Anda di halaman 1dari 18

Awam Pemimpin Liturgi

Menurut Paham Gereja

Emmanuel J. Sembiring OFMCap


Pengantar

Istilah pemimpin yang juga akrab dalam terminologi duniawi dapat


menggelincirkan paham yang kurang penuh akan pemimpin dalam
terminologi Gereja khususnya liturgi. Pemimpin dalam Gereja
terutama diartikan sebagai pelayan dan bapa rohani, dan bukan kuasa
atau kehormatan. Istilah pemimpin liturgi oleh dokumen-dokumen
Gereja lebih menunjuk pada kaum klerus. Penyebutan awam sebagai
pemimpin liturgi akhir-akhirnya ini juga ramai diperdebatkan
khususnya dipacu oleh terbitnya PSHMR 2013 yang dengan sengaja
tidak memakai istilah pemimpin melainkan pemandu dengan
berpedoman pada DCDAP No. 30, “Para awam diberi tugas
memandu perayaan-perayaan, yakni memimpin doa, memberikan
pelayanan Sabda dan membagikan komuni kudus.” Tugas ini bukan
terutama sebagai kehormatan, melainkan sebagai pelayan, dan
bersifat sementara (DCDAP No. 31).

Hanya klerus pemimpin liturgi?

Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium merumuskan Gereja sebagai


Umat Allah dengan menekankan “komunio”, persatuan dan kesatuan,
partisipatif, dialog dan kerjasama. Konsekuensinya, Gereja adalah
tanggungjawab semua warga Gereja: awam dan klerus. Dasarnya
ialah baptisan (lih. Lumen Gentium 9-10). Tanggungjawab itu
bukanlah sama rata sama rasa, ada pembagian peran. Baik imam,
awam, maupun kaum religius sama-sama terpanggil menuju
kesucian dengan melaksanakan corak hidup mereka masing-masing,
dalam kesatuan dan kerjasama (LG 20). Namun secara eksplisit
dikatakan, pemimpin liturgi adalah klerus (LG 21). Dari gagasan
inilah muncul rumusan KHK 1983, kanon 1008, “Dengan sakramen
tahbisan menurut ketetapan ilahi sejumlah orang dari kaum beriman
kristiani diangkat menjadi pelayan-pelayan suci, dengan ditandai
meterai yang tak terhapuskan, yakni dikuduskan dan ditugaskan
untuk menggembalakan umat Allah, dengan melaksanakan dalam
pribadi Kristus Kepala, masing-masing menurut tingkatannya, tugas-
tugas mengajar, menguduskan dan memimpin”.

Pelibatan Awam

Pemimpin Gereja ialah kaum tertahbis (kanon 129, §1). Awam dapat
dilibatkan dalam kerjasama. Dasarnya terlibat ialah baptisan. Awam
ambilbagian dalam pelayanan kaum klerus. Dalam konteks ini
mutlak diingat bahwa ada dua jalan untuk pelayanan Gereja: melalui
tahbisan dan misi kanonik. Misi kanonik diberikan oleh pemimpin
Gereja sebagai kuasa yang didelegasikan kepada awam. Karena itu
kan 129, §2, menyatakan, “Dalam pelaksanaan kuasa kepemimpinan,
orang-orang beriman kristiani awam dapat dilibatkan dalam
kerjasama.” Pelibatan awam itu dalam kepemimpinan Gereja antara
lain menjadi notarius, atau defensor vinculli dalam tribunal Gereja,
anggota Dewan Keuangan, anggota Dewan Pastoral Keuskupan atau
Paroki. Tugas yang diemban oleh awam ialah tugas yang tidak
memerlukan tahbisan. Misalnya, awam tidak dapat menjadi pastor
paroki karena tugas itu menuntut adanya tahbisan, memimpin
Perayaan Ekaristi, dst.

Sekalipun demikian tidaklah tepat memandang kaum awam sebagai


kelas dua dalam Gereja. Sejak paham Gereja adalah Umat Allah,
baik imam, awam maupun kaum religius mengambilbagian seturut
peran (cara) masing-masing dalam melaksanakan tugas Kristus.
Semua wajib berpartisipasi. Pengambil keputusan ialah klerus, tetapi
sebelum membuat keputusan ia wajib mendengarkan umat beriman.

Keterlibatan awam dalam liturgi

Keterlibatan ini bersifat wajib dan pelayanan. Pada hakekatnya


Uskup adalah pemimpin utama liturgi (PUMR 287). Ia dapat
menyerahkan beberapa pelayanan kepada yang lain termasuk awam
dalam batas-batas tertentu. Beberapa dokumen Gereja dapat menjadi
acuan dalam hal ini:

- Codex Iuris Canonici (KHK), kan. 230 § 1-3;


- Institutio Generalis Missale Romanum, no. 95-111, 187-
193 yang dibarui tahun 2000;
- Paulus VI, Surat Apostolik (Motu Proprio) Ministeria
Quaedam, 15 Agustus 1972, no. VI-XII; Pontificale
Romanum ex decreto sacrosancti Oecumenici Concilii
Vaticani II instauratum, auctoritate Pauli pp. VI
promulgatum, De institutione lectorum et acolythorum, de
admissione inter candidatos ad diaconatum et
presbyteratum, de sacro caelibatu amplectendo, editio
typica, 3 Desember 1972, Typis Polyglottis Vaticanis,
1973.
- Kongregasi Suci untuk Ketertiban Sakramen-Sakramen,
Instruksi Immensae Caritatis.
- Kongregasi untuk Imam, Instruksi Ecclesiae de Mysterio,
Penetapan-penetapan Praktis, art. 8 § 2.
- Kongregasi untuk Ibadat Ilahi, Direktorium untuk
Perayaan-Perayaan Hari Minggu bila tiada seorang Imam
hadir, Christi Ecclesiae, 2 Juni 1988.
- Dewan Kepausan untuk Interpretasi Otentik Kitab Hukum
Kanonik, Responsio ad propositum Dubium, 1 Juni 1988.

Dalam liturgi pada dasarnya terdapat dua macam pelayan, sebutlah


misalnya sebagai Pelayan Tertahbis (istilah dalam PUMR 92-94) dan
Pelayan Tak Tertahbis. Pelayan Tertahbis adalah para klerus: uskup,
presbiter, diakon (ordination). Sedangkan Pelayan Tak Tertahbis
adalah para awam (non-klerus, dalam PUMR 97 disebut “pelayanan
atau tugas khusus”) yang dapat dibedakan menjadi dua: yang dilantik
secara liturgis (= pemberkatan liturgis) untuk tugas khusus
(institution: akolit dan lektor sebagai prasyarat tahbisan; PUMR 98-
99) dan yang diangkat atau ditunjuk entah untuk jangka waktu
tertentu (= penugasan sementara) untuk melayani perayaan liturgi
berdasarkan kebijakan uskup setempat (association with clergy:
prodiakon, porhanger (khusus KAM), asisten imam, pelayan komuni
tak-lazim, putra-putri altar; juga yang tak langsung terkait dengan
klerus: pemazmur, petugas kolekte, penyambut jemaat, koster,
pemandu ibadat/seremoniarius, dsb; bdk PUMR 100-107).

Dalam struktur klerus diakon dan presbiter ada di bawah uskup.


Keduanya adalah para pembantu uskup. Dalam kegiatan liturgis,
masing-masing Pelayan Tertahbis itu mempunyai tugas yang khusus.
Kewenangan yang diberikan kepada diakon dan imam mengalir dari
uskup, secara khas melalui rahmat tahbisan yang mereka terima dari
uskup. Pada gilirannya para pelayan awam pun diizinkan membantu
mereka, namun peran mereka tidak diturunkan melalui tahbisan,
maka sebutan untuk mereka adalah Pelayan Tak Tertahbis atau yang
lebih sederhana: Pelayan Awam.

Mengapa perlu peran pelayanan kaum awam? Sambil mengutip


PUMR 109, RS 43 menyebut: “Demi manfaat bagi umat setempat
maupun seluruh Gereja Allah, maka dalam rangka perayaan Liturgi
Suci ada di antara kaum awam yang, sesuai dengan tradisi,
dipercayai pelayanan-pelayanan yang dilaksanakannya dengan tepat
dan dengan cara yang patut dipuji. Sangat tepatlah jika ada lebih
banyak orang yang membagi di antara mereka serta melaksanakan
berbagai tugas atau bagian-bagian pelayanan.”

Dari sekian banyak macam Pelayan Awam itu, yang paling sering
menjadi bahan pembicaran adalah peran pembantu imam atau
bahkan terkadang dimengerti sebagai “pengganti” imam. Beberapa
istilah yang sempat muncul di Gereja Indonesia adalah prodiakon
(Keuskupan Agung Semarang), asisten imam (Keuskupan Surabaya),
pemimpin umat, lektor (Keuskupan Sibolga), porhanger (KAM) dsb.
Peran para pelayan awam semacam ini sebenarnya bukan keharusan,
namun hanya bila sungguh dibutuhkan mengingat berbagai alasan
kontekstual-lokal (lih. RS 145-168; bdk juga Dewan Kepausan untuk
Interpretasi Otentik KHK, Jawaban atas dubium, 1 Juni 1988).
Hampir seluruh Gereja di Indonesia seolah “mewajibkan”
keberadaan peran semacam itu. Memang, kehadiran mereka amat
bermanfaat?

Tugas pembantu imam tentu saja adalah membantu imam. Apa arti
“membantu imam”? Kata “imam” ini kita mengerti dalam arti luas,
yakni sebagai pemimpin perayaan liturgis (sacerdos, presiden),
bukan presbiter saja seperti dalam pengertian salah satu unsur pada
jenjang hirarki. Jadi, peran mereka secara khusus hanya dalam
wilayah liturgi atau peribadatan. Ini untuk membedakan istilah
“pelayan pastoral” yang tidak hanya membantu dalam lingkup liturgi
(katekis, guru sekolah minggu, pelayan sosial karitatif, dsb). Dalam
arti ini “imam” dapat berarti seorang uskup (imam tingkat pertama)
atau presbiter (imam tingkat kedua). Lalu, kata “membantu” dapat
dimengerti dalam dua pemahaman:
a. “Menolong/meringankan tugas imam”: imam tetap
bertugas memimpin perayaan liturgi, sedangkan pelayan
awam membantu beberapa tugas imam yang boleh
dilimpahkan kepada mereka.

b. “Menggantikan imam yang bertugas”: imam sama sekali


berhalangan memimpin, maka pelayan awam ditugasi
menggantikannya sebagai “pemimpin” liturgi.

Bagaimana prakteknya di Gereja-gereja Indonesia? Secara yuridis


keberadaan para awam yang “membantu imam” (extraordinary lay
ministers) memang diakomodasi (KHK, kan. 230 3; 910.2; Instruksi
Immensae Caritatis,). Maka para pemimpin Gereja di Indonesia pun
merestui kehadiran mereka. Pada umumnya tugas ini diadakan
untuk:
- Menanggapi kebutuhan Gereja lokal akan tenaga
pelaksana liturgi yang belum mencukupi (RS 147).
- Menggairahkan keterlibatan awam dalam tata liturgi
(partisipasi aktif).
- Menyemarakkan perayaan liturgi.

Dari praktek yang selama ini berlangsung muncullah berbagai


pengalaman, baik yang bersifat positif maupun negatif. Yang sempat
tercatat adalah sebagai berikut:

a. Fenomena positif:
- Citra Gereja sebagai paguyuban umat Allah dinilai
lebih tampak berkat partisipasi kaum awam.
- Partisipasi pelayan awam dalam kegiatan liturgi
sungguh luar biasa, bahkan sering dibanggakan para
pimpinan Gereja Indonesia.
- Para imam merasa amat terbantu dengan kehadiran
para pelayan awam.
- Perlakuan khusus bagi para pelayan awam terkadang
menjadi “benefit” tersendiri bagi penghayatan iman
mereka.
b. Fenomena negatif:
- Klerikalisasi awam (seremonialistis: tata cara
pelantikan, tata gerak, busana, sebutan, bdk RS 153)
- Kurang terlatih (penguasaan tugas: pemahaman
untuk teori dan praktek)
- Kehadiran para pelayan awam terkadang dapat
mempengaruhi “etos atau semangat pelayanan” para
imam (mudah mendelegasikan dengan dalih luhur-
pastoral-partisipasi-dsb, bdk RS 152, 157)
- Pelayan Awam merasa “berhak” mendapat “bagian
kekuasaan” dalam tugas itu (istilah Francis Kard.
Arinze: “pola-pola politis pembagian kekuasaan dan
perebutan kekuatan menyusup ke ruang pemimpin”,
Sambutan pada pertemuan nasional Federasi Komlit
Keuskupan se-AS, 8 Oktober 2003).

Melakukan tugas-tugas apa saja? Ada dua macam tugas utama bagi
para pelayan awam yang “membantu imam”:

a. Melayani Komuni Suci: Lingkup


tugasnya selalu berkaitan dengan Sakramen Ekaristi,
terutama untuk membantu imam membagikan komuni.
Dalam PUMR 98 tugas ini juga diberikan kepada akolit
sebagai pelayan tak-lazim, demikian juga kepada lektor
(PUMR 100). Akolit dan lektor dalam pengertian ini
adalah mereka yang dilantik secara liturgis untuk
memenuhi syarat menjelang tahbisan. Pelayan lazim untuk
membagi komuni adalah para klerus. Para pelayan tak-
lazim itu baru boleh bertugas jika memang para pelayan
lazim tidak ada atau tidak dapat melaksanakannya
sendirian, maka dibutuhkan bantuan pelayan tak-lazim.
Istilah Pelayan Komuni terasa lebih sempit daripada
Pelayan Sakramen Ekaristi/Mahakudus. Pelayan Komuni
khusus melayani pembagian komuni saja (dalam Misa,
Komuni untuk orang sakit, dan Viatikum). Sedangkan
Pelayan Sakramen Ekaristi/Mahakudus dapat juga
memimpin Perayaan Sabda Hari Minggu tanpa Imam
(Ibadat Sabda) dengan pembagian komuni, dan juga Ibadat
Pujian kepada Sakramen Mahakudus (adorasi ekaristik,
salve). Akan tetapi, RS 156 sudah memberi istilah sendiri:
“Pelayan Tak-Lazim Komuni Suci”, bukan “pelayan
khusus Komuni Suci” atau “pelayan tak lazim Ekaristi”.
Sayangnya, terjemahan Indonesia ini terlalu panjang dan
kurang “menggigit”. Namun, RS 165 malah menyebut
bahwa “tidak tepat juga mengatakan bahwa seorang awam
‘memimpin’ dalam kebaktian itu”.

b. Memimpin Ibadat (sakramen non-


ekaristik, sakramentali, paraliturgi/devosional): Ada
pelayan awam yang secara khusus diangkat sesuai dengan
ketentuan hukum oleh uskup untuk jangka waktu tertentu
agar dapat melakukan beberapa tugas mewakili imam atau
melaksanakan tugas diakon (= penugasan sementara, KHK
kan. 230 § 3). Misalnya, tugas memimpin ibadat di
lingkung-an/kring/stasi, menjadi petugas Gereja dalam
pemberkatan perkawinan, membaptis, memimpin ibadat
kematian/pemakaman, memimpin ibadat pem-berkatan
(rumah, toko, kantor, dsb: benedictione).

Pada umumnya uskup/pastor paroki memberikan kedua macam tugas


itu kepada para awam tertentu, setelah melalui prosedur yang
ditetapkan uskup/pastor paroki tersebut. Lalu memberi mereka
sebutan khusus, bahkan juga atribut khusus. Ada juga yang tidak
serta merta memberikan kedua tugas itu. Misalnya, tidak setiap
Pelayan Tak-Lazim Komuni Suci adalah juga Pemimpin Ibadat, dan
sebaliknya. Di Indonesia tugas ini sebagian besar masih dilimpahkan
kepada para awam pria, meskipun di beberapa wilayah sudah ada
juga para awam wanita yang dilibatkan (RS 47; lihat juga Dewan
Kepausan untuk Interpretasi Teks-Teks Hukum, Jawaban atas
Dubium, 11 Juli 1992: AAS 86 [1994] p. 541-542; Kongregasi
Ibadat dan Tata-tertib Sakramen, Surat kepada Ketua-Ketua
Konferensi-Konferensi Uskup tentang pelayanan liturgis oleh orang
awam, 15 Maret 1994: Notitiae 30 [1994] p. 333-335, 347-348; Surat
kepada seorang Uskup, 27 Juli 2001: Notitiae 38 [2002] p. 46-54).

Terminologi? Masalah ketidaktepatan penyebutan nama seringkali


menambah keruwetan pemahaman. Secara historis di Indonesia
pernah muncul beberapa istilah untuk tugas ini, misalnya: diakon
awam, subdiakon, diakon paroki, prodiakon, asisten imam, akolit,
dsb. Pendeknya, belum ada satu istilah yang disepakati untuk dipakai
di Gereja-gereja seluruh Indonesia. Perlukah satu terminologi khusus
untuk peran awam yang satu ini? Usaha menyeragamkan mungkin
akan sia-sia kalau kita tidak memperhatikan kebutuhan setiap
paroki/Gereja lokal, karena kebutuhan setiap paroki juga tidaklah
seragam. Upaya masing-masing uskup untuk menggunakan satu
nama yang berlaku dalam keuskupannya adalah wajar. Namun,
sebaiknya pemilihan yang mereka lakukan itu sudah berdasarkan
pemahaman yang tepat agar tidak rancu dan membingungkan di
kemudian hari.

Beberapa aturan menyangkut pelayan awam:

a. Persyaratan pelayan:
- Ditunjuk hanya jika sungguh-sungguh tidak ada
pelayan tertahbis (RS 157).
- Diangkat dengan surat resmi dari uskup.
- Kualitas pribadi pelayan (dewasa, hidup iman baik,
nama baik, keluarga baik, diterima umat-masyarakat,
dsb).

b. Pelayan Tak-Lazim Komuni Suci:


- “Jika, ada alasan-alasan yang mendesak, maka seorang
anggota awam lain di antara umat beriman boleh
diberi delegasi oleh Uskup diosesan dan –dalam batas
norma hukum– diberi izin entah untuk satu
kesempatan entah untuk suatu waktu tertentu; untuk
kesempatan itu boleh dipergunakan suatu rumus berkat
yang sesuai. Namun penunjukan ini belum tentu
bercorak liturgis, dan jika dalam bentuk liturgis maka
sama sekali tidak boleh mirip dengan Pentahbisan
suci. Akhirnya, dalam kasus-kasus khusus yang tidak
diduga sebelumnya, izin dapat diberikan oleh imam
yang memimpin Ekaristi, tetapi hanya untuk satu
kesempatan itu” (RS 155).
- Berbusana awam biasa yang pantas (tapi di banyak
tempat mereka berbusana khusus: memang boleh
memakai alba dan kalung/atribut khusus tapi bukan
stola!).
- Karena berbusana awam biasa, maka awam lebih baik
tidak ikut perarakan masuk dan bertempat duduk di
antara umat. Ini untuk mengesankan bahwa mereka
tetaplah awam biasa yang bertugas melayani dalam
Misa.
- Mengambil alih tugas akolit dalam Misa, seperti
disebut PUMR 191-193:
191. Kalau perlu, selaku pelayan tak-lazim, akolit
yang dilantik secara liturgis dapat membantu
imam melayani komuni untuk umat. Bilamana
komuni dilaksanakan dalam dua rupa, akolit
menyerahkan piala kepada masing-masing
penyambut, atau memegang piala kalau komuni-
dua-rupa itu dilakukan dengan mencelupkan roti
ke dalam piala.
192. Seusai komuni, akolit membantu imam atau
diakon membersihkan serta merapikan kembali
piala, patena, dan bejana-bejana kudus lainnya.
Akan tetapi, kalau tidak ada diakon, ia
membawa bejana itu ke meja-samping dan
membersihkan serta menatanya kembali di situ.
193. Sesudah perayaan Misa selesai, akolit dan para
pelayan lain kembali ke sakristi bersama diakon
dan imam; mereka berarak dengan urutan seperti
waktu berarak masuk.
- Jika di suatu tempat jumlah pelayan tertahbis
mencukupi untuk membagi Komuni Suci, maka tidak
boleh ditunjuk pelayan-pelayan tak lazim. Malah
dalam situasi begitu, orang yang mungkin sudah
ditunjuk untuk pelayanan ini, jangan
melaksanakannya. Tidak dapat dibenarkan kebiasaan
para imam yang, walau hadir pada perayaan itu, tidak
ikut membagi Komuni dan malah menyerahkan tugas
ini kepada orang-orang awam (RS 157).
- Hanya boleh menerimakan Komuni bila tidak ada
imam dan diakon, atau bila imam terganggu
kesehatannya atau suatu alasan lain yang wajar, atau
pun bila jumlah orang beriman yang ingin menyambut
Komuni begitu besar, sehingga perayaan Misa itu akan
terlalu lama. Namun harus dimengerti demikian rupa
bahwa upaya mempersingkat perayaan Misa itu, bila
memperhatikan situasi dan kebudayaan setempat,
sama sekali bukan alasan yang cukup (RS 158).
- Dilarang mendelegasikan seorang lain untuk
menerimakan Ekaristi, misalnya orang tua atau
pasangan suami/istri atau anak dari orang sakit yang
hendak menyambut Komuni itu (RS159).

c. Pemimpin Ibadat:
- Ada rumusan teks dan tata gerak khusus bagi mereka,
yang membedakan status mereka dengan pelayan
tertahbis, seperti tertulis dalam rubrik-rubrik buku
liturgis.
- Diperkenankan berkhotbah di dalam gereja atau
tempat ibadat lain, namun di luar konteks Misa dan
jika di tempat itu kekurangan pelayan tertahbis. Izin
ini hanya diberikan oleh uskup setempat untuk
pribadi-pribadi tertentu (KHK kan. 766; RS 161).

Akolit IGMR, 98: … Kalau diperlukan, akolit boleh membagikan


komuni kepada umat sebagai pelayan tak lazim.

KHK menyebut pelayan tak lazim ini sebagai pelayan luar biasa
komuni suci.
KHK 910, 2: "Pelayan luar biasa komuni suci adalah akolit atau
orang beriman lain yang ditugaskan sesuai dengan ketentuan kan.
230, 3:
Di mana kebutuhan Gereja memintanya, dan bila tidak ada
pelayan-pelayan rohani [uskup, imam, diakon], juga kaum
awam meskipun bukan lektor atau akolit, dapat menjalankan
beberapa tugas, yakni melakukan pelayanan sabda,
memimpin doa-doa liturgis, memberikan baptis dan
membagikan Komuni Suci, menurut ketentuan hukum.

IGMR 100: Kalau akolit yang telah dilantik tidak hadir, pelayan
awam dapat dapat diberi tugas … membagikan komuni sebagai
pelayan tak lazim.

IGMR 284, a: " Kalau komuni dilaksanakan dalam dua rupa: …


piala dilayani oleh diakon, kalau tidak ada, maka akolit yang telah
dilantik atau pelayan komuni tak lazim.

IGMR 162:
Di saat jumlah umat yang menyambut besar sekali, imam dapat
memanggil pelayan komuni tak lazim [pelayan tak lazim untuk
komuni] untuk membantu yakni: akolit .. atau juga anggota jemaat
yang sudah dilantik secara liturgis untuk tugas ini. …
Pelayan-pelayan seperti ini hendaknya tidak menghampiri altar
sebelum imam menyambut Tubuh dan Darah Tuhan. Mereka selalu
menerima dari tangan imam bejana kudus yang berisi Tubuh atau
Darah Kristus untuk dibagikan kepada umat beriman.

RS, 36 partisipasi aktif dan sadar:


Umat beriman terlibat di dalam perayaan Misa "pada cara-cara yang
berbeda-beda sesuai dengan keaneka-ragaman jenjang, pelayanan
dan partisipasi nyata" (SC 26, IGMR 91)….

SC 26: masing-masing anggota disentuhnya secara berlain-lainan,


menurut keanekaan tingkatan, tugas serta keikut-sertaan mereka"

IGMR 91: … Setiap orang yang turut merayakan Ekaristi


mempunyai hak dan kewajiban untuk berpartisipasi secara aktif,
masing-masing menurut cara yang sesuai dengan kedudukan dan
tugasnya…. Jadi semua orang entah pelayan tertahbis, entah umat
beriman lainnya, hendaknya melakukan tugas yang menjadi
bagiannya, tidak lebih dan tidak kurang.

RS 46:
Orang awam kristiani yang dipanggil untuk membantu dalam
pelaksanaan upacara liturgis, hendaknya dilatih dengan baik. Tidak
boleh ada kesangsian tentang hidup dan moral kristiani mereka serta
kesetiaan mereka kepada ajaran Gereja…. Janganlah diangkat orang
untuk tugas demikian jika penunjukannya menimbulkan keribuatan
di kalangan umat.

RS 88:
Hanya bila sungguh dibutuhkan, pelayan komuni tak lazim boleh
membantu Imam sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.

RS 151:
Hanya kalau sungguh perlu, boleh diminta bantuan pelayan-pelayan
tak lazim dalam perayaan liturgi…

RS 154:
Seperti sudah dinyatakan, "pelayan yang selaku pribadi Kristus dapat
melaksanakan sakramen Ekaristi, hanyalah seorang imam yang
ditahbiskan secara sah" (KHK 900, 1). Karena itu, istilah "pelayan
Ekaristi" hanya dapat diterapkan pada seorang Imam. Di samping
itu, juga berdasarkan Pentahbisan suci, pelayan-pelayan yang lazim
untuk memberi Komuni Suci adalah Uskup, Imam dan Diakon.

RS 155:
Di samping pelayan-pelayan tertahbis, ada juga akolit yang telah
dilantik secara resmi, dan karenanya menjadi pelayan tak lazim
untuk membagi Komuni Suci juga di luar perayaan Misa. Jika, selain
itu, ada alasan-alasan yang mendesak, maka seorang anggota awam
lain di antara umat beriman boleh diberi delegasi oleh Uskup
diosesan dan -dalam batas norma hukum- diberi izin untuk untuk
satu kesempatan entah untuk suatu waktu tertentu….

RS 156:
Jabatan ini harus dipandang hanya melulu menurut istilahnya yang
dipakai buat itu, yakni "pelayan tak lazim Komuni Suci" dan bukan
"pelayan khusus Komuni Suci" atau "pelayan tak lazim Ekaristi".

RS 157:
Jika di suatu tempat biasanya jumlah pelayan tertahbis mencukupi
untuk membagi Komuni Suci, maka tidak boleh ditunjuk pelayan-
pelayan tak lazim. Malah dalam situasi yang demikian, orang yang
mungkin sudah dihunjuk untuk pelayan ini, jangan
melaksanakannya. Tidak dapat dibenarkan kebiasaan para Imam
yang, walaupun hadir pada perayaan itu, sendiri tidak membagi
Komuni dan menyerahkan tugas ini kepada orang-orang awam.

RS 158:
Memang, pelayan tak lazim Komuni Suci hanya boleh menerimakan
Komuni bila tidak ada imam dan diakon, atau bila imam terganggu
karena badan lemah atau usia lanjut atau suatu alasan lain yang
wajar, atau pun bila jumlah orang beriman yang ingin menyambut
Komuni begitu besar, sehingga perayaan Misa itu akan terlalu lama.
Namun harus dimengerti demikian rupa bahwa upaya
mempersingkat perayaan Misa itu, bila memperhatikan situasi dan
kebudayaan setempat, sama sekali bukan alasan yang cukup.
RS 160:
Perlu norma-norma khusus untuk pelayan tak lazim ini, dikeluarkan
oleh uskup.

Beberapa penegasan ulang


1. Pro-diakon tidak berhak memberi berkat kepada umat
ataupun kepada anak-anak yang menyambut komuni. Karena
kuasa untuk memberkati (lebih tepatnya, menyalurkan
berkat Tuhan) itu diberikan kepada Uskup (yang adalah
penerus para rasul) dan mereka yang telah mendapat
‘penumpangan tangan’ oleh Uskup, yaitu para imam yang
tertahbis dan kepada para diakon pada kasus-kasus yang
jelas diizinkan baginya sesuai dengan hukum Gereja (lihat
kan. 1169, butir 3).
2. Setiap umat melaksanakan tugas sesuai dengan peran
masing-masing. Dalam artian ini Prodiakon tidak dapat
melakukan ‘gestures‘ atau tindakan apapun yang layaknya
dilakukan oleh imam yang memimpin perayaan tersebut.”
3. Prodiakon di Indonesia tetapi resminya disebut
“Extraordinary minister of Holy Communion” atau pelayan
luar biasa pembagi Komuni Kudus ditugaskan oleh pastor
paroki untuk membantu membagikan Komuni Kudus, ini
diperbolehkan menurut Kitab Hukum Kanonik Kan 230, § 3.
“Bila kebutuhan Gereja memintanya karena kekurangan
pelayan, juga kaum awam, meskipun bukan lektor atau
akolit, dapat menjalankan beberapa tugas, yakni melakukan
pelayanan sabda, memimpin doa-doa liturgis, menerimakan
baptis dan membagikan Komuni Suci, menurut ketentuan-
ketentuan hukum.”
4. “Umat beriman yang adalah pelayan luar biasa Komuni
Kudus haruslah orang – orang yang mempunyai kualitas
yang baik dalam kehidupan Kristiani, iman dan moral.
Biarlah mereka berjuang untuk menjadi layak bagi tugas
mulia ini, menumbuhkan devosi mereka sendiri terhadap
Ekaristi, dan menjadi teladan bagi umat yang lain melalui
devosi mereka dan penghormatan mereka terhadap sakramen
yang maha agung di altar. Tak seorangpun dapat dipilih jika
penunjukan tersebut mengganggu/ meresahkan umat.”
(Immensae Caritatis, I).
5. Pembagian tugas Komuni, itu seharusnya diatur sesuai
dengan kebutuhan paroki, sehingga seseorang tidak dapat
menuntut, “Itu hak/giliran saya membagikan Komuni”,
tetapi prodiakon itu harus mempunyai kerendahan hati untuk
bertugas membagikan Komuni kudus sepanjang ia
ditugaskan karena kebutuhan. Tugas prodiakon itu adalah
sebagai pelayan “luar biasa” namun bukan menjadi suatu
pelayanan yang harus dilaksanakan jika tidak ada kebutuhan.

Dokumen Inaestimabile Donum yang dikeluarkan oleh SCS


(disetujui oleh Paus Yohanes Paulus II 17 April 1980) dengan lebih
jelas menyatakan demikian:
9. Komuni Ekaristi. Komuni adalah karunia Tuhan, diberikan kepada
umat beriman melalui pelayan yang ditunjuk untuk maksud ini.
Umat tidak diperbolehkan untuk mengambil sendiri hosti yang sudah
dikonsekrasikan dan piala yang suci, apalagi membagikan sendiri
[hosti dan anggur itu] kepada orang lain.
10. Umat beriman, baik religius ataupun awam, yang telah diberi
kuasa sebagai extraordinary ministers/ pelayan luar biasa Ekaristi
(prodiakon) dapat membagikan Komuni hanya jika tidak ada imam,
diakon [diakon tertahbis] ataupun akolit, ketika imamnya
berhalangan karena penyakit atau usia lanjut, atau ketika jumlah
umat yang menerima Komuni begitu banyak sehingga membuat
perayaan Misa menjadi terlalu lama (lihat Immensae caritatis, 1).
Oleh karena itu, kelirulah sikap para imam yang, meskipun hadir di
perayaan tersebut, tetapi tidak membagikan Komuni dan
membiarkan tugas itu dilaksanakan oleh para awam.

Anda mungkin juga menyukai