari 8 tahun). Penicillin membunuh bentuk vegetatif Clostridium
tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv,
setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus.
Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai
agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam
aminobutirat gama (GABA).
2. Menetralisasi toksin yang tidak terikat.
Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang
belum berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin
(HTIG) segera diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total 3.000- 10.000
unit, dibagi tiga dosis yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda.
Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG. Rekomendasi British National
Formulary adalah 5.000- 10.000 unit intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah
500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan secara
infiltrasi di tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena
waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan diberikan, makin
efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap
imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya;
trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak tersedia maka
digunakan ATS dengan dosis 100.000- 200.000 unit diberikan 50.000 unit
intra- muskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian
60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua
dan ketiga.
Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi
immunisasi aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari
tetanus tidak memiliki kekebalan.
3. Perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan
dengan jaringan telah habis dimetabolisme.
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek
toksin yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus
sebaiknya ditangani di ICU agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk
meminimalkan risiko spasme paroksimal yang dipresipitasi stimulus
ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang. Pasien
diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi.Cairan intravena harus
diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai
penuntun terapi.
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien
tersedasi lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil
kemungkinannya mengalami spasme otot. Diazepam efektif mengatasi
spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam
yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4
jam sesuai gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun
adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus
segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal untuk berat badan <10
kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat badan ≥10 kg, atau
diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti,
pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai keadaan
klinis.
Sedangkan menurut Muttaqin (2011), penatalaksanaan medis yang dapat
dilakukan pada penyakit tetanus antara lain :

1. Pencegahan
a. Bersihkan port d’entree dengan larutan H2O2 3%
b. Antitetanus Serum (ATS) 1500 U/IM
c. Toksoid Tetanus (TT) dengan memperhatikan statsus imunisasi.
d. Antimikroba pada keadaan yang beresiko poliferasi kuman
Clostridium tetani seperti pada patah tulang terbuka dan lainnnya.
2. Pengobatan
a. Antitetanus Serum (ATS)
 Dewasa 50.000 U/hari, selama 2 hari berturut-turut, (hari I)
diberikan dalam infus glukosa 5% 100 ml, (hari II) diberikan
IM lakukan uji kulit sebelum pemberian.
 Anak 20.000 U/hari, selama 2 hari. Pemberian secara drip
infus 40.000 U bisa dilakukan sekaligus melewati IV line.
 Bayi 10.000 U/hari, selama 2 hari. Pemberian secara drip
infus 20.000 U bisa dilakukan sekaligus melewati IV line.
b. Fenobarbital : dosis initial 50 mg (umur < 1 tahun) : 75 mg, (umur
> 1 tahun) dilanjutkan 5 mg/kg/BB/hari dibagi 6 dosis.
c. Diazepam dosis 4 mg/kg/BB/ hari dalam 6 dosis.
d. Largactil : dosis 4 mg/kg/BB/hari.
e. Antimikroba
f. Diet tinggi kalori tinggi protein bila trismus diberi diet cair melalui
NGT, membuat kejang, kolaborasi emberian obat penenang.
g. Debridemen luka, biarkan luka terbuka.
h. Oksigen 2 liter/menit.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik


Menurut Muttaqin (2011), pemeriksaan diagnostik dapat dilakukan melalui
pemeriksaan laboratorium berupa leukositosis ringan, peninggian tekanan cairan
otak, dan deteksi kuman sulit.
2.7 Sistem Penilaian Tetanus
Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus. Skala yang diusulkan Ablett
adalah yang paling banyak digunakan.

Tabel 2.1 Severitas Tetanus Berdasarkan Klasifikasi Ablett

Grade 1 (ringan)
Trimus ringan, spastisitas menyeluruh, tidak ada yag membahayakan respiasi,
tidak ada spasme, tidak ada disfagia.
Grade 2 (sedang)
Trismus sedang, rigiditas, spasme singkat, disfagia ringan, keterlibatan respiasi
sedang, frekuensi pernapasan > 30/menit.
Grade 3 (berat)
Trismus berat, rigiditas menyeluruh, spasme memanjang, disfagia berat,
serangan apnea, denyut nadi > 120/menit, frekuensi pernapasan > 40/menit
Grade 4 (sangat berat)
Grade 3 dengan ketidakstabilan otonom berat.
( Sumber :Laksmi, 2014 )

Selain skoring Ablett, terdapat sistem skoring untuk menilai prognosis


tetanus seperti Phillips score dan Dakar score. Kedua sistem skoring ini
memasukkan kriteria periode inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi
neurologis dan kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien.
Phillips score <9, severitas ringan; 9-18, severitas sedang; dan >18, severitas
berat. Dakar score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas
sedang dengan mortalitas 10-20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-
6, severitas sangat berat dengan mortalitas >50%.

