Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejang demam adalah kejang yang disertai demam atau terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal >38ºC) yang disebabkan suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling
sering dijumpai pada anak-anak, terutama pada golongan umur 6 bulan
sampai 5 tahun. Kejang demam dikelompokan menjadi dua, yaitu kejang
demam sederhana dan kejang demam kompleks (Dewanti, dkk. 2012).
Kejang demam sederhana adalah kejang general (tanpa gerakan fokal)
yang berlangsung kurang dari 15 menit dan hanya terjadi sekali selama
periode 24 jam dari demam pada anak yang secara neurologis normal.
Sebagian kejang demam adalah kejang demam sederhana, namun kejang
demam dengan onset fokal, durasi berkepanjangan, atau yang terjadi lebih
dari sekali pada penyakit demam yang sama dianggap sebagai kejang demam
kompleks (Nurindah, dkk. 2014)
WHO memperkirakan terdapat penyakit kejang demam lebih dari
21,65 juta penderita kejang demam dan lebih dari 216 ribu diantaranya
meninggal. Angka kejadian kejang demam bervariasi di berbagai negara.
Selain itu di Kuwait dari 400 anak berusia 1 bulan – 13 tahun dengan riwayat
kejang, yang mengalami kejang demam sekitar 77%. Insiden terjadinya
kejang demam diperkirakan mencapai 4-5% dari jumlah penduduk di
Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia angka
kejadian kejang demam lebih tinggi, seperti di Jepang dilaporkan antara 8,8%
kejadian kejang demam, 5-10% di India dan di 14% Di Guam. Hampir 80%
kasus kejang demam sederhana dan 20% kasus merupakan kejang demam
kompleks (WHO, 2013 dalam Saputra, dkk, 2019).
Data kejadian kejang demam di Indonesia masih terbatas. Kejadian
kejang demam di Indonesia disebutkan terjadi pada 2-5% anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun pada tahun 2012-2013 (Wibisono, 2015). Insiden dan
faktor predileksi kejang demam di Indonesia sama dengan negara lain. Kira-
kira satu sampai tiga anak dengan kejang demam pernah mempunyai riwayat
demam sebelumnya, dengan sekitar 75% terjadi pada tahun yang sama
dengan kejang demam pertama dan sekitar 90% terjadi pada tahun berikutnya
dengan kejang demam pertama. Demikian, secara kasar dapat diperkirakan
bahwa prevalensi kejang demam pada anak di Indonesia cukup banyak,
mengingat banyak faktor predileksi yang dapat menyebabkan kejang demam
(Udin, 2014 dalam Indriyani, 2017).
Kejang demam sangat berhubungan dengan usia, hampir tidak pernah
ditemukan sebelum usia 6 bulan dan setelah 6 tahun. Ada beberapa faktor
yang berhubungan dengan kejadian kejang demam. Diantaranya; umur, jenis
kelamin, suhu saat kejang, riwayat kejang dan epilepsi dalam keluarga dan
lamanya kejang (IDAI, 2009).
Angka kejadian kejang demam di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
pada tahun 2011 berkisar 715 kasus dari 216,253 balita dengan 4 diantaranya
meninggal. Sedangkan di Bantul terdapat 421 kasus kejang demam dan
terdapat 2 balita meninggal (Kemenkes, 2012 dalam Khoiriyani 2013).
Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda, pada anak yang
ambang kejangnya rendah kejang telah terjadi pada suhu 38ºC, sedangkan
pada anak dengan ambang kejang tinggi kejang baru terjadi pada suhu 40ºC
atau lebih. Kejang pada anak jika tidak segera di tangani dalam kondisi gawat
darurat akan menyebabkan kelainan anatomi otak hingga dapat menyebabkan
anak mengalami kecacatan atau kelainan neurologis (Waskitho, 2013). Selain
itu, kejang dapat menyebabkan menurunya tingkat kecerdasan. Sehingga
akan mengganggu pertumbuhan dan pekembangan anak secara normal
(Fuadi., Bahtera., Wijayahadi, 2010).
Menurut penelitian Fuadi., Bahtera., Wijayahadi (2010) sebagian
besar kasus kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi
epilepsi (2%-7%) dengan angka kematian 0,64%-0,75%. Kejang demam
dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan
pencapaian akademik. Hasil penelitian tentang penurunan tingkat intelegensi
paska bangkitan kejang demam tidak sama, 4% pasien kejang demam secara
bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat
intelegensi.
Ada beberapa faktor yang dapat mengakibatkan anak mengalami
kejang, salah satunya adalah demam. Kejang demam timbul pada suhu yang
tinggi, tetapi ada beberapa juga timbul pada suhu yang tidak terlalu tinggi.
Peningkatan suhu yang tinggi terjadi karena adanya peningkatan pusat
pengatur suhu di hipotalamus yang juga mengalami peningkatan tersebut
maka tubuh akan mengalami peningkatan. Sehingga adanya tuntutan tersebut
maka tubuh akan menjadi panas (Wardiyah et. al, 2016).
Meningkatnya suhu tubuh diatas nilai normal yaitu 37,5ºC disebut
hipertermia. Hipertermia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hipertermia
normal (fisiologis) dan abnormal (patologis). Hipertermi dalam keadaan
normal, misalnya peningkatan suhu setelah mandi air panas, anak menangis,
setelah makan, anak yang kurang minum atau cemas. Sedangkan hipertrmi
yang abnormal misalnya akibat penyakit (Marwan, 2017). Hipertermi dapat
memberikan dampak positif dan negatif kepada anak. Dampak positif
peningkatan suhu tubuh adalah sebagai mekanisme pertahanan yang
dibutuhkan sebagai salah satu bentuk perlawanan tubuh terhadap infeksi,
namun terjadinya hipertermi juga disertai dengan dampak negatif (Plipat,
2002 dalam Syahhaq, 2018).
Hipertermi jika tidak ditangani akan menyebabkan dampak yang
negatif kepada anak. Dampak negatif dari hipertermi yaitu terjadi
peningkatan penguapan cairan tubuh sehingga anak bisa kekurangan cairan
(dehidrasi) dan kemungkinan bisa kekurangan oksigen. Suhu diatas >41ºC
dapat menyebabkan hiperpireksia yang sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan berbagai perubahan metabolisme, fisiologi, dan akhirnya
berdampak pada kerusakan susunan saraf pusat. Pada awalnya anak tampak
