OLEH :
M. IKHWAN FIKRI
2018
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNYA kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
Makalah dengan judul “TAFSIR BI AL MA’TSUR DAN TAFSIR BI AL
RA’YI”. penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan, dan do’a dari
berbagai pihak, makalah ini tidak akan dapat penulis selesaikan tepat pada
waktunya.
penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Memperhatikan semakin majunya media di dunia ini pada umumnya dan Indonesia
pada khususnya. Baik itu media masa, surat kabar maupun elektronik. Yang mana
dampak positifnya adalah semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan baik
bersifat keagamaan atau umum. Dan disini yang paling pokok mengenai tafsir Al-qur’an,
yang mana bila dikembalikan kepesatnya perkembangan ilmu pendidikan yang saat ini
kita rasakan adalah rasio (akal) lah yang menjadi tolak ukur terhadap suatu hal. Yang itu
dinilai dari kemaslahatanya, maka kalau dikenakan pada Al-qur’an dengan tujuan Li-
tafsir, maka itu tidak pas. Karena kita masih memiliki hadits nabi dan juga qoul sahabat
dan tabi’in yang menjelaskan atau menerangkan tentang isi kandungan Al-qur’an dan
juga guna mempertegas perbedaan antara Taksir dengan riwayat dan juga dengan akal.
Maka dari argument diatas kami tertarik membahas “ BENTUK TAFSIR BIL MA’TSUR
DAN BI RA’YI “.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana pembagian tafsir bil ma’tsur dan syarat-syarat tafsir bi ra’yi?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tafsir
1. Pengertian Tafsir
Artinya : “Tidaklah orang-orang kafir itu dating kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang paling benar dan paling baik
penjelasannya”. QS : Al-furqon : 33.
Tafsir disini berarti penjelasan dan keterangan. Ia diambil dari kata Al-fasr yang
bermakna menjelaskan dan membuka. Dalam kamus dikatakan bahwa makna Al-fasru
adalah menjelaskan dan membuka sesuatu yang tertutup.
Dari sini jelaslah bahwa kata Tafsir digunakan dalam bahasa arab dalam arti
membuka secara indrawi. Seperti dikatakan oleh Tsa’lah dan dengan arti secara maknawi
dengan memperjelas arti-arti dari dzahir redaksional.
Sedangkan Tafsir menurut istilah yang paling cocok adalah yang dikutip oleh As-
Suyuthi dari Az-Zarkasyi, “Ia adalah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT, yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan merupakan penjelasan makna-makna
serta kesimpulan, hikmah dan hukum-hukum.
Sebagian ulama juga memberikan definisi yang hamper sama. Ia adalah ilmu yang
membahas redaksi-redaksi Al-qur’an, dengan memperhatikan pengertian-pengertiannya
untuk mencapai pengetahuan tentang apa yang dikehendaki oleh Allah SWT, sesuai
dengan keadaan manusia[1]
2
Ketiga, Tafsir yang diketahui oleh ulama keempat, tafsir yang hanya diketahui oleh Allah
SWT.
Tafsir yang pertama adalah Al-qur’an diturunkan dengan bahasa arab, dai Ia dating
dengan bahasa yang mereka pakai, dari hakikat, majaz, sharih, kinayah dan sebagainya.
Tafsir yang kedua maksudnya adalah makna yang amat jelas, sehingga langsung
difahami oleh akal manusia, tanpa perlu memusatkan pikiran dan memeras otak. Dapat
juga dikatakan yang berkenaan dengan dasar-dasar agama. Sehingga tidak seorang pun
dimaafkan akan ketidaktahuaanya.
Tafsir yang ketiga adalah yang hanya diketahui oleh ulama, yang membutuhkan
penyimpulan, pengkajian dan pengetahuan akan ilmu-ilmu yang lain. Sehingga Ia
menarikyang mutlak atas yang muqayyad, yang Aam dan Khas, dan memilih
kemungkinan yang dikuatkan oleh penguat tertentu dan sebagainya.
