Anda di halaman 1dari 10

PEMFIGUS FOLIASEUS

I. PENDAHULUAN

1.1 DEFINISI PEMFIGUS:

Istilah ³pemfigus´, yang berasal dari bahasa Yunani pemphix (pelepuhan), menunjuk pada sebuah
kelompok penyakit melepuh kronis pada kulit dan mukosa yang sama-sama disebabkan oleh
autoantibodi terhadap keratinosit pada permukaan sel, dengan kehilangan perlekatan sel dengan
sel di lapisan epitel melalui proses akantolisis.Pemfigus adalah salah satu penyakit kulit yang
disebabkan oleh reaksi autoimun dan dicirikan dengan timbulnya vesikel/bula tidak
tegang/kendur.1,2 Pemfigus secara umum dibagi menjadi 4 tipe utama , dua tipe yang tersering
yaitu pemfigus vulgaris (PV), dengan akantolisis suprabasal yang menyebabkan pemisahan sel-sel
basal dari keratinosit stratum spinosum, dan jenis yang kedua adalah pemfigus foliaseus (PF),
dengan akantolisis pada lapisan epidermis yang lebih dangkal yaitu pada stratum
granulosum.Selain itu bentuk pemfigus yang lebih jarang ialah pemfigus paraneoplastik dan
pemfigus IgA . 4 Tabel 1 Klasifikasi Pemfigus Rujukan: Fitzpatrick¶s Dermatology in General
Medicine4 2

1.2 PEMFIGUS FOLIASEUS

Pemfigus foliaseus merupakan suatu kelainan autoimun yang ditandai dengan hilangnya daya
adesi interselular keratinosit di bagian epidermis (akantolisis), yang akhirnya mengakibatkan
pembentukan vesikel/bula dangkal. Tanda klinis muncul pada kulit yang terlihat sehat dan
kemudian melepuh ketika digosok. Pemfigus foliaseus dicirikan dengan proses yang kronis,
dengan sedikit atau tanpa keterlibatan selaput lendir. Faktor pencetus dari reaksi autoimun ini
termasuk obat-obatan dan radiasi sinar ultraviolet. Contoh obat-obatan tersebut ialah
penisillamine, nifedipin dan katopril. 4 Pemfigus Foliaseus selanjutnya dibagi menjadi 2 subtipe
yaitu :4 a) Pemfigus Eritematosus: Yaitu bentuk lokal dari pemfigus foliaseus yang hanya terbatas
pada daerah wajah dan seborhoik yang sering dikelirukan dengan lupus eritematosus. b) Pemfigus
Endemik Pemfigus Foliaseus Endemik (terutama ditemukan di lembah-lembah sungai pedesaan
Brasil). Juga dikenal sebagai fogo selvagem yang bearti Api Liar (Wildfire).5 II. EPIDEMOLOGI
Pemfigus memiliki prevalensi di seluruh dunia dan kejadian tahunan mencapai sekitar 0,1-0,5 per
100.000 populasi. Kejadian pemfigus pada pasien dari keturunan Yahudi lebih tinggi, dengan
sekitar 1,6-3,2 kasus per 100.000 penduduk Yahudi setiap tahun. Penyakit ini memiliki kejadian
tertinggi antara usia 40 ± 60 tahun. 1,2 Selain itu prevalensi pemfigus foliaseus ini pada laki-laki
dan perempuan hampir sama di semua tempat kecuali di Tunisia, dimana prevalensi pemfigus
foliaseus ini lebih didominasi oleh jantina perempuan ketimbang laki-laki. Kenyataan ini
sebaliknya di Colombia dimana jantina laki-laki lebih dominan. Ini menunjukkan epidemologi
pemfigus ini mungkin dipengaruhi faktor lingkungan dan etnik.4 3

2.1 FOGO SELVAGEM Kasus pertama pemfigus foliaseus endemik adalah di Brazil yang dikenal
dengan panggilan fogo salgem yang berarti api liar . Penyakit ini secara klinis dan histopatologinya
sama persis dengan pemfigus foliaseus yang lainnya cuma secara epidemologinya bersifat unik
karena ia bersifat endemik di kawasan perdesaan di Brazil. Namun begitu kasus fogo salgem ini
juga pernah dilaporkan terjadi Colombia, El Salvador, Paraguay, Peru dan Tunisia.3,4 Penyakit
ini sering menyerang usia muda termasuk anak-anak, berbeda dengan pemfigus folasieus yang
lainnya yang sering menyerang pada usia pertengahan. Siapa saja yang datang menginap ke
wilayah endemis beresiko untuk terkena penyakit ini. Dari kenyataan ini timbul teori yang
mengatakan bahawa faktor lingkungan mungkin sangat berperan sebagai factor pencetus
terjadinya penyakit ini selain ada yang mengaitkan faktor vektor serangga dan penyakit menular
lainnya yang turut berperan dalam patofisiologi penyakit tersebut.4 III. PATOFISIOLOGI 3.1
ETIOLOGI Lepuh superfisial pada pemfigus foliaseus ini adalah hasil reaksi yang diinduksi oleh
IgG terutamanya IgG4, suatu autoantibodi yang ditujukan langsung pada lapisan adhesi
desmoglein 1(160kd) yang terutamanya ditemukan pada stratum granulosum di epidermis.
Antibodi ini merupakan autoantibodi karena bereaksi terhadap sel pasien itusendiri, sehingga
antibodi ini dapat menyebabkan hilangnya adhesi antar keratinosit dan menimbulkan lepuh-lepuh.
Ketika IgG dari pasien pemfigus vulgaris atau pemfigus foliaseus diinjeksikan ke mencit baru
lahir, maka IgG ini akan berikatan dengan permukaan keratinosit epidermal dan menyebabkan
lepuh yang memiliki 4 gambaran histologi yang sama pada pemfigus vulgaris atau pemfigus
foliaseus.Mekanisme yang terjadi melibatkan proses fosforilisasi protein intra selular yang
berhubungan dengan desmosome dan bukan disebabkan oleh mekanisme komplemen . Hasil
reaksi ini akan menyebabkan terjadinya proses akantolisis. 4 3.1.1 DESMOGLEIN Gangguan
adhesi keratinosit terjadi pada pasien pemfigus foliaseus dan juga pada pemfigus vulgaris, maka
dimungkinkan autoantibodi pada pasien-pasien ini berikatan dengan molekul-molekul dan
mengganggu adhesi nya di desmosom. Desmosom adalah struktur adhesi sel yang terutama
dominan pada epidermis dan membran mukosa. Molekul-molekul transmembran yang terdapat
pada desmosom ada dua golongan kelompok protein yaitu desmoglein dan desmokolin. Kedua
golongan protein ini berhubungan dengan Kaderin, yaitu suatu molekul yang bertugas dalam
pengaturan adhesi sel-sel. Oleh karena itu, desmoglein dan desmokolin disebut kaderin desmosom
yaitu yang bertugas mengatur adhesi sel-sel di desmosom. Pada pasien pemfigus foliaceus terdapat
autoantibodi yang merusak desmoglein 1, sedangkan pada pasien pemfigus vulgaris terdapat
autoantibodi yang merusak desmoglein 3.6 3.1.2 ANTIDESMOGLEIN Adanya antibodi
antidesmoglein menyebabkan terbentuknya lepuh. Tikus-tikus yang diinjeksikan autoantibodi
terhadap desmoglein 1 atau desmoglein 3 mengalami timbulnya lepuh-lepuh. Selain itu, gambaran
histologis dari pemfigus foliaseus dan pemfigus vulgaris juga muncul pada lesi tersebut.
Desmoglein 1 atau desmoglein 3 dapat menyerap antibodi patogen dari serum penderita pemfigus.
Titer dari IgG autoantibodi anti-desmoglein 1 dan anti-desmoglein 3 berhubungan dengan aktivitas
penyakit. Serum pemfigus bisa juga berikatan dengan antigen selain desmoglein 1 dan desmoglein
3, namun gambaran klinis dari antibodi lain ini belum dapat dijelaskan seluruhnya. Misalnya,
autoantibodi IgG antidesmoglein 1 bereaksi 5 silang dengan desmoglein 4, namun antibodi ini
tidak memiliki efek patogen. Antibodi pada serum penderita pemfigus dapat berikatan dengan
antigen lain, seperti reseptor asetilkolin, tapi antigen-antigen ini tidak tidak menyebabkan
terbentuknya lepuh. 3.1.3 KOMPENSASI DESMOGLEIN Pasien pemfigus yang memiliki
perbedaan secara klinis mempunyai sifat antibodi antidesmoglein. Pola autoantibodi ini, dan
distribusi dari isoform desmoglein pada epidermis dan membran mukosa, menunjukkan
kompensasi desmoglein dapat menjelaskan lokalisasi lepuh pada pasien pemfigus vulgaris dan
pemfigus foliaseus. Teori kompensasi desmoglein berdasarkan dua pengamatan: yaitu
autoantibodi anti±desmoglein 1 atau anti±desmoglein 3 menginaktivasi hanya desmoglein yang
cocok, dan desmoglein 1 atau desmoglei 3 fungsional sendiri biasanya cukup untuk adhesi sel-
sel.7 Kompensasi desmoglein telah divalidasi secara penelitian pada model pemfigus tikus baru
lahir. Penyuntikan autoantibodi antidesmoglein 1 ke dalam tikus yang gen desmoglein 3 nya telah
dihapus menyebabkan lepuh pada daerah yang dilindungi oleh desmoglein 3 pada tikus normal.
Sebalikanya, tikus transgenik yang direkayasa gen desmoglein 3 pada lokasi jaringan yang secara
normal hanya mengekspresikan gen desmoglein 1, maka jaringannya terlindungi dari terbentuknya
lepuh akibat antibodi anti-desmoglein 1. Ekspresi transgenik dari desmoglein 1 pada daerah yang
secara normal hanya mengekspresikan desmoglein 3 dapat mengkoreksi adhesi sel-sel oleh karena
hilangnya gen pada tikus yang telah mati. Oleh karena distribusi desmoglein pada kulit bayi baru
lahir mirip dengan distribusi desmoglein pada membran mukosa, kompensasi desmoglein
menjelaskan mengapa lepuh biasanya tidak terbentuk pada bayi baru lahir yang ibunya menderita
pemfigus foliaseus, walaupun autoantibodi dapat melintasi sawar plasenta dan berikatan dengan
epidermis janin.6 6

3.1.4 AUTOANTIBODI PEMFIGUS DAN HILANGNYA ADHESI KERATINOSIT y Inaktivasi


Desmoglein Beberapa peneliti mengatakan bahwa antibodi pemfigus bekerja dengan memulai
cascade proteolitik yang memotong molekul sel permukaan secara nonspesifik. Pada penelitian
selanjutnya hipotesis ini tidak disetujui. Terbukti bahwa antibodi anti-desmoglein 3 dan anti-
desmoglein 1 menginaktivasi desmoglein secara spesifik. Lesi yang disebabkan oleh antibodi ini
sangatlah mirip dengan lesi yang disebabkan oleh inaktivasi desmoglein 3 atau desmoglein 1.
Sebagai contoh, gambaran patologis dari kulit tikus yang telah mati dengan inaktivasi gen Dsg3
mirip dengan pasien yang menderita pemfigus vulgaris dan dengan tikus-tikus yang telah
diinjeksikan dengan antibodi anti-desmoglein 3. Begitu juga pada tikus-tikus dan manusia, toksin
eksfoliatif yang memecah desmoglein 1 secara spesifik menyebabkan lepuh yang identik dengan
lepuh yang disebabkan oleh antibodi anti-desmoglein 1 pada kasus pemfigus foliaseus.
Berdasarkan temuan ini bersama dengan teori kompensasi desmoglein mengarah kepada bahwa
antibodi pemfigus hanya menginaktivasi desmoglein targetnya secara spesifik dan tidak
menyebabkan hilangnya fungsi generalisata dari adhesi molekul permukaan sel.6 y Efek Langsung
dan Tidak Langsung dari Antibodi Pemfigus Masih belum jelas apakah autoantibodi bekerja secara
langsung atau tidak langsung. Terdapat bukti bahwa autoantibodi pemfigus memblok adhesi sel
dengan mengganggu transinteraksi desmoglein secara langsung (misalnya, interaksi desmoglein
dari satu sel dengan sel itu sendiri atau dengan desmocollin pada sel sebelahnya). Penelitian telah
menunjukkan bahwa fragmen autoantibodi pemfigus yang berisi domain antigen-binding saja dan
kekurangan regio efektor dari antibodi dapat menstimulasi timbulnya lepuh pada tikus percobaan.
7 Selain itu juga, oleh karena kekurangan kemampuan dari molekul permukaan sel untuk bereaksi
silang mungkin yang menyebabkan gangguan adhesi sel. Selanjutnya, sebuah antibodi IgG
antidesmoglein 3 monoklonal tikus percobaan yang berikatan dengan permukaan N-terminal
adhesif menginduksi lesi pemfigus vulgaris pada tikus percobaan, dimana antibodi monoklonal
yang lain bereaksi dengan bagian yang kurang penting dari desmoglein 3 secara fungsional tidak
menyebabkan lesi pada tikus percobaan. Sebaliknya, hasil dari penelitian terbaru yang
menggunakan pengukuran daya atom satu molekul, sebuah metode biomekanik yang mengukur
derajat dari ikatan protein, menunjukkan bahwa antibodi anti-desmoglein 1 IgG pada serum
penderita pemfigus foliaseus tidak mengganggu secara langsung dengan transinteraksi desmoglein
1 adhesif. Pada sistem ekstraselular ini, ikatan dari desmoglein 1 kepada sel itu sendiri tidak
dihambat oleh antibodi anti-desmoglein 1 yang patogen. Penelitian lain menunjukkan bahwa
inaktifasi fungsional langsung dari desmoglein tidak cukup untuk menyebabkan timbulnya lepuh
dan bahwa autoantibodi pemfigus dapat bekerja melalui mekanisme sinyal yang lebih rumit.
Penambahan IgG dari serum penderita pemfigus vulgaris ke keratinosit yang dibiakkan
menginduksi beberapa sinyal, temasuk peningkatan kalsium dan inositol 1,4,5-trifosfat
intraselular, aktivasi dari protein kinase C, dan fosforilasi dari desmoglein 3, yang kemudian
menyebabkan terjadinya internalisasi dari desmoglein 3 di permukaan sel, dengan deplesi
resultante desmoglein 3 pada desmosom. IgG pemfigus vulgaris juga dilaporkan dapat
menginduksi aktivasi jalur sinyal yang menyebabkan terjadinya reorganisasi dari sitoskeleton,
apoptosis keratinosit, atau keduanya. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk
mengklarifikasi apakah mekanisme sinyal seperti disebutkan di atas terlibat dalam pembentukkan
lepuh in vivo, karena kebanyakan dari penelitian pada transduksi sinyal dilakukan secara in vitro
dengan memakai keratinosit biakan. Faktor presipitasi termasuk medikasi dan sinar UV. Terbaru
ditemukan kedua-dua faktor tersebut merangsang pengikatan autoantibodi tersebut pada epidermis
yang 8 merangsang terjadinya akantolisis.3 Selain itu faktor lingkungan turut memainkan peran,
ini dibuktikan dengan terjadinya pemfigus endemik yang sangat eklusif hanya pada populasi yang
menghuni daerah terpencil di Brazil. 4 Gambar 1: Autoantibodi Pemfigus Foliaseus yang
Ditujukan Hanya Pada Desmoglein 1 IV. MANIFESTASI KLINIS 4.1 KEADAAN UMUM
Biasanya keadaan umum baik tergantung kondisi umum pasien , usia dan penyakit lain yang
menyertai. 4.2 KULIT Lesi kulit pada pemfigus foliaseus berskuama, krusta dengan erosi dengan
dasar yang eritem. Pada stadium awal ataupun pada manifestasi lokal penyakit ini, lesi bersifat
sirkumskrip dan menyebar pada sebaran seborrheik terutama pada wajah, kulit kepala dan tubuh
bagian atas. Lesi primer berupa bulosa yang flasid ,namun sangat sukar ditemukan disebabkan
letaknya pada bagian epidermis bagian atas, maka lebih mudah pecah dan mengalami erosi.
Kelainan bisa bersifat lokal bertahun tahun lamanya, ataupun berkembang cepat menghasilkan
eritoderma ekfoliatif. 4 Paparan sinar UV dan suhu bisa merangsang perjalanan penyakit. Keluhan
utama yang dirasakan adalah nyeri dan panas pada lesi.Selain itu berbeda dengan pemphigus
vulgaris kelainan pada membran mukosa pada pemfigus tipe ini sangat jarang walaupun pada lesi
yang generalisata.4 9 Gambar 1 Beberapa manifestasi kulit pada bagian badan yang berbeda
diambil dari laman web http://dermnetnz.org.5 10

4.3 PEMFIGUS ERITEMATOSUS Juga dikenal sebagai sindrom Senear-Usher, adalah bentuk
lokal daripada pemfigus foliaseus. Lesi berskuama dan krusta terletak terutamanya pada daerah
malar wajah dan area seboroik. Kelainan ini dapat bertahun tahun terlokalisasi ataupun bisa
menjadi generalisata. 2,3 Gambar 2 A: Lesi Berskuama dan Krusta di Punggung B: Eritroderma
Ekfoliatif Disebabkan Lesi yang Konfluens V. HISTOPATOLOGI Pada pemfigus foliaseus,
akantolisis terjadi dibawah stratum korneum pada stratum granulosum, berbeda pada pemfigus
vulgaris yang terjadi di suprabasalis.Sedangkan lapisan lebih dalam daripada stratum granulosum
ini masih intak. Selain itu, temuan yang tersering juga adalah penemuan pustula subkornenal
dengan sel neutrophil dan akantolitik dalam ruangan bulosa. Selain itu, sepertimana pada pemfigus
vulgaris, lesi awal mungkin menunjukkan spongiosis easonifilik. 11

Gambar 3 A: Akantolisis Pada Lapisan Stratum Granulosum B: Pustula Subkorneum Dengan


Akantolisis Gambar 4: Lapisan stratum korneum menghilang , lapisan stratum granulosum yang
lebih menonjol, dan terbentuknya bula di lapisan kulit 12 Gambar 5 : Terjadinya proses akantolisis
dan spongiosis di dalam stratum granulosum yang menyebar hingga ke stratum korneum VI.
DIAGNOSIS Anamnesis dan pemeriksaan fisik cukup digunakan untuk mendiagnosis pasien
dengan pemfigus foliaseus. Dalam anamnesis dapat diperhatikan beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada pasien dengan riwayat penyakit pemfigus foliaseus, yaitu: gejala yang dirasakan
pasien seringkali adalah gatal, perkembangan vesikel/bula dimulai dari badan, perjalanan penyakit
ini lama jangka panjang, dengan kesehatan umum pasien tidak terganggu, remisi spontan kadang-
kadang terjadi, tetapi lesi dapat bertahan selama beberapa tahun, pola klinis yang unik dapat terjadi
pada anak-anak, dengan muncul sebagai lesi arkuata, sirsinate, atau polisiklik, dan keterlibatan
kulit palpebra tanpa perubahan konjuntiva kadang-kadang terjadi pada pasien dengan pemfigus
foliaseus.2,3 Pada pemeriksaan klinis kita bisa menemukan lesi primernya berukuran kecil,
vesikel/bula dangkal, namun bula yang tidak tegang/kendur ini dan sulit ditemukan karena bersifat
sementara dan berubah menjadi erosi. Khas dari pemfigus foliaseus adalah bersisik, terdapat erosi
krusta pada dasar eritematosus terbatas terutama pada wilayah seborhoik (misalnya, wajah, kulit
kepala, bagian atas badan). Erosi dapat menjadi banyak, menunjukkan kecenderungan untuk
menyebar keseluruh tubuh.Erosi 13 mungkin disertai dengan rasa panas dan sakit setempat. Tanda
Nikolsky bahwa trauma fisik yaitu ketika dibuat suatu penekanan pada lesi meluas ke kulit yang
sehat arah lateral dari lesi. Mekanisme terjadinya nikolsky sign karena pada pemfigus foliaceus,
terjadi hilangnya daya adesi interselular keratinosit di bagian atas epidermis (akantolisis),
mengakibatkan pembentukan vesikel/bula dangkal yang tidak terjadi pada pemfigus jenis yang
lain. Sehingga tanda Nikolsky dapat dianggap cukup sensitif untuk diagnosis Pemfigus.4 Berbeda
dengan pemfigus vulgaris, pada pemfigus foliaseus, keterlibatan dari selaput lendir sedikit atau
tidak ada. Pada pemfigus foliaseus bermula sebagai vesikel gatal, kendur/tidak tegang dalam pola
melingkar. Pada subklas pemfigus foliaseus tipe pemfigus herpetiformis dimulai sebagai lesi yang
sangat gatal, papula berkelompok dan vesikula yang mirip dengan dermatitis herpetiformis. Patch
eritematous dengan vesikula perifer mungkin ada. Kadang-kadang, erosi mukosa mulut
didapatkan. Pemfigus eritromatosus bermula sebagai patch eritem dengan vesikel pada tepinya,
sering kali ditemukan ´distribusi kupu-kupu´ yaitu di pipi dan dahi, dengan patch yang sama pada
kulit interskapular dan sternum. Plak berkrusta dapat muncul dalam fase penyembuhan.4 Selain
pemeriksaan fisik, terdapat pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis pemfigus foliaseus yaitu menggunakan tes Imunofluoresensi. Walaupun
Imunofluoresensi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosis pemfigus
namun pemeriksaan ini jarang digunakan di Indonesia. Sehingga pemeriksaan fisik dengan
ditemukannya tanda Nikolsky dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pemfigus foliaseus.2
14

VII. DIAGNOSIS BANDING2 Dermatitis Kontak Allergi Dermatitis Kontak Irritan Drug-
Induced Bulosa Drug-Induced Fotosensitiviti Epidermolysis Bullosa Epidermolysis Bullosa
Acquisita Erysipelas Erythema Multiforme Erythroderma Fogo Selvagem Glucagonoma
Syndrome Herpes Simplex Impetigo Insect Bites Linear IgA Dermatosis Lupus Erythematosus,
Bullous Lupus Erythematosus, DrugInduced Lupus Erythematosus, Subacute Cutaneous Papular
Urticaria Pemfigus Erythematosus Pemfigus Herpetiformis Pemfigus Vulgaris Pemfigus, Drug-
Induced Pemfigus, IgA Pemfigus, Paraneoplastic Pseudoporphyria Subcorneal Pustular
Dermatosis 7.1 Pemfigus Vulgaris Vs Pemfigus Foliaseus Penyakit yang paling mirip dengan
pemfigus foliaseus ini dibedakan secara gambaran klinis, histologis, dan immunopatologis dari
pemfigus.6,7 15
A. Kulit pasien dengan pemfigus vulgaris mukokutaneus menunjukkan erosi yang luas
dikelilingioleh erosi-erosi kecil, akibat dari lepuh epidermis dalam yang tidak beratap dan
perluasantepinya. B. Pasien dengan pemfigus foliaseus menunjukkan karakteristik bersisik dan
berkrusta akibat dari pecahnya lepuh di epidermis bagian superfisial. C. Pada pemfigus vulgaris,
lepuh intradermal disebabkan karena hilangnya adhesi antara keratinosit(akantolisis) yang terjadi
di epidermis bagian dalam tepat di atas lapisan basal. D. Pada pemfigus foliaseus, lepuhnya terjadi
di epidermis superfisial tepat di bawah lapisankorneum. E. Immunofluresensi indirek pada kulit
manusia normal dengan menggunakan serum (dari seorang pasien pemfigus vulgaris-dominan
mukosa) mengandung IgG antidesmoglein 3 menunjukkan pewarnaan yang dalam pada epidermis
16 F. Serum dari seorang pasien pemfigus foliaseus, mengandung autoantibodi IgG
antidesmoglein 1,mewarnai seluruh epidermis. G. Pewarnaan dermis menunjukkan IgG selalu
berada pada lapisan dermis pada kulit normal. Tikus baru lahir diinjeksikan dengan IgG dari
seorang pasien dengan pemfigus vulgaris mukokutaneusmemiliki lepuh di kulit yang meluas. H.
Gambaran histologis yang biasanya muncul pada pemfigus vulgaris. I. Deposit IgG in vivo pada
permukaan keratinosit PEMERIKSAAN PENUNJANG4 1. Imunofluoresensi Ditemukan IgG
autoantibodi terhadap permukaan sel keratinosit. Secara umum seluruh pasien dengan lesi aktif PF
hasilnya positif. a. b. Langsung: Pada jaringan disekitar lesi Tidak Langsung: Pada serum Pasien
pada stadium awal mungkin mempunyai hasil pemeriksaan yang negatif. Pemeriksaan
imunofluoresensi langsung dan tidak langsung adalah merupakan pemeriksaan yang paling
diandalkan dalam penegakan diagnosa pemfigus. Namun begitu pemeriksaan ini tidak dapat
membedakan PF daripada PF tetapi penggunaan subsrat pada pemeriksaan imunofloresensi tidak
langsung bisa meningkatkan sensitivitas test, yaitu karena secara umum diketahui substrat
esofagus monyet lebih sensitif terhadap PV dan esofagus guinea pig lebih sensitif terhadap PF.
VIII. 17 Gambar 6 A: Imunofluoresensi langsung Pada PV B: Imunofluoresensi Tidak Langsung
Pada Serum PF IX. PENATALAKSANAAN Terapi untuk pemfigus foliaseus biasanya kurang
agresif dibandingkan dengan pemfigus vulgaris karena angka kesakitan/morbiditas dan angka
kematian/mortalitas yang lebih rendah.4 Kortikosteroid oral dan perenteral dapat digunakan untuk
penanganan lini pertama untuk pemfigus. Pemberian kortikosteroid ini secara epidemiologi telah
dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penderita pemfigus. Selain pemberian
kortikosteroid pasien pemfigus foliaseus juga diberikan antibiotik sebagai penanganan infeksi
sekunder yang mungkin terjadi. Antibiotik yang dapat digunakan antara lain minosiklin (derivate
tetrasiklin yang efektif bagi organisme gram positif dan negatif, dosis yang dapat diberikan yaitu
50-100 mg peroral terbagi dalam 2 dosis perhari) dan dapsone (bersifat bakterisidal dan
bakteriostatik, memiliki mekanisme kerja seperti sulfonamide dimana bersifat kompetitif
antagonis PABA yang mencegah terbentuknya asam folic, menghambat perkembangan bakteri;
obat ini digunakan pada pasien pemfigus khususnya pemfigus herpetiformia dan pemfigus
foliaseus IgA; dosis yang diberikan 50-200 mg peroral terbagi dalam 4 dosis/hari).Pada kasus
pemfigus local, kortikosteroid topikal mungkin sudah mencukupi 2,3 X. PROGNOSIS Secara
umum, PF lebih baik daripada PV. Pada pasien usia lanjut dengan penyakit lain, sebanyak 60%
mematikan. Penyebab utama kematian adalah infeksi, sepsis, disebabkan infeksi sekunder dan
penggunaan terapi immunosuppresisf jangka panjang.4 18
DAFTAR PUSTAKA 1. Diaz, Luis. A.. (2007). Rituximab and Pemfigus-A therapeutic Advance.
Diakses pada tangal 26 Januari 2012, dari www.nejm.org 2. Jessop, Sue.. Khurmalo, Nonhlanhia.
P.. (2009). Pemfigus-A Treatment Update. Diakses tanggal 26 Januari 2012, dari
www.medscape.com 3. Schwartz, Robert. A.. Majowski, Stawornir.. Majowski, Sebasian. S..
(2009). Pemfigus Foliaceus. Diakses tanggal 27 Januari 2012, dari www.emedicie.medscape.com
4. Stanley, John R. (2003). "Bab 59: Pemfigus". Dalam Freedberg et al. Fitzpatrick's Dermatology
in General Medicine. (6th ed.). McGraw-Hill. Halaman. 559 5. Vanessa N(2011).Pemfigus
Foliaseus. Diakses tanggal 7 Februari 2012, dari http://dermnetnz.org 6. Mitchell,
Kumar(2010).´Bab Penyakit Bulosa´ Dalam Robbins & Cotran Dasar Patologis Penyakit( 7th ed.).
McGraw-Hill. Halaman. 714 7. Robin, Tony B.(2002).´Bab 14 Kelainan Bulosa´. Dalam Lecture
Note Dermatologi.(8th ed.). Blackwell Science. Halaman. 144 8. Djuanda A, Hamzah M, Aisah
S, Editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Cetakan 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2007. 19

Anda mungkin juga menyukai