Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

Jalur Dopamin

1.1 Empat Jalur Dopamin


Gejala psikotik dan gangguan fungsional yang muncul pada Skizofrenia, sesuai
dengan etiologi yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diinisiasi oleh berbagai
faktor, salah satunya adalah keadaan hiperdopaminergik pada otak. Berikut adalah
penjelasan mengenai peran dopamin dalam menimbulkan berbagai gangguan yang
muncul pada Skizofrenia, juga efek samping pemeberian antipsikotik yang bertugas
memblokade reseptor-reseptor dopamin di otak.

Gambar 1. Four Dopamine Pathways


Dopamin merupakan neuromodulator yang bekerja di otak, terdiri dari D1,
D2, D3, D4 dan D5, dimana blokade terhadap reseptor D2 pada otak merupakan
karakteristik umum secara farmakodinamik untuk menekan gejala psikotik yang
muncul pada pasien skizofrenia. Tanpa adanya kemampuan untuk memblokade
reseptor D2, obat tidak akan memiliki kemampuan menekan gejala psikotik.
Dopamin memiliki empat jalur pada otak yang dilaluinya untuk menjalankan
beberapa fungsi penting tubuh. Keempat jalur tersebut adalah jalur mesolimbik,
jalur mesokortikal, jalur nigostriatal dan jalur tuberoinfundibular.

1
1. Jalur Mesolimbik
Jalur mesolimbik dikenal sebagai jalur yang mengatur tentang rasa senang
dan kepuasan, tidak hanya kepuasan normal yang didapat saat mendengarkan musik
atau mengonsumsi makanan yang enak, namun juga perasaan senang yang artifisial
akibat dari penyalahgunaan obat-obatan. Jika reseptor D2 pada jalur ini distimulasi,
maka perasaan senang atau puas akan dapat dirasakan oleh orang tersebut. Pada
skizofrenia, ditemukan adanya overstimulasi dari neuron-neuron dopamin yang
hiperaktif di jalur mesolimbik, dimana hal inilah yang melatarbelakangi munculnya
gejala positif seperti halusinasi dan delusi. Apabila kemudian terdapat blokade pada
reseptor D2 oleh karena pemberian antipsikotik, tidak hanya gejala positif saja yang
hilang, namun perasaan senang dan kepuasan juga otomatis akan hilang. Hal ini
menyebabkan munculnya anhedonia (berkurangnya kemampuan seseorang untuk
merasakan kepuasan atau kebahagiaan), avolisi (kehilangan gairah atau semangat
untuk melakukan suatu pekerjaan bahkan kegiatan sehari-hari), juga kehilangan
rasa senang dan bahagia sat melakukan interaksi sosial di lingkungannya. Hal-hal
tersebut dikatakan mirip dengan adanya gejala negatif pada skizofrenia.
2. Jalur Mesokortikal
Jalur mesokortikal dikenal memiliki hubungan dengan pengaturan fungsi
kognitif, fungsi eksekutif, juga emosi dan afek seseorang. Pada Skizofrenia,
meskipun terdapat peningkatan kadar dopamin di jalur mesolimbik, namun
diketahui bahwa pada jalur mesokortikal justru terjdi hal yang sebaliknya, yaitu
penurunan kadar dopamin yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif dan
munculnya gejala negatif. Jika terdapat blokade reseptor D2 oleh obat antipsikotik
terutama golongan tipikal (generasi pertama) yang memblokade seluruh reseptor
D2 di semua jalur, maka kadar dopamin pada jalur ini akan semakin menurun dan
berdampak pada penurunan fungsi kognitif yang lebih berat juga bertambah
parahnya gejala negatif yang muncul.
3. Jalur Nigostriatal
Jalur nigostriatal merupakan bagian dari sistem syaraf ekstrapiramidal yang
mengatur gerakan motorik volunter, dimana dopamin berfungsi untuk menstimulasi
adanya gerakan tersebut. Adanya blokade terhadap reseptor D2 karena pengaruh

2
obat antipsikotik khususnya antipsikotik generasi pertama, dapat menimbulkan
gangguan pada gerakan tubuh yang muncul seperti penyakit Parkinson. Efek
samping motorik akibat blokade reseptor D2 di jalur ini biasanya disebut sebagai
extrapyramidal symptoms (EPS). Apabila blokade reseptor D2 terjadi secara terus
menerus akibat penggunan antipsikotik tipikal dalam jangka panjang, maka hal
tersebut dapat menyebabkan gangguan gerakan hiperkinetik yang biasa disebut
sebagai tardive dyskinesia. Gangguan ini ditandai dengan munculnya gerakan-
gerakan involunter wajah dan lidah seperti mengunyah, mengernyitkan wajah,
hingga gerakan abnormal ekstremitas bawah yang cepat dan tampak seperti sedang
menari. Jika blokade reseptor D2 setelah munculnya tardive dyskinesia segera
dihentikan, maka besar kemungkinan keadaan ini dapat reversibel. Namun apabila
antipsikotik tipikal terus digunakan, hal ini dapat berakibat pada keadaan yang
ireversibel, bahkan ketika obat antipsikotik kemudian dihentikan.
4. Jalur Tuberoinfundibular
Blokade reseptor D2 pada jalur tuberoinfundibular akibat penggunaan
antipsikotik tipikal dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi prolactin plasma
hingga terjadi hiperprolaktinemia. Keadaan ini berkaitan dengan munculnya
galaktorea dan amenorea. Selain itu, hiperprolaktinemia juga mempengaruhi
fertilitas wanita (Stahl, 2013).

3
BAB 2
SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA

2.1. Definisi
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM
adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran.
Morbiditas dan mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio
pulmo dan ginjal.
DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders)
mendefiniskan sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan temperatur dan
gejala lainnya yang terkait (misalnya diaphoresis, disfagia, inkontinensia,
perubahan tingkat kesadaran dari konfusi sampai dengan koma, mutisme, tekanan
darah meningkat atau tidak stabil, peningkatan kreatin phosphokinase (CPK) yang
berkaitan dengan pengunaan pengobatan neuroleptik.
Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin biasanya
dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti skizoprenia,
gangguan afek mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium, gangguan tingkah laku
karena dimensia, nausea, disfungsi usus dan penyakit parkinson. Sindroma ini
mengakibatkan disfungsi sistem syaraf otonom. Sistem syaraf otonom adalah
sistem syaraf yang bertanggung jawab untuk aktivitas tubuh yang tidak
dikendalikan secara sadar, seperti denyut jantung, tekanan darah, pencernaan,
berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga terpengaruh.
2.2. Etiologi
1. Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM termasuk neuroleptik
potensi rendah, neuroleptik potensi tinggi dan antipsikotik atipikal. SNM
sering pada pasien dengan pengobatan haloperidol dan chlorpromazine.
2. Penggunaan dosis tinggi antipsikotik (terutama neuroleptic potensi tinggi),
antipsikotik aksi cepat dengan dosis dinaikan dan penggunaan antipsikotik
injeksi long acting.

4
3. Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan neuroleptik
yang tidak konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya, terutama
lithium, dan juga terapi kejang.
2.3. Faktor Resiko
Faktor resiko dari SNM antara lain :
1. Faktor lingkungan dan psikologi yang menjadi predisposisi terhadap SNM
adalah kondisi panas dan lembab, agitasi, dehidrasi, kelelahan dan
malnutrisi.
2. Faktor genetik, terdapat laporan kasus yang mempublikasikan bahwa SNM
dapat terjadi pada kembar identik.
3. Pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren.
Resiko rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu antara episode
SNM dan penggunaan antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti psikotik
dalam 2 minggu episode SNM, 63 % akan rekurensi. Jika lebih dari 2
minggu, persentasenya hanya 30%.
4. Sindrom otak organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan
lithium, riwayat ECT (Elektro Convulsive Therapy), penggunaan
neuroleptik tidak teratur.
5. Penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis
neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi.
2.4. Patofisiologi
Sesuai dengan istilahnya, Sindrom Neuroleptik Maligna berkaitan dengan
pemberian pengobatan neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi
terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade
dopamin yang menyebabkan SNM. Pengurangan aktivitas dopamin di area otak
(hipothalamus, sistem nigrostartial, traktus kortikolimbik) dapat menerangkan
terjadinya gejala klinis SNM.
Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan pengaturan suhu sehingga terjadi demam dan juga dapat menyebabkan
ketidak stabilan saraf otonom. Di sistem nigrostratial dapat menyebabkan rigiditas,
di sistem traktus kortiko limbik dapat menyebabkan perubahan kesadaran.

5
Perubahan status mental disebabkan karena blokade reseptor dopamin di sistem
nigrostartial dan mesokortikal.

2.5. Gambaran Klinis


Sindrom Neuroleptik Maligna merupakan reaksi idiosinkrotik yang tidak
tergantung pada kadar awal obat dalam darah. Sindrom tersebut dapat terjadi pada
dosis tunggal neuroleptik (phenotiazine, thioxanthene, atau neuroleptikal atipikal),
biasanya berkembang dalam 4 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan
dengan neuroleptik. SNM sebagian besar berkembang dalam 24-72 jam setelah
pemberian obat neuroleptik atau perubahan dosis (biasanya karena peningkatan
dosis).(6) Sindroma neuroleptik maligna dapat menunjukkan gambaran klinis yang
luas dari ringan sampai dengan berat.
Gejalanya yaitu:
a) Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea,
takikardi dan tekanan darah meningkat atau labil.
b) Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur,
distonia dan diskinesia. Tremor dan aktivitas motorik berlebihan dapat
mencerminkan agitasi psikomotorik. Konfusi, koma, mutisme, inkotinensia
dan delirium mencerminkan terjadinya perubahan tingkat kesadaran.

6
2.6. Pemeriksaan Laboratorium
Rigiditas dan hipertermi pada SNM disebabkan karena kerusakan otot dan
nekrosis. Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan :
1) Peningkatan kadar Creatin Kinase (CK) darah mencapai 2000 – 15.000 U/
L. Peningkatan kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi untuk Sindrom
Neuroleptik Maligna.
2) Peningkatan Aminotransferase (aspartate aminotransferase [AST], alanine
aminotransferase [ALT]), and lactate dehydrogenase (LDH ).
3) Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (15. 000 – 30.000 x
103/ mm3), trombositosis dan dehidrasi. Protein serebrospinal dapat
meningkat. Konsentrasi serum besi dapat menurun.
2.7. Diagnosis
Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah satu
kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup hiperpireksia dan
rigiditas otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidak stabilan
otonom, perubahan sensorik, peningkatan kadar CK dan myoglobinuria.
Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi diagnosis
banding pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik. Sebelum diagnosis
SNM ditegakkan, semua kemungkinan penyebab kenaikan suhu harus disingkirkan,
dan demam harus disertai dengan gejala klinis lain seperti rigiditas otot, perubahan
status mental dan ketidakstabilan otonom.
Kriteria diagnosis menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders) :
Memenuhi kriteria A dua-duanya dan kriteria B minimal 2.
Kriteria A
1. Rigiditas otot
2. Demam
Kriteria B
1. Diaphoresis
2. Disfagia
3. Tremor

7
4. Inkontinensia
5. Perubahan kesadaran
6. Mutisme
7. Takikardi
8. Tekanan darah meningkat atau labil
9. Leukositosis
10. Hasil laboratorium menunjukkan cedera otot
Kriteria C
Tidak ada penyebab lain (Misal: encephalitis virus)
Kriteria D
Tidak ada gangguan mental
Diagnosis banding dari SNM sangat luas. Hal terpenting sumber infeksi dari
demam harus di singkirkan. Pungsi lumbal harus dipertimbangkan untuk
membedakan SNM dengan encephalitis virus atau encephalomyelitis post
infeksi.SNM harus dibedakan dari sindrom yang disebabkan oleh pengobatan lain
seperti sindrom serotonin dan hipertermi maligna.
2.8. Diagnosis Banding
1. Heat Stroke
Pada heat stroke kulit menjadi kering dan lembek akibat hipertermi dan
hipotensi.
2. Letal Kataton
Letal kataton terjadi pada orang skizoprenia atau episode manik. Neuroleptik
dapat memperbaiki atau memperburuk gejalanya. Membedakan SNM dan letal
kataton sulit, meskipun riwayat pasien menyatakan episode kataton pada saat pasien
tidak meminum neuroleptik. Letal kataton cenderung eksitasi dan agitasi pada
prodomal sedangkan SNM dimulai dengan rigiditas.
3. Sindrom Serotonin
Sindrom serotonin sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan
menggali riwayat pengobatan dengan perhatian pada perubahan dosis dan tidak
adanya rigiditas berat.

8
2.9. Penatalaksanaan
1. Terapi Suportif
Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti psikotik
dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda dalam 1-2
minggu. Sindrom Neuroleptik Maligna yang dipercepat dengan depot injeksi anti
psikotik long action dapat bertahan selama sebulan.
Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan
memelihara fungsi organ yaitu:
1. Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri.
2. Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan, hemodinamik.
3. Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik.
4. Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak, analisis
cairan serebrospinal, kultur urin dan darah.
2. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti
bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom
Neuroleptik Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Dantrolene dipakai
untuk mengurangi rigiditas otot, metabolisme dan peningkatan panas. Peneliti lain
melaporkan tidak ada manfaat dan setelah diamati ternyata meningkatkan
komplikasi dan pemanjangan gejala karena pemakaian obat-obat tersebut.
Terapi tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam beberapa kasus.
Penelitian Francis et all menyatakan benzodiazepin efektif dalam penanganan
Sindrom Neuroleptik Maligna dengan mengurangi durasi menjadi 2 – 3 hari.
2.10. Komplikasi
Komplikasi dari Sindroma Neuroleptik Maligna banyak. Komplikasi yang
paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menerus
dan akhirnya terjadi kerusakan otot. Komplikasi lainnya gagal ginjal, pneumonia
aspirasi, emboli pulmo, edema pulmo, sindrom distress respirasi, sepsis,
diseminated intravascular coagulation, seizure, infark miocardial.
Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena psikotik
yang tidak terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti psikotik

9
karena menderita gangguan psikiatri berat atau persiten, kemungkinan relaps tinggi
jika anti pskotik di hentikan.
2.11. Prognosis
Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis
berat otot yang menjadi rhabdomiolisis. Pasien dengan riwayat Sindrom
Neuroleptik Maligna dapat terjadi rekurensi. Resiko terjadi rekurensi berhubungan
dengan jeda waktu antara Sindrom Neuroleptik Maligna dan dimulainya kembali
pengobatan antipsikotik.
2.12. Pencegahan
Pencegahan merupakan bagian penting dalam menghindari terjadinya
sindrom ini. Dosis terendah neuroleptik dianjurkan, dengan memonitor onset efek
samping ekstra piramidal. Deteksi awal dan memberikan terapi untuk
mengeliminasi efek samping ekstra piramidal, terutama rigiditas otot dapat
mencegah perkembangan lebih lanjut Sindroma Neuroleptik Maligna dan
komplikasinya.

10
BAB 3
SINDROM EKSTRAPIRAMIDAL

3.1 Definisi
Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi
antipsikotik golongan tipikal dikarenakan terjadinya inhibisi transmisi
dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum yan
mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi
motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal.
3.2 Epidemiologi
Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia, dan
sindrom parkinsonism umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat antipsikotik.
Lebih banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai
potensi tinggi.
Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria
muda. Tardive dyskinesia berupa gerakan involunter otot seperti mulut, rahang,
umumnya terjadi akibat penggunaan antipsikotik golongan tipikal jangka panjang.
Sekitar 20-30% pasien telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu
6 bulan atau lebih, berkembang menjadi tardive dyskinesia. Sindrom parkinson
umumnya timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal, lebih sering pada dewasa
muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1.
3.3 Etiologi
Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang
menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan
dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya
sebagai berikut

11
Obat antispikosis dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai
berikut :
Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gej. ekstrapiramidal
Chlorpromazine 150-1600 ++
Thioridazine 100-900 +
Perphenazine 8-48 +++
trifluoperazine 5-60 +++
Fluphenazine 5-60 +++
Haloperidol 2-100 ++++
Pimozide 2-6 ++
Clozapine 25-100 -
Zotepine 75-100 +
Sulpride 200-1600 +
Risperidon 2-9 +
Quetapine 50-400 +
Olanzapine 10-20 +
Aripiprazole 10-20 +

