Abstract: The aim of this study was to determine the association between habit of
using respirator and respiratory symptoms, lung functions and chest x-ray due to
cement dust exposure. A cross sectional study with stratified random sampling was
performed in 182 workers. An interviewer-administered questionnaire was collected
to record demographic data, habit of using respirator N95 and smoking habit.
Current respirable dust exposure levels were collected using personal dust sampler
(PDS). CXR were assessed according to the ILO system. The prevalence of
respiratory symptoms, lung function impairment and abnormalities of CXR were
9.9%, 30.8% and 4.9%, respectively. The mean level of respirable dust was 0.42
mg/m3 (PEL 3 mg/m3). There was no association between habit of using respirator
and and abnormalities of CXR due to cement dust exposure. A bad habit of using
respirator group had lower lung function was found in 34.5% workers than 27.6% in
a good habit of using respirator group, but there was no significant differentiation.
Duration of working had significant association with lung function impairment (PR
1.07, 95% CI 1.04 to 1.12) after adjustment for education level, working area, age
and respirator use. Smoking habit had significant association with abnormalities of
CXR (PR 11.7, 95%CI 1.06 to 128.7) after adjustment for age, duration of working,
BMI and respirator use.
It was concluded that adverse respiratory health effects observed among cement
workers could not be explained by habit of using respirator, age, BMI, exposure to
cement dust, and were probably caused by duration of working and smoking habit
with mean levels of respirable dust exposure below PEL. However, correct respirator
use still has a major contribution to protect workers from the hazard of dust exposure
in the future.
Key words: cement dust, respirator PPE, respiratory symptoms, lung function, CXR.
pada formulir informed consent. Besar sampel yang kebiasaan baik menggunakan APD sebesar 98 orang
didapatkan dengan α sebesar 5%, hipotesis dua arah, dan kebiasaan buruk menggunakan APD sebesar 84
β sebesar 20% diperoleh besar sampel tiap kelompok orang. Sebanyak 14 orang tidak diikutkan dalam
sebesar 89. Jumlah sampel untuk 2 kelompok sesuai penelitian ini. Tiga orang menolak ikut serta
perhitungan di atas dengan perkiraan drop out 10% penelitian, 3 orang dalampenahanan polisi, 2 orang
adalah 196 orang. dipindah tugaskan ke Cilacap, 2 orang sulit ditemui
Wawancara atau pengisian kuesioner dilakukan karena kesibukannya, 2 orang belum melakukan
dengan menggunakan kuesioner berdasarkan pemeriksaan foto toraks sampai batas waktu yang
Pneumobile Project Indonesia8 dan British ditetapkan dan 2 orang sulit ditemui karena shift kerja
Occupational Hygiene Society Committee on Hygiene yang berubah. Rata-rata usia subjek penelitian 41,65
Standards9 ditambah pertanyaan lainnya tentang tahun dengan usia minimum 30 tahun dan maksimum
kebiasaan menggunakan APD masker sehingga 54 tahun (Gambar 1).
didapat karakteristik responden mencakup identitas
(umur, pendidikan, masa kerja, tempat kerja, riwayat 28
pekerjaan), kebiasaan merokok, kebiasaan 30
Subjek penelitian rata-rata telah bekerja selama Pengukuran kadar debu respirabel individu men-
15,1 tahun dengan lama kerja minimal 10 tahun dan dapatkan kadar diatas NAB 3 mg/m3 hanya
maksimal 32 tahun. Subjek penelitian paling banyak didapatkan pada 11 orang (6,0%) dan kadar debu
telah bekerja selama 10–14 tahun sebanyak 61 orang respirabel dibawah nilai ambang batas sebanyak 171
(33,5%) serta paling sedikit telah bekerja selama 20– orang (94%). Kadar debu respirabel individu yang
24 tahun dan 30–34 tahun masing-masing sebanyak melebihi NAB didapatkan pada area kerja semen
14 orang (7,7%). sebesar 63,6% seperti terlihat pada gambar 3.
41.2 70 63.6
45
36.3 60
40
35 50
30 40 33.3 <3
25 19.2
30 26.9
20 ≥3
19.318.2 18.2 20.5
15 20
10 3.3
10
5 0
0 0
Bukan perokok Perokok ringan Perokok Perokok berat Bahan baku Terak Semen Campuran
sedang
Area kerja
Kebiasaan merokok
Gambar 3. Sebaran Area Kerja terhadap NAB
Gambar 2. Sebaran Kebiasaan Merokok
Tabel 3. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Status Gizi, Kebiasaan Merokok, Area Kerja dan Kadar Pajanan dengan Kelainan
Klinis
Tingkat pendidikan
Rendah 6 17,6 28 82,4 Tdd - 0,159*
Sedang 12 9,1 120 90,9 Tdd - 0,364*
Tinggi 0 0 16 100 Rujukan
Status gizi (IMT)
Kurang BB 1 33,3 2 66,7 3,300 0,600-18,151 0,292*
Kelebihan BB 5 6,9 67 93,1 0,688 0,246- 1,925 0,471#
Obesiti 2 25,0 6 75,0 2,475 0,650- 9,418 0,220*
Normal 10 10,1 89 89,9 Rujukan
Kebiasaan merokok
Perokok ringan 4 5,3 71 94,7 0,467 0,123- 1,758 0,262*
Perokok sedang 9 13,6 57 86,4 1,193 0,396- 3,600 1,000*
Perokok berat 1 16,7 5 83,3 1,458 0,195-10,916 0,567*
Bukan perokok 4 11,4 31 88,6 Rujukan
Area kerja
Bahan baku 4 11,4 31 88,6 4,000 0,470-34,019 0,356*
Terak 9 15,3 50 84,7 5,339 0,706-40,377 0,085*
Semen 4 7,5 49 92,5 2,642 0,308-22,662 0,644*
Campuran 1 2,9 34 97,1 Rujukan
Kadar Pajanan debu
Pajanan rendah 16 9,4 155 90,6 0,515 0,135-1,961 0,298*
Pajanan tinggi 2 18,2 9 81,8
#
Uji Chi-Square; *Uji Fisher, Tdd=tidak dapat dihitung
Tabel 5. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Status Gizi, Kebiasaan Merokok, Area Kerja dan Kadar Pajanan
dengan Kelainan Faal Paru
Tingkat pendidikan
Rendah 14 41,2 20 58,8 2,196 0,734-6,573 0,118#
Sedang 39 29,5 93 70,5 1,576 0,550-4,519 0,558*
Tinggi 3 18,8 13 81,3 Rujukan
Status gizi (IMT)
Kurang BB 1 33,3 2 66,7 1,065 0,209-5,415 1,000*
Kelebihan BB 20 27,8 52 72,2 0,887 0,553-1,424 0,618#
Obesitas 4 50,0 4 50,0 1,597 0,753-3,387 0,434*
Normal 31 31,3 68 68,7 Rujukan
Kebiasaan merokok
Perokok ringan 23 30,7 52 69,3 1,342 0,668-2,694 0,396#
Perokok sedang 22 33,3 44 66,7 1,458 0,726-2,930 0,273#
Perokok berat 3 50,0 3 50,0 2,188 0,800-5,978 0,316*
Bukan perokok 8 22,9 27 77,1 Rujukan
Area kerja
Bahan baku 11 31,4 24 68,6 1,000 0,501-1,998 1,000#
Terak 12 20,3 47 79,7 0,647 0,320-1,307 0,227#
Semen 22 41,5 31 58,5 1,321 0,736-2,369 0,339#
Campuran 11 31,4 24 68,6 Rujukan
Kadar pajanan debu
Pajanan rendah 51 29,8 120 70,2 0,656 0,330-1,304 0,317*
Pajanan tinggi 5 45,5 6 54,5
#
Uji Chi-Square; *Uji Fisher
Tabel 6. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Status Gizi, Kebiasaan Merokok, Area Kerja dan Kadar Pajanan
dengan kelainan foto toraks
Tingkat pendidikan
Rendah 2 5,9 32 94,1 Tdd - 1,000*
Sedang 7 5,3 125 94,7 Tdd - 1,000*
Tinggi 0 0 16 100 Rujukan
Status gizi (IMT)
Kurang BB 0 0 3 100 Tdd - 1,000*
Kelebihan BB 0 0 72 100 Tdd - 0,022*
Obesitas 2 25 6 75 3,536 0,875- 14,290 0,135#
Normal 7 7,1 92 92,9 Rujukan
Kebiasaan merokok
Perokok ringan 1 1,3 74 98,7 0,467 0,030- 7,246 0,537#
Perokok sedang 5 7,6 61 92,4 2,652 0,322- 21,817 0,662#
Perokok berat 2 33,3 4 66,7 11,667 1,244-109,457 0,051#
Bukan perokok 1 2,9 34 97,1 Rujukan
Area kerja
Bahan baku 1 2,9 34 97,1 0,500 0,047- 5,265 1,000*
Terak 1 1,7 58 98,3 0,297 0,028- 3,153 0,553*
Semen 5 9,4 48 90,6 1,651 0,339- 8,042 0,698*
Campuran 2 25,7 33 94,3 Rujukan
Kadar Pajanan debu
Pajanan rendah 9 5,3 162 94,7 Tdd - 1,000*
Pajanan tinggi 0 0 11 100
#
Uji Chi-Square; *Uji Fisher, Tdd=tidak dapat dihitung
Perbedaan ini dapat disebabkan perbedaan kriteria sedangkan yang bukan perokok hanya 19,2%.
inklusi, usia pensiun pekerja atau masa beroperasinya Widjaja et al.4 juga mendapatkan prevalens merokok
pabrik yang berbeda. yang cukup tinggi sebesar 66% pada pekerja di
Status gizi pasien yang dilihat dari IMT pabrik semen yang berbeda. Hasil ini menunjukkan
menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja bahwa kebiasaan merokok masih belum bisa
mempunyai IMT normal (54,4%) maka dapat dipisahkan dari gaya hidup pekerja sehari-hari.
dianggap umumnya daya tahan tubuh dan mekanisme Subjek penelitian rata-rata telah bekerja selama
perlindungan paru pada umumnya baik. Hasil ini 15,1 tahun dengan lama kerja minimal 10 tahun dan
berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh maksimal 32 tahun. Hasil ini lebih tinggi daripada
Wihastuti et al5 dan Fordiastiko et al6 pada pabrik penelitian Widjaja dkk.4 yang mendapatkan rerata
yang sama mendapatkan pekerja dengan IMT normal lama kerja 8,9±3,4 tahun dan Hossini et al14 (14±4
masing-masing 74,5% dan 55,5%, pekerja dengan tahun). Hasil ini lebih rendah daripada penelitian
kelebihan berat badan 20,2% dan 31,5%, obesitas Fordiastiko et al6 (18,7±3,6 tahun) dan Yang et al14
2,1% dan 3,1% serta pekerja dengan IMT kurang dari dengan rerata lama kerja 17 tahun.
normal hanya 3,2% dan 9,9%. Dari nilai tersebut
terlihat penurunan persentase jumlah pekerja IMT Pajanan Debu
normal dan IMT kurang dari normal namun terdapat Rerata kadar debu total lingkungan sebesar
peningkatan jumlah pekerja yang kelebihan berat 21,1871 mg/m3 melebihi NAB menurut ketetapan
badan dan obesitas dibandingkan penelitian Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia7
terdahulu. Hal ini mungkin disebabkan pekerja saat namun nilai ini dapat berubah-ubah sesuai kondisi
ini mendapatkan asupan gizi yang mencukupi disertai lapangan kerja saat dilakukan pengukuran. Hasil
kesejahteraan yang semakin meningkat namun pemeriksaan debu respirabel individu mendapatkan
kurang diimbangi kegiatan olahraga atau pekerjaan bahwa pajanan debu yang dialami subjek penelitian
yang dilakukan semakin ringan karena bantuan belum melampaui NAB 3 mg/m3 berdasarkan
mesin. NOHSC yaitu sebanyak 94% sedangkan hanya 6%
Kebiasaan merokok pada subjek penelitian yang terpajan debu respirabel >3 mg/m3. Rata-rata
didapatkan nilai cukup tinggi sebesar 80,8% yang nilai pajanan debu respirabel adalah 0,4167 mg/m3
berarti hampir setiap subjek penelitian adalah (0,0000-10,6250 mg/m3), hasil ini sedikit lebih
perokok dengan perincian perokok ringan 41,2%, rendah dari Abrons et al.15 yang mendapatkan rata-
perokok sedang 36,3% dan perokok berat 3,3% rata kadar debu respirabel 0,57 mg/m3 (0,01-46,22
Prevalens Kelainan Paru paru baik fisis maupun selular. Debu semen yang
Lingkungan kerja pabrik semen berpotensi bersifat basa dapat mengiritasi epitel saluran
menye-babkan berbagai penyakit akibat kerja. Debu pernapasan dan bila pajanan ini berlangsung terus
yang terinhalasi dapat menyebabkan kelainan di menerus dapat menyebabkan perubahan struktur
saluran napas atas, bawah dan bahkan sampai ke jaringan saluran napas sampai terjadi fibrosis
parenkim paru22 selain itu debu semen dapat pula sehingga terjadi gangguan pengembangan paru dan
menyebabkan kelainan kromosom.23 Keluhan yang menyebabkan peningkatan kelainan restriksi.3,20,21
timbul bisa berupa batuk produktif, sesak napas, Kelainan foto toraks berupa bercak halus dengan
berdahak kronik dan mengi. Hossini et al14 kerapatan 1/0 dan ukuran s/s menurut ILO didapatkan
mendapatkan prevalensi gejala pernapasan lebih sebesar 0,5%, corakan bronkovaskular yang
tinggi sebesar 65% dibandingkan pekerja yang tidak meningkat 2,2%, gambaran fibrosis saja didapatkan
terpajan debu dengan keluhan paling sering sebesar 1,1% dan fibrosis yang disertai kalsifikasi
didapatkan berupa batuk, berdahak, sesak napas dan 2,2%. Hasil yang lebih rendah didapatkan pada
rinitis. Hasil Al-Neaimi et al3 sedikit berbeda dengan penelitian Abrons et al15 yang hanya mendapatkan
keluhanyang paling sering adalah batuk (30%) diikuti gambaran bercak halus pada 1% pekerja semen dan
berdahak (25%), sesak napas (21%) dan mengi (8%). 1,6% dengan kelainan pleura.
Noor et al14 juga mendapatkan hasil yang berbeda Kelainan klinis didapatkan paling tinggi pada
dengan mendapatkan keluhan batuk 25%, diikuti 11,9% subjek penelitian dengan kebiasaan yang
berdahak 24% dan dada terasa berat 19% sedangkan buruk meng-gunakan APD masker dibandingkan
Mengensha et al14 mendapatkan hasil yang sama dengan kebiasaan yang baik menggunakan APD
dengan Al-Neaimi et al3 yaitu keluhan tersering masker (8,2%) namun secara statistik tidak berbeda
adalah batuk sebesar 30%. bermakna (p=0,399). Hal ini terjadi mungkin karena
Namun selain debu semen pekerja pabrik semen manifestasi keluhan klinis yang terjadi cukup sedikit
juga dapat terpajan debu dari materi bahan baku dan umumnya pekerja tidak mengeluh sakit sampai
semen seperti debu batu kapur, debu tanah liat, debu keadaan kelainan parunya makin memburuk selain
silika, debu pasir besi sampai debu terak. Asal materi itu kadar pajanan debu yang memang sudah cukup
debu secara pasti yang memajan pekerja pabrik rendah (0,4167 mg/m3) seperti yang didapatkan pada
semen belum dapat ditentukan dari penelitian yang penelitian di Amerika Serikat18 dan Norwegia.15
sudah ada sehingga belum dapat disingkirkan bahwa Tanpa penggunaan APD, debu akan
kelainan klinis yang ditemukan mungkin disebabkan menimbulkan efek yang lebih buruk terutama debu
oleh materi bahan baku atau produk setengah jadi respirabel dan silika bebas yang dikandungnya
semen. terhadap timbulnya kelainan klinis. Jenis APD yang
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian dipakai saat ini cukup baik untuk digunakan
Meo et al16 yang mendapatkan kelainan restriksi. selanjutnya. Kebiasaan yang baik menggunakan APD
Mwaiselage et al17 mendapatkan nilai VEP1 lebih masker pada pekerja hanya mencapai 53,8% karena
itu perlu upaya untuk meningkatkan kesadaran
rendah (82%±15) dibanding kontrol dan VEP1/KVP
pekerja menggunakan APD dengan lebih sering
0,77±0,1 untuk pekerja yang terpajan juga lebih diberikan induksi atau pengarahan setiap sebelum
rendah dari kontrol dan secara statistik berbeda melakukan pekerjaan rutin.
bermakna. Penelitian oleh Al-Neaimi et al3 Tidak didapatkan hubungan bermakna antara
mendapatkan semua parameter spirometri secara kebiasaan menggunakan APD masker dengan
bermakna lebih rendah dibandingkan kontrol. kelainan faal paru pada penelitian ini dapat
Prevalens kelainan faal paru pada penelitian disebabkan beberapa hal seperti pekerja yang
Wihastuti et al5 dan Fordiastiko et al6 yang lebih awalnya mempunyai kebiasaan menggunakan APD
rendah dibandingkan penelitian ini setelah 9 tahun masker yang buruk tetapi setelah diketahui
kemudian menunjukkan bahwa terdapat hubungan mendapatkan kelainan baik klinis, faal paru atau foto
antara lama pajanan dengan penurunan faal paru dan toraks maka pekerja tersebut berubah kebiasaannya
hal ini diperkuat hasil analisis multivariat yang menjadi baik sehingga dapat mempengaruhi hasil
mendapatkan hubungan yang bermakna antara lama penelitian. Sebab lainnya adalah seiring dengan
kerja dengan kelainan faal paru. Seperti diketahui perkembangan teknologi dan peningkatan pendapatan
debu semen portlandTM yang mengandung silika dan perusahaan maka manajemen pabrik menambah
kalsium oksida dengan ukuran antara 2-100 mm jumlah alat penghisap debu seperti alat electrostatic
mempunyai proporsi debu respirabel lebih tinggi precipitator sehingga yang dulunya lingkungan
dibanding debu total. Debu yang terinhalasi masuk ke pabrik sangat berdebu sekali maka saat sekarang jauh
dalam saluran napas dan berhasil mencapai alveoli berkurang. Hal ini dibuktikan dengan hasil
akan mengalami berbagai mekanisme pertahanan pengukuran kadar debu respirabel individu kadar
diatas NAB 3 mg/m3 hanya didapatkan pada 11 orang NAB debu. Badan perencanaan dan pengembangan tenaga
(6%) dan terbanyak ditemukan kadar debu respirabel kerja. Pusat hiperkes dan keselamatan kerja. Departemen
Tenaga Kerja Republik Indonesia, 1977.
dibawah NAB sebanyak 171 orang (94%). 8. Alsagaff H, Mangunnegoro H, Amin M, Yunus F, Bernstein
RS, Johnson L. Nilai normal faal paru orang Indonesia pada
usia sekolah dan pekerja dewasa berdasarkan rekomendasi
Kesimpulan American Thoracic Society (ATS) 1987. Paru 1992;12:3-18.
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan 9. World Health Organization. Deteksi Dini Penyakit Akibat
bahwa tidak didapatkan hubungan antara kebiasaan Kerja (Early detection of occupational diseases).Alih bahasa:
Wijaya C. Jakarta; EGC: 1993.p.1-277.
menggunakan APD masker dengan kelainan klinis, 10. International Labour Organization. Guidelines for the use of
faal paru dan foto toraks akibat pajanan debu semen, the ILO international classification of radiographs of
namun kelompok yang buruk kebiasaan pneumoconioses. Occupational Safety and Health Series 22.
menggunakan masker pada pekerja pabrik semen PT. Geneva: International Labour Officer, 2000.p.3-38.
11. Ghazali MV, Sastromihardjo S, Soedjarwo SR, Soelaryo T,
X menunjukkan kecenderungan penurunan faal paru Pramulyo H. Studi cross-sectional. Dalam: Sastroasmoro S,
walaupun secara statistik tidak bermakna. Ismael S, editor. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis.
Penggunaan APD masker dengan filter N95 Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto; 2002.p.97-109.
saat sedang bekerja serta mengurangi atau 12. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Uji
Hipotesis dengan menggunakan SPSS program 12 jam.
menghentikan kebiasaan merokok pada pekerja yang Jakarta: Arkans; 2005.p.1-142.
terpajan debu semen akan melindungi pekerja dari 13. Tranter M. Occupational hygiene and risk management.
berkembangnya penyakit pernapasan kronik yang Sydney: Allen & Unwin; 2004.p.2-339.
lebih berat di masa yang akan datang. Subjek 14. Health and Safety Executive (HSE). Portland cement dust.
Hazard assessment document. [cited 2006 Jun 3]. Available
penelitian yang sudah menunjukkan kelainan faal from: http://www.hse.gov.uk/pubns/eh75/7.pdf
paru perlu terus dipantau perkembangannya dengan 15. Abrons HL, Petersen MR, Sanderson WT, Engelberg AL,
mengukur tingkat pajanan debu dan pemantauan Harber P. Chest radiography in portland cement workers.
kesehatan secara teratur dan berkesinambungan Occup Environ Med 1997;39:1047-54.
16. Meo SA. Health hazards of cement dust. Saudi Med J
karena dengan semakin lama bekerja maka semakin 2004;25:1153-9.
meningkat pula risiko perburukan faal paru. 17. Mwaiselage J, Bratveit M, Moen B, Yost M. Variability in
Pengawasan lingkungan kerja pabrik dengan dust exposure in cement factory in Tanzania. Ann Occup Hyg
mengurangi pajanan debu akibat kebocoran mesin 2005; 49:511-9.
18. Fell AKM, Thomassen TR, Kristensen P, Egeland T,
dan melakukanperawatan secara teratur sebelum Kongerud J. Respiratory symptoms and ventilatory function
terjadi kerusakan mesin. in workers exposed to portland cement dust. J Occup Environ
Walaupun tidak didapatkan hubungan antara Med 2003;45:1008-14.
kebiasaan menggunakan APD masker dengan 19. Mwaiselage J, Bratveit M, Moen B. Mashalla Y. Dust
exposure and respiratory health effects in the cement
kelainan klinis, faal paru dan foto toraks, industry. IOHA 2005 PILANESBERG: Paper R3-2.p.1-10.
penggunaan APD masker harus tetap digalakkan 20. Janssen LL. Efficiency and pressure drop effects of high
melalui peran serta team leader, bagian Keselamatan concentrations of cement dust on N95 electret filters. J Int
Kerja dan manajemen perusahaan karena penggunan Soc Respir Prot 2004;21:75-82.
21. Occupational Safety and Health Administration. OSHA
APD masker merupakan usaha paling akhir dalam pocket guide. Worker safety series. Concrete Manufacturing.
mengatasi bahaya pajanan debu semen. OSHA 3221-12N 2004. [cited 2006 Jun 3]. Available from:
www.osha.gov.
Daftar Pustaka 22. International Labor Organization. Encyclopedia of
1. Mangunnegoro H, Yunus F. Diagnosis penyakit paru kerja. occupational health and safety volume I, II. New York:
Dalam: Yunus F, Rasmin M, Hudoyo A, Mulawarman A, McGraw Hill Book Co.; 1983.p.436-9.
Swidarmoko B, editor. Pulmonologi klinik. Jakarta: Balai 23. Becket WS. Occupational and respiratory diseases. N Engl J
Penerbit FKUI; 1992.p.205-14. Med 2000;342:406-13.
2. Kusuma HSP. Penyakit akibat kerja sebagai dampak 24. Oleru UG. Pulmonary function and symptoms of Nigerian
perkembangan industri dan pengaruhnya terhadap workers exposed to cement dust. Environ Res 1984; 33:379-
produktivitas. Maj Kes Masy Ind 1994;9:570-2. 85.
3. Al-Neaimi YI, Gomes J, Lloyd OL. Respiratory illnesses and
ventilatory function among workers at a cement factory in a
rapidly developing country. Occup Med 2001; 51:367-73. HQ
4. Widjaja M, Yunus F, Azwar A, Soedirman. Pola penyakit dan
gejala pernapasan pada pekerja pabrik semen PT. Indocement
Tunggal Prakarsa. Paru 1994;14: 6-14.
5. Wihastuti R. Prevalensi bronkitis kronik dan asma kerja serta
faktor-faktor yang mempengaruhi pada pekerja pabrik semen.
Maj Kedokt Indon 2002;51:241-52.
6. Fosdiastiko. Prevalensi kelainan foto toraks dan penurunan
faal paru pekerja di lingkungan kerja pabrik semen. J Respir
Indo 2002;22:4-7.
7. Nilai ambang batas debu di udara lingkungan kerja. Surat
edaran Menteri Tenaga Kerja no SE-01 tahun 1997 tentang