Anda di halaman 1dari 31

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

PORTOFOLIO

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

OLEH :

dr. Siti Novita Kuman

Pembimbing:

dr. Novalin Sumendep Sp.A

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RS MITRA MASYARAKAT, MIMIKA

2019
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

A. Definisi
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit
jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik
merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut
sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai
katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung
reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya.

B. Epidemiologi
Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-250.000 kematian
bayi premature setiap tahun dan penyebab umum kematian akibat penyakit jantung
pada anak-anak dan remaja di negara berkembang. Dalam laporan WHO Expert
Consultation Geneva, 29 Oktober–1 November 2001 yang diterbitkan tahun 2004
angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di Negara maju hingga 8,2 per
100.000 penduduk di negara berkembang di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per
100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang meninggal
diseluruh dunia akibat penyakit tersebut. Prevalensi demam rematik di Indonesia belum
diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan
menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai
0,8 per 1.000 anak sekolah 5-15 tahun.

C. Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik. Demam
reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi setelah infeksi
Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai faktor predisposisi. Keterlibatan
kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium
melalui suatu proses ’autoimune’ yang menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi
yang berat dapat melibatkan perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik
karditis yang paling banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan katup
mitral dan katup aorta (97%).

D. Patogenesis
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratif
misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan penyakit
non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4
hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring menghasilkan respon
inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok,
malaise, pusing dan leukositosis. Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu-
minggu setelah gejala faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi
orang lain. Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi
media trasnmisi penyakit. Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A saja
yang dapat mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik.
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik berkelanjutan
yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari 60% penyakit
rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart disease. Adapun kerusakan
yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan katup jantung akan
menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan berulang penyakit ini
akan menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar (jaringan parut),
kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis.
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang
berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme,
faktor host dan faktor sistem imun. Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A
sebagai organisme penginfeksi memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic
fever. Bakteri ini sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana
bakteri ini memiliki supra-antigen yang dapat berikatan dengan major
histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan berikatan dengan reseptor
sel T yang apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan menjadi sitotosik. Supra-
antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A yang terlibat pada patogenesis
rheumatic fever tersebut adalah protein M yang merupakan eksotoksin pirogenik
Streptococcus.
Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A juga menghasilkan
produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-ase, dan hialuronidase
yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif. Antibodi yang paling sering
adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk menetralisir toksin bakteri
tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi tubuh ini juga menyebabkan kerusakan
patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang mirip dengan antigen
bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas silang antara
epitop organisme dengan host yang akan mengarahkan pada kerusakan jaringan tubuh.
Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A
dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah:
1) Urutan asam amino yang identik,
2) Urutan asam amino yang homolog namun tidak identik,
3) Epitop pada molekul yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat atau antara
DNA dan peptida.
Afinitas antibodi reaksi silang dapat berbeda dan cukup kuat untuk dapat
menyebabkan sitotoksik dan menginduksi sel–sel antibodi reseptor permukaan. Epitop
yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari streptococcus beta
hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama dengan protein miosin,
tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan Nasetilglukosamin pada tubuh
manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari reaksi autoimun yang mengarah
pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan
protein yang mirip miosin dan protein M yang terdapat pada endotelium jantung dan
dikenali oleh sel T anti miosin dan anti protein M.Disamping antibodi terhadap N-
asetilglukosamin dari karbohidrat, Streptococcus beta hemolyticus grup A mengalami
reaksi silang dengan jaringan katup jantung yang menyebabkan kerusakan valvular.
Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga memainkan peranan
dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6% populasi memiliki potensi
terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang genetik marker menunjukan bahwa gen
human leukocyte-associated antigen (HLA) kelas II berpotensi dalam perkembangan
penyakit rheumatic fever dan rheumatic heart disease. Gen HLA kelas II yang terletak
pada kromosom 6 berperan dalam kontrol imun respon. Molekul HLA kelas II berperan
dalam presentasi antigen pada reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem
imun selular dan humoral. Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang paling
berhubungan dengan rheumatic heart disease pada lesi-lesi valvular. Lesi valvular pada
rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan verrucae yang disusun fibrin dan
sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelah proses inflamasi mereda, verurucae
akan menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus berulang
veruccae baru akan terbentuk didekat veruccae yang lama dan bagian mural dari
endokardium dan korda tendinea akan ikut mengalami kerusakan. Kelainan pada
valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (65- 70% kasus).
Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan korda tendinea
menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena peningkatan volume yang
masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar akibatnya atrium kiri akan
berdilatasi akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan
menyebabkan kongesti paru diikuti dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada
mitral berat dan berlangsung lama, gangguan jantung kanan juga dapat terjadi. Kelainan
katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup aorta akibat dari
sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke ventrikel kiri diikuti
dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri. Di sisi lain, dapat terjadi stenosis dari
katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang terjadi pada cincin katup mitral,
kontraktur dari daun katup, corda dan otot papilari. Stenosis dari katup mitral ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan dan hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan
hipertensi vena pulmonal yang selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan.

E. Diagnosis
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever menunjukan
keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever bergantung pada sistem
organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat tunggal atau merupakan
gabungan beberapa sistem organ yang terlibat.
 Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok 1-
5 minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak
menyatakan pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak
spesifik, seperti demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat badan,
epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga
mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah. Gejala spesifik
yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah kulit, peningkatan
iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti gangguan
neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi motorik,
dan riwayat rheumatic fever sebelumnya.
 Manifestasi Klinis
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali.
Kriteria ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan
minor.

Kriteria Mayor
- Karditis
Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi
setelah poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan
perikarditis. Pada stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-
sedang, rasa tak nyaman di dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk
dan ortopnea. Pada pemeriksaan fisik, karditis paling sering ditandai dengan
murmur dan takikardia yang tidak sesuai dengan tingginya demam. Gambaran
klinis yang dapat ditemukan dari gangguan katup jantung dapat dilihat pada
tabel 1.1.
Tabel 1. Gambaran klinis gangguan katup jantung
Gangguan Manifestasi
Regurgitasi - Aktivitas ventrikel kiri meningkat
Mitral - Bising pansistolik diapek, menyebar ke aksila bahkan
kepunggung
- Murmur mid diastolik (carrey coombs murmur) di apeks
Regurgitasi - Aktivitas ventrikel kiri meningkat
aorta - Bising diastolik di ICS II kanan/ kiri, menyebar ke apeks
- Tekanan nadi sangat lebar (sistolik tinggi, sedangkan
diastolik sangat rendah bahkan hingga 0 mmHg)
Stenosis mitral - Aktivitas ventrikel kiri negatif
- Bising diastolik didaerah apeks, dengan SI mengeras

Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup yang parah
atau miokarditis, yang ditandai dengan adanya takipnea, ortopnea, distensi vena
jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop, dan edema perifer. Friction rub
pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang redup, suara jantung melemah,
dan pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi perikardium dan tamponade perikardium
yang mengancam.

- Poliartritis Migrans
Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi
pada sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah
infeksi Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif
ditandai dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat
istirahat yang semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda
khas. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi
lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat
asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis migrans). Peradangan sendi ini
dapat sembuh spontan beberapa jam sesudah serangan namun muncul pada
sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien dapat sembuh dalam satu minggu
dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau tiga minggu.
- Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance
Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua
kali lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni
beberapa bulan setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi
ini mencerminkan keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia
basal, dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama,
sekitar tiga minggu sampai tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala
awal biasanya emosi yang lebih labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan
gerakan yang tidak disengaja, tidak bertujuan, dan inkoordinasi muskular.
Semua bagian otot dapat terkena, namun otot ekstremitas dan wajah adalah yang
paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat dengan adanya stress dan
kelelahan, namun menghilang saat beristirahat.
- Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang terjadi
kurang dari 10% kasus. Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang
kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah berkelok-
kelok seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan
ekstremitas. Nodulus Subkutan Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang
dari 5% kasus. Nodulus terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada
siku, ruas jari, lutut, dan persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala
bagian oksipital dan di atas kolumna vertebralis. Nodul berupa benjolan
berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal, mobile, dengan diameter 0,2-2
cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa minggu setelah rheumatic fever
muncul dan menghilang dalam waktu sebulan. Nodul ini selalu menyertai
karditis rematik yang berat.

Kriteria Minor
- Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu 2-
3 minggu, walau tanpa pengobatan.
- Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai tanda-tanda objektif (misalnya
bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai. Artralgia biasa melibatkan
sendi-sendi yang besar.
 Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah:
a) Pemeriksaan Laboratorium
o Reaktan Fase Akut
Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada
pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada
fase akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa
Creactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan laju
endap darah merupakan bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada
rheumatic fever terjadi peningkatan LED, namun normal pada pasien
dengan congestive failure atau meningkat pada anemia. CRP merupakan
indikator dalam menetukan adanya jaringan radang dan tingkat aktivitas
penyakit. CRP yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever
aktif.
o Rapid Test Antigen Streptococcus
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus
grup A secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.4 -
Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus Kadar titer antibodi
antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis rheumatic fever
muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan adalah
antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B.
Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi
peningkatan akan dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO
biasanya mulai meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke
3-6 setelah infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak, dan > 250
unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat minggu 1-2
dan mencapai 10 puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-DNase B=
1: 60 unit pada anak prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia sekolah.
o Kultur tenggorok
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya
streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya
dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila
gejala rheumatic fever atau rheumatic heart disease mulai muncul.
b) Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi
Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan
kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis.
Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan
interval PR yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas atas interval PR
uuntuk usia 3-12 tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17
tahun = 0,20 detik.
c) Pemeriksaan Ekokardiografi
Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi
perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan
karditis ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan.
Sedangkan pada rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat memiliki
regurgitasi mitral/aorta yang menetap. Gambaran ekokardiografi terpenting
adalah dilatasi annulus, elongasi chordae mitral, dan semburan regurgitasi
mitral ke postero lateral.

Dasar Diagnosis
Tabel 2. Kriteria WHO 2002-2003 dalam mendiagnosis Rheumatic fever dan
RHD
Kriteria diagnosis Kriteria
Rheumatic Fever serangan pertama - Dua mayor
- Atau satu mayor dan dua minor
- Ditambah bukti infeksi SBHGA
sebelumnya
Rheumatic fever serangan ulang tanpa - Dua minor
RHD - Ditambah denganbukti infeksi
SBHGA sebelumnya
Chorea reumatik Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya
Karditis reumatik insidious atau bukti infeksi SBHGA
RHD Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
mendiagnosis sebagai RHD
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar bertujuan
untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A, menekan
inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk gagal jantung
kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah rheumatic heart
disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta gejala sisa dari
rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi medikamentosa, aspek
diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada juga pilihan terapi operatif
sebagai penanganan kasus-kasus parah.
a) Terapi Antibiotik Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat
penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen
Streptococcus beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus
beta hemolyticus grup A pada faring seharusnya diikuti dengan profilaksis
sekunder jangka panjang sebagai perlindungan terhadap infeksi Streptococcus
beta hemolyticus grup A faring yang berulang. Pemilihan regimen terapi
sebaiknya mempertimbangkan aspek bakteriologi dan efektifitas antibiotik,
kemudahan pasien untuk mematuhi regimen yang ditentukan (frekuensi, durasi,
dan kemampuan pasien meminum obat), harga, dan juga efek samping.
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin
oral adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A
faring pada pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi
antibiotik selama 24 jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri
Streptococcus beta hemolyticus group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih
dibanding dengan penisilin G benzathine karena lebih resisten terhadap asam
lambung. Namun terapi dengan penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien
yang tidak dapat menyelesaikan terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat
rheumatic fever atau gagal jantung rematik, dan pada mereka yang tinggal di
lingkungan dengan faktor risiko terkena rheumatic fever (lingkungan padat
penduduk, status sosio-ekonomi rendah).
Tabel 3. Obat-obatan profilaksis primer untuk rheumatik fever
Agen Dosis Evidence rating
Penisilin
Amoxicillin 50 mg/kgBB ( maksimal, 1 g) 1B
oral satu kali sehari selama 10
hari
Penicillin G benzathine Pasien berat < 30 kg : 600.000 1B
unit IM sekali
Pasien dengan BB >30 kg :
1.200.000 unit IM sekali
Penicilin V potassium Pasien dengan BB< 30 kg 1B
diberika 250 mg oral 2-
3xsehari selama 10 hari
Pasien dengan BB> 30 kg:
500mg oral 2-3x sehari
selama 10 hari
Erytromycin 40 mg/kg/hari( max 1.5
etylsuccinate g/hari) 3x sehari selama 10
hari
Erytromycin estolate 20-40 mg/kg/hari( max 1.5
g/hari) 3x sehari selama 10
hari

b) Profilaksis Sekunder
Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya rheumatic
heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada
faring yang berulang adalah metode yang paing efektif untuk mencegah rheumatic heart
disease yang parah.
Tabel 4. Obat-obatan Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever
Agen Dosis Evidance rating
Penicillin G benxathine Pasien berat < 30 kg 600.000 1A
unit IM setiap 4 minggu sekali
Pasien berat >30 kg :
1.200.000 unit IM setiap 4
minggu
Penicilin V potassium 20 mg oral 2x sehari 1B
Sulfadiazine Pasien berat < 27 kg (60 lb): 1B
0.5 g oral 1x sehari
Pasien berat > 27 kg (60 lb)
kg: 1 g oral 1x sehari
Macrolide atau antibiotik Bervariasi 1C
azalide (untuk pasien
alergi penicillin dan
sulfadiazine)

Tabel 5. Durasi Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever


Tipe Durasi setelah serangan Evidance Rating
Rheumatic Fever dengan 10 tahun atau sampai usia 40 1C
karditis dan penyakit tahun (pilih yang terlama) ;
jantung residu (penyakit profilaksis seumur hidup
katup persisten) mungkin diperlukan
Rheumatic Fever dengan 10 tahun atau sampai usia 21 1C
karditis tapi tanpa tahun (pilih yang terlama)
penyakit jantung residu
(tanpa penyakit katup
persisten)
Rheumatic Fever tanpa 5 tahun atau sampai usia 40 1C
karditis tahun (pilih yang terlama)

c) Terapi Anti Inflamasi


Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon
cepat terhadap terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama
adalah aspirin. Untuk pasien dengan karditis yang buruk atau dengan gagal
jantung dan kardiomegali, obat yang dipilih adalah kortikosteroid.
Kortikosteroid juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik
dengan aspirin dan terus mengalami perburukan. Penggunaan kortikosteroid
dan aspirin sebaiknya menunggu sampai diagnosis rheumatic fever ditegakan.
Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125 mg/kg/hari, setelah mencapai
konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat diturunkan menjadi 15 60-70
mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi terhadap aspirin bisa
digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari. Obat kortikosteroid yang menjadi
pilihan utama adalah prednisone dengan dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80
mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1 kali sehari. Setelah terapi 2-3 minggu
dosis diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi yang mengancam nyawa,
terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30 mg/kg/hari. Durasi terapi dari
anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap terapi.

d) Terapi Gagal Jantung


Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap
tirah baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa
pasien dengan gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin
bisa digunakan. Awalnya, pasien harus melakukan diet restriksi garam
ditambah dengan diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan ACE
Inhibitor dan atau digoxin.

Tabel 6. Obat-obatan untuk Mengatasi Gagal Jantung pada Rheumatic Fever


Obat Dosis
Digoxin 30 mcg/kg dosis total digitalisasi, 7,5 mcg/kg/hari dosis
pemeliharaan
Diuretik:
 Furosemide 0,5 – 2 mg/kg/hari,
 Metolazone 0,2 – 0,4 mg/kg/hari
Vasodilator:
 Captopril Dimulai 0,25 mg/kg dosis percobaan, dinaikkan 1,5 – 3
mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis.
0,5 – 10 mcg/kg/min infus, digunakan bila gagal jantung
 Sodium nitroprusside sulit dikontrol. Monitor kadar sianida
Inotropik:
 Dobutamine 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus
 Dopamine 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus
e) Diet dan Aktivitas
Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi
kecuali pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus
dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid
atau diuretik.16, 17 Tirah baring sebagai terapi rheumatic fever pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1940, namun belum diteliti lebih lanjut sejak saat itu.
Pada praktek klinis sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai tanda-tanda
fase akut terlewati, baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara bertahap.17 Sesuai
dengan anjuran Taranta dan Marcowitz tirah baring yang dianjurkan adalah sebagai
berikut :

Tabel 7. Tirah Baring yang Dianjurkan pada Rheumatic Fever


Tanpa karditis Tirah baring selama 2 minggu, mobilisasi bertahap
selama 2 minggu
Karditis, tanpa kardiomegali Tirah baring selama 4 minggu, mobilisasi bertahap
selama 4 minggu
Karditis dengan kardiomegali Tirah baring selama 6 minggu, mobilisasi bertahap
selama 6 minggu
Karditis dengan kardiomegali Tirah baring selama gagal jantung, mobilisasi
dan gagal jantung bertahap selama 3 bulan

f) Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami
perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk
penanganan rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi defisiensi katup
mungkin bisa menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pasien yang
simptomatik, dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang
berat, juga memerlukan tindakan intervensi.
- Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat
dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak
memungkinkan, perlu dilakukan operasi.
- Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut
(mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic
heart disease yang tak teratasi dengan obat, perlu segera dioperasi untuk
reparasi atau penggantian katup.
- Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka.
Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi
lebih banyak dikerjakan. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta
yang berdiri sendiri atau kombinasi dengan lesi lain, biasanya ditangani
dengan penggantian katup.
Adapaun Indikasi dilakukan operasi pada penyakit jantung rematik seperti
pada tabel 8.

Tabel.8 Indikasi tindakan operasi pada penyakit jantung rematik

G. Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami kekambuhan.
Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak episode awal. Semakin
muda rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh semakin besar. Kekambuhan
rheumatic fever secara umum mirip dengan serangan awal, namun risiko karditis dan
kerusakan katup lebih besar. Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda
dalam 12 minggu. Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien
dengan tanpa serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada pasien dengan serangan
rheumatic fever yang berulang kejadian RHD meningkat menjadi 60%.
BAB II

CATATAN RIWAYAT PENYAKIT

IDENTITAS PENDERITA:

Nama : An. B

Usia : 11 Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Berat badan : 25 kg

Tinggi badan : 140 cm

Agama : Kristen

Alamat : SP 3 Jalur 2

Tanggal pemeriksaan : 2 Mei 2019

I. SUBJEKTIF
ANAMNESIS
 KELUHAN UTAMA
Sesak
 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien diantar oleh orang tuanya oleh karena mengeluhkan sesak sejak 1
hari SMRS. Sesak dirasakan terutama saat malam hari terutama saat menjelang
tidur atau dalam posisi berbaring. Sesak disertai dengan nyeri pada dada dan
terasa jantung berdebar – debar. Selain itu, pasien mengeluhkan nyeri pada
sendi lutut dan tangan sejak tiga hari yang lalu . kurang lebih 1 minggu SMRS
pasien juga mengeluhkan demam naik turun
 RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN

Morbiditas kehamilan Hipertensi (-), diabetes


mellitus (-), anemia (-),
penyakit jantung (-),
KEHAMILAN
penyakit paru (-), infeksi
pada kehamilan (-), asma
(-)
Perawatan antenatal Kontrol rutin satu kali
sebulan ke bidan selama
hamil, imunisasi TT (-)
KELAHIRAN Tempat persalinan Rumah
Penolong persalinan Dukun beranak
Cara persalinan Spontan pervaginam
Masa gestasi 9 bulan
Keadaan bayi Berat lahir : ibu lupa
Panjang lahir : ibu lupa
Lingkar kepala : tidak
tahu

 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Tanggal 9/8/2018 pasien dirawat dengan diagnosis demam rematik
dengan chorea sydenham. Menurut orang tua pasien juga pernah
meminum obat program paru – paru pada tahun 2008 namun hanya
sampai bulan ke 5.
 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Orang tua dan adik pasien tidak pernah memiliki keluhan serupa seperti
pasien.
II. OBJEKTIF
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Kesan Gizi : Cukup
Keadaan lain : anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (+)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 25 kg
Tinggi Badan : 135 cm
Lingkar lengan atas :-
Status Gizi
- BB/U : 25/37x100% = 67,5%
- TB/U : 135/145x100% = 93,1%
- BB/TB : 25/31x100% = 80,6%
Berdasarkan standar baku CDC gizi anak termasuk dalam gizi Sedang
Tanda Vital

Tekanan Darah :-
Nadi : 128 x / menit, ekual kanan dan kiri, regular
Nafas : 26x /menit
Suhu : 37,0°C, axilla (diukur dengan thermometer air raksa)

KEPALA : Normocephali, cekung (-), kelainan kulit kepala (-)


RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, tebal
WAJAH : wajah simetris, edema (-), luka atau jaringan parut (-)
MATA : Alis mata merata, madarosis (-), air mata (+), palpebral cekung (-)/(-),
bulu mata hitam, merata, trikiasis (-)

TELINGA
Bentuk : normotia
Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/-
Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang +/+
Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : -/-
Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/-
HIDUNG
Bentuk : simetris
Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/-
Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/-
Konka eutrofi : -/-
BIBIR : mukosa berwarna merah muda, kering (-),sianosis (-)
MULUT : trismus(-), tumbuh gigi (+), mukosa gusi dan pipi
LIDAH : Normoglosia, mukosa merah muda (-), atrofi papil (-), tremor (-),
coated tongue (-)
TENGGOROKAN : Arkus faring simetris, hiperemis (-), uvula ditengah
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun
KGB, tidak tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid
maupun KGB, trakea teraba di tengah
THORAKS : Simetris saat inspirasi dan ekspirasi, deformitas (-), retraksi
suprastrenal (-), retraksi intercostal (-), retraksi subcostal (-)
JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas kiri jantung ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan jantung ICS III-V linea sternalis dextra
Batas atas jantung ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (+), gallop (-)
PARU
Inspeksi : Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada bagian
yang tertinggal, pernapasan abdomino-torakal, retraksi suprastrenal (-), retraksi
intercostals (-), retraksi subcostal (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, reguler, ronchi (-/-) , wheezing (-/-)
ABDOMEN :
Inspeksi : asites (-), benjolan (-), tidak dijumpai adanya efloresensi pada kulit
perut maupun benjolan, roseola spot (-), kulit keriput (-).
Palpasi : supel,nyeri tekan (-), turgor kulit normal. Hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut
Auskultasi : bising usus (+), 3x per menit
GENITALIA : Jenis kelamin perempuan,
KGB :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar

20
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar

ANGGOTA GERAK :

Ekstremitas : akral agak dingin pada ekstremitas bawah, CRT <2 detik, edema tidak
ada pada keempat ekstremitas
STATUS NEUROLOGIS

Refleks Fisiologis Kanan Kiri

Biseps + +

Triceps + +

Patella + +

Achiles + +

Refleks Patologis Kanan Kiri


Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -

Rangsang meningeal
Kaku kuduk -
Kanan Kiri
Kerniq - -
Laseq - -
Bruzinski I - -
Bruzinski II - -
Nervus kranialis: tidak ada lesi nervus kranialis

KULIT :warna putih, pucat (-),ikterik (-), sianosis (-), turgor kulit menurun, lembab,
pengisian kapiler kurang dari 2 detik, petechie (-)
TULANG BELAKANG: bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)

21
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

DARAH RUTIN

Hemoglobin 7.5 g/dl 12.3-15.3

Leukosit 13.410 /mm3 4500 – 13.500

Eritrosit 4.3 Juta/mm3 4.1-5.1

Trombosit 413 ribu/mm3 150-400

Hematokrit 26 % 35-47

MCV 59 fL 80-96

MCH 17 pg 28-3

MCHC 29 g/dL 33-36

LED 52 mm/jam 0-20

PARASITOLOGI

DDR Tidak di temukan Tidak di temukan

KIMIA KLINIK

Natrium (Na) 138 mmol/L 132-145

Kalium (K) 3.7 mmol/L 3.1-5.1

Clorida (Cl) 105 mmol/L 96-111

22
Kalsium (Ca) 8.6 Mg/dL 8.8-10.2

Fungsi Jantung

CRP Kuantitatif +12 mg/dL <0.5

IMUNOSEROLOGI

ASTRO +400 IU/mL <200

Rheumatoid Factor

RF Kwalitatif Negatif Negatif

FESES LENGKAP

Makroskopis

Warna Coklat Coklat

Konsistensi Lunak Lunak

Lendir negatif negatif

Mikroskopis

Leukosit 2-3 /lpb 0-5

Eritrosit 0-1 /lpb 0-1

Amoeba Tidak ditemukan Negatif

Telur Cacing Trichuris trichura + Negatif

Tc.ascaris ++

Fat Positif Negatif

23
IV. EKG

Kesan : Sinus Takikardi , PR interval memanjang

24
V. EKOCARDIOGRAPH

KESAN :

- MITRAL REGURGITATION SEVERE


- CHF

25
VI. FOTO THORAX PA

Kesan: Cardiomegaly disertai tanda – tanda bendungan paru

VII. ASSESMENT
Decom Cordis ec Penyakit Jantung Rematik

Anemia Mikrositik Hipokromik

Helmentiasis

VIII. PENATALAKSANAAN
 Ivcath
 Nasal kanul 02 ½- 1 lpm
 Inj. Penisilin prokain 1x 600.000 IU IM
 Inj. Furosemid 20mg / 12 jam
 Po :
o Captopril 2x7.5 mg
o Digoxin 2x0.3 mg

26
o Prednison 3x16 mg
o TTD 2x1
o Ambroxol 3x1 cth
o Pyrantel Palmoat 1x 250 mg SD
o Rencana Rujuk

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia

Quo ad functionam : Dubia

Quo ad sanationam : Dubia

27
FOLLOW UP

Pemeriksaan Tanggal
2/05/19 3/05/19 4/05/19 5/05/19 6/5/19
S Sesak (+), Sesak napas (+) , Sesak napas (+) Sesak napas (-) Sesak napas (-)
Keluhan
Nyeri perut (+) berkurang

O KU Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang


Kesadaran Composmentis Composmentis Composmentis Composmentis Composmentis
Tanda N 128x/m N 120x/m N 100 x/m N 118 x/m N 96 x/m
Vital RR 24x/m RR 26x/m RR 22 x/m RR 30 x/m RR 23x/m
Suhu 36.6 C Suhu 36,6 C Suhu 36 C Suhu 36,5 C Suhu 36,5 C
SpO2 95% SpO2 98% SpO2 98% SpO2 98% SpO2 98%

Kepala CA +/+ CA +/+ CA +/+ CA +/+ CA +/+

Thorax Datar , Datar , Simetris Datar , Datar , Datar ,


Simetris Rh-/-, Wh-/- Simetris Simetris Simetris
Rh-/-, Wh-/- Cor : S1-S2 Rh-/-, Wh-/- Rh-/-, Wh-/- Rh-/-, Wh-/-
Cor : S1-S2 Reguler, Cor : S1-S2 Cor : S1-S2 Cor : S1-S2
Reguler, Pansistolik+ katup Reguler, Reguler, Reguler,
Pansistolik+ mitral Pansistolik+ Pansistolik+ Pansistolik+
katup mitral katup mitral katup mitral katup mitral

Abdomen BU +, BU +, cembung, BU +, BU +, BU +, cembung,


cembung, Perkusi : cembung, cembung, Perkusi : timpani
Perkusi : timpani Perkusi : Perkusi : NT Epigastrium (-)
timpani NT Epigastrium timpani timpani
NT Epigastrium (-) NT NT
(-) Epigastrium (- Epigastrium (-
) )
Extremitas Hangat Hangat Hangat Hangat Hangat
Edema -/- Edema -/- Edema -/- Edema -/- Edema -/-

Elektrolit LED : 52 ECOCARDIO


Na : 138 CRP : +12 GRAM :
K : 3.7 FL : Kesan :
Cl : 105 Fat + mitral
Ca : 8.6 Telur cacing regurgitasi
trichuris ++ SEVERE
Asto : +400 CHF

28
RF Kualitatif
(Negatif )
Xray Thorax :
Kesan :
Cardiomegali
disertai tanda –
tanda
bendungan paru

EKG
Sinur Takikardi
A Decom Cordis Decom Cordis Decom Decom Decom Cordis ec
S/RHD S/RHD Cordis ec Cordis ec causa RHD
Anemia Anemia causa RHD causa RHD Anemia Mikrositik
Mikrositik Mikrositik Anemia Anemia Hipokromik et causa
Hipokromik Hipokromik et Mikrositik Mikrositik ADB
etcausa ADB causa ADB Hipokromik Hipokromik Helmentiasis
Helmentiasis Helmentiasis et causa ADB et causa ADB
Helmentiasis Helmentiasis
P - Nasal Kanul - Nasal Kanul - Nasal Kanul - Nasal Kanul - Nasal Kanul 02 1-2
02 1-2 Lpm 02 1-2 Lpm 02 1-2 Lpm 02 1-2 Lpm Lpm
- IFVD D5 - IFVD D5 - IFVD D5 - ivcath - ivcath
500CC/24 Jam 500CC/24 Jam 500CC/24 Jam -Inj. -Inj. Furosemid 25 mg /
-Inj. Furosemid -Inj. Furosemid -Inj. Furosemid 25 8 jam
25 mg / 8 jam 25 mg / 8 jam Furosemid 25 mg / 8 jam Inj. Penisilin Prokain
-Captopril 2x -Captopril 2x mg / 8 jam Inj. Penisilin 1x 600.000 unit IM
7.5 7.5 Inj. Penisilin Prokain 1x -Captopril 2x 7.5
-Digoxin 1x0.3 -Digoxin 1x0.3 Prokain 1x 600.000 unit -Digoxin 1x0.3
- prednison 16 - prednison 16 600.000 unit IM - prednison 16 mg/8jam
mg/8jam mg/8jam IM -Captopril 2x -Ambroxol 3x1 cth
-Pyrantel -TTD 2x1 -Captopril 2x 7.5 -Rencana Rujuk Ke
palmoat 1x250 - Pro ECO di 7.5 -Digoxin Jakarta
mg (SD) RSUD -Digoxin 1x0.3
-TTD 2x1 1x0.3 - prednison 16
- Cek UL, dan - prednison 16 mg/8jam
FL mg/8jam -Ambroxol
3x1 cth

29
BAB III

PEMBAHASAN

Pada pasien ini didiagnosis decom cordis ec causa penyakit jantung rematik di dapat dari
anamnesa yaitu nyeri – nyeri pada sendi disertai demam, riwayat demam rematik dengan chorea
sydenham tahun lalu, pemeriksaan fisik adanya bising pansistolik di katup mitral , dan ditunjang
dengan pemeriksaan lab dimana terdapat peningkatan ASTO sebesar +400 selain itu dilakukan
pemeriksaan Ecocardiogram didapatkan kesan Mitral Regurgitasi Severe dengan CHF.

Penyakit jantung rematik adalah kodisi yang disebabkan atau didahului oleh demam rematik.
Untuk mendiagnosis demam rematik dapat digunakan kriteria Jones. Kriteria Jones Terbagi
menjadi 2 kriteria yaitu Kriteria Mayor dan kriteria Minor. Kriteria Mayor terdiri dari karditis,
poliartritis, chorea sydenham, erytema marginatum dan subcutaneus nodulus. Selain itu, untuk
kriteria minor terdiri dari Poliartralgia, demam >380C, pemanjangan interval PR pada gambaran
EKG, peningkatan ASTO ( kultur kuman streptococcus + ) dan leukositosis . Pada pasien
didapatkan adanya 2 kriteria mayor yaitu karditis dan chorea sydenham serta 3 kriteria minor yakni
, poliarthritis , pemanjangan PR Interval dan peningkatan ASTO. Dimana untuk mendiagnosis
sebagai demam rematik diperlukan 2 kriteria mayor disertai 1 kriteria minor, sehingga pasien sudah
dapat didiagnosis sebagai demam rematik . Pasien didiagnosis dengan penyakit jantung rematik
atas dasar pemeriksaan Ekokardiogram yang menggambarkan Mitral Regurgitasi Severe disertai
dengan CHF .

Tatalaksana yang diberikan pada penyakit jantung rematik terdiri atas dua yaitu terapi
profilaksis primer dan profilaksis sekunder. Terapi profilaksis primer bertujuan untuk menghambat
progresivitas dari infek bakteri streptoccocus sedangkan tujuan dari terapi profilaksis sekunder
adalah mencegah terjadi progresivitas menjadi penyakit jantung rematik. Pada pasien ini diberikan
terapi profilaksis primer berupa inj. Ampicilin prokain 60.000 unit secara IM . selain itu pasien juga
diberikan medikamentosa lainnya antara lain pemberian prednison 16 mg/mg sebagai agen
antiinflamsi selain itu juga diberikan furosemid 20 mg/12 jam dan captopril 2x 7.5 mg dan digoxin
2x0.3 mg digunakan untuk terapi gagal jantung pada pasien penyakit jantung rematik. Pasien juga
di tatalaksana untuk tirah baring . berdasarkan teori tirah baring pada pasiaen demam rematik yang
disertai dengan karditis + cardiomegali dengan CHF dilakuakan tirah baring selama gagal jantung,
mobilisasi bertahap selama 3 bulan. Kondisi tersebut perlu diedukasi kepada keluarga.
Selain itu pasien direncanakan untuk dirujuk guna tindakan operasi terhadap kondisi Severe
regurgitasi katup mitral yang sesuai dengan indikasi WHO yaitu tindakan operasi dapat
dilakukan pada kondisi Severe regurgitasi katup mitral

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Nova R, Salverra Y, Iriani Y, et al., Pediatric Cardiology Update 7. Palembang, 2019; p 207-2011
2. Sastroasmoro S, Madiyono B, et al. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta, 1994.
3. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW, O’Rourke et al. Hurst
The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill : New York, 2001; p. 1657 – 65.
4. Meador RJ, Russel IJ, Davidson A, et al. Acute Rheumatic Fever. Available from:
http://www.emedicine.com/med/topic2922.htm
5. Stollerman GH. Rheumatic fever (Seminar). Lancet 1997; 349: 935-
6. Lopez WL, de la Paz AG. Jones Criteria for Diagnosis of Rheumatic Fever. A Historical Review
and Its Applicability in Developing Countries. In: Calleja HB, Guzman SV. Rheumatic fever and
Rheumatic Heart Disease, epidemiology, clinical aspect, management and prevention and control
programs. A publication of the Philipine Foundation for the prevetion and control of rheumatic
fever/rheumatic heart disease : Manila, 2001; p. 17- 26.
7. Parillo S, Parillo CV, Sayah AJ, et al.Rheumatic Fever. Available from:
http://www.emedicine.com/emerg/topic509.htm
8. Achutti A, Achutti VR. Epidemiologi of rheumatic fever in the developing world. Cardiol Young
1992; 2:206-15.
9. Meador RJ, Russel IJ, Davidson A, et al. Acute Rheumatic Fever. Available from:
http://www.emedicine.com/med/topic2922.htm
10. Veasy GL. Rheumatic fever –T.Duckett Jones and the rest of the story. Cardiol Young 1995; 5:
293-01.
11. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease WHO Technical report
series 923. Report of a WHO Expert Consultation Geneva, 29 October–1 November 2001.
12. Park MK. Acute Rheumatic Fever. In: Pediatric Cardiology for practitioners; 3rd ed. St.Louis:
Mosby, 1996; p. 302-09.
13. Dajani A, Taubert K, Ferrieri P, et al. Treatment of acute streptococcal pharyngitis and
prevention of rheumatic fever; A statement for health profesional by Comitte on Rheumatic fever,
endocarditis, and Kawasaki disease of the council on cardiovascular disease in the young, American
Heart Association. Pediatrics 1995; 96 758-64.
14. Snitcowsky R. Medical treatment of acute episodes of rheumatic fever. Cardiol Young 1992; 2:
240-43.

31

Anda mungkin juga menyukai