menjadi gelisah disertai nyeri kepala, pusing, kejang, serta akhirnya tidak
sadar. Keadaan koma terjadi bila suhu >43ºC dan kematian terjadi dalam
beberapa jam bila suhu 43ºC sampai 45ºC (Plipat, 2002 dalam Syahhaq,
2018).
Melihat dari bahayanya hipertermi maka perawat harus segera
melakukan tindakan untuk menurunkan suhu tubuh. Peran perawat adalah
sebagai care giver dan educator yaitu memberikan pelayanan keperawatan
secara langsung kepada anak dengan cara kompres anak dengan air hangat,
memberi obat penurun panas sesuai dosis seperti paracetamol dan memberi
obat anti kejang sesuai dosis seperti diazepam. Selain itu, perawat harus
memberikan pendidikan berupa informasi kepada orangtua dan keluarga agar
informasi yang diperoleh akan berdampak positif bagi anak dan dapat
melalukan tindakan pencegahan kejang demam secara mandiri (Putra.,
Mulyadi., Ismanto. 2011).
Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mendukung upaya
kesehatan anak yang dicantumkan dalam PMK NO. 25 Tahun 2014 tentang
upaya kesehatan anak pasal 1 point 9 bahwasanya upaya kesehatan anak
adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan anak dalam bentuk pencegahan penyakit,
pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah, pemerintah
daerah dan/atau masyarakat (Permenkes, 2014).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Bangsal Al Ikhlas
PKU Muhammadiyah Bantul pada tanggal 4 – 16 Februari 2019 penulis
memperoleh data bahwa angka kejadian Kejang Demam Sederhana (KDS)
selama 2 minggu di temukan sebanyak 9 orang anak yang menderita Kejang
Demam Sederhana (KDS) dengan diagnosis keperawatan prioritas hipertermi,
terapi yang diberikan pada pasien hipertermi rata-rata diberikan obat anti
piretik dan menganjurkan keluarga untuk kompres air hangat namun ketika
pasien mengalami peningkatan suhu tubuh yang tinggi maka dikonsulkan dan
diberikan paracetamol dan diazepam untuk penurun panas.
Penelitian yang meneliti asuhan keperawatan pada kejang demam
sederhana sudah dilakukan oleh Fuadi., Bahtera., Wijayahadi (2010) dan
Putra., Mulyadi., Ismanto (2011). Penelitian yang meneliti tentang asuhan
keperawatan pada kejang demam sederhana sudah banyak dilakukan, tetapi
banyak faktor dan kelompok umurnya berbeda. Kebanyakan penelitian
asuhan keperawatan dilakukan pada anak usia yang kurang dari tahun,
sedangkan penelitian asuhan keperawatan yang membandingkan antara usia
<2 tahun dan >2 tahun masih sangat terbatas dilaporkan dalam jurnal ilmiah.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan asuhan
keperawatan pasien dengan gangguan hipetermi pada Kejang Demam
Sederhana (KDS) di ruang Al-Ikhlas PKU Muhammadiyah Bantul.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam
karya ilmiah akhir ners ini adalah “Bagaimanakah asuhan keperawatan anak
dengan hipetermi pada Kejang Demam Sederhana (KDS) di bangsal Al-
Ikhlas PKU Muhammadiyah Bantul?”.
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners ini adalah mampu
melakukan asuhan keperawatan pada anak dengan hipetermi pada Kejang
Demam Sederhana (KDS) di bangsal Al-Ikhlas PKU Muhammadiyah
Bantul.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian karya ilmiah akhir ners ini adalah agar mampu:
a. Melakukan pengkajian pada anak dengan hipertermi pada Kejang
Demam Sederhana (KDS).
b. Menganalisa masalah keperawatan pada anak dengan hipertermi pada
Kejang Demam Sederhana (KDS).
c. Merencanakan tujuan dan tindakan keperawatan pada anak dengan
hipertermi pada Kejang Demam Sederhana (KDS).
d. Mengimplementasikan tindakan keperawatan pada anak dengan
hipertermi pada Kejang Demam Sederhana (KDS).
e. Mengevaluasi dan mendokumentasikan hasil tindakan keperawatan
pada anak dengan hipertermi pada Kejang Demam Sederhana (KDS).
D. Manfaat
1. Teoritis
Dapat dijadikan sebagai sebagai tambahan referensi oleh instansi
pendidikan dalam peningkatan mutu pendidikan kesehatan khususnya
pada mata ajar keperawatan anak mengenai materi khususnya sistem
neurologi atau persarafan.
2. Praktis
a. Bagi manajemen Rumah Sakit
Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai asuhan keperawatan pada pasien Kejang Demam Sederhana
(KDS) dengan hipertermi sehingga dapat dijadikan acuan bagi
pelayanan Rumah Sakit untuk mencegah terjadinya KDS serta
mengurangi komplikasi agar pelayanan yang diberikan di Rumah
Sakit meningkat.
b. Bagi perawat
Diharapkan hasil Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners (KIAN) ini dapat
dijadikan sebagai salah satu bahan masukan bagi perawat dan dapat
dijadikan acuan untuk melakukan intervensi yang tepat pada pasien
Kejang Demam Sederhana (KDS) dengan hipertermi.
c. Bagi orangtua
Diharapkan Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners (KIAN) dapat menambah
informasi bagi pasien yang sedang mengalami hipetermi dengen
Kejang Demam Sederhana (KDS).
d. Peneliti selanjutnya
Diharapkan dapat digunakan sebagai acuan data dasar bagi peneliti
lain tentang pemberian asuhan keperawatan pada pasien Kejang
Demam Sederhana (KDS) dengan hipertermi.
E. Ruang Lingkup
1. Pasien
Pasien dalam Karya Ilmiah Akhir Ners ini adalah 2 orang anak usia tiga
tahun dan satu tahun dengan masalah keperawatan hipertermi diagnosis
medis Kejang Demam Sederhana (KDS).
2. Tempat
Tempat pelaksanaan Karya Ilmiah Akhir Ners ini adalah di Bangsal Al-
Ikhlas PKU Muhammadiyah Bantul.
3. Materi
Ruang lingkup materi pada karya tulis ilmiah ini termasuk dalam lingkup
materi keperawatan anak. Ruang lingkup materi pada karya tulis ilmiah
ini adalah asuhan keperawatan pada pasien anak dengan kasus hipertermi
berhubungan dengan penyakit pada diagnosis Kejang Demam Sederhana
(KDS).
4. Waktu
Karya Ilmiah Akhir Ners ini dilakukan mulai bulan Februari 2019 sampai
dengan bulan April 2019.
BAB II