3.4 Patofisiologi
Susunan Piramidal
Semua neuron yang menyalurkan impuls motorik secara langsung ke lower
motor neuron (LMN) atau melalui interneuronnya, tergolong dalam kelompok
upper motor neuron (UMN). Neuron-neuron tersebut merupakan penghuni girus
presentralis . Oleh karena itu, maka girus tersebut dinamakan korteks motorik.
Mereka berada dilapisan ke-V dan masing-masing memiliki hubungan dengan
gerak otok tertentu. Melalui aksonnya neuron korteks motorik menghubungi
motoneuron yang membentuk inti motorik saraf kranial dan motor neuron dikornu
anterius medula spinalis.
Akson-akson tersebut menyusun jaras kortikobulbar dan kortikospinal.
Sebagai berkas saraf yang kompak mereka turun dari korteks motorik dan ditingkat
thalamus dan ganglia basalia mereka terdapat diantara kedua bangunan yang

12
dikenal sebagai kapsula interna.Sepanjang batang otak, serabut-serabut
kortikobulbar meninggalkan kawasan mereka untuk menyilang garis tengah dan
berakhir secara langsung di motorneuron saraf kranial motorik atau interneuronnya
disisi kontralateral. Sebagian dari serabut kortikobulbar berakhir di inti-inti saraf
kranial motorik sisi ipsilateral juga.
Diperbatasan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, serabut-serabut
kortikospinal sebagian besar menyilang dan membentuk jaras kortikospinal lateral
yang berjalan di funikulus posterolateral kontralateralis. Sebagian dari mereka tidak
menyilang tapi melanjutkan perjalanan ke medula spinalis di funikulus ventralis
ipsilateralis dan dikenal sebagai jaras kortikospinal ventral atau traktus piramidalis
ventralis.
Susunan Ekstrapiramidal
Susunan ekstrapiramidal terdiri dari : korpus striatum, globus palidus, inti-
inti talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak,
serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan yaitu area 4, area 6 dan area
8. Komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson
masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar
yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan penerima
tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut
dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3
sirkuit striatal penunjang (aksesori).
Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu :
 hubungan segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus
palidus
 hubungan korpus striatum/globus palidus dengan thalamus
 hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6.
Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus
striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu
merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan.
Oleh karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun
sirkuit yang pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-

13
sirkuit itu disebut sirkuit striatal asesorik.
Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan
stratum-globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah
lintasan yang melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan
akhirnya sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari
striatum-subtansia nigra-striatum.
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi
ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis.
Pada pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik lainnya terjadi
disfungsi pada sitem dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi untuk
menghambat transmisi dopamin di jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai
inhibisi dopaminergi yakni antagonis reseptor D2 dopamin. Namun penggunaan
zat-zat tersebut menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang
mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin. Gangguan jalur striatonigral
dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai
sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol,
fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten, dab
sebagai akibatnya menyebabkan efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih
menonjol.
Dengan mengetahui jalur neuronal dopamin, dapat dimengerti bagaimana
efek dari obat-obat antipsikosis dan juga efek sampingnya. Terdapat 4 jalur
dopamin dalam otak :
 Jalur dopamin mesolimbik
Jalur ini dimulai dari batang otak sampai area limbik, berfungsi
mengatur perilaku dan terutama menciptakan delusi dan halusinasi jika
dopamin berlebih. Dengan jalur ini ‘dimatikan’ maka diharapkan delusi
dan halusinasi dapat dihilangkan.
 Jalur dopamin nigrostriatal
Jalur ini berfungsi mengatur gerakan. Ketika reseptor dopamin
pada jalur ini dihambat pada postsinaps, maka akan menyebabkan
gangguan gerakan yang muncul serupa dengan penyakit Parkinson,

14
sehingga sering disebut drug-induced Parkinsonism. Oleh karena jalur
nigrostriatal ini merupakan bagian dari sistem ekstrapiramidal dari
sistem saraf pusat, maka efek samping dari blokade reseptor dopamin
juga disebut reaksi ekstrapiramidal.
 Jalur dopamin mesokortikal
Masih merupakan perdebatan bahwa blokade reseptor dopamin
pada jalur ini akan menyebabkan timbulnya gejala negatif dari psikosis,
yang disebut neuroleptic-induced deficit syndrome.
 Jalur dopamin tuberoinfundibular
Jalur ini mengontrol sekresi dari prolaktin. Blokade dari reseptor
dopamin pada jalur ini akan menyebabkan peningkatan level prolaktin
sehingga menimbulkan laktasi yang tidak pada waktunya, disebut
galaktorea.
3.5 Gejala Klinis
Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak
bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari
sistem ekstrapiramidal adalah terutama di formatio reticularis dari pons dan
medulla dan di target saraf di medula spinalis yang mengatur refleks, gerakan-
gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh.
Istilah sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau
reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari
medikasi antipsikotik. Istilah ini mungkin dibuat karena banyak gejala
bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-
gejala itu di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal).
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu:
1. Reaksi distonia akut
2. Tardive diskinesia
3. Akatisia
4. Parkinsonism (Sindrom Parkinson)

15
1. Reaksi Distonia Akut (Acute Dystonia Reaction)
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet
yang timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya
menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal. Kelompok otot yang
paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler,
bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap
badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan seluruh otot tubuh).
Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah
pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Distonia lebih banyak
diakibatkan oleh psikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi
dan dosis tinggi seperti haloperidol, trifluoroperazin dan fluphenazine.
Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda.
Perkembangan gejala distonik ditandai oleh onsetnya yang awal selama
perjalanan terapi dengan neuroleptik dan tingginya insiden pada laki-laki,
pada pasien di bawah usia 30 tahun, dan pada pasien yang mendapatkan
dosis tinggi medikasi antipsikotik potensi tinggi (contohnya haloperidol).
Walaupun onset seringkali tiba-tiba, onset dalam tiga sampai enam jam
dapat terjadi, seringkali keluhan pasien berupa lidah yang tebal atau
kesulitan menelan. Kontraksi distonik dapat cukup kuat sehingga dapat
mendislokasi sendi, distonia laring dapat menyebabkan tercekik jika pasien
tidak segera diobati. Otot-otot yang sering mengalami spasme adalah otot
leher (torticolis dan retrocolis), otot rahang (trismus, gaping, grimacing),
lidah (protrusion, memuntir) atau spasme pada seluruh otot tubuh
(opistotonus). Pada mata terjadi krisis okulogirik. Distonia glosofaringeal
yang menyebabkan disartri, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis
bahkan kematian. Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya yang
dipengaruhi adalah otot-otot di daerah kepala dan leher tetapi terkadang juga
daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.
Mekanisme patofisiologi distonia adalah tidak jelas, walaupun
perubahan dalam konsentrasi neuroleptik dan perubahan yang terjadi dalam
mekanisme homeostatik di dalam ganglia basalis mungkin merupakan

16
penyebab utama distonia.
Reaksi distonia akut dapat merupakan penyebab utama dari
ketidakpatuhan dengan neuroleptik karena pandangan pasien mengenai
medikasi secara permanen dapat memudar oleh suatu reaksi distonik yang
menyusahkan.
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik
menurut DSM IV adalah sebagai berikut :
Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau
batang tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau
menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi
yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal)
A. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang
berhubungan dengan medikasi neuroleptik :
1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh
(misalnya tortikolis)
2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-
faring, disfonia)
4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar
(disartria, makroglosia)
5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh
B. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah
memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau
menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau
mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik)
C. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan
mental (misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa
gejala lebih baik diterangkan oleh gangguan mental dapat berupa berikut
: gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak
sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada
perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian
antikolinergik)
D. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi
neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena
kondisi medis umum dapat berupa berikut : gejala mendahului
pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis
fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa
adanya perubahan medikasi.

17
Terapi distonia harus dilakukan dengan segera, paling sering dengan
antikolinergik atau antihistaminergik. Jika pasien tidak berespon dengan
tiga dosis obat-obatan tersebut dalam dua jam, klinisi harus
mempertimbangkan penyebab gerakan distonik selain medikasi neuroleptik.
Untuk terapi distonia akut akibat neuroleptik, diberikan 1-2 mg
benztropine IM. Jika dosis tersebut tidak efektif dalam 20-30 menit, obat
harus diberikan lagi. Jika pasien masih tidak membaik dalam 20-30 menit
lagi, suatu benzodiazepin (contohnya 1 mg lorazepam IM/IV) harus
diberikan.
Distonia laring merupakan kegawatdaruratan medis dan harus
diberikan 4 mg benztropine dalam 10 menit, diikuti dengan 1-2 mg
lorazepam, diberikan perlahan melalui jalur IV.
Profilaksis terhadap distonia diindikasikan pada pasien yang pernah
memiliki satu episode atau pada pasien yang berada dalam resiko tinggi
(laki-laki muda yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi). Profilaksis
diberikan selama 4-8 minggu dan selanjutnya diturunkan perlahan selama
periode 1-2 minggu untuk memungkinkan pemeriksaan tentang kebutuhan
untuk melanjutkan terapi profilaksis.
2. Tardive Diskinesia
Sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid
abnormal, gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau
seperti tik memperngaruhi gaya berjalan, berbicara dan bernafas. Ini
merupakan efek yang tidak dikehendaki dari obat antipsikotik. Hal ini
disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor
dopamine di putamen kaudatus. Wanita tua yang diobati jangka panjang
mudah mendapatkan gangguan tersebut walaupun dapat terjadi di perbagai
tingkat umur pria ataupun wanita. Prevalensi bervariasi tetapi tardive
diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang berobat lama. Tetapi
sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien memperlihatkan
gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat melemahkan sekali,
yaitu mempengaruhi berjalan, berbicara, bernapas dan makan.

18
Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita,
dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan
gangguan afektif atau organik juga lebih berkemungkinan untuk mengalami
tardive diskinesia. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan
berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik.
Diagnosis banding jika mempertimbangkan tardive diskinesia meliputi
penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan
diskinesia yang ditimbulkan obat (contohnya levodopa, stimulant dan lain-
lain). Perlu dicatat bahwa tardive diskinesia yang diduga disebabkan oleh
kesupersensitivitasan reseptor dopamine pasca sinaptik akibat blokade
kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom Parkinson yang diduga
disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak mencukupi.
Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit di obati. Banyak terapi yang
diajukan tetapi evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat beragam
dan kadang-kadang terbatas. Tardive diskinesia dini atau ringan mudah
terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi sistemik, Skala Gerakan
Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk pasien
yang mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang.
3. Akatisia
Sejauh ini EPS ini merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan
terjadi pada sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi
neuroleptik, terutama pada populasi pasien lebih muda. Manifestasi berupa
keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak, atau rasa
gatal pada otot. Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif kegelisahan
(restlessness) yang panjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki
yang tidak bisa tenang. Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk
duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau iritabel, juga telah
dilaporkan sebagai rasa gatal pada otot.
Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat
disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya,
akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan

19
tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi
fisik lain dari akatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat. Juga,
akinesis yang ditemukan pada parkinsonisme yang ditimbulkan neuroleptik
dapat menutupi setiap gejala objektif akatisia.
Akatisia sering timbul segera setelah memulai medikasi neuroleptik dan
pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan perasaan tidak nyaman. Yang
dirasakan ini dengan medikasi sehingga menimbulkan masalah
ketidakpatuhan pasien.
4. Sindrom Parkinson
Merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam
setelah dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur
setelah pengobatan bertahun-tahun. Patofisiologi parkinsonisme akibat
neuroleptik melibatkan penghambatan reseptor D2 dalam kaudatus pada
akhir neuron dopamin nigrostriatal, yaitu neuron yang sama yang
berdegenerasi pada penyakit Parkinson idiopatik. Pasien yang lanjut usia
dan wanita berada dalam resiko tertinggi untuk mengalami parkinsonisme
akibat neuroleptik.
Manifestasinya meliputi berikut :
 Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan
spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan,
dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur.
Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu
status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan
kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan
dengan gejala negative skizofrenia.
 Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe
penggulung pil. Tremor dapat mengenai bibir dan otot-otot perioral yang
disebut sebagai “sindrom kelinci”. Keadaan ini dapat dikelirukan dengan
tardive diskinesia, tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih ritmik,
kecerendungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan responnya
terhadap medikasi antikolinergik.

20
 Kekakuan otot/rigiditas : merupakan gangguan pada tonus otot,
yaitu derajat ketegangan yang ada pada otot. Gangguan tonus otot dapat
menyebabkan hipertonia. Hipertonia yang berhubungan dengan
parkinsonisme akibat neuroleptik adalah tipe pipa besi (lead-pipe type) atau
tipe roda gigi (cogwheel type). Istilah tersebut menggambarkan kesan
subjektif dari anggota gerak atau sendi yang terkena.
Penanganan Efek Samping Ekstrapiramidal
Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli
menganjurkan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan
riwayat EPS atau para pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.
Medikasi anti-EPS yang digunakan terutama adalah antikolinergik. Hal
tersebut disebabkan adanya reaksi reciprocal (berlawanan) antara dopamin dan
asetilkolin pada jalur dopamin nigrostriatal. Neuron-neuron dopamin pada jalur
nigrostriatal mempunyai koneksi postsinaps dengan neuron kolinergik. Secara
normal, dopamin menghambat pelepasan asetilkolin dari postsinaps jalur kolinergik
nigrostriatal. Obat antipsikosis menghambat dopamin sehingga menyebabkan
aktivitas asetilkolin yang berlebih.
Untuk mengurangi efek asetilkolin yang berlebih ini, digunakan
antikolinergik. Sehingga untuk setiap pemberian obat antipsikosis diberikan
antikolinergik untuk mencegah adanya efek samping ekstrapiramidal.
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat
menyebabkan komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya menyebabkan
mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine.
Selain dengan medikasi anti-EPS, dapat juga dilakukan pengurangan dosis obat
anti-psikosis atau dengan mengganti obat anti-psikosis dengan jenis atipikal seperti
olanzapine, risperidone, atau clozapine. Obat anti-psikosis atipikal ini hanya sedikit
berpengaruh terhadap jalur nigrostriatal sehingga efeknya terhadap ekstrapiramidal
lebih sedikit dibanding obat-obat anti-psikosis konvensional.
Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan
untuk menarik medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan seksama terhadap
kembalinya gejala.

21
3.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni dengan mulai
menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin
seperti difenhidramine, sulfas atropine atau antikolinergik seperti trihexyphenidil
((THP), 4-6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara
perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah
mengembangkan suatu toleransi terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal
ini. Dosis antipsikotik diturunkan hingga mencapai dosis minimal yang efektif.
Antihistamin yang dapat digunakan seperti difenhidramin pada pasien yang
mengalami distonia. Selain itu epinefrin dan norepinefrin juga memberikan efek
menurunkan konsentrasi antipsikotik dalam plasma sehingga absorbsi reseptor
dopamin berkurang dan efek gejala ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat
berkurang.
Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan untuk
memberikan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan
riwayat pernah mengalami sindrom ekstrapiramidal sbelumnya atau pada pasien
yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi. Umumnya disarankan bahwa suatu
usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik medikasi anti-ekstrapiramidal
sindrom pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala.
Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani.
Penghentian obat-obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi
harus dilakukan sesegera mungkin. Pemberian terapi antikolinergik merupakan
terapi primer yang diberikan. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan
penanganan cepat dan agresif. Umumnya lebih praktis untuk memberikan
difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg
IM.
Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan
amanditin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan
lorazepam.
Untuk sindrom parkinson diberikan agen antikolinergik. Sementara untuk tardive
dyskinesia ditangani dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana untuk

22
dosis medikasinya. Levadopa yang dipakai untuk pengobatan penyakitan Parkinson
idiopatik umumnya untuk tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat. Namun
penggunaan golongan Benzodiazepin dapat mengurangi gerakan involunter pada
banyak pasien.
3.7 Diagnosis Banding
Sindrom ekstrapiramidal dapat didiagnosis banding sebagai berikut:
1.Sindroma putus obat
2.Parkinson disease
3.Tetanus
4.Gangguan gerak ekstrapiramidal primer
5.Distonia primer
Pada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula didiagnosis banding
meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham
3.8 Prognosis
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik
bila gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien
dengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, pasien dengan tardive
distonia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak diatasi
dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang
mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.
3.9 Komplikasi
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga
menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gaangguan gerak saat
berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada
distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian. Medikasi anti-EPS
mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi yang
buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur,
gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi
gejala psikotik.

