Pelibatan Awam
Pemimpin Gereja ialah kaum tertahbis (kanon 129, §1). Awam dapat
dilibatkan dalam kerjasama. Dasarnya terlibat ialah baptisan. Awam
ambilbagian dalam pelayanan kaum klerus. Dalam konteks ini
mutlak diingat bahwa ada dua jalan untuk pelayanan Gereja: melalui
tahbisan dan misi kanonik. Misi kanonik diberikan oleh pemimpin
Gereja sebagai kuasa yang didelegasikan kepada awam. Karena itu
kan 129, §2, menyatakan, “Dalam pelaksanaan kuasa kepemimpinan,
orang-orang beriman kristiani awam dapat dilibatkan dalam
kerjasama.” Pelibatan awam itu dalam kepemimpinan Gereja antara
lain menjadi notarius, atau defensor vinculli dalam tribunal Gereja,
anggota Dewan Keuangan, anggota Dewan Pastoral Keuskupan atau
Paroki. Tugas yang diemban oleh awam ialah tugas yang tidak
memerlukan tahbisan. Misalnya, awam tidak dapat menjadi pastor
paroki karena tugas itu menuntut adanya tahbisan, memimpin
Perayaan Ekaristi, dst.
Dari sekian banyak macam Pelayan Awam itu, yang paling sering
menjadi bahan pembicaran adalah peran pembantu imam atau
bahkan terkadang dimengerti sebagai “pengganti” imam. Beberapa
istilah yang sempat muncul di Gereja Indonesia adalah prodiakon
(Keuskupan Agung Semarang), asisten imam (Keuskupan Surabaya),
pemimpin umat, lektor (Keuskupan Sibolga), porhanger (KAM) dsb.
Peran para pelayan awam semacam ini sebenarnya bukan keharusan,
namun hanya bila sungguh dibutuhkan mengingat berbagai alasan
kontekstual-lokal (lih. RS 145-168; bdk juga Dewan Kepausan untuk
Interpretasi Otentik KHK, Jawaban atas dubium, 1 Juni 1988).
Hampir seluruh Gereja di Indonesia seolah “mewajibkan”
keberadaan peran semacam itu. Memang, kehadiran mereka amat
bermanfaat?
Tugas pembantu imam tentu saja adalah membantu imam. Apa arti
“membantu imam”? Kata “imam” ini kita mengerti dalam arti luas,
yakni sebagai pemimpin perayaan liturgis (sacerdos, presiden),
bukan presbiter saja seperti dalam pengertian salah satu unsur pada
jenjang hirarki. Jadi, peran mereka secara khusus hanya dalam
wilayah liturgi atau peribadatan. Ini untuk membedakan istilah
“pelayan pastoral” yang tidak hanya membantu dalam lingkup liturgi
(katekis, guru sekolah minggu, pelayan sosial karitatif, dsb). Dalam
arti ini “imam” dapat berarti seorang uskup (imam tingkat pertama)
atau presbiter (imam tingkat kedua). Lalu, kata “membantu” dapat
dimengerti dalam dua pemahaman:
a. “Menolong/meringankan tugas imam”: imam tetap
bertugas memimpin perayaan liturgi, sedangkan pelayan
awam membantu beberapa tugas imam yang boleh
dilimpahkan kepada mereka.
a. Fenomena positif:
- Citra Gereja sebagai paguyuban umat Allah dinilai
lebih tampak berkat partisipasi kaum awam.
- Partisipasi pelayan awam dalam kegiatan liturgi
sungguh luar biasa, bahkan sering dibanggakan para
pimpinan Gereja Indonesia.
- Para imam merasa amat terbantu dengan kehadiran
para pelayan awam.
- Perlakuan khusus bagi para pelayan awam terkadang
menjadi “benefit” tersendiri bagi penghayatan iman
mereka.
b. Fenomena negatif:
- Klerikalisasi awam (seremonialistis: tata cara
pelantikan, tata gerak, busana, sebutan, bdk RS 153)
- Kurang terlatih (penguasaan tugas: pemahaman
untuk teori dan praktek)
- Kehadiran para pelayan awam terkadang dapat
mempengaruhi “etos atau semangat pelayanan” para
imam (mudah mendelegasikan dengan dalih luhur-
pastoral-partisipasi-dsb, bdk RS 152, 157)
- Pelayan Awam merasa “berhak” mendapat “bagian
kekuasaan” dalam tugas itu (istilah Francis Kard.
Arinze: “pola-pola politis pembagian kekuasaan dan
perebutan kekuatan menyusup ke ruang pemimpin”,
Sambutan pada pertemuan nasional Federasi Komlit
Keuskupan se-AS, 8 Oktober 2003).
Melakukan tugas-tugas apa saja? Ada dua macam tugas utama bagi
para pelayan awam yang “membantu imam”:
a. Persyaratan pelayan:
- Ditunjuk hanya jika sungguh-sungguh tidak ada
pelayan tertahbis (RS 157).
- Diangkat dengan surat resmi dari uskup.
- Kualitas pribadi pelayan (dewasa, hidup iman baik,
nama baik, keluarga baik, diterima umat-masyarakat,
dsb).
c. Pemimpin Ibadat:
- Ada rumusan teks dan tata gerak khusus bagi mereka,
yang membedakan status mereka dengan pelayan
tertahbis, seperti tertulis dalam rubrik-rubrik buku
liturgis.
- Diperkenankan berkhotbah di dalam gereja atau
tempat ibadat lain, namun di luar konteks Misa dan
jika di tempat itu kekurangan pelayan tertahbis. Izin
ini hanya diberikan oleh uskup setempat untuk
pribadi-pribadi tertentu (KHK kan. 766; RS 161).
KHK menyebut pelayan tak lazim ini sebagai pelayan luar biasa
komuni suci.
KHK 910, 2: "Pelayan luar biasa komuni suci adalah akolit atau
orang beriman lain yang ditugaskan sesuai dengan ketentuan kan.
230, 3:
Di mana kebutuhan Gereja memintanya, dan bila tidak ada
pelayan-pelayan rohani [uskup, imam, diakon], juga kaum
awam meskipun bukan lektor atau akolit, dapat menjalankan
beberapa tugas, yakni melakukan pelayanan sabda,
memimpin doa-doa liturgis, memberikan baptis dan
membagikan Komuni Suci, menurut ketentuan hukum.
IGMR 100: Kalau akolit yang telah dilantik tidak hadir, pelayan
awam dapat dapat diberi tugas … membagikan komuni sebagai
pelayan tak lazim.
IGMR 162:
Di saat jumlah umat yang menyambut besar sekali, imam dapat
memanggil pelayan komuni tak lazim [pelayan tak lazim untuk
komuni] untuk membantu yakni: akolit .. atau juga anggota jemaat
yang sudah dilantik secara liturgis untuk tugas ini. …
Pelayan-pelayan seperti ini hendaknya tidak menghampiri altar
sebelum imam menyambut Tubuh dan Darah Tuhan. Mereka selalu
menerima dari tangan imam bejana kudus yang berisi Tubuh atau
Darah Kristus untuk dibagikan kepada umat beriman.
RS 46:
Orang awam kristiani yang dipanggil untuk membantu dalam
pelaksanaan upacara liturgis, hendaknya dilatih dengan baik. Tidak
boleh ada kesangsian tentang hidup dan moral kristiani mereka serta
kesetiaan mereka kepada ajaran Gereja…. Janganlah diangkat orang
untuk tugas demikian jika penunjukannya menimbulkan keribuatan
di kalangan umat.
RS 88:
Hanya bila sungguh dibutuhkan, pelayan komuni tak lazim boleh
membantu Imam sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
RS 151:
Hanya kalau sungguh perlu, boleh diminta bantuan pelayan-pelayan
tak lazim dalam perayaan liturgi…
RS 154:
Seperti sudah dinyatakan, "pelayan yang selaku pribadi Kristus dapat
melaksanakan sakramen Ekaristi, hanyalah seorang imam yang
ditahbiskan secara sah" (KHK 900, 1). Karena itu, istilah "pelayan
Ekaristi" hanya dapat diterapkan pada seorang Imam. Di samping
itu, juga berdasarkan Pentahbisan suci, pelayan-pelayan yang lazim
untuk memberi Komuni Suci adalah Uskup, Imam dan Diakon.
RS 155:
Di samping pelayan-pelayan tertahbis, ada juga akolit yang telah
dilantik secara resmi, dan karenanya menjadi pelayan tak lazim
untuk membagi Komuni Suci juga di luar perayaan Misa. Jika, selain
itu, ada alasan-alasan yang mendesak, maka seorang anggota awam
lain di antara umat beriman boleh diberi delegasi oleh Uskup
diosesan dan -dalam batas norma hukum- diberi izin untuk untuk
satu kesempatan entah untuk suatu waktu tertentu….
RS 156:
Jabatan ini harus dipandang hanya melulu menurut istilahnya yang
dipakai buat itu, yakni "pelayan tak lazim Komuni Suci" dan bukan
"pelayan khusus Komuni Suci" atau "pelayan tak lazim Ekaristi".
RS 157:
Jika di suatu tempat biasanya jumlah pelayan tertahbis mencukupi
untuk membagi Komuni Suci, maka tidak boleh ditunjuk pelayan-
pelayan tak lazim. Malah dalam situasi yang demikian, orang yang
mungkin sudah dihunjuk untuk pelayan ini, jangan
melaksanakannya. Tidak dapat dibenarkan kebiasaan para Imam
yang, walaupun hadir pada perayaan itu, sendiri tidak membagi
Komuni dan menyerahkan tugas ini kepada orang-orang awam.
RS 158:
Memang, pelayan tak lazim Komuni Suci hanya boleh menerimakan
Komuni bila tidak ada imam dan diakon, atau bila imam terganggu
karena badan lemah atau usia lanjut atau suatu alasan lain yang
wajar, atau pun bila jumlah orang beriman yang ingin menyambut
Komuni begitu besar, sehingga perayaan Misa itu akan terlalu lama.
Namun harus dimengerti demikian rupa bahwa upaya
mempersingkat perayaan Misa itu, bila memperhatikan situasi dan
kebudayaan setempat, sama sekali bukan alasan yang cukup.
RS 160:
Perlu norma-norma khusus untuk pelayan tak lazim ini, dikeluarkan
oleh uskup.