TINJAUAN TEORI
A. Kejang Demam Sederhana
1. Pengertian
Kejang demam adalah kejang yang disertai demam atau terjadi
pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal >38ºC) yang disebab suatu
proses ekstrakranium. Kejang demam merupakan salah satu penyakit
yang sering terjadi pada anak. Kejang demam umumnya terjadi pada
anak yang berusia 6 bulan sampai 5 tahun. Kejang demam merupakan
kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak. Kejang
demam dikelompokan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana
dan kejang demam kompleks (Dewanti, dkk. 2012).
Kejang demam merupakan gangguan transien pada anak-anak
yang terjadi bersamaan dengan demam. Keadaan ini merupakan salah
satu gangguan neurologik yang paling sering dijumpai pada masa
kanak-kanak dan menyerang sekitar 4% anak. Pada setiap anak
memiliki ambang kejang yang berbeda-beda, hal ini tergantung dari
tinggi serta rendahnya ambang kejang seorang anak. Anak dengan
kejang rendah pada suhu 38ºC, tetapi anak dengan ambang kejang
yang tinggi terjadi pada suhu 40ºC (Sodikim, 2012 dalam Indriyani,
2017).
2. Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam
sederhana dan kejang demam kelompok, berikut penjelasanya:
a. Kejang demam sederhana
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang
berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan
berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik,
tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh
kejang demam (Riyadi & Suharsono, 2010). Dikatakan kejang
demam sederhana, apabila:
1) Dikeluarga penderita tidak ada riwayat epilepsi.
2) Sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyakit
apapun.
3) Serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6
bulan-6 tahun.
4) Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas neurologi atau
abnormalitas perkembangan.
b. Kejang demam kompleks
Kejang demam kompleks merupakan kejang yang berlangsung
lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan
diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang demam
kompleks terjadi pada 8% kejang demam (Riyadi & Suharsono,
2010).
3. Etiologi
Menurut Riyadi & Suharsono (2010) dan Fuadi (2010) etiologi kejang
demam ada enam, yaitu: demam, usia, riwayat keluarga, faktor
prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil
primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia,
bayi berat lahir rendah, partus lama, cara lahir), dan faktor paskanatal
(kejang akibat toksik, trauma kepala).
a. Demam
Anak dengan demam lebih dari 39ºC mempunyai risiko untuk
mengalami demam 4,5 kali lebih besar dibandingkan anak yang
mengalami demam kurang dari 39ºC. Anak dengan lama demam
kurang dari dua jam untuk terjadinya bangkitan kejang demam 2,4
kali lebih besar dibandingkan anak yang mengalami demam lebih
dari dua jam (Fuadi., Bahtera., Wijayahadi. 2010).
Demam tinggi dapat mempengaruhi perubahan konsentrasi ion
natrium intraseluler akibat Na* influx sehingga menimbulkan
keadaan depolarisasi, disamping itu demam tinggi dapat
menurunkan kemampuan inhibisi akibat kerusakan neuron
GABA-nergik (Fuadi., Bahtera., Wijayahadi. 2010).
b. Usia
Usia paling rentan usia 3 bulan-5 tahun. kejang demam lebih
sering terjadi pada 2-2 tahun awal kehidupan. Pada otak yang
belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi, berpotensi untuk
terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.
Developmental window merupakan masa perkembangan otak fase
organisasi yaitu pada waktu anak berumur kurang dari dua tahun
sehingga anak yang mengalami serangan kejang demam pada
umur di bawah dua tahun mempunyai risiko terjadi bangkitan
kejang demam berulang (Fuadi., Bahtera., Wijayahadi. 2010).
c. Faktor genetika
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait
dengan kejang demam. Bila kedua orangtuanya tidak mempunyai
riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko terjadi
kejang demam hanya 9%, apabila salah satu orangtua penderita
dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai
risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam 20%-22%. Apabila
kedua orangtua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan
kejang demam meningkat menjadi 59%-64% (Fuadi., Bahtera.,
Wijayahadi. 2010).
d. Faktor prenatal
1) Usia saat ibu hamil
Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan
bayi yang akah dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi
kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan dan
persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir
rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut
dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia. Pada asfiksia akan
terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron
eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan
yang memadai (Fuadi., Bahtera., Wijayahadi. 2010).
2) Riwayat pre-eklamsi pada ibu
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta
previa dan eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi.
Eklamsia dapat terjadi pada kehamilan primipara atau usia
pada saat hamil diatas 30 tahun. penelitian terhadap penderita
kejang pada anak, mendapatkan angka penyebab karena
eklamsi sebesar (9%). Asfiksia disebabkan adanya hipoksia
pada bayi yang dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi
pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta
berkurang, sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan
intrauterin dan bayi berat lahir rendah (Fuadi., Bahtera.,
Wijayahadi. 2010).
3) Hamil primi/multipara
Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang.
Insiden kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal
ini kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering
terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan dapat terjadi
juga pada kehamilan multipara. Penyulit persalinan dapat
menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang dapat
berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi
perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat menimbulkan
kerusakan otak dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya
(Fuadi., Bahtera., Wijayahadi. 2010).
4) Pemakaian bahan toksik
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin atau
kehamilan ibu, seperti menelan obat-obat tertentu yang dapat
merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau
mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat
menyebabkan kejang. Merokok dapat mempengaruhi
kehamilan dan perkembangan janin, bukti ilmiah menunjukan
bahwa merokok selama kehamilan meningkatkan risiko
kerusakan janin. Dampak lain dari merokok pada saat hamil
adalah terjadinya plasenta previa. Plasenta previa dapat
menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau
persalinan dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio
saseria. Keadaan ini dapat menyebabkan trauma lahir yang
berakibat terjadinya kejang (Fuadi., Bahtera., Wijayahadi.
2010).
e. Faktor perinatal
1) Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau
perdarahan intrakranial. Pada asfiksia perinatal akan terjadi
hipoksia dan iskemia di jaringan otak. Hipoksia dan iskemia
akan menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler
sehingga terjadi edema otak. Daerah yang sensitif terhadap
hipoksia adalah int-inti pada batang otak, talamus, dan
kollikulus inferior, sedangkan terhadap iskemia adalah
“watershead area” yaitu daerah parasagital hemisfer yang
mendapat vaskularisasi paling sedikit. Hipoksia dapat
menyebabkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya
fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada
rangsangan yang memadai (Riyadi & Suharsono, 2010)
2) Bayi berat lahir rendah
BBLR dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak dan
perdarahan intraventrikuler. Iskemia otak dapat menyebabkan
kejang. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan
metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan
ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal.
Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada
perkembangan selanjutnya. Trauma kepala selama melahirkan
pada bayi dengan BBLR kurang 2500 gram dapat terjadi
perdarahan intrakranial yang mempunyai risiko tinggi terjadi
komplikasi dengan manifestasi kejang (Riyadi & Suharsono,
2010).
3) Partus lama
Partus lama yaitu kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari
1 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan risiko
terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi
klinis dari cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang
(Riyadi & Suharsono, 2010).
4) Cara lahir (forcep, vakum, seksio sesaria)
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat
dan kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau
cedera mekanik pada kepala bayi. Trauma lahir dapat
menyebabkan perdarahan subdural, subaraknoid dan
perdarahan intraventrikuler. Persalinan yang sulit terutama bila
terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat
menyebabkan perdarahan subdural. Perdarahan subaraknoid
dapat terjadi pada bayi prematur dan bayi vukup bulan karena
trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan tersebut dapat
berupa iritabel dan kejang (Riyadi & Suharsono, 2010).
f. Faktor paskanatal
1) Kejang akibat toksik
Beberapa jenis obat psikotropik dan zat toksik seperti Co, Cu,
Pb dan lainya dapat memacu terjadinya kejang. Beberapa jenis
obat dapat menjadi penyebab kejang, yang diakibatkan racun
yang dikandungnya atau adanya konsumsi yang berlebihan.
Termasuk didalamnya alkohol, obat anti-epileptik, opinum,
obat anestetik, dan anti-depresan. Racun yang berada pada
obat dapat mengendap dan menyebabkan kejang (Fuadi.,
Bahtera., Wijayahadi. 2010).
2) Cedera kepala
Trauma memberikan dampak pada jaringan otak yang dapat
bersifat akut dan kronis. Pada trauma yang ringan dapat
menimbulkan dampak yang muncul dikemudian hari dengan
gejala sisa neurologik parese nervus cranialis, serta cerebral
palsy dan retardasi mental (Fuadi., Bahtera., Wijayahadi.
2010).
g. Penyakit infeksi
Menurut Riyadi & Suharsono (2010) bakteri dan virus yang
menjadi penyebab dari kejang demam yaitu:
1) Bakteri : penyakit pada traktus respiratorius, pharingitis,
tonsilitis, otitis media.
2) Virus : varicella (cacar), morbili (campak), dengue (virus
penyebab demam berdarah).
h. Gangguan metabolisme
Serangan kejang dapat terjadi dengan adanya gangguan pada
konsentrasi serum glokuse, kalsium, magnesium, potassium
dan sodium. Beberapa kasus hiperglikemia yang disertai status
hiperosmolar non ketotik merupakan faktor risiko penting
penyebab epilepsi di Asia, sering kali menyebabkan kejang
(Fuadi., Bahtera., Wijayahadi. 2010).
4. Manifestasi Klinis
Menurut Wulandari & Erawati (2016) manifestasi kejang demam
yaitu:
a. Kejang demam mempunyai kejadian yang tinggi pada anak yaitu
34%.
b. Kejang biasanya singkat, berhenti sendiri, banyak dialami oleh
anak laki-laki.
c. Kejang timbul dalam 24 jam setelah suhu badan naik diakibatkan
infeksi di susunan saraf pusat seperti otitis media dan bronkitis.
d. Bangkitan kejang berbentuk tonik-klonik.
e. Takikardi; pada bayi, frekuensi sering di atas 150-200 kali
permenit.
5. Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya
pelepasan muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena
gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa fisiologi,
biokimiawi maupun anatomi (Fuadi., Bahtera., Wijayahadi. 2010).
Sel syaraf seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai
potensial membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara
intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan
dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar
antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama
selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini
terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na*,
K* dan Ca₊₊. Bila sel syaraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi
listrik akan mengakibatkan menurunya potensial membran. Penurunan
potensial membran ini akan menyebabkan permeabilitas membran
terhadap ion Na* akan meningkat, sehingga Na+ akan lebih banyak
masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan potensial
membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan
ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat.
Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang
disebut respon lokal. Bila rangsangan cukup kuat perubahan potensial
dapat mencapai ambang tetap (firing level), maka permeabilitas
membran terhadap Na+ akan meningkat secara besar-besaran pula,
sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini
akan dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap dengan
perantara zat kimia yang dikenal dengan neurotransmitter. Bila
perangsangan telah selesai, maka permiabilitas membran kembali ke
keadaan istirahat, dengan cara Na+ akan kembali ke luar sel dan K+
masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang
membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen (Fuadi.,
Bahtera., Wijayahadi. 2010).
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-
K, misalnya pada hipoksemia, iskemia dan hipoglikemia.
Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP
dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya
hipokalsemia dan hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi
dibandingkan dengan neurotransmitter inhibisi dapat
menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya
ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan
menimbulkan kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui,
diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi
kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih
cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan
hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga
Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan
potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf
meningkat (Fuadi., Bahtera., Wijayahadi. 2010).
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di
otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam
akan menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak
makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan
sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat
aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan
mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak.
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai
berikut:
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang
belum matang atau immatur.
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang
menyebabkan gangguan permiabilitas membran sel.
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam
laktat dan CO² yang akan merusak neuron.
d. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta
meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga
menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
akan meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih
dari 15 menit) biasanya diikuti dengan apneu, hipoksemia (disebabkan
oleh meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot
skelet), asidosis laktat (disebabkan oleh metabolisme anaerobik),
hiperkapneu, hipoksi arterial, dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat (Fuadi., Bahtera., Wijayahadi. 2010).
6. Komplikasi
Komplikasi kejang demam menurut Waskitho (2013) adalah:
a. Kerusakan neorotransmiter
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat
meluas keseluruh sel ataupun membran sel yang menyebabkan
kerusakan pada neuron.
b. Epilepsi
Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapatkan serangan kejang yang berlangsung lama dapat
menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan
epilepsi yang spontan.
c. Kelainan anatomi di otak
Serangan kejang yang berlangsung lama yang dapat menyebabkan
kelainan di otak yang lebih banyak terjadi pada berumur 4 bulan
sampai 5 tahun.
d. Kecacatan atau kelainan neurologis karena disertai demam.
7. Pathway

