Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

RDS (Respiratory Distress Syndrome) DI RUANG MELATI

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Disusun oleh :

OKSI ANJAR WINANTI

1811040071

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2018/2019
LAPORAN PENDAHULUAN

RDS (Respiratory Distress Syndrome)

A. DEFINISI
Respiratory Distress Syndrom (RDS) atau Sindrom Distres Pernapasan

merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi

yang baru lahir dengan masa gestasi kurang (Suriadi dan Yulianni, 2006). Secara klinis

bayi dengan RDS menunjukkan takipnea, pernapasan cuping hidung, retraksi interkosta

dan subkosta, expiratory grunting (merintih) dalam beberapa jam pertama kehidupan.

Tanda-tanda klinis lain, seperti: hipoksemia dan polisitema. Tanda-tanda lain RDS

meliputi hipoksemia, hiperkabia, dan asidosis respiratory atau asidosis campuran.

Sindrom Distres Pernapasan adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan

histologis yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang

kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan udara diantara usaha napas (Bobak,

2005).
Jadi berdasarkan dari beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa RDS adalah

penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dan ketidakmampuan sel untuk

menghasilkan surfaktan yang memadai.

B. ANATOMI FISIOLOGI PARU

Paru-paru merupakan alat pernapasan utama. Paru-paru terletak sedemikian rupa

sehingga setiap paru-paru berada di samping mediastinum. Oleh karenanya, masing-

masing paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan pembuluh-pembuluh besar

serta struktur-struktur lain dalam mediastinum. Masing-masing paru-paru berbentuk

konus dan diliputi oleh pleura viseralis. Paru-paru terbenam bebas dalam rongga
pleuranya sendiri, dan hanya dilekatkan ke mediastinum oleh radiks pulmonalis. Masing-

masing paru-paru mempunyai apeks yang tumpul, menjorok ke atas dan masuk ke leher

sekitar 2,5 cm di atas klavikula. Di pertengahan permukaan medial, terdapat hilus

pulmonalis, suatu lekukan tempat masuknya bronkus, pembuluh darah dan saraf ke paru-

paru untuk membentuk radiks pulmonalis. Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-

paru kiri dan dibagi oleh fisura oblikua dan fisura horisontalis menjadi 3 lobus, yaitu

lobus superior, medius dan inferior. Sedangkan paru-paru kiri dibagi oleh fisura oblikua

menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan inferior.

Paru –paru berasal dari titik tumbuh yang muncul dari pharynx, yang bercabang

dan kemudian bercabang kembali membentuk struktur percabangan bronkus. Proses ini

terus berlanjut terus berlanjut setelah kelahiran hingga sekitar usia 8 tahun sampai jumlah

bronkiolus dan alveolus akan sepenuhnya berkembang, walaupun janin memperlihatkan

adanya bukti gerakan nafas sepanjang trimester kedua dan ketiga. Ketidak matangan paru

–paru akan mengurangi peluang kelangsungan hidup bayi baru lahir sebelum usia24

minggu yang disebabkan oleh keterbatasan permukaan alveolus, ketidakmatangan sistem

kapiler paru –paru dan tidak mencukupinya jumlah surfaktan. Upaya pernapasan pertama

seorang bayi berfungsi untuk:

1. Mengeluarkan cairan dalam paru.


2. Mengembangkan jaringan alveolus paru –paru untuk pertama kali.
Agar alveolus daoat berfungsi, harus terdapat surfaktan yang cukup dan aliran

darah ke paru- paru. Produksi surfaktan dimulai pada 20 minggu kehamilan dan

jumlahnya akan meningkat sampai paru- paru matang sekitar 30 -34 minggu kehamilan.

Surfaktan ini mengurangi tekanan permukaan paru dan membantu untuk menstabilkan

dinding alveolus sehingga tidak kolaps pada akhir pernapasan. Tanpa surfaktan alveoli
akan kolaps setiap saat setelah akhir setiap pernapasan, yang menyebabkan sulit

bernapas. Peningkatan kebutuhan energi ini memerlukan penggunaan lebih banyak

oksigen dan glukosa. Berbagai peningkatan ini menyebabkan steress pada bayi yang

sebelumnya sudah terganggu.