Tafsir yang keempat adalah tafsir yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Misalnya,
tentang perkara-perkara yang ghaib, yang hakikatnya seperti alam barzah, masalah
akhirat, malaikat arsy, dan terjadinya hari kiamat.
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang dapat diterapkan bahwa Nabi sendiri atau sahabatnya
yang bersentuhan langsung dalam wilayah pengajaran. Hal itu telah menjelaskannya
dengan penjelasan makna-makna Al-qur’an[2].Yang dimaksud dengan tafsir bil ma’tsur
atau taksir riwayat adalah taksir yang terbatas pada riwayat Rsdulullah SAW. Dan dari
sahabat atau murid-murid mereka dan kalangan tabi’in, dan dapat juga dari tabi’in-
tabi’in.Kitab-kitab hadits yang berisi tentang tafsir Al-qur’an. Hal ini seperti terdapat
dalam dua kitab shahih Bukhari dan Muslim, juga dalam sunan Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu
Majah, kitab tafsir an-Nasa’I Ia menyediakan satu Juz dari sunan al-Kubra khusus untuk
tafsir shahih Ibnu Khuzaiman, shahih Ibnu Hibban dan Mustadrak al-Hakim. Dan
3
sebelum itu adalah al-Mushannaf Abdurrozzaq selain itu juga kitab taksir yang terkenal
adalah Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Guran yaitu kalangan Syaikh Mufassirin Abi Ja’far
Muhammad bin Jarir ath-Thabari yang masuk didalamnya tafsir riwayat dan dirayah
sekaligus. Selain itu juga adalah taksir Ibnu Katsir yang dinamakan tafsir al-Qur’an
Azim[3].
Artinya : “Kemudian Adam memperoleh beberapa kalimat dari tuhannya (ia mohon
ampun), lalu Allah menerima tobatnya”. QS. Al-Baqarah : 37.
Artinya : “Keduanya berkata, ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri,
jika engkau tidak ampuni kesalahan kami dan tidak engkau asihi kami, tentulah kami
orang yang merugi”. QS. Al-A’raf : 23.
4
Artinya : “Sesungguhnya kami menurunkan dia pada malam yang penuh berkah”. QS.
Ad-Dukhan : 3.
Artinya : “Sesungguhnya telah kami turunkan Al-qur’an pada malam Qadar (malam
mulia atau taqdir”. QS. Al-Qadar : 1.
Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an adalah bentuk tafsir yang tertinggi. Keduannya
tidak diragukan lagi untuk diterimanya yang pertama, karena Allah SWT. Adalah sumber
berita yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur perkara batil dari-Nya. Adapun
yang kedua, karena himmah Rasul adalah Al-qur’an, yakni untuk menjelaskan dan
menerangkan.
Artinya : “Hendaklah kamu sediakan untuk melawan mereka, sekedar tenaga kekuatanmu
… “. QS. Al-Anfal : 60.
5
Sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunya
adalah memiliki hukuman marfu’ artinya, bahwa tafsir para sahabat mempunyai
kedudukan hukum yang sama dengan Hadits Nabawi yang diangkat dari Nabi
Muhammad SAW. Dengan demikian, tafsir sahabt itu termasuk ma’tsur.
Adapun tafsir para tabi’in dan tabi’it-tabi’in ada perbedaan pendapat dikalangan
ulama. Sebagian ulama berpendapat, tafsir itu termasuk ma’tsur, karena tabi’in itu
bejumpa dengan sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bi
ra’yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi’in dan tabi’it-tabi’in itu
mempunyai kedudukan yang sama dengan Mufasyir yang hanya menafsirkan berdasarkan
kaidah bahasa arab.
Ia adalah celak mata dan cincin, atau wajah dan kedua telapak tangan. Kemusian
darinya diriwayatkan tentang satu ayat dalam surat al-Ahzam. “ …. Hai…,Nabi
katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin,
hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka …” (al-Ahzab : 59).
c. Diantara riwayat adalah pendapat seseorang yang tidak terjaga dari kesalahan.