Infeksi bakteri, virus Rangsangan mekanik dan biokimia atau


dan parasit gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

Proses demam Perubahan konsentrasi ion di ruang


ekstraseluler

hipertermia
Ketidak seimbangan potensial Kelainan
membran ATP ASE neurologis
perinatal/prenatal
Risiko kejang
berulang Difusi Na* dan K*

Risiko jatuh

Risiko jatuh Risiko cedera kejang


Risiko cedera

>15 menit
< 15 menit

Perubahan suplay
Tidak darah ke otak
menimbulkan
gejala sisa

Risiko kerusakan
sel neuron otak

Ketidakefektifan
perfusi jaringan
cerebral
(Sumber: Ngastiyah (2014)., (Fuadi., Bahtera., Wijayahadi. 2010).
Gambar 2.1 Pathway Kejang Demam Sederhana (KDS)

8. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang pada anak yang mengalami kejang demam
adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan laboratorium
Pada anak yang mengalami kejang demam yang bertujuan untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam atau keadaan lain
misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam dan
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah lengkap,
elektrolit serum, kadar gula darah, serum kalsium, fosfor,
magnesium, kadar blood urea nitrogen (BUN) dan urinalisis.
Pemeriksaan lain yang mungkin dapat membantu adalah kadar
antikonvulsan dalam darah pada anak yang mendapat pengobatan
untuk gangguan kejang serta pemeriksaan kadar gula darah bila
terdapat penurunan kesadaran berkepanjangan setelah kejang
(Arief 2015, dalam Sudarto 2018).
b. Pungsi lumbal
Pada anak kejang demam sederhana yang berusia <18 bulan
sangat disarankan untuk dilakukan observasi dan pemeriksaan
lebih lanjut seperti pungsi lumbal karena merupakan pemeriksaan
cairan serebrospinal yang dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis serta pada anak yang
memiliki kejang demam kompleks (Arief 2015, dalam Sudarto
2018).
c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian
epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya, tidak
direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada
keadaan kejang demam yang tidak khas, misalnya kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam
fokal (Widodo, 2011 dalam Indriyani 2017).
d. Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography
scan (CT scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang
sekali dikerjakan, tidak rutin, dan hanya atas indikasi seperti:
1) Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis).
2) Paresis nervus VI.
3) Papilledema.
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kejang demam adalah sebagai berikut:
a. Penatalaksanaan medis menurut Wulandari & Erawati (2016)
yaitu:
1) Bila pasien datang dalam keadaan kejang obat utama adalah
diazepam untuk memberantas kejang secepat mungkin diberi
secara IV (intravena), IM (intra muskular), dan rektal. Dosis
sesuai BB: <10 kg; 0,5,0,75 mg/kg dengan minimal dalam
spuit 7,5 mg, >20 kg ; 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata dipakai
0,3 mg/kg BB/kali dengan maksimal 5 mg pada anak berumur
kurang dari 5 tahun dan 10 mg pada anak yang lebih besar.
Cara memberikan anti kejang via rectal:
a) Olesi ujungnya dengan vaselin atau minyak kelapa.
b) Posisi klien miring.
c) Masukan ke anus, jika sudah masuk semua ke dalam
anus pencet sampai habis tapi secara pelan-pelan.
d) Saat dicabut obat tetap dalam keadaan di pencet untuk
menghindari terhisapnya cairan obat.
2) Untuk mencegah edema otak, berikan kortikosteroid dengan
dosis 20-30 mg/kg BB/hari dan dibagi dalam 3 dosis atau
sebaiknya glukortikoid misalnya deksametazon 0,5-1 ampul
setiap 6 jam.
3) Setelah kejang teratasi dengan diazepam selama 45-60 menit
disuntikan antipileptik dengan daya kerja lama misalnya
fenoberbital, defenihidation diberikan secara intramuskular.
Dosis awal neonatus 30 mg, umur satu bulan-satu tahun 50
mg, umur satu tahun ke atas 75 mg.
b. Tindakan keperawatan pada kejang demam di Rumah sakit
menurut Riyadi & Suharsono (2010) adalah sebagai berikut:
1) Saat terjadi serangan mendadak yang harus diperhatikan
pertama kali adalah: ABC (Airway, Breathing, Circulation).
2) Setelah ABC aman, baringkan klien di tempat yang rata untuk
mencegah terjadinya perpindahan posisi tubuh ke arah
DANGER.
3) Atur posisi klien dalam posisi terlentang di miringkan untuk
mencegah aspirasi, jangan tengkurap.
4) Tidak perlu memasang sundip lidah, karena risiko ludah
tergigit kecil. Selain itu juga sundip lidah dapat membatasi
jalan napas.
5) Singkirkan benda-benda yang berbahaya.
6) Pakaian dilonggarkan, agar jalan napas adekuat saat terjadi
distensi abdomen.
7) Jika suhu tubuh >38,5ºC dan jika sudah memungkinkan
diberikan anti piretik (ibuprofen).
8) Setelah klien sadar dan terbangun berikan minuman air hangat.
c. Tindakan keperawatan pada kejang demam karena hipertermi
menurut Riyadi & Suharsono (2010) adalah sebagai berikut:
1) Pertama kali ketahui riwayatnya terdahulu:
a) Jika klien pernah kejang sebelumnya, secepatnya