Outcome tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang


tersedia. Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada
neonatus. Di fasilitas yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya
sedikit penelitian jangka panjang pada pasien yang berhasil selamat. Pemulihan
tetanus cenderung lambat namun sering sembuh sempurna, beberapa pasien
mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang menetap dan gangguan
keseimbangan, berbicara, dan memori.
Tabel 2.2 Phillips Score

( Sumber :Laksmi, 2014 )


Tabel 2.3 Dakar Score

Faktor Dakar Score


Prognosis Score 1 Score 2
Periode <7 hari ≥7 hari atau tidak diketahui
Inkubasi
Periode Onset <2 hari ≥2 hari
Tempat Masuk Umbilikus, luka bakar, Selain dari yang telah
uterus, fraktur terbuka, luka disebut, atau tidak diketahui
operasi, injeksi intramuskular
Spasme Ada Tdak ada
Demam >38,4 ‫ﹾ‬C <38,4‫ﹾ‬C
Takikardi Dewasa >120 kali/menit Dewasa >120 kali/menit
Neonatus >150kali/menit Neonatus >150kali/menit
( Sumber :Laksmi, 2014 )

2.8 Konsep Asuhan Keperawatan Kejang Tetanus


Pengkajian

a. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua
membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas
badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat penyakit sekarang

Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena unutk


mengetahui predisposisi penyebab sumber luka. Disini harus ditanya
dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan,
sembuh, atau bertambah buruk. Keluhan kejang perlu mendapat
perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat
timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan
tindakan apa yang telah diberikan dalam upaya menurunkan keluhan
kejang tersebut.

c. Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan


adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernakah klien mengalami tubuh terluka atau tertusuk yang dalam
misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkena keleng, atau luka yang
menjadi kotor karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau
kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar
dan patah tulang terbuka. Adakah porte d’entree lainya seperti luka gores
yang ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi berlubang dikorek
dengan benda yang kotor.

Pemeriksaan fisik

Menurut Muttaqin dalam bukunya yang berjudul “Buku Ajar Asuhan


Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan” adalah meliputi
anamnesis, riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan diagnostic
pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan di hubungkan
dengan keluhan-keluhan dari klien.

1. B 1 (Breathing)
Inspeksi ; apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas dan peningkatan frekuensi
pernafasan.
Palpasi ; taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi ; bunyi nafas tambahan seperti ronkhi karena peningkatan
produksi secret.
2. B 2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan syok hipolemik.
Tekanan darah normal, peningkatan heart rate, adanya anemis karena
hancurnya eritrosit.
3. B 3 (Brain)
a) Tingkat kesadaran
Compos mentis, pada keadaan lanjut mengalami penurunan menjadi
letargi, stupor dan semikomatosa.
b) Fungsi serebri
Mengalami perubahan pada gaya bicara, ekspresi wajah dan
aktivitas motorik.
c) Pemeriksaan saraf cranial
(1) Saraf I ; tidak ada kelainan, fungsi penciuman normal.
(2) Saraf II ; ketajaman penglihatan normal.
(3) Saraf III, IV dan VI ; dengan alasan yang tidak diketahui, klien
mengalami fotofobia atau sensitive berlebih pada cahaya.
(4) Saraf V ; reflek masester meningkat. Mulut mecucu seperti
mulut ikan (gejala khas tetanus)
(5) Saraf VII ; pengecapan normal, wajah simetris
(6) Saraf VIII ; tidak ditemukan tuli konduktif dan persepsi.
(7) Saraf IX dan X ; kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut (trismus).
(8) Saraf XI ; didapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan
leher (mendadak)
(9) Saraf XII ; lidah simetris, indra pengecap normal

d) Sistem motorik

Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi


mengalami perubahan.

e) Pemeriksaan refleks

Refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau


periosteum derajat refleks pada respon normal.

f) Gerakan involunter
Tidak ditemukan tremor, Tic, dan distonia. Namun dalam
keadaan tertentu terjadi kejang umum, yang berhubungan sekunder akibat
area fokal kortikal yang peka.