23
BAB 4
ELECTROCONVULSIVE THERAPY

4.1 Definisi
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan salah satu jenis terapi fisik
yang merupakan pilihan untuk indikasi terapi pada beberapa kasus gangguan
psikiatri. Indikasi utama adalah depresi berat.
ECT (Electroconvulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan psikiatri
dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam
pengaruh anestesi dengan menggunakan alat khusus. Terapi Elektroconvulsive
(ECT) adalah terapi yang aman dan efektif untuk pasien dengan gangguan depresi
berat, episode manik, dan gangguan mental serius lainnya.
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan prosedur medis yang
dilakukan oleh dokter dimana pasien diberikan anestesi umum dan relaksasi otot.
Ketika efeknya telah bekerja, otak pasien distimulasi dengan suatu rangkaian dan
dikontrol dengan electrode yang dipasang di kepala pasien. Stimulus ini
menyebabkan bangkitan kejang di otak sampai 2 menit. Karena penggunaan
anestesi dan relaksasi otot sehingga badan pasien tidak ikut terangsang dan tidak
merasa nyeri.
4.2 Sejarah Perkembangan ECT
Pada 1934 pengobatan yang menggunakan bangkitan kejang, diperkenalkan
dan ditulis di London Medical pengidap skizofrenia dan penderita epilepsi yang
disertai gangguan jiwa. Bila serangan epilepsi datang maka gangguan jiwanya
membaik. Berdasarkan pengamatannya ini maka ia mendapat inspirasi pada
penderita skizofenia dibuat kejang untuk menghilang gejala-gejala gangguan
jiwanya. Pada mulanya Lasdislas J. Meduna menggunakan kamper dan kemudian
digunakan metrazol (cardiazol). Selama 3 tahun metrazol digunakan untuk
membangkitkan kejang dan dipergunakan secara luas keseluruh dunia pada saat itu.
Pada tahun 1937 diadakan pertemuan internasional terapi kejang di Swiss oleh
Muller seorang psikiater, kemudian diterbitkan cara kerjanya di American Journal
of Psychiatry. Selama 3 tahun, cardiazol sebagai terapi kejang yang sudah dipakai

24
secara luas dan mendunia. Ugo Cerletti, seorang profesor neuropsikiatri, yang
berkebangsaan Itali, juga mengembangkan terapi kejang yang menggunakan listrik
dengan uji coba pada binatang. Lucio Bini teman Ugo Cerletti mempunyai ide,
bahwa untuk menimbulkan kejang dipakai listrik untuk menggantikan metrazol.
Tahun 1937 percobaan pertama pada manusia yaitu, Sherwin B. Nuland dan
kemudian baru pada tahun 1970, ia ditetapkan sebagai orang pertama yang
menjalani terapi kejang listrik, serta dibuat uraian gambaran deskripsi dari hasil
pada orang yang pertama yang menjalani terapi kejang listrik tersebut.
Terapi kejang listrik adalah bentuk pengobatan shok yang terjadi pada pengobatan
medis modern pada saat itu. ECT segera menggantikan metrazol dan berkembang
seluruh dunia karena beberapa faktor yaitu:
(1) lebih murah
(2) kurang menakutkan
(3) lebih cepat kerjanya.
Cerletti dan Bini dinominasikan hadiah Nobel tetapi hal ini dibatalkan, sebab pada
tahun 1940 cara itu diperkenalkan juga oleh Inggris dan Amerika serikat. Selama
tahun 1940 sampai tahun 1950, penggunaan terapi kejang listrik meluas.
Pada permulaan tahun 1940, untuk mengurangi gangguan ingatan dan kebingungan
setelah terapi kejang dilakukan diperkenalkan 2 cara modifikasi dari ECT tersebut,
yaitu:
(1) Mempergunakan elektrode yang unilateral satu pada sisi pelipis/temporal yang
dominan/kiri dan satu elektrode di atas kepala (verteks); untuk yang kidal
temporal kanan dan verteks.
(2) Arus kejut listrik yang searah arus sinusoidal, sedangkan listrik yang dipakai
pada pertama kali adalah arus bolak balik yang disebut arus transfersal. Aliran
arus dibuat searah yang sinusoidal.
Friedman dan Wilcox, tahun 1942 melakukan modifikasi secara unilateral dengan
arus searah, Lancaster et.al di Inggris tahun 1958, melakukan unilateral dengan
menempatkan pada hemisfer non dominan untuk mengurangi efek samping
kebinggungan dan gangguan daya ingat sesudah ECT dan hasilnya sama efektif
dengan bilateral. Setelah beberapa tahun alat yang memakai arus kejut listrik yang

25
searah berkembang secara luas dan dipakai seluruh dunia. ECT yang unilateral
tidak begitu populer bagi para psikiater, karena efek terapeutis kurang memuaskan.
Pada tahun 1940 sampai tahun 1950 ECT masih tidak diperbarui, tidak pernah
dipakai obat untuk relaksasi otot, sehingga menghasilkan kejang yang maksimal,
yang mengakibatkan patah tulang dan dislokasi tulang panjang. Pada tahun 1940
para psikiater mulai mengadakan penelitihan eksprimental dengan menggunakan
curare, disebut racun dari Amerika Selatan yang dapat membuat otot jadi paralise
untuk mengurangi akibat kejang yang dihasilkan dari alat ECT tersebut. Kemudian
diperkenalkan “suxamethonium” (succinylcholine) zat yang sinthetis
penggunaannya lebih aman dari curare. Pada tahun 1951 digunakan secara luas
untuk memodifikasi penggunaan dari ECT dengan bantuan anaesthesi ringan
biasanya berguna untuk menghindari rasa takut pada pasien dan menghindari
tercekik/tersumbatnya pernafasan. Setelah ditemukan obat antidepresi yang dapat
menangkal efek negatif ECT dimedia masa, ditandai dengan menurunnya
pemakaian ECT selama periode tahun 1950 sampai 1970. Surat kabar, New York
Times memberitakan pandangan negatif terhadap ECT dari film yang berjudul “For
Big Nurse in One Flew Over the Cuckoo’s nest”. Ini adalah alat untuk menteror
pikiran masyarakat tentang ECT dan hal ini didukung citranya oleh novel Ken
Kesey, yang mengatakan bahwa berbahaya pada manusia bila penggunaan yang
berlebihan.
Pada tahun 1970 dilaporkan oleh American Psychiatric Association(APA)
bahwa pengobatan depresi dipakai ECT dan selanjutnya diikuti laporan dalam
tahun 1990 sampai tahun 2001. Abrams tahun 1972 dan Taylor tahun 1973
membuktikan bahwa metode unilateral tidak se-efektif dengan cara bilateral dalam
hasil terapeutiknya, maka dengan ini sampai sekarang dilakukan secara bilateral.
Pada tahun 1976, Dr Blatchley mendemontrasikan keberhasilannya dengan
menggunakan ECT dengan arus listik yang searah yang dapat mengurangi efek
samping kognitif yang ditimbulkan, tetapi beberapa klinik di AS masih
menggunakan arus listrik yang bolak balik. Sebetulnya mulai tahun 1980
penggunaan ECT berkurang, tetapi penggunaan untuk depresi berat meningkat,
karena pemakai obat antidepresi harganya lebih mahal dari pada menggunakan

26
ECT. Pada 1985, National Institute of Mental Health dan National Institutes of
Health menetapkan bahwa ECT adalah masih kontroversi pada pengobatan psikiatri
karena ada efek samping yang signifikan dan dapat dibuktikan bahwa masih efektif
pada kasus gangguan psikiatri yang berat. National Institute of Mental Health
menetapkan aturan dari pengobatan yang menggunakan ECT. Namun baru pada
tahun 1990
American Psychiatric Association, mengeluarkan pernyataan yang kedua, yang
lebih spesifik dan mendetail pada persalinan, pendidikan dan pelatihan ECT yang
didokumentasikan. Akhirnya pada tahun 2001, APA , mengeluarkan pernyataan
bahwa ECT masuk pada pengobatan modern yang prosedurnya mengharuskan
menanda tangani informed consent.
4.3 Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja ECT tidak diketahui. Berbagai perubahan selama
perjalanan ECT yang mungkin berperan mencakup perubahan reseptor dan
neurotransmitter pusat, pelepasan hormon seperti arginine, vasopresin dan
oxytocin, dan perubahan ambang kejang.
Suatu penelitian untuk mendekati mekanisme kerja ECT adalah dengan
mempelajari efek neuropsikologi dari terapi. Tomografi emisi positron (PET;
Positron Emission Tomography) mempelajari aliran darah serebral maupun
pemakaian glukosa telah dilaporkan. Penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa
selama kejang aliran darah serebral, pemakaian glukosa dan oksigen, dan
permeabilitas sawar darah otak adalah meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan
metabolisme glukosa menurun, kemungkinan paling jelas pada lobus frontalis.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa derajat penurunan metabolisme serebral
adalah berhubungan dengan respons terapeutik. Fokus kejang pada epilepsi
idiopatik adalah hipometabolik selama periode interiktal, ECT sendiri bertindak
sebagai antikonvulsan, karena pemberiannya disertai dengan peningkatan ambang
kejang saat terapi berlanjut.
Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah memusatkan
perhatian pada perubahan reseptor neurotransmitter dan, sekarang ini, perubahan
sistem pembawa pesan kedua (second-messenger). Hampir setiap sistem

27
neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT. Tetapi, urutan sesion ECT menyebabkan
regulasi turun reseptor adrenergik-β pascasinaptik, reseptor yang sama dan terlihat
pada hampir semua terapi antidepressan. Efek ECT pada neuron serotonergik masih
merupakan daerah penelitian yang kontroversial. Berbagai penelitian telah
menemukan suatu peningkatan reseptor serotonin pascasinaptik, tidak ada
perubahan pada neuron serotonin, dan perubahan pada regulasi prasinaptik
pelepasan serotonin. ECT telah dilaporkan mempengaruhi sistem neuronal
muskarinik, kolinergik, dan dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua, ECT telah
dilaporkan mempengaruhi pengkopelan protein G dengan reseptor, aktivitas
adenylyl cyclase dan phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium ke dalam
neuron.
4.4 Indikasi
1. Gangguan Depresi Mayor
Indikasi yang paling sering untuk penggunaan ECT adalah gangguan depresif
berat atau ganggaun depresi mayor.
ECT harus dipertimbangkan sebagai terapi pada pasien yang gagal dalam uji
coba medikasi, mengalami gejala yang parah atau psikotik, mencoba bunuh diri
atau membunuh dengan mendadak, atau memiliki gejala agitasi atau stupor yang
jelas. Sebagian klinisi yakin bahwa ECT menyebabkan sekurangnya derajat
perbaikan klinis yang sama dengan terapi standar dengan obat antidepressan.
ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan bipolar. Depresi
delusional atau psikotik telah lama dianggap cukup responsif terhadap ECT, tetapi
penelitian terakhir telah menyatakan bahwa episode depresi berat dengan ciri
psikotik tidak lebih responsif terhadap ECT dibandingkan gangguan depresi
nonpsikotik. Namun, karena episode depresi berat dengan gejala psikotik adalah
berespon buruk terhadap farmakologi anti depressan saja, ECT harus sering
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan gangguan-
gangguan depresi berat dengan ciri melankolik (seperti gejala parah yang jelas,
retardasi psikomotor, terbangun dini hari, variasi diurnal, penurunan nafsu makan
dan berat badan, dan agitasi, diperkirakan lebih mungkin berespon terhadap ECT.

28
2. Mania
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul dibandingkan lithium
dalam terapi episode manik akut. Beberapa data menyatakan bahwa pemasangan
elektrode bilateral selama ECT lebih efektif, dengan pemasangan unilateral pada
terapi episode manik. Tetapi, terapi farmakologis untuk episode manik adalah
sangat efektif dalam jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga pemakaian ECT
untuk terapi episode manik biasanya terbatas pada situasi dengan kontraindikasi
spesifik untuk semua pendekatan farmakologis.
Pengobatan pilihan bagi mania adalah obat menstabilkan mood ditambah obat
antipsikotik. ECT dapat dipertimbangkan untuk mania parah terkait dengan:
• kelelahan fisik yang mengancam jiwa
• resistensi pengobatan (yaitu mania yang tidak menanggapi pengobatan pilihan).
Pilihan pasien dan pengalaman perawatan medis sebelumnya tidak efektif atau tak
tertahankan, atau pemulihan sebelumnya dengan ECT, yang relevan.
3. Skizofrenia
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut dan tidak untuk
gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan gejala afektif dianggap paling
besar kemungkinannya berespons terhadap ECT.
Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila terdapat:
 Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
 Katatonia
 Riwayat ECT dengan hasil yang baik.
Indikasi lain
Penelitian kecil telah menemukan ECT efektif dalam pengobatan katatonia,
gejala terkait dengan gangguan mood, schizophrenia, dan gangguan medis dan
neurologis. ECT berguna untuk mengobati episode psikotik, psikosis atypikal,
gangguan obesif-kompulsif, dan delirium dan kondisi medis seperti gangguan
neuroleptic ganas, hypopituitarism, gangguan kejang dan pada penyakit Parkinson.
ECT juga dapat menjadi terapi pilihan untuk depresi bunuh diri wanita hamil yang
memerlukan perawatan dan tidak bisa minum obat untuk geriatri dan sakit medis
pasien yang tidak bisa menggunakan obat antidepresan aman dan bahkan untuk

29
dan anak-anak dan remaja yang bunuh diri mungkin kurang respon untuk
antidepresan daripada orang dewasa. ECT tidak efektif dalam gangguan somatisa,
gangguan personaliti, dan gangguan kecemasan.
4.5 Kontraindikasi
ECT tidak memiliki kontraindikasi absolut, hanya situasi di mana seorang
pasien pada peningkatan risiko dan memiliki peningkatan kebutuhan pemantauan
ketat. Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk ECT, dan pemantauan
janin umumnya dianggap tidak perlu kecuali kehamilan risiko tinggi atau rumit.
Pasien dengan lesi sistem saraf pusat berada pada peningkatan risiko untuk edema
dan herniasi otak setelah ECT. Jika lesi kecil, pengobatan pra dengan
dexamethasone (Decadron) diberikan, dan hipertensi dikendalikan selama kejang
dan risiko komplikasi serius diminimalkan untuk pasien ini. Pasien yang mengalami
peningkatan tekanan intraserebral atau berisiko untuk perdarahan otak (misalnya,
orang-orang dengan penyakit serebrovaskular dan aneurisma) berada pada risiko
selama ECT karena peningkatan sawar darah otak selama kejang. Risiko ini dapat
dikurangi, meskipun tidak dihilangkan, oleh kontrol tekanan darah pasien selama
perawatan. Pasien dengan infark miokard adalah kelompok berisiko tinggi lain,
meskipun risikonya sangat berkurang 2 minggu setelah infark miokard dan lebih
jauh berkurang 3 bulan setelah infark itu. Pasien dengan hipertensi harus distabilkan
pada obat antihipertensi mereka sebelum ECT diberikan. Propranolol (Inderal) dan
sublingual nitrogliserin juga dapat digunakan untuk melindungi pasien tersebut
selama pengobatan.
4.6 Prosedur Kerja
Informed Consent
Pasien dan keluarga mereka sering khawatir tentang ECT. Oleh karena itu,
dokter harus menjelaskan efek menguntungkan dan merugikan dan pendekatan
pengobatan alternatif. Proses informed consent harus didokumentasikan dalam
catatan medis pasien dan harus mencakup diskusi tentang gangguan dan pilihan
untuk tidak menerima pengobatan. Literatur cetak dan rekaman video tentang ECT
mungkin berguna untuk mendapatkan persetujuan. Penggunaan paksa ECT harus
disediakan untuk pasien yang sangat membutuhkan pengobatan dan yang memiliki

30
wali hukum yang ditunjuk yang telah setuju untuk penggunaannya. Dokter harus
tahu undang-undang federal tentang penggunaan ECT.
Persiapan Pasien
Sebelum ECT dilakukan pasien perlu dipersiapkan dengan cermat meliputi :
- Pemeriksaan fisik dan kondisi pasien (jantung, paru-paru, tulang dan
otak)
- Pasien harus puasa minimal 6 jam sebelum ECT dilakukan
- Persiapkan pasien agar tidak takut dengan pengalihan perhatian, atau
dengan pemberian premedikasi
- Perhiasan, jepit rambut atau gigi palsu perlu dilepas terlebih dahulu
- Bantuan perawat untuk mencegah terjadinya luksasi/fraktur saat terjadi
kejang.
Persiapan Alat :
- Mesin ECT lengkap
- Kasa basah untuk pelapis elektrode
- Tabung dan masker oksigen
- Penghisap lendir
- Obat-obat : coramine, adrenalin
- Karet pengganjal gigi agar lidah tidak tergigit
- Tempat tidur datar dengan alas papan
Pelaksanaan :
- Pasien tidur terlentang tanpa bantal dengan pakaian longgar
- Bantalan gigi dipasang
- Perawat memegang rahang bawah/kepala, bahu, pinggul dan lutut
- Dokter memeberikan aliran listrik melalui 2 elektrode yang ditempelkan
dipelipis. Akan terjadi kejang tonik terlebih dahulu diikuti kejang klonik

31
dan kemudian akan terjadi fase apneu beberapa saat sebelum akhirnya
bernafas kembali seperti biasa. Fase apneu ini sangat penting
diperhatikan tidak boleh terlalu lama.
Gambar 2.6 ECT
Pengawasan pasca ECT :
- Penting dilakukan pengawasan karena pasien biasanya masih belum
sadar penuh.
- Kondisi vital kembali seperti semula, biasanya pasien tertidur. Kadang-
kadang dapat juga pasien menjadi gelisah dan bergerak tidak menentu
seperti delirium. Pada fase ini sangat perlu diawasi sampai kesadaran
pulih kembali.
- Setelah sadar, pasien biasanya bingung dan mengalami disorientasi
bahkan amnesia. Perlu distimulasi dengan cara mengajak
berkomunikasi, membantu memulihkan orientasi dan ingatan secara
bertahap. Berikan suasana tenang dan nyaman.
Fase-Fase Dalam Kejang Listrik
Fase Laten : 2-5 detik ditandai dengan tremor cepat. Fase Tonik : Kurang lebih
10 detik seluruh sistem otot kerangka mengalami kejang tonik. Fase Klonik :
Kurang lebih 30 detik kejang klonik (berdenyut) menyeluruh makin lama makin
berkurang. Fase Apneu dan belum sadar : beberapa detik (bervariasi). Fase bernafas
spontan : makin lama makin teratur dalam beberapa menit. Fase sadar kembali :
biasanya 5 menit setelah kejang berhenti, tetapi masih disorientasi dan binggung
selama beberapa menit. Fase tidur : 30 menit sampai dengan 1 jam sesudah pasien
menguasai lagi orientasinya.
4.7 Penempatan Elektrode
ECT Bilateral
Posisi untuk elektroda pada ECT bilateral diilustrasikan pada Gambar 2.7-
1 (A). Pusat elektroda harus 4 cm di atas, dan tegak lurus, titik tengah dari garis
antara sudut lateral mata dan meatus auditori eksternal. Satu elektroda diletakkan
untuk setiap sisi kepala, dan posisi ini disebut sebagai ECT temporal. (Beberapa
penulis menyebut ECT frontotemporal.) Ini merupakan posisi yang

32
direkomendasikan untuk elektroda ECT bilateral karena ini telah menjadi posisi
standar dan tidak dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian terbaru dapat
diekstrapolasi untuk posisi lainnya di ECT bilateral . Ada eksperimen lain untuk
posisi elektroda di ECT bilateral yaitu ECT frontal, di mana jarak elektroda hanya
sekitar 5 cm (2 inci) dan masing-masing sekitar 5 cm di atas jembatan hidung.
Sebuah modifikasi lebih baru di mana elektroda diterapkan lebih lanjut selain telah
diteliti karena para peneliti menyarankan bahwa berkhasiat sebagai ECT bilateral
tradisional, tetapi dengan risiko yang lebih rendah dari efek samping kognitif.
Inggris ECT Review Group (2003) tidak menemukan perbedaan yang signifikan
antara ECT tradisional dan ECT bilateral baik dalam kemanjuran klinis atau efek
samping kognitif.

Gambar 2.7 Posisi elektroda temporal (A) atau posisi temporopariental / Elia’s
positioning (B)
ECT Unilateral
Posisi Elia, di mana salah satu elektroda dalam posisi yang sama seperti
dalam ECT bilateral tradisional dan lainnya diaplikasikan di atas permukaan
parietal dari kulit kepala. Posisi yang tepat pada busur parietal tidak penting, tujuan
adalah untuk memaksimalkan jarak antara elektroda untuk mengurangi arus listrik
dan untuk memilih situs di mana busur elektroda dapat diterapkan dengan tegas dan
datar terhadap kulit kepala. ECT unilateral biasanya diaplikasikan di atas belahan
non-dominan, yang merupakan sisi kanan kepala di kebanyakan orang . Ini adalah
posisi yang dianjurkan dalam ECT unilateral karena ini telah menjadi standar, dan

33
tidak dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian terbaru dapat diekstrapolasi
untuk posisi lainnya.
Telah ditulis bahwa ECT unilateral adalah pengobatan yang lebih sulit
untuk dilakukan. Hal ini terjadi jika dokter yang menangani dibiarkan sendirian.
Posisi tradisional elektroda di ECT unilateral diilustrasikan pada gambar 2.7-1 (B).
Posisi ini biasanya disebut sebagai kepala temporoparietal atau d'ient's head. ECT
unilateral dapat lebih efektif bila dilihat sebagai tanggung jawab bersama dari tim
klinik ECT. Beberapa dokter anestesi secara rutin meminta pasien untuk
mengaktifkan ke sisi kiri sebelum induksi anestesi. Bantuan perawat atau anggota
staf anestesi sangat penting untuk melakukan tugas memutar kepala pasien.
4.8 Stimulus Listrik dan Kejang
Stimulus listrik harus cukup kuat untuk mencapai ambang kejang (tingkat intensitas
yang dibutuhkan untuk menghasilkan kejang). Stimulus listrik diberikan dalam
siklus, dan setiap siklus berisi gelombang positif dan gelombang negatif. Ambang
kejang dan lamanya sangat bervariasi diantara pasien dan kemungkinan sukar untuk
ditentukan. Tujuannya ialah untuk mencapai kejang anatar 25-60 detik dengan
menggunakan jumlah energi listrik terkecil. Sejumlah peralatan ECT
memungkinkan penentuan energi stimulus sebenarnya, dan nilai ini harus
dipertahankan serendah mungkin. Kejang yang lebih besar dari 60 detik sering
menunjukkan bahwa stimulus adalah ambang supra dan harus dikurangi pada saat
pengobatan berikutnya.
Jika tidak terjadi kejang, stimulasi harus segera diikuti dengan stimulasi berulang
pada intensitas stimulus yang lebih tinggi. Pada kejang yang berlangsung kurang
dari 25 detik, stimulus harus diulang sekali lagi. Jika hal ini menghasilkan suatu
kejang yang pendek, maka intensitas stimulus harus ditingkatkan, dan harus
diberikan stimulus ketiga. Jika stimulasi gagal untuk menimbulkan kejang yang
adekuat, maka saat pengobatan harus diakhiri.
Karena keadaan refrakter terhadap kejang berikut yang terjadi setelah kejang, maka
harus dibiarkan berlalu interval 60 hingga 90 detik sebelum mengulangi stimulasi,
selama waktu ini pasien harus diventilasi dengan oksigen.

34
4.9 Obat-obatan dalam proses ECT
Antikolinergik Muskarinik
Obat antikolinergik muskarinik diberikan sebelum ECT untuk meminimalkan
sekresi oral dan pernapasan dan untuk memblokir bradycardi dan asistole,kecuali
denyut jantung istirahat di atas 90 per menit.Tujuan antikolinergik adalah untuk
melindungi terhadap bradikardi atau asistol karena parasimpatis. Prinsipnya adalah
menurunkan efek dari stimulasi vagal karena ECT. Vagal refleks terjadi segera
setelah stimulus ECT tanpa bergantung besar alira listrik, dan dapat mengakibatkan
bradikardi atau asistol transien. Jika aliran listrik mendekati atau melebihi ambang
kejang, kejang tonik-klonik dapat terjadi dengan disertai stimulasi simpatis.
Peningkatan aktivitas simpatis ini mengimbangi efek stimulasi vagal. Namun jika
aliran listrik gagal mencapai kejang (stimulasi subkonvulsi), ketakutan akan
terjadinya bradikardi mengikuti stimulus menjadi besar karena proteksi yang
diberikan takikardi postiktal tidak ada.
Indikasi
1. Pasien yang menjalani estimasi ambang kejang dengan metode titrasi dosis,
terutama pada sesi pertama ECT.
2. Pasien yang menerima agen simpastis blocker
3. Situasi dengan terjadinya bradikardi vagal harus dihindarkan misalnya
adanya penyakit jantung, fungsi jantung hipodinamik.
Obat antikolinergik yang biasa digunakan adalah atropin (0,4-0,8 mg iv atau 0,3-
0,6 mg im) dan glycopyrrolate (0,2-0,4 mg iv atau im). Atropine memiliki potensi
lebih pada detak jantung. Glycopyrrolate tidak melintasi blood brain barrier (sawar
darah otak) dan memiliki efek antisialagogue.
Anasthesia
Tujuan: agen anestesi yang diberikan bertujuan membuat pasien tidak menyadari
adanya sensasi yang mungkin menakutkan, terutama kelumpuhan otot dan perasaan
tercekik dan gambaran kilatan sinar yang mungkin mengiringi permulaan stimulus,
tanpa menghambat kejang. Prinsipnya adalah mendukung anestesi umum yang
ringan dan sangat singkat. Dosis anestesi yang berlebih dapat menyebabkan
ketidaksadaran pasien dan apneu bertambah lama, memberikan efek antikonvulsan,

35
meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular,dan meningkatkan amnesia. Agen
induksi yang ideal untuk ECT bertujuan untuk ketidaksadaran yang cepat, injeksi
tanpa nyeri, tanpa efek hemodinamik, tanpa properti antikonvulsan, memberikan
pemulihan yang cepat, dan tidak mahal. Belum ada obat yang memenuhi semua
karakter tersebut. Namun, methohexital memenuhi banyak kriteria yang telah
disebutkan di atas, thiopental, ketamin, propofol, dan etomidate juga telah berhasil
digunakan pada terapi ECT.
Muscle relaxant
Pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mencegah cedera pada sistem
muskuloskeletal dan meningkatkan manajemen jalan nafas. Prinsipnya adalah
menyediakan relaksasi otot . Secara umum, paralisis penuh tidak dibutuhkan
ataupun diinginkan karena dapat dikaitkan dengan apneu yang memanjang. Sebagai
tambahan, intensitas dan durasi gerakan motor kejang harus diobservasi dan
dimonitor. Paralisis otot bukan hanya memfasilitasi oksigenasi, namun juga
menurunkan penggunaan oksigen oleh otot selama kejang. Pertimbangan harus
diberikan pada penggunaan muscle relaxant dosis tinggi pada pasien dengan resiko
fraktur tulang patologis. Kecukupan pemberian muscle relaxant harus ditentukan
sebelum pemberian stimulus ECT. Proses ini dilakukan dengan tes reduksi refleks
tendon dalam dan tonus otot. Pada pasien yang diberikan succinylcholine dosis
tinggi, stimulator saraf perifer harus digunakan.
Efek samping yang biasa muncul pada succinylcholine termasuk aritmia,
peningkatan tekanan intraocular dan intraabdominal. Karena suksinilkolin telah
dikaitkan dengan hipertermi malignan dan hiperkalemia, telah dikembangkan
muscle relaxant non-depolarisasi. Dosis untuk agen ini harus ditentukan
berdasarkan klinis dan individual. Umumnya, dosis succinylcholine adalah 0,5-1
mg/kg. atracurirum 0,3-0,5 mg/kg, miyacurim 0,1-0,2 mg/kg, rocuronium 0,4-0,6
mg/kg, dan rapacuronium 1-2 mg/kg, merupakan obat-obat alternative untuk
succynilcholine. Obat-obat muscle relaxant non-depolarisasi ini menghasilkan
paralisis yang lebih lama, dan baik onset maupun durasi kerja obat harus dimonitor
oleh stimulator saraf.

36
4.10 Efek Samping ECT
Kematian
Angka kematian dengan ECT adalah sekitar 0,002% per pengobatan dan
0,01 % untuk setiap pasien. Angka-angka ini menguntungkan dibandingkan dengan
risiko yang terkait dengan anestesi umum dan persalinan. Kematian akibat ECT
biasanya karena komplikasi kardiovaskular.
Efek terhadap Sistem Saraf Pusat
Efek samping umum yang terkait dengan ECT adalah sakit kepala,
kebingungan, dan delirium setelah kejang . Kebingungan ditandai dapat terjadi
hingga 10 persen dari pasien dalam waktu 30 menit dari kejang dan dapat diobati
dengan barbiturat dan benzodiazepin. Delirium biasanya paling menonjol setelah
beberapa perawatan pertama pada pasien yang menerima ECT bilateral atau yang
mengidap gangguan neurologis. Delirium yang khas terjadi dalam beberapa hari
atau paling beberapa minggu.
Memory
Perhatian terbesar tentang ECT adalah hubungan antara ECT dan
kehilangan memori. Sekitar 75 persen dari semua pasien yang diberikan ECT
mengatakan bahwa gangguan memori adalah efek samping yang terburuk.
Meskipun gangguan memori selama pengobatan , tindak lanjut data menunjukkan
bahwa hampir semua pasien yang kembali ke baseline kognitif mereka setelah 6
bulan. Beberapa pasien, bagaimanapun, mengeluh kesulitan memori . Contohnya,
pasien mungkin tidak ingat peristiwa yang mengarah ke rumah sakit dan ECT, dan
kenangan otobiografi tersebut mungkin tidak akan pernah ingat. Tingkat kerusakan
kognitif selama perawatan dan waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke dasar
terkait, sebagian, dengan jumlah stimulasi listrik digunakan selama pengobatan.
Gangguan memori yang paling sering dilaporkan oleh pasien yang telah mengalami
sedikit perbaikan dengan ECT. Meskipun gangguan memori, yang biasanya
sembuh, tidak ada bukti menunjukkan kerusakan otak yang disebabkan oleh ECT.
Mata kuliah ini telah menjadi fokus dari beberapa studi pencitraan otak,
menggunakan berbagai modalitas. hampir semua menyimpulkan bahwa kerusakan
otak permanen tidak efek buruk dari ECT. Ahli saraf dan epileptologists umumnya

37
sepakat bahwa kejang yang berlangsung kurang dari 30 menit tidak menyebabkan
kerusakan saraf permanen.
Efek samping lain dari Electroconvulsive Terapi
Fraktur sering disertai perawatan di hari-hari awal ECT. Dengan
penggunaan rutin relaksan otot, patah tulang dari tulang panjang atau vertebra
seharusnya tidak terjadi. Beberapa pasien, bisa terjadi pecah gigi atau mengalami
sakit punggung karena kontraksi selama prosedur. Nyeri otot dapat terjadi pada
beberapa individu, tetapi sering terjadi karena efek depolarisasi otot dengan
suksinilkolin . Nyeri ini dapat diobati dengan analgesik ringan, termasuk obat anti
inflamasi nonsteroid (NSAID). Sebuah minoritas yang signifikan dari pasien
mengalami mual, muntah, dan sakit kepala setelah pengobatan ECT.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Sholevar, DP., 2002, Neuroleptic Malignanat Syndrome,


http://www.emedicine.com (diakses pada 18.30, 17 September 2013)
2. Kaplan H, Sadock B. 2005. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of
Psychiatry. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. Pp: 532-67.
3. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Elektroconvulsive Therapy. Philadelphia:
Wolters Kluwer, 2015: 982 – 8

39

Anda mungkin juga menyukai