berikan antipiretik (ibuprofen) untuk mencegah jatuh
ke status kejang
b) Ibuprofen diberikan jika suhu tubuh mencapai 38-
39,5ºC
2) Berikan kompres air hangat secara intensif.
3) Jangan diberi selimut tebal karena uap panas akan sulit untuk
dilepaskan.
4) Setelah klien sadar dan terbangun berikan minum air hangat
10. Discharge Planning
Discharge Planning menurut Riyadi & Suharsono (2010) adalah
sebagai berikut:
a. Ajarkan pada orangtua mengenal tanda-tanda kekambuhan dan
laporkan dokter atau perawat.
b. Intruksikan untuk memberikan pengobatan sesuai dengan dosis
dan waktu.
c. Ajarkan bagaimana mengukur suhu tubuh dan intervensi.
d. Intruksikan untuk kontrol ulang.
e. Jelaskan faktor penyebab demam dan menghindari faktor
pencetus.
B. Konsep Asuhan Keperawatan pada Kasus Kejang Demam Sederhana
1. Pengkajian
Menurut (Dermawan, 2012 dalam Nurlitasari, 2014)
pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien,
agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah kebutuhan
kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik mental, sosial dan
lingkungan.
Pengkajian kejang demam menurut Riyadi (2009):
1) Data subyektif
a) Biodata/identitas
Biodata anak mencakup nama, jenis kelamin. Biodata orangtua
perlu ditanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi:
umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan
dan alamat.
b) Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit yang diderita sekarang
1. Jenis, lama dan frekuensi kejang.
2. Demam yang menyertai, dengan mengetahui ada
tidaknya demam yang menyertai kejang, maka
diketahui apakah infeksi memegang peranan dalam
terjadinya bangkitan kejang.
3. Jarak antara timbulnya kejang dengan demam.
4. Lama serangan.
5. Pola serangan, apakah bersifat umum, fokal, tonik,
klonik.
6. Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan.
7. Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau
rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang
misalnya lapar, mual, muntah, sakit kepala dan lain-
lain.
8. Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah penderita
segera sadar, tertidur, kesadaran menurun, ada
paralisem, menangis.
b. Riwayat penyakit terdahulu
Ditanyakan apakah penderita mengalami kejang
sebelumnya umur berapa kejang terjadi untuk pertama
kali, dan bera frekuensi kejang pertahun.
c. Riwayat kehamilan dan persalinan
Keadaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu
pernah mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu hamil.
Riwayat trauma, perdarahan pervagina sewaktu hamil,
penggunaan obat-obatan maupun jamu selama hamil.
Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar, spontan atau
dengan tindakan, perdarahan antepartum, asfiksia dan lain-
lain. Keadaan selama neonatal apakah bayi panas, diare,
muntah, tidak mau menetek dan kejang-kejang.
d. Riwayat perkembangan
1. Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial):
berhubungan dengan kemampuan mandiri,
bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkunganya.
2. Gerakan motorik halus: berhubungan dengan
kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan
gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu
saja dan dilakukan otot-otot kecil memerlukan
koordinasi yang cermat.
3. Gerakan motorik kasar: berhubungan dengan
pergerakan dan sikap tubuh.
4. Bahasa: kemampuan memberikan respon terhadap
suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan.
5. Riwayat kesehatan keluarga
6. Apakah anggota keluarga yang menderita kejang.
7. Apakah anggota keluarga yang menderita penyakit
syaraf atau lainya.
e. Riwayat sosial
Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan
emosionalnya perlu dikaji siapakah yang mengasuh anak.
c) Pola kesehatan dan fungsi kesehatan
a. Pola nutrisi : ditanyakan bagaimana kualitas dan kuantitas
makanan, makanan yang disukai, bagaimana selera
makan, berapa kali minum, jenis dan jumlah perhari.
b. Pola eliminasi : ditanyakan frekuensi, jumlahnya, warna,
bau, apakah terdapat darah, terdapat nyeri, konsistensi
BAB lunak, keras, cair dan berlendir.
c. Pola aktivitas dan latihan : apakah anak senang main
sendiri, aktivitas yang disukai anak.
d. Pola tidur/istirahat : berapa jam, bangun jam berapa,
kebiasaan sebelum tidur, bagaimana tidur siang.
2) Data obyektif
a) Pemeriksaan fisik
1. Kepala : tanda mikro atau mikrosepali, bentuk kepala,
tanda kenaikan intrakranial.
2. Rambut : warna, kelebatan.
3. Muka/wajah : simetris atau tidak.
4. Mata : keadaan sklera dan konjungtiva.
5. Telinga : periksa fungsi telinga, kebersihan, tanda infeksi.
6. Hidung : ada pernapsan cuping hidung, apakah ada polip,
apakah ada sekret.
7. Mulut : adakah sianosis, keadaan lidah, adanya stomatitis,
jumlah gigi yang tumbuh, adakah karies gigi.
8. Tenggorokan : tanda peradangan, pembesaran vena
jugularis.
9. Leher : tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid.
10. Thorax :
11. Inspeksi : bentuk dada, gerak pernapasan, frekuensi,
irama, kedalaman, retraksi.
12. Auskultasi : suara napas tambahan.
13. Jantung : keadaan dan frekuensi irama jantung, bunyi
tambahan, bradikardi atau takikardi.
14. Abdomen : distensi abdomen, pembesaran hepar.
15. Kulit : kebersihan, turgor kulit.
16. Ekstremitas : adakah oedem.
17. Genetalia : adakah kelainan bentuk dan sekret.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon
manusia terhadap gangguan kesehatan atau proses kehidupan atau
kerentanan respon dari seorang individu, keluarga, kelompok atau
komunitas (heardman & Shigemi, 2015 dalam Indriyani, 2017).
Menurut diagnosa keperawatan Nanda tahun 2018-2020 kemungkinan
diagnosa yang bisa muncul dari penyakit kejang demam:
a) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit infeksi,
gangguan pusat pengatur suhu
b) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan jalan napas
terganggu
c) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi
d) Risiko cedera berhubungan dengan kurangnya kesadaran, gerakan
tonik atau klonik
e) Kecemasan berhubungan dengan perubahan lingkungan
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan merupakan suatu perawatan yang
dilakukan perawat berdasarkan penilaian klinis dan pengetahuan
perawat untuk meningkatkan outcome pasien atau klien. Intervensi
keperawatan mencakup baik perawatan langsung dan tidak langsung
yang ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat, serta orang-
orang dirujuk oleh perawat, dirujuk oleh dokter maupun pemberi
pelayanan kesehatan lainya (Bulecheck, et al, 2015 dalam Indriyani,
2017).
a) Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi, gangguan pusat
pengatur suhu
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan suhu tubuh
normal.
Termoregulasi (0800)
Kriteria hasil:
1. Suhu tubuh (36,5º-37,5º C).
2. Nadi (60-100 kali/menit) dan respirasi rate (16-24
kali/menit).
3. Tidak ada perubahan warna kulit.
Rencana tindakan:
Perawatan demam (3740)
1. Monitor suhu tubuh
2. Monitor warna dan suhu tubuh
3. Monitor tekanan darah, nadi dan respirasi rate
4. Monitor penurunan tingkat kesadaran
5. Lakukan tapid sponge
6. Berikan antipiretik
7. Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam
8. Kolaborasi pemberian cairan intravena
9. Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
10. Tingkatkan sirkulasi udara
b) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan jalan napas
terganggu
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan pola napas efektif
Status pernapasan (0415)
Kriteria hasil:
1. Frekuensi pernapasan dalam batas normal
2. Tidak menggunakan otot bantu pernapasan
3. Irama pernapasan teratur
4. Tanda-tanda vital dalam batas normal
Rencana tindakan:
Manajemen jalan napas (3140)
1. Kaji status pernapasan klien
2. Kaji penyebab ketidakefektifan pernapasan
3. Auskultasi bidang paru dan observasi pernapasan klien
4. Longgarkan pakaian klien
5. Lakukan suction bila perlu, beri O2 sesuai kebutuhan
6. Kolaborasi dengan dokter pemberian terapi obat, tindakan
dan pemeriksaan
c) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
ventilasi dan oksigenasi pada jaringan adekuat
Status pernapasan: pertukaran gas (0402)
Kriteria hasil:
1. Oksigenasi yang adekuat
2. Bebas dari tanda-tanda distress pernapasan
3. Mendemontrasikan batuk efektif
4. Mampu bernapas dengan mudah
Rencana tindakan:
Manajemen jalan napas (3140)
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Monitor respirasi dan status O2
3. Auskultasi suara napas
4. Lakukan suction
d) Risiko cedera berhubungan dengan kurangnya kesadaran geraka
tonik atau klonik
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi
cedera atau komplikasi
Kejadian jatuh (1912)
Kriteria hasil:
1. Terbebas dari cedera
2. Tidak ada perlukaan, kesadaran composmentis
3. Klien mampu menjelaskan cara atau metode untuk
mencegah injury atau cedera
4. Klien mampu menjelaskan faktor risiko dari lingkungan
atau perilaku personal
Rencana tindakan:
Pencegahan jatuh (6490)
1. Kaji sifat dan penyebab timbulnya kejang
2. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
3. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan
kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien
4. Jauhkan dari lingkungan yang berbahaya dan benda-benda
tajam
5. Pasang side rail tempat tidur
6. Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
7. Anjurkan keluarga untuk menemani pasien
8. Kaji dan monitoring tingkat kesadaran, adanya kejang
9. Kolaborasi dengan dokter untuk penanganan medis
e) Kecemasan berhubungan dengan perubahan lingkungan
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan kecemasan
teratasi
Kriteria hasil:
Tingkat kecemasan (1211)
1. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala
cemas
2. Identifikasi dan menunjukan teknik untuk mengontrol
cemas
3. Vital sign dalam batas normal
4. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan tingkat
aktivitas menunjukan berkurangnya kecemasan
Rencana tindakan:
Pengurangan kecemasan (5820)
1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
2. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama
prosedur
3. Pahami perspektif pasien terhadap situasi stress
4. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan
mengurangi rasa takut
5. Kaji tingkat dan penyebab kecemasan keluarga
6. Beri informasi yang cukup mengenai perawatan dan
pengobatan yang dilakukan dan direncanakan
7. Ciptakan suasana yang nyaman dan aman
4. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan catatan tentang
tindakan yang diberikan kepada klien. Pencatatan mencakup tindakan
keperawatan yang diberikan baik secara mandiri maupun kolaboratif,
serta pemenuhan kriteria hasil terhadap tindakan yang diberikan
kepada klien (Hutahean, 2010 dalam Indrayani, 2017).
5. Evaluasi
Keefektifan tindakan keperawatan dan pencapaian hasil yang
teridentifikasi terus dievaluasi sebagai penilaian status klien. Evaluasi
harus terjadi di setiap langkah prses keperawatan (Herdman &
Shigemi, 2015 dalam Indrayani, 2017).
C. Metodologi keperawatan
1. Desain penelitian
Penelitian ini adalah penelitian studi kasus observasional dengan
pendekatan cross sectional.
2. Subjek penulisan
Subjek penelitian adalah mengambil dua pasien dengan memiliki
diagnosis keperawatan yang sama yaitu hipertermi pada KDS di ruang
Al-Ikhlas RS PKU Muhammadiyah Bantul.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data adalah suatu cara yang digunakan untuk
mengumpulkan data (Notoatmodjo, 2010). Teknik yang digunakan
dalam pengumpulan data yaitu:
a. Data primer
Wawancara adalah suatu metode yang digunakan untuk
mendapatkan keterangan secara lisan dari responden atau
bercakap-cakap dan berhadapan langsung dengan responden, jadi
data yang diperoleh secara langsung dari responden melalui
pertemuan atau percakapan (Notoadmodjo, 2010). Observasi
dilakukan dengan pengamatan langsung pada responden untuk
mengobservasi keadaan umum,kesadaran. Pemeriksaan fisik
adalah pemeriksaan untuk mengetahui keadaan fisik pasien secara
sistematis yang meliputi inspeksi yaitu pemeriksaan dengan
menggunakan indera penglihatan, pendengaran dan penciuman.
Palpasi yaitu pemeriksaan dengan menggunakan indera peraba;
tangan, dan jari-jari untuk mendeterminasi ciri-ciri jaringan atau
organ seperti temperature, keelastisan, bentuk ukuran, kelembaban
dan penonjolan. Perkusi adalah pemeriksaan yang meliputi
pengetukan permukaan tubuh untuk menghasilkan bunyi yang
akan membantu dalam penentuan densitas, lokasi dan posisi
struktur dibawahnya. Auskultasi adalah tindakan mendengarkan
bunyi yang ditimbulkan oleh bermacam-macam organ dan
jaringan tubuh.
b. Data skunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh selain dari pemeriksaan
fisik tetapi diperoleh dari keterangan keluarga dan lingkungannya,
studi dokumentasi dan buku register (Notoatmodjo, 2010). Data
sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi dokumentasi
pada semua bentuk informasi yang berhubungan dengan
dokumen, baik dokumen resmi maupun tidak resmi, misalnya
laporan,catatan-catatan di dalam kartu klinik, dokumen resmi
adalah segala bentuk dokumen di bawah tanggung awab instasi,
tidak resmi seperti biografi, catatan harian (Notoatmodjo, 2010).
4. Analisa data
Analisa data merupakan proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan,
dan dokumentasi (Sugiyono,2010).
a. Reduksi data
Reduksi data dalam analisa data penelitian dapat diartikan sebagai
proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dan
transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis
di lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data dimulai
dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema
membuat gugus-gugus, menulis memo dan sebagainya dengan
maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan. Reduksi
data berupa hasil wawancara terhadap subjek penelitian yaitu
pasien yang mempunyai diagnosis KDS.
b. Penyajian data
Penyajian data sebagai kumpulan informasi yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian data berbentuk teks naratif dalam bentuk
catatan-catatan hasil wawancara dengan pasien dan keluarga pada
pasien KDS di Ruang Al-Ikhlas RS PKU Muhammadiyah Bantul.
Hasil observasi dan hasil pemeriksaan fisik sebagai informasi
yang terarah dan tersusun yang memberikan kemungkinan
penarikan kesimpulan dan verifikasi oleh penulis atau peneliti.
c. Penarikan data
Penarikan kesimpulan dilakukan peneliti mulai mencari
karakteristik faktor pasien KDS. Dengan demikian, aktivitas
analisis merupakan proses interaksi antara ketiga langkah analisa
data tersebut, dan merupakan proses siklus sampai kegiatan
penelitian selesai. Sesuai dengan metode penelitian, teknik analisa
data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah secara
deskriptif. Analisa data dilakukan dengan cara mengatur secara
sistematis pedoman wawancara, format asuhan keperawatan, dan
data kepustakaan. Verifikasi dilakukan dengan melihat kembali
masalah yang dihadapi.

Anda mungkin juga menyukai