4. B 4 (Bladder)
Penurunan volume haluaran urine berhubungan dengan penurunan
perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

5. B 5 (Bowel)

Mual muntah karena peningkatan asam lambung, nutrisi kurang


karena anoreksia dan adanya kejang (kaku dinding perut / perut papan. Sulit
BAB karena spasme otot.

6. B 6 (Bone)
Gangguan mobilitas dan aktivitas sehari-hari karena adanya kejang
umum.
Diagonosa Keperawatan
1. Hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin jaringan
otak
2. Risiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang
(terhadap visual, suara, dan taktil)
3. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang
abdomen, trismus.
Intervensi Keperawatan

Hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin jaringan


otak
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam perawatan suhu menurun
Kriteria hasil : suhu tubuh normal 36-37‫ﹾ‬C
Intervensi Rasional
Monitor suhu tubuh klien Peningkatan suhu tubuh menjadi
stimulus pada kejang klien tetanus
Beri kompres dingin di kepala dan Memberkan respons dingin pada pusat
aksila pengatur panas dan pada pembuluh
darah besar.
Pertahankan bedrest total selama fase Mengurangi penngkatan proses
akut metabolisme umum yang terjadi pada
klien tetanus.
Kolaborasi pemberian terapi ; ATS dan ATSdapat mengurangi dampak toksin
antimiroba tetanus di jaringan otak dan
antimikroba dapat mengurangi
inflamasi sekunder dari toksin.

Risiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang


(terhadap visual, suara, dan taktil)
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam perawatan risiko kejang berulang tidak terjadi
Kriteria hasil : klien tidak mengalami kejang
Intervensi Rasional
Kaji stimulus kejang Merangsang cahaya dan meningkatkan
suhu tubuh
Hindarkan stimulus ahaya, kalau perlu Membantu menurunkan stimulus
klien ditempatka pada ruangan dengan rangsang kejang
pencahayaan yang kurang
Pertahankan bedrest total selama fase Mengurangi resiko jatuh/terluka jika
akut. vertigo, sincope, dan ataksia terjadi.
Kolaborasi pemberian terapi ; Mencegah atau mengurangi kejang
diazepam, phenobarbital

Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang abdomen,
trismus
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam nutrsi klien terpenuhi
Kriteria hasil : tidak adanya tanda malnutrisi dengan nilai laboratorium dalam
batas normal
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan klien dalam menelan, Menentukan kemampuan menelan
batuk, dan adanya sekret. klien danklien harus dilindungi dari
resiko aspirasi.
Berikan pengertian tentang pentngnta Memotivasi untuk memenuhi
nutrisi bagi tubuh. kebutuhan klien.
Auskultasi bowel sounds, amati Menentukan respons feeding atau
penurunan atau hiperaktivitas suara terjadinya komplikasi misalnya illeus
bowel.
Timbang berat badan sesuai indikasi Mengevaluasi efektivitas dari asupan
makanan.
Berikan makann dengan cara Menurunka resiko regurgitasi atau
meninggikan kepala. aspirasi.
DAFTAR PUSTAKA
https://agroteknologi.web.id/sains/bakteri-clostridium-tetani/
Harum, A. (2014). Dental Caries As A Risk Factor of Tetanus, 3. Retrieved from
juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/download/447/448
Laksmi, N. K. S. (2014). Penatalaksanaan Tetanus, 41(11), 823–827. Retrieved
from http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_222CPD-Penatalaksanaan
Tetanus.pdf
Manutu, J., Korah, B. H., & Pesak, E. (2013). Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan
Pemberian Imunisasi Tetanus Toxoid di Puskesmas Rurukan Kecamatan
Tomohon Timur Kota Tomohon, 31–36. Retrieved from
ejurnal.poltekkesmanado.ac.id
Muttaqin, A. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Nugroho, T. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah, Penyakit
Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai