Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah


penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Sindrom renjatan dengue (dengue
shock syndrome) adalah DBD disertai dengan renjatan/shock 2. Dengue adalah
athropod-borne viral (arboviral) yang paling sering menyerang manusia. Secara
global, 2,5-3 miliar jiwa yang tinggal di 112 negara tropis dan subtropis memiliki
risiko untuk terserang demam dengue dan demam berdarah dengue. Setiap tahun
sekitar 50-100 juta jiwa terinfeksi virus ini 4.
Virus dengue ditransmisikan melalui nyamuk betina yang kebanyakan
dengan spesies Aedes aegypti, maupun Aedes albopictus walaupun lebih jarang.
Penyakit ini menyebar di seluruh wilayah tropis, yang dipengaruhi dengan
keadaan cuaca lokal seperti curah hujan, suhu, dan juga tingkat populasi yang
tidak terjaga jumlahnya. Penyakit demam berdarah dengue dikenal pertama kali
pada tahun 1950-an, dimana pada saat itu menjadi epidemi di Filipina dan
Thailand. Saat ini dengue sudah menyebar hampir keseluruh negara-negara Asian
dan Amerika latin dan menjadi salah satu penyebab tersering rawat inap dan
kematian pada anak-anak di negara-negara tersebut6.
Insidensi penyakit ini meningkat secara signifikan di seluruh dunia dalam
dekade terakhir ini, dari laporan WHO, pada tahun 2010 terjadi hampir 2,4 juta
kasus demam berdarah dengue yang dilaporkan. Meskipun pelaporan ini tidak
tercatat dengan baik, tetapi angka ini menunjukkan peningkatan jumlah kasus
DBD yang tajam dibandingkan dengan jumlah laporan kasus pada tahun – tahun
sebelumnya6.

1
Indonesia sendiri adalah salah satu daerah endemis DBD. Dari data tahun
1968-2007 diperoleh kecendrungan peningkatan insidens DBD. Sejak tahun 2004,
Indonesia merupakan negara dengan laporan kasus infeksi virus dengue
terbanyak. Peningkatan ini diiringi dengan penurunan mortalitas DBD dari 3,4%
(1985) menjadi 1% (2006).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, prevalensi DBD
tersebar di Indonesia dengan nilai 0,6%. Prevalensi tertinggi diperoleh pada
kelompok umur dewasa muda (25-34 tahun) sebanyak 0,7% dan terendah pada
bayi (0,2%) 2.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam Dengue dikenal juga dengan “break bone fever” ditandai dengan
demam onset akut 3-14 hari setelah terinfeksi nyamuk3. Demam Dengue (DD)
dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah DBD disertai
dengan renjatan/shock 2.

2.2 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk kedalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus yang memiliki diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat
rantai tunggal dengan berat molekul 4x10^6 1.
Terdapat 4 serotipe virus, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabakan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 yang terbanyak.
Terdapat reaksi silang antar serotipe dengan Flavivirus lain seperti Yellow Fever,
Japanese encephalitis, dan West NiLe Virus 1.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia
seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar, dan primata. Survei epidemiologi pada
hewan ternak didapatkan antibodi dengue pada kuda, sapi, dan babi. Penelitian
pada arthropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus
Aedes (Stegomyia) dan Toxorhyncites 1.

2.3 Epidemiologi
Setiap tahun, diperikirakan 50-100 juta kasus demam dengue dan 500.000
kasus demam berdarah dengue terjadi di seluruh dunia, dengan kematian
mencapai 20.000 kasus setiap tahunnya (kebanyakan pada anak-anak).
Diperkirakan 2,5-3 miliar jiwa (tepatnya 40% dari seluruh populasi dunia) yang

3
terdapat pada 112 negara tropis dan subtropis memiliki risiko untuk terjadinya
infeksi virus dengue. Benua yang tidak ada sejarah infeksi virus dengue hanya
Eropa dan Antartika4.
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat
dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh
Indonesia. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk
(1998-1995), dan pernah meningkat tajam menjadi kejadian luar biasa sampai 35
per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung
menurun 2% pada tahun 1999 1.
Indonesia adalah salah satu daerah endemis DBD. Dari data tahun 1968-
2007 diperoleh kecendrungan peningkatan insidens DBD. Sejak tahun 2004,
Indonesia merupakan negara dengan laporan kasus infeksi virus dengue
terbanyak. Peningkatan ini diiringi dengan penurunan mortalitas DBD dari 3,4%
(1985) menjadi 1% (2006). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2007, prevalensi DBD tersebar di Indonesia dengan nilai 0,6%. Prevalensi
tertinggi diperoleh pada kelompok umur dewasa muda (25-34 tahun) sebanyak
0,7% dan terendah pada bayi (0,2%) 2.

P
Gambar 1. Peta sebaran nyamuk Aedes sp. Yang merupakan
P
vektor virus dengue di dunia.
e
penularan infeksi dengue terjadi dengan vektor nyamuk gemus Aedes (terutama
A.aegypti dan A.Albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan

4
dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat peindukan nyamuk betina
yaitu bejana dengan air yang jernih (bak mandi, kaleng bekas, dan tempat
2.
penampungan air lainnya)1. Biasanya nyamuk Aedes menggigit pada siang hari
Beberapa faktor diketahui berkaitan erat dengan peningkatan transmisi virus
dengue yaitu :
1. Vektor : perkembangan biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan
vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat
lain.
2. Penjamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi
dan paparan terhadap nyamuk, usia, dan jenis kelamin.
3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.

2.4 Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Virus dengue diinjeksikan oleh nyamuk Aedes ke aliran darah.
Virus ini secara tidak langsung mengenai sel epidemis dan dermis sehingga
menyebabkan sel Langerhans dan keratinosit terinfeksi. Sel-sel yang terinfeksi
bermigrasi ke nodus limfe, dimana makrofag dan monosit menjadi target
selanjutnya. Selanjutnya akan terjadi amplifikasi infkesi dan virus tersebar
keseluruh tubuh (viremia primer). Viremia primer ini menginfeksi makrofag dan
jaringan beberapa organ seperti limpa, sel hati, sel stromal, sel endotel dan
sumsum tulang. Infeksi makrofag hepatosit, dan sel endotel mempengaruhi
hemostasis dan respon imun sel penjamu terhadap virus dengue. Sel – sel yang
terinfeksi kebanyakan mati melalui apoptosis dan hanya sedikit yang melalui
nekrosis. Nekrosis mengaktivasi sistem fibrinolitik dan koagulasi. Bergantung
berapa luasnya infeksi pada sumsum tulang dan kadar IL-6,IL-8, IL-10 dan IL-18,
hemopoiesis ditekan sehingga menyebabkan penurunan trombogenitas darah.
Produk toksik juga menyebabkan peningkatan koagulasi dan konsumsi trombosit
sehingga terjadi trombositopenia2. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti
yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam

5
berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue. Repson imun yang diketahui
berperan dalam patogenesis DBD adalah1 :
a. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue
berperan dalm mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.
Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE).
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksis (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu
TH1 akan meproduksi inteferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan
TH2 memproduksi IL-4,IL-5 dan IL-6 dan IL-10.
c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan pertambahan
replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
d. Selain itu aktivitas komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologues


infection yang menyatakan bahwa DBD terjadi bila seseorang terinfeksi ulang
virus dengue dengan tipe lain yang berbeda. Reinfeksi menyebabkan reaksi
anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yanb
tinggi1.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan
peneliti lain; menyatakan bahwa infkesi virus dengue dapat menyebabkan aktivasi
makrofag yang mem-fasgositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi
sehingga virus bereplikasi di dalam makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh
virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi
limfokin dan interferon gamma. Inteferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehngga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, dan PAF
(Plasma Activating Factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya
disfungsi sel endotel dan terjadinya kebocoran plasma. Peningkatan Ca3a dan C5a

6
terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatka
terjadinya kebocoran plasma 1.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1).
Supresi sumsum tulang, dan 2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infkesi (<5 hari) menunjukkan keadaan
hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi
peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombositopenia. Destruksi
trombosit terjadi melalui pengikatan frgamen C3g, terdapatnya antiboi VD,
konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer.
Trombosit memiliki interaksi yang dekat dengan sel endotel. Sejumlah trombosit
fungsional diperlukan untuk mempertahankan stabilitas vaskular2. Gangguan
fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP,
peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 (trombosit factor 4) yang
merupakan pertanda degranulasi trombosit1.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik
(tissue factor pathway). Jalur instrinsik juga berperan melalui aktivasi fakto Xia
namun tidak melalui aktivasi kontak (kalirein CI-inhibitor complex). Bersamaan
dengan tingginya kadar virus dalam darah, trombositopenia, serta disfungsi
trombosit, keempat faktor tersebut menyebabkan petekie, memar, dan perdarahan
mukosa saluran cerna 2.

7
2.5 Manifestasi Klinis

Pasien dengue akan memiliki riwayat tinggal atau bepergian ke daerah


yang endemik dengan virus dengue. Masa inkubasi 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari).
Gejala yang muncul lebih dari 2 minggu setelah pasien kembali dari daerah
endemik kemungkinan bukan disebabkan virus dengue 4.

Kebanyakan pasien mengalami gejala prodromal seperti mengiggil, bintik-


bintik merah pada kulit, dan wajah yang kemerahan (flush). Gejala prodromal ini
biasa bertahan selama 2-3 hari. Anak-anak berusia dibawah 15 tahun biasanya
memiliki riwayat demam yang tidak spesifik, yang bisa disertai dengan
maculopapular rash. Gejala klasik demam dengue dimulai dari demam onset tiba-
tiba, menggigil dan nyeri hebat pada sendi-sendi tubuh, nyeri pada kepala,
punggung, dan ekstremitas, dan juga gejala lainnya. Demam dapat berlangsung
selama 2-7 hari dan dapat mencapai 41oC, demam turun dalam satu hari dan tinggi
kembali, demam seperti ini disebut demam tapal kuda (saddleback fever). Demam
yang berlangsung lebih lama dari 10 hari biasanya bukan merupakan manifestasi
dengue. Manifestasi lainnya dapat berupa4 :

 Sakit kepala.
 Nyeri retro-orbital.
 Nyeri pada seluruh tubuh (arthalgia, myalgia) General body pain (arthralgias,
myalgias)

8
 Mual dan muntah (diare jarang terjadi)
 Bercak kemerahan
 Lemah dan lemas
 Perubahan rasa pengecapan
 Anorexia
 Sore Throat
 Manifestasi perdarahan ringan ( peteki, gusi berdarah, epistaksis, menoragia, dan
hematuria)
 Limfadenopati.

Terdapat 3 fase pada penyakit demam berdarah dengue, yaitu :


a. Fase febril pada DBD ditandai dengan naiknya suhu tubuh hingga
≥40oC, hal ini dikarenakan terjadinya viremia. Pada fase ini DBD
dapat bermanifestasi seperti demam dengue. Manifestasi perdarahan
yang terjadi berupa perdarahan ringan seperti pada demam dengue.
Viremia dengue ini puncaknya pada 3-4 hari pertama setelah onset
demam, tetapi kemudian viremia menghilang sehingga tidak terdeteksi
setelah beberaa hari. Tingkat viremia dan demam biasanya saling
berbanding lurus, dan nilai IgM antibodi dengue meningkat setelah
demam menghilang5.
b. Fase kritis, pada fase demam turun merupakan fase kritis dimana
terjadinya kebocoran plasma dari pembuluh darah ke intersisial
sehingga dapat memunculkan efusi pleura dan asites pada kavitas
abdomen, pada pasien yang sudah terjadi kebocoran plasma, maka
harus di monitor secara ketat untuk menilai keadaan hemodinamik
pasien, karena pada fase ini bisa terjadi syok seperti takikardi, nadi
yang teraba lemah, ekstremitas terasa dingin, dan menyempitnya
selisih antara sistol dan diastol (<20mmHg), memanjangnya waktu
pengisian kapiler (>2 detik) dan menurunnya urin output (oliguria) 5.
Warning sign termasuk nyeri pada abdomen, muntah persisten, dan
perubahan suhu tubuh yang nyata (dari demam ke hipotermia),

9
manifestasi perdarahan, atau perubahan status mental (Iritabilitas,
kelemahan dan obtundasi). Pasien juga dapat mengalami tanda-tanda
syok, seperti kulit teraba dingin, nadi teraba lemah, dan penyempitan
sistolik dan diastolik. Pasien dengan gejala-gejala tersebut harus segera
dibawa ke rumah sakit3.

c. Fase konvalesen terjadi dengan komplit tetapi lambat,dengan gejala


fatigue dan kelelahan dapat terus ada hingga demam benar-benar
hilang. Fase konvalesen dapat berlangsung selama 2 minggu4, pada
fase ini ditandai dengan berhentinya kebocoran plasma dan mulai
reansorbsi cairan kedalam intravaskular, tanda bahwa pasien sudah
memasuki masa konvalesen adalah kembalinya nafsu makan pasien,
vital sign yang mulai stabil 5.

Gambar 2. Fase perjalanan penyakit demam berdarah dengue

Grade keparahan demam berdarah dengue :

10
Grade I : demam diikuti dengan gejala – gejala prodromal, manifestasi
perdarahan yang terjadi hanya tourniquet positif dan/atau mudah
memar.
Grade II : Grade I dengan perdarah spontan, biasnya perdarahan pada kulit
ataupun perdarahan lainnya.
Grade III : ditandai dengan kegagalan sirkulasi darah, seperti nadi yang cepat
dan lemah, penyempitan tekanan darah sistol dengan diastol
ataupun hipotensi, teraba kulit basah dan dingin dan penurunan
kesadaran.
Grade IV : Profound shock dengan nadi dan tekanan darah yang tidak
terukur.

2.6 Diagnosis
2.6.1 Diagnosis Berdasarkan Gejala Klinis7,8
Beberapa pasien dengan demam berdarah akan mengembangkan menjadi
demam berdarah dengue (DBD). Apabila demam mulai mereda (biasanya 3-7 hari
setelah gejala onset), pasien dapat mendapatkan gejala warning sign. Tanda-tanda
warning sign adalah sakit perut, muntah terus-menerus, ditandai perubahan suhu
(demam hipotermia), manifestasi perdarahan, atau perubahan mental status
(mudah marah, bingung). Pasien juga mungkin memiliki tanda-tanda awal syok,
termasuk gelisah, berkeringat dingin, denyut nadi lemah dan cepat, dan tekanan
darah menjadi rendah. Pasien dengan demam berdarah harus kembali ke rumah
sakit jika mendapat tanda-tanda berikut.
 Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :

-Uji bendung positif.


- Petekie, ekimosis, atau purpura.
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain.
- Hematemesis atau melena.

11
 Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul).
 Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut :
 Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin.
 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.

Perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya
kebocoran plasma.

2.6.2 Diagnosis Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium7,9


Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap
dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG.
Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :
 Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma
biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat.
 Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.

12
 Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3
demam.
 Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau
FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.
 Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
 SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
 Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
 Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
 Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah.
 Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.

IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
 Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang
dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.

2.6.3 Diagnosis Berdasarkan Pemeriksaan Radiologis7


Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada
kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.

13
2.7 Diagnosis Banding7
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian
klinis dengan demam tiroid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.

2.8 Penatalaksanaan7
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama
adalah terapi supportif. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan
tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan
cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen
cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi
secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi
dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Indonesia telah menyusun
protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria :
 Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang
dibuat sesuai dengan indikasi.
 Praktis dalam penatalaksanaannya
 Mempertimbangkan cost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :


 Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa
tanpa syok
Digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama
pada penderita DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka
DBD di Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb),
hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :
• Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000,
pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke
Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan HB,

14
Ht, Leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita
memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
• Hb, Ht normal tetapi trombosit<100.000 dianjurkan untuk dirawat.
• Hb,Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan
untuk
dirawat.

 Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD Dewasa di


Ruang Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan
tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid sesuai
dengan rumus : 1500 + {20 x (BB dalam kg-20)}. Contoh volume rumatan
untuk BB 55 kg : 1500 +{20 x (55-20)}= 2200 ml. Setelah pemberian
cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam :
 Bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb,
Ht, Trombosit dilakukan tiap 12 jam
 Bila Hb, Ht meningkat > 20 % dan trombosit < 100.000 maka
pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan
peningkatan HT > 20 %.

 Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %

Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami


defisit cairan sebanyak 5 %. Pada keadaan ini terapi awal pemberian
cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7
ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan.
Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit
menurun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin
meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam.
Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap

15
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantaun keadaan tetap membaik maka
pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian. Apabila setelah
pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tapi keadaan tetap tidak
membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan
nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus
menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam
kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan
perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam
tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus
dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya
kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien
ditangani sesusi dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada
dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi
seperti terapi pemberian cairan awal.

 Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD


Dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah :
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah
diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan
melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan
sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan
kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok
lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin
dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosis
serta hemostasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan hb,Ht dan
trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam. Pemberian heparin diberikan
apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi
intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan

16
sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor
pembekuan (PT dan APTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb
kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD
dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit.

 Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa


Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal
pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan
oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera
dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat
dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan dan renjatan dapat
terjadi karena keterlambatan penderita DBD Universitas Sumatera Utara
mendapat pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat
termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda tanda renjatan dini, dan
penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat. Pada kasus SSD cairan
kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan,
penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan –
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer
lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan
klorida, serta ureum dan kreatini. Pada fase awal, cairan elektrolit diguyur
sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan
telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan
tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per
menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak
pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi
7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil
pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit
kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam.
Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit
tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan infus harus
dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma yang mengalami

17
ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan
infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal
jantung dapat terjadi). Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan
berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama setelah
terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih
berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20 % saja yang
menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh
karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik,
diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi jantung dan nafas, pembesaran hati, nyeri tekan
daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis
diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit
dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan
penyakit. Universitas Sumatera Utara Bila setelah fase awal pemberian
cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid
dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi
setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan
nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan
plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan
pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahn
(internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah segar 10
ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. Sebelum cairan kristaloid
diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan tesebut.
Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20
ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi maka untuk memantau kecukupan caian dilakukan pemasangan
kateter vena sentral, dan pembeian koloid dapat ditambah hingga jumlah
maksimum 30 ml/kgBB dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18
cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan
dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah

18
sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat
diberikan obat inotropik/vasopresor.

2.9 Kriteria Merujuk / Referral8


Pasien mendapatkan rawat inap jika syarat-syarat berikut terpenuhi:
 Pasien syok dengan atau tanpa komplikasi
 Pasien hypoglikemia
 Pasien dengan warning sign (Abdominal pain or tenderness, persistent
vomiting, clinical fluid accumulation, mucosal bleed, lethargy, liver
enlargement >2cm, increase in HCT concurrent with rapid decrease in
platelet count).

2.10 Edukasi9
Belum ada vaksin yang tersedia melawan dengue, dan tidak ada pengobatan
spesifik untuk menangani infeksi dengue. Hal ini membuat pencegahan adalah
langkah terpenting, dan pencegahan berarti menghindari gigitan nyamuk jika kita
tinggal di atau bepergian ke area endemik. Jalan terbaik untuk mengurangi
nyamuk adalah menghilangkan tempat nyamuk bertelur, seperti bejana/ wadah
yang dapat menampung air. Nyamuk dewasa menggigit pada siang hari dan
malam hari saat penerangan menyala. Untuk menghindarinya, dapat
menggunakan losion antinyamuk atau mengenakan pakaian lengan pajang/celana
panjang dan mengamankan jalan masuk nyamuk ke ruangan. Penggunaan
insektisida untuk memberantas nyamuk dapat dilakukan dengan malathion. Cara
penggunaan malathion adalah dengan pengasapan (thermal fogging) atau
pengabutan (cold fogging). Untuk pemakaian rumah tangga dapat menggunakan
golongan organofosfat, karbamat atau pyrethoid.

19
2.11 Prognosis13
Pada DBD, kematian telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi
dengan penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan. Angka
kematian secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan intensif.
Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak yang disebabkan syok
berkepanjangan atau perdarahan intracranial

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Demam berdarah dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah


penyakit virus yang berbahaya karena dapat menyebabkan penderita meninggal
dalam waktu yang sangat pendek. Gejala klinis DBD berupa demam tinggi yang
berlangsung terus menerus selama 2-7 hari dan manisfestasi perdarahan yang
biasanya didahului dengan terlihatnya tanda khas berupa bintik-bintik merah
(patechia) pada badan penderita. penderita dapat mengalami syok dan meninggal.
Indonesia adalah salah satu daerah endemis DBD. Dari data tahun 1968-
2007 diperoleh kecendrungan peningkatan insidens DBD. Sejak tahun 2004,
Indonesia merupakan negara dengan laporan kasus infeksi virus dengue
terbanyak. Peningkatan ini diiringi dengan penurunan mortalitas DBD dari 3,4%
(1985) menjadi 1% (2006). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2007, prevalensi DBD tersebar di Indonesia dengan nilai 0,6%. Prevalensi
tertinggi diperoleh pada kelompok umur dewasa muda (25-34 tahun) sebanyak
0,7% dan terendah pada bayi (0,2%) .
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah
terapi supportif. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang
paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan oral pasien tidak
mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk
mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro,2006. Demam Berdarah Dengue, Dalam: A.W. Sudoyo, et al.,


eds. 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-3 Jilid III, Jakarta :
Interna Publishing Hal. 1709-1713 Bab 38
2. Tanto,Chris,2014. Demam Berdarah Dengue, Dalam: Tanto,Chris,et.al.,eds
2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV jilid II, Jakarta : Media
Aesculapius
3. Sheperd, Suzan Moore,2014.Dengue. Available in :
http://emedicine.medscape.com/article/215840-overview#a0101 [acceses 02
june 2015]
4. Center for Disease Control and Prevention,2015, Dengue. Available in :
http://www.cdc.gov/Dengue/clinicalLab/index.html [accesed 02 june 2015]
5. World Health Organization,2015, Dengue and Severe Dengue, Available in
:http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/ [accesed 02 june
2015]
6. Dahlan, Zul. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke V jilid III.
Jakarta : Interna Publishing.
7. Kumar & Clark’s. 2012. Clinical Medicine. Edisi ke-8. Spain: SAUNDERS
ELSEVIER Publishing. Halaman: 106-107. Bab 4.
8. Nicki, Brian, et al., 2010. Davidson’s Principle and Practice of Medicine.
Edisi ke-21. Edinburgh: CHURCHILL LIVINGSTONE Publishing.
Halaman: 318-321. Bab 13.
9. Depkes RI. (2003). Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam
Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
10. WHO, 2009. Dengue Guideline For Diagnosis, Treatment, Prevention And
Control. Geneva, Switzerland: WHO Geneva Publication. Available online
at: http://wholibdoc.who.int/publications/2009/9789241547871_eng.pdf.

22
23

Anda mungkin juga menyukai