Oleh karena itu, kita mendapati para sahabat dan tabi’in kadang-kadang berbeda
satu sana lain. Dalam banyak kesempatan itu adalah perselisian benturan. Ini
menunjukan bahwa mereka menafsirkan dengan rasio mereka[4].
d. Tafsir bil ma’tsur, seperti diriwayatkan kepada kita bukan tafsir yang mengkaji
surat persurat, dan dalam satu surat mengkaji ayat perayat, dan dalam satu ayat
dikaji kalimat perkalimat.
e. Riwayat-riwayat tersebut penuh dengan cerita-cerita Israiliyah yang memuat
banyak Khurafat yang bertentangan dengan akidah islam.
6
f. Sebagian ulama madzhab memuratbalikan beberapa pendapat. Mereka berbuat
kebatilan, lalu menyandarkan kepada sebagian para sahabat seperti para ulama
madzhab Syi’ah.
g. Sesungguhnya musuh islam dari golongan kafir Zindiq bersembunyi dibelakang
para sahabat dan para tabi’ain sebagaimana mereka bersembunyi dibelakang
Rasulullah SAW. Dalam rangka menjalankan misinya, merobohkan agama
denagan cara “ bersembunyi dan menyusup “. Maka dari segi ii, perlu adanya
penelitian yang sungguh-sumgguh terhadap pendapat-pendapat yang disandarkan
kepada para sahabat dan tabi’in[5].
4. Tafsir bi Ra’yi
Yang dimaksud dengan tafsir bi ra’yi adalah menafsirkan ayat Al-qur’an dengan
menggunakan rasio atau akal. Dan makna Ar-Ro’yi adalah ijtihat dan olah piker serta
penelitian dalam memahami Al-qur’an dalam batas pengetahuan tentang bahasa arab, dan
dalam kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh penafsir Al-qur’an dari perangkat
syarat dan akhlak[6].
Mengenai tafsir yang didasarkan pada pendapat dan akal (tafsir bi ra’yi), sekalipun
memenuhi syarat yang diperlukan untuk dapat dinilai baik dan terpuji, tidak dapat
dibenarkan jika ia bertentangan dengan tafsir bil ma’tsur yang kita ketahui dengan pasti
berdasarkan pada nash-nash hadits shahih. Sebab ar-ra’yu adalah ijtihad, sedangkan
ijtihad tidak boleh disejajarkan dengan nash-nash hadits. Lain halnya kalau tafsir bi Ra’yi
tidak bertenangan dengan tafsir bil ma’tsyur, dalam hal demikian itu maka, keduanya
saling mendukung dan saling memperkuat[7].
Mengenai tafsir bi ra’yi para ulama berbeda pendapat, ada yang mengharamkan ada
pula yang membolehkan. Adapun yang mengharamkan memiliki dasar sebagai berikut,
yakni hadits dari Ibnu Abbas :
Artinya : “…. Dan barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-qur’an dengan
pendapatnya sendiri, maka siap-siaplah untuk menikmati tempat di neraka”.
Jawaban tentang hadits itu yang telah disebutkan tadi. Jika shahih sekalipun ia
mempunyai kemungkinan dua pengertian. Pertama, yang dimaksud dengan Ar-ra’yu
adalah hawa nafsu. Yaitu, menyeret Al-qur’an untuk memperkuat hawa nafsunya dan
7
pemikiran yang ia anut. Kedua, maka hadits itu mencela orang yang berani menafsirkan
Al-qur’an sebelum memiliki perangkat yang seharusnya dibutuhkan dalam menafsirkan
Al-qur’an.
Artinya : “Siapa yang ditanya tentang sesuatu yang ia kuasai keilmuanya, kemudian ia
menyembuyikannya, maka pada hari kiamat ia akan dikendalikan mulutnya dengan api
neraka”.
Tetapi juga ada yang mengambil tafshil dalam masalah ini yakni boleh dengan Ro’yi
(rasio) asalkan dengan menggunakan syarat-syarat Mufasyir yang ada tanpa disertai hawa
nafsu. Dan tidak boleh menggunakan Ro’yi bila diladeni hawa nafsu[8].
Yakni yang terkait dengan ilmu bahasa arab adalah nahwu, sharaf, isyriqaq lughah,
balaqhah, qira’at, ushuludin, ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh, mansukh. Selain itu As-
Suyuthi mengutip pendpat dari Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan mengenai syarat-syarat
pokok yang harus dimiliki oleh seseorang agar ia boleh menafsirkan Al-qur’an
berdasarkan ra’yu (pendapat atau akal). Syarat-syarat pokok itu berkisar di sekitar empat
pokok, yaitu :
8
4. Berpegang teguh pada maksud, dan harus terjamin kebenarannya menurut aturan
dan hokum syara’. Itullah yang dimaksud Rasulullah dalam do’a beliau untuk
Ibnu Abbas, yaitu :
Artinya : “ya Allah limpahkanlah kedalaman ilmu agama padanya dan ajaran ta’wil
padanya”[9].
Setiap sesuatu pasti memiliki kelebihan dan kelemahan, begitu juga dengan tafsir bi
ra’yi ini. Pada tafsir ini tidak bisa dinilai dengan mutlak akan kebenarannya. Karena pada
tafsir ini tidak mengambil dari dalil-dali pasti, tetapi Cuma menangkap dengan akal.
Selain itu juga tidak ada sanad sebagaimana hadits
Artinya : “Hai, Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, putri-pitrimu, dan istri-istri orang-
orang yang beriman. “Hendaklah mereka mengulurakan jilbabnya kedeluruh tubuh
mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah dikenal maka mereka tidak
diganggu lagi, dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.
Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan
mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai jilbab,
manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian
dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama
kreterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini, maka hukumnya
adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hokum-hukum syara’ didasarkan
pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika ‘ilat ada, maka ada pula
hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka da hukumnyaberdasarkan kaidah
9
itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban memakai jilbab pada ayat itu
bersifat kondisional.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang dapat diterapkan bahwa Nabi sendiri atau
sahabatnya yang bersentuhan langsung dalam wilayah pengajaran. Hal itu telah
menjelaskannya dengan penjelasan makna-makna Al-qur’an.Yang dimaksud dengan
tafsir bil ma’tsur atau taksir riwayat adalah taksir yang terbatas pada riwayat Rsdulullah
SAW. Dan dari sahabat atau murid-murid mereka dan kalangan tabi’in, dan dapat juga
dari tabi’in-tabi’in.Kitab-kitab hadits yang berisi tentang tafsir Al-qur’an
Sedangkan yang dimaksud dengan tafsir bi ra’yi adalah menafsirkan ayat Al-
qur’an dengan menggunakan rasio atau akal. Dan makna Ar-Ro’yi adalah ijtihat dan olah
piker serta penelitian dalam memahami Al-qur’an dalam batas pengetahuan tentang
bahasa arab, dan dalam kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh penafsir Al-qur’an
dari perangkat syarat dan akhlak.
11
DAFTAR PUSTAKA
Ali Shabuni, Muhammad. 2001. Ikhtisar ulumul Qur’an praktis. Jakarta : Pustaka
Amani
[1] Yusuf al-qaradhawi, Berinteraksi dengan al-qur’an. (Jakarta : Gema Insani 1999). Hal
294
[2] Ignat Goldziher. Madzhab Taksir. (Yogyakarta : el-saq Press. 2003). Hal 87
[3] Yusuf al-qaradhawi, Berinteraksi dengan al-qur’an. (Jakarta : Gema Insani 1999). Hal
296
[5] Muhammad Ali adh-Shaibuni. Ikhtisar Ulumul qur’an. (Jakarta : Pustaka Amani.
2001) hal. 107
[6] Yusuf al-qaradhawi, Berinteraksi dengan al-qur’an. (Jakarta : Gema Insani 1999). Hal
297
[7] Subhi as-Shalin. Membahas ilmu-ilmu al-qur’an. (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1999).hal
388
[8] Yusuf al-qaradhawi, Berinteraksi dengan al-qur’an. (Jakarta : Gema Insani 1999). Hal
299
[9] Subhi as-Shalin. Membahas ilmu-ilmu al-qur’an. (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1999).hal
387
Imam_S di 06.33
12