Pada bayi cukup bulan, mempunyai cairan di dalam paru –parunya. Pada saat bayi

melalui jalan lahir selama persalinan, sekitar sepertiga cairan ini diperas keluar dari paru

–paru. Pada bayi yang dilahirkan melalui seksio sesaria kehilangan keuntungan dari

kompresi rongga dada dapat menderita paru- paru basah dalam jangka waktu lebih lama.

Dengan sisa cairan di dalam paru –paru dikeluarkan dari paru dan diserap oleh pembulu

limfe dan darah. Semua alveolus paru –paru akan berkembang terisi udara sesuai dengan

perjalanan waktu.

C. ETIOLOGI

Menurut Suriadi dan Yulianni (2006) etiologi dari RDS yaitu:

1. Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.


2. Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan pengembangan

kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap

berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih

belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan

mengalami sesak nafas.


3. Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam

proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), di fagosit oleh makrofag.


4. Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.
5. Adanya kelainan di dalam dan di luar paru. Kelainan dalam paru yang menunjukan

sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin

(PMH).
6. Bayi prematur atau kurang bulan. Diakibatkan oleh kurangnya produksi surfaktan.

Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, semakin muda usia

kehamilan, maka semakin besar pula kemungkinan terjadi RDS.

D. MANIFESTASI KLINIS

Diagnosis gagal nafas dapat ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan


dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan analisis gas darah. Gambaran klinis yang dapat
terjadi pada neonatus yang harus meningkatkan kewaspadaan klinisi akan terjadinya
gagal nafas antara lain (Carlo W, 2001) :
1. Peningkatan respirasi
2. Peningkatan usaha nafas
3. Periodic breathing
4. Apnea
5. Sianosis yang tidak berkurang dengan pemberian oksigen
6. Turunnya tekanan darah disertai takikardi, pucat, kegagalan sirkulasi yang diikuti
bradikardi
7. Penggunaan otot-otot pernafasan tambahan.
Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor
Silverman-Anderson dan skor Downes. Skor Silverman-Anderson lebih sesuai digunakan
untuk bayi prematur yang menderita hyaline membrane disease (HMD), sedangkan skor
Downes merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan dapat digunakan pada
semua usia kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap
setengah jam untuk menilai progresivitasnya (Mathai S, 2007).
Tabel Skor Downes
Skor
Pemeriksaan
0 1 2
Frekuensi napas < 60/menit 60-80/menit >80/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan O2 walaupun diberi O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu
Skor ≥ 6 : Ancaman gagal nafas
E. PATOFISIOLOGI
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk
berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis
dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama
disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan.
Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus
sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu memohon sisa udara
fungsional (kapasitas residu fungsional). Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang
merata dan jarang ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan
atau ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat
inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak dapat menjaga
parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk
mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi), sehingga untuk
bernapas berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan
disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali perapasan menjadi sukar
seperti saat pertama kali pernapasan (saat kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih
banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada ia terima dan ini
menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin
sedikit membuka alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini
dapat menyebabkan atelektasis.
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vaskular
resistem (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya, terjadi
hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di
samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi, darah
janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.
Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan vektilisasi pulmonal yang
menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi vaskularisasi pulmonal
yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat
sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang
menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan
epitel duktus alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan
terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Membran hialin ini melapisi
alveoli dan menghambat pertukaran gas.
Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida dari
sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan pH menyebabkan
vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan perfusi alveolar,
PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan menurun tajam, serta materi yang diperlukan
untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.
Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi normal,
asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan hipovolemia,
hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat
juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanaan
pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut (Asrining Surasmi,
dkk, 2003).
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan yang
terdiri dari : atelektasis  hipoksia  asidosis  transudasi  penurunan aliran darah
paru  hambatan pembentukan substansi surfaktan  atelektasis. Hal ini akan
berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi (Staf Pengajar IKA,
FKUI, 1985).

F. PATHWAY

Bayi lahir premature

Inadekuat surfaktan lapisan lemak belum terbentuk


pada kulit
Alveolus kolaps
Resiko gangguan termoregulasi
Ventilasi berkurang Hipoksia : hipotermia
Cedera paru Pembentukan membrane
Peningkatan usaha nafas
hialin
Edema
Takipnea
Pertukaran gas terganggu Mengendap di alveoli
Pola nafas tidak efektif

Reflek hisap menurun

Intake tidak adekuat Resiko kekurangan volume cairan

Kekurangan nutrisi

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Gambaran radiologis
Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto rontgen

toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan

penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran

hialin, misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika dan lain-lain. Gambaran klasik

yang ditemukan pada foto rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrate

retikulogranuler ini, makin buruk prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat

bahwa pemeriksaan radiologis ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini penyakit

membran hialin, walaupun manifestasi klinis belum jelas.


2. Gambaran laboratorium
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium diantaranya adalah:
a. Pemeriksaan darah
Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45

mg%, prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan

dengan bayi normal dengan berat badan yang sama. Kadar PaO 2 menurun

disebabkan kurangnya oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-
vena. Kadar PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2

sebagai akibat atelektasis paru. pH darah menurun dan defisit biasa meningkat

akibat adanya asidosis respiratorik dan metabolik dalam tubuh.


b. Pemeriksaan fungsi paru
Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik, frekuensi

pernapasan yang meninggi pada penyakit ini akan memperhatikan pula perubahan

pada fungsi paru lainnya seperti ‘tidal volume’ menurun, ‘lung compliance’

berkurang, functional residual capacity’ merendah disertai ‘vital capacity’ yang

terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.
c. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler
Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan beberapa

perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari

kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit),

menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik.


3. Gambaran patologi/histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan

membran hialin di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di samping itu terdapat

pula bagian paru yang mengalami enfisema. Membran hialin yang ditemukan

yang terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau

sel epitel ductus yang nekrotik.


H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medik tindakan yang perlu dilakukan
a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan

agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara meletakkan bayi dalam

inkubator. Kelembaban ruangan juga harus adekuat (70-80%).


b. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena

berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Pemberian O 2 yang terlalu


banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti : fibrosis paru, kerusakan retina

(fibroplasias retrolental), dll.


c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlut untuk mempertahankan

homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5-

10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125

ml/kg BB/hari. asidosis metabolik yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi

dengan memberikan NaHCO3 secara intravena.


d. Pemberian antibiotik. Bayi dengan RDS perlu mendapatkan antibiotik untuk

mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-

100.000 u/kg BB/hari atau ampisilin 100 mg/kg BB/hari, dengan atau tanpa

gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari.


e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien RDS adalah pemberian surfaktan

eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun harganya amat

mahal.
2. Penatalaksanaan keperawatan
Bayi dengan RDS adalah bayi prematur kecil, pada umumnya dengan berat

badan lahir 1000-2000 gram dan masa kehamilan kurang dari 36 minggu. Oleh

karena itu, bayi ini tergolong bayi berisiko tinggi. Apabila menerima bayi baru lahir

yang demikian harus selalu waspada bahaya yang dapat timbul. Masalah yang perlu

diperhatikan ialah bahaya kedinginan (dapat terjadi cold injury), risiko terjadi

gangguan pernapasan, kesuakran dalam pemberian makanan, risiko terjadi infeksi,

kebutuhan rasa aman dan nyaman (kebutuhan psikologik) (Ngastiyah, 2005).

I. KOMPLIKASI

Menurut Suriadi dan Yulianni (2006) komplikasi yang kemungkinan terjadi pada RDS

yaitu:
1. Komplikasi jangka pendek
a. Kebocoran alveoli

Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak,

pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema interstitial), pada bayi

dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea,

atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.

b. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya

perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana

tindakan invasif seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
c. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular: perdarahan

intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak

pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.


2. Komplikasi jangka panjang

Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan

yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju

ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi yaitu:

a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)

Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen

pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya

volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik,

adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat

dengan menurunnya masa gestasi.

b. Retinopathy prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang

berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan

adanya infeksi.

J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu, pernafasan mendengkur,

retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat,

hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada

awalnya suara nafas mungkin normal kemudian dengan menurunnya pertukaran

udara, nafas menjadi parau dan pernapasan dalam. Pengkajian fisik pada bayi dan

anak dengan kegawatan pernafasan dapat dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan

penilaian fungsi kardiovaskuler. Penilaian fungsi respirasi meliputi:

a) Frekuensi nafas

Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi.

Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha

kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok, diare,

dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi ginjal

kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada

hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya

keadaan klinik.

b) Mekanika usaha pernafasan


Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung,

retraksi dinding dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit

alveolar. Anggukan kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang

menandakan terjadi gangguan mekanik usaha pernafasan.

c) Warna kulit/ membran mukosa

Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat berbercak

(mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin.

b. Pemeriksaan penunjang
a) Foto rontgen thorak. Untuk mengetahui kemungkinan adanya kardiomegali

bila sistim lain bila terkena.


b) Pemeriksaan hasil analisa gas darah. Untuk mengetahui adanya hipoksemia,

hipokapnia, dan alkalosis respiratori ( pH >7,45) pada tahap dini.


c) Tes fungsi paru. Untuk mengetahui keadaan paru kanan dan paru kiri.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan dari RDS yang muncul menurut Suriadi dan Yulianni (2006)

yaitu:
1) Tidak efektif pola napas berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan

ventilator, dan posisi bantuan bentilator yang kurang tepat.


2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan imatur paru dan dinding dada

atau kurangnya jumlah cairan surfaktan.


3) Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan yang

tanpa disadari (IWL).


4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

ketidakmampuan menelan, motilitas gastrik menurun, dan penyerapan.


5) Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan penurunan lemak subkutan,

peningkatan upaya pernapasan sekunder akibat RDS.


Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

(NOC) (NIC)
Ketidakefektifan Pola nafas NOC : NIC
Batasan Karakteristik : Respiratory status : Ventilation Oxygen Therapy
 Bradipnea Setelah dilakukan tindakan Bersihkan mulut, hidung dan secret trake
keperawatan ..x.. jam Pertahankan jalan nafas yang paten
 Dispnea
 Siapkan peralatan oksigenasi
 Fase ekspirasi memanjang diharapkan pola nafas pasien
 Monitor aliran oksigen
teratur dengan kriteria :  Monitor respirasi dan status O2
 Ortopnea
 Pertahankan posisi pasien
 Penggunaan otot bantu pernafasan  Irama pernafasan teratur/ tidak sesak  Monitor volume aliran oksigen d
 Pernafasan dalam batas normal
 Penggunaan posisi tiga titik yang digunakan.
(dewasa: 16-20x/menit)  Monitor keefektifan terapi oksig
 Peningkatan diameter anterior-  Kedalaman pernafasan normal
 Suara perkusi jaringan paru diberikan
posterior  Observasi adanya tanda tanda hipoventila
normal (sonor)  Monitor tingkat kecemasan
 Penurunan kapasitas vital
 Cemas berkurang
 Penurunan tekanan ekspirasi kemungkinan diberikan terapi O2

 Penurunan tekanan inspirasi


 Penurunan ventilasi semenit
 Pernafasan bibir
 Pernafasan cuping hidung
 Pernafasan ekskursi dada
 Pola nafas abnormal (mis.,
irama, frekuensi, kedalaman)
 Takipnea

Faktor yang berhubungan


 Ansietas
 Cedera medulaspinalis
 Deformitas dinding dada
 Deformitas tulang
 Disfungsi neuromuskular
 Gangguan muskuluskeletal
 Gangguan Neurologis
(misalnya :
elektroenselopalogram(EEG)
positif, trauma kepala,
gangguan kejang)
 Hiperventilasi
 Imaturitas neurologis
 Keletihan
 Keletihan otot pernafasa
 Nyeri
 Obesitas
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Lowdermik. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta : EGC
Carlo W. Assisted ventilation. Dalam: Klaus M, Fanaroff A, penyunting. Care of the high-risk
neonate. Edisi 5. Philadelphia: Saunders; 2001. h. 277-300.
Mathai S, Raju C, Kanitkar C. Management of respiratory distress in the newborn.
MJAFI. 2007;63(269-72).

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 3. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.
Surasmi, A, dkk. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta : EGC.

Suriadi & Yuliani. 2006. Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan pada Anak Edisi
2. Jakarta : Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai