Arus Balik PDF
Arus Balik PDF
24. Demak
Tahun 1518 Masehi
Sesuatu telah terjadi di Demak – Demak yang
dicemburui oleh Kiai Benggala Sunan Rajeg. Ribuan orang
berduyun-duyun di depan istana, kemudian bergerak ke
mesjid agung Bintoro. Mereka sedang berkabung dengan
wafatnya Sultan Demak: Sultan Syah Sri Alam Akbar al-
Fattah atau Raden Patah, Khalifah pertama-tama di Jawa.
Tak ada orang bersuara dalam kerumunan besar itu.
Semua berpakaian serba putih. Sebagian dari mereka
memasuki mesjid agung, sebagian besar tiada bisa masuk
dan berdiri di pelataran depan.
Dengung Allahu Akbar berkali-kali membuntingi udara,
membubung berat baik dari dalam mau pun di luar mesjid.
Gerak dan suara mereka berirama dalam bertakbir
bersembahyang mayat. Tidak lama. Dan kerumunan orang
di depan mesjid mulai bergerak berdiri jalan pada jenasah
yang akan diantarkan ke tempatnya yang terakhir.
Kerumunan besar orang itu berubah, membentuk diri
jadi barisan panjang dan teratur. Paling depan adalah
barisan pengawal kerajaan Demak. Dan seperti prajurit
kerajaan Jawa pada umumnya mereka bertelanjang dada.
Hanya pada kesempatan ini pada dada mereka terhiasi pita
putih yang tergantung pada leher. Juga ujung paksi dari
tombak mereka terhiasi dengan pita putih pula.
Di samping-menyamping jenasah berjalan beberapa
orang anggota Majelis Kerajaan, para wali yang bergelar
Sunan, tak lebih dari empat orang. Dan Sunan Kalijaga,
yang selalu berdestar, berkain dan berkerodong kain batik,
tiada nampak.
Di belakangnya lagi adalah para ulama yang kebetulan
sedang berada di Demak.
Menyusul kemudian para punggawa dan rakyat biasa. Di
tengah-tengah barisan para punggawa terdapat sebuah
tandu bertanda putih. Di atasnya sebuah bola kayu kuning
keemasan. Di dalamnya terdapat putra mahkota Demak:
Adipati Unus Jepara.
Di samping-menyamping tandu adalah para keluarga
Sultan, kecualiwanita, karena tak ada seorang pun wanita di
dalam seluruh iring-iringan panjang ini.
Barisan itu berjalan lambat-lambat meninggalkan
pelataran mesjid. Waktu buntut barisan telah hilang dari
pemandangan alun-alun yang luas itu tertinggal sunyi dan
sepi.
Seluruh Demak berada dalam suasana berkabung.
0o-dw-o0
22 Juni 1527
Dengan masih meneropong Fathillah mengatakan,
seakan sudah seia dengan Wiranggaleng: “Mereka takkan
datangi lagi tempat di mana mereka pernah dikalahkan.”
Biduk-biduk itu telah sampai di kapal masing-masing.
Mereka bemaikan dari tangga tali. Dan sesuatu yang
mengherankan telah terjadi: Portugis tak melepaskan satu
peluru pun dari meriam-meriamnya.
Sauh-sauh diangkat. Layar dipasang, dan berlayarlah sisa
armada yang habis diterjang taufan dan dihalau Fathillah
itu menuju ke timur, menjauhi pesisir pulau Jawa.
Tentara Jepara-Demak bersorak-sorai dalam
kegembiraannya. Walau banyak korban jatuh, mereka pun
telah pernah menghadapi Peranggi le-lananging jagad
dalam suatu pertempuran sesungguhnya. Perasaan rendah
takut pada Peranggi yang dahsyat itu tiba-tiba menjadi
pudar Peranggi ternyata memang hanya manusia biasa yang
dapat juga dihalau.
Di tengah-tengah pasukannya sendiri Fathillah
mengumumkan: “Dengan nama Allah yang Maha Pemurah
dan Maha Pengasih, pada hari ini dengan kekuatan yang
dilimpahkan-Nya pada kita, kita telah halau Peranggi ke
laut. Insya Allah mereka takkan menginjakkan kaki lagi di
bumi kita ini. Sebagai peringatan atas peristiwa ini, aku
nyatakan bandar ini berganti nama, dan menjadilah
Jayakarta. Jaya pada awal dan kemudiannya, karta untuk
selama-lamanya.”
Berita penghalauan Portugis dari Sunda Kelapa dan
terdamparnya kapalnya di rawa-rawa, segera terdengar di
Panjang. Di mana-mana terbentuk gerombolan orang yang
membicarakannya dengan bersemangat.
Tetapi saudagar-saudagar lada berkabung: lada mereka
tetap tertumpuk di bedeng-bedeng.
Untuk dapat memberitakan pada Wiranggaleng dengan
lebih jelas Pada memutuskan untuk sekali lagi menunda
keberangkatannya ke Malaka. Dan istrinya menyambut
putusannya tanpa bicara. Maka dengan istrinya setiap hari
ia bergelandangan di bandar kecil yang mendadak
kehilangan kegembiraannya itu.
Berita Portugis akan mengambil lada tak terdengar lagi.
Berita lain datang menyusul: sisa armada Portugis itu
berlayar terus ke timur dengan menghindari setiap
pertemuan dengan armada Jepara-Demak.
Maka waktu berita itu sampai ke Teluk Bayur, kapal-
kapal Parsi, Arab, Benggala, yang masih ragu-ragu hendak
meneruskan pelayarannya ke selatan mengangkat sauh,
berebut cepat mendapatkan lada di Panjang.
Saudagar-saudagar lada di Panjang melepas barangnya
sedapat ia jual.
Pada dan Sabarini bekerja memunggah lada untuk
penghidupannya. Maka ia tahu harganya tidak setinggi
biasanya. Mungkin juga Peranggi berjanji hendak
mengambilnya dengan harga lebih mahal.
Waktu kapal-kapal berangkat lagi, ternyata masih terlalu
banyak tumpukan lada yang belum terjual. Bandar kembali
jadi senyap. Perahu-perahu layar Pribumi mulai membeli
sisa itu dan mengangkutnya ke Pasai atau Malaka. Dengan
lada bandar-bandar dalam kekuasaan Portugis selalu
terbuka.
Dengan habisnya lada dan kosongnya bedeng-bedeng,
kembali Pada dan Sabarini tak mempunyai suatu pekerjaan
tertentu. Berdua mereka tinggal di bandar dengan kegiatan
hanya mendengar-dengarkan berita. Pada suatu hari dalam
kehidupannya seperti ini datang sebuah perahu layar dari
Madura, membawa berita, bahwa bandar Banten dan
Jayakarta untuk ke dua kalinya telah dinyatakan sebagai
bandar bebas oleh Fathillah. Memang perahu-perahu mulai
berdatangan, tetapi tidak untuk berdagang, hanya untuk
mendapatkan air dan beras dan sayuran.
Dan waktu orang bertanya bagaimana keadaan bandar
Cimanuk sekarang, nakhoda perahu Madura itu sambil
melompat ke darat berkata dengan suara lantang: ‘Tetap,
belum dinyatakan bebas. Tak ada perdagangan di sana.
Jangan kalian coba-coba ke sana. Bisa dirayah oleh
serdadu-serdadu itu.”
Orang-orang merubungnya. Dan Pada bertanya: “Tidak
bertemu dengan armada Peranggi?”
“Alhamdulillah, kami selamat Yang lain-lain tak dapat
menghindarkan diri. Mereka seperti kerbau gila, bedebah
terkutuk itu. Tidak puas hanya membajak. Semua orang
dari Tuban dan Demak dan Jepara dibunuh,” Nakhoda
Madura itu menjawab sambil memilin kumisnya yang tebal.
“Di mana bertemu dengan mereka?”
“Di atas Juana.”
“Jadi mereka tak mendarat di Jepara?”
“Tidak. Setelah Juana mereka mulai mendekati pantai.
Tapi mereka terus ke jurusan timur.”
“Ke Blambangan barangkali?”
“Boleh jadi. Setidak-tidaknya memasuki wilayah Demak
mereka tidak berani.” Berita itu tidak lengkap dan belum
tentu benar. Pada belum lagi puas. Ia masih harus
menunggu.
Kapal-kapal dari Atas Angin berdatangan lagi melalui
barat Sumatra. Dan Portugis tak kunjung tiba. Lada yang
didatangkan oleh para penyelundup dari luar bandar-bandar
dalam kekuasaan Demak memang terus berdatangan, tetapi
jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan.
Harga menjadi sangat tinggi. Memang penjualan berjalan
sangat cepat, persediaan habis, tetapi keadaan tidak
menguntungkan Panjang. Kapal-kapal itu meneruskan
perjalanan ke tenggara, ke Jayakar-ta dan Banten sendiri.
Nampaknya Fathillah kini berhasil dengan pembebasan
bandar-bandarnya. Kapal-kapal Atas Angin mulai tersedot
ke sana. Akibatnya bandar Panjang surut menjadi sepi
seperti semula. Akibat selanjurnya: pekerja-pekerja bandar
tak punya pekerjaan lagi. Mereka kembali naik ke
pedalaman untuk mengurus lada. Pada dan Sabarini ikut
saja dengan arus, memasuki pedalaman dan mencari
penghidupan seperti yang lain-lain.
Sebuah berita hebat telah pecah, mengabarkan Portugis
akan datang mengambil lada yang telah dijanjikan. Orang
pun berbondong-bondong turun ke bandar Panjang.
Pedagang-pedagang lada sedang sibuk mengangkuti barang-
barangnya untuk melarikan diri dari bandar. Tiadanya
persediaan lada akan menyebabkan Portugis bakal
melakukan pembalasan dendam terhadap seluruh bandar.
Penduduk lainnya juga sedang siap-siap untuk mengungsi.
Waktu Pada dan Sabarini sampai, yang mereka dapatkan
adalah sebuah perahu layar Bali. Awak perahu segera
dirubung orang untuk mendapatkan beritanya.
“Kami takkan dapatkan lada di Tuban,” katanya. “Ke
Jayakarta dan Banten kami takut. Kami bukan Islam. Maka
kami cari lada ke mari. Lagi pula, kata orang, harga lada di
sana terlalu tinggi, maka kami terus ke mari.”
Mendengar Tuban disebut-sebut Pada mendesak ke
depan dan bertanya: “Apakah Peranggi tidak mendarat di
Tuban?”
“Takkan didapatkan sesuatu di Tuban. Mereka mendarat
dan mengamuk di sana.”
“Siapa mereka? Maksudmu Peranggi?”
“Siapa lagi kalau bukan Peranggi?”
“Bukankah Tuban sudah jadi daerah Demak?”
‘Tidak. Hanya sehari Demak memasuki Tuban. Mereka
diusir keluar lagi oleh pasukan kuda dan gajah, jatuh lagi ke
tangan balatentara Tuban. Pada waktu itulah Peranggi
masuk.”
“Jelas Peranggi sudah menguasai Tuban?”
“Setidak-tidaknya begitulah yang kami dengar.”
“Jadi bagaimana halnya dengan balatentara Tuban dan
Demak?”
“Tuban mengundurkan diri ke luar kota. Demak tidak
meneruskan serangannya ke Tuban.”
“Jadi Tuban kena keroyok?”
“Boleh jadi begitu jadinya.”
Pada menarik tangan istrinya dan diajaknya pergi.
Mereka memasuki bedeng kosong dan berdiri diam-diam
mengawasi laut, memperhatikan perahu mereka yang sudah
lama tiada mereka pergunakan.
“Sabarini, selesailah sudah urusan kita di Panjang ini.
Kita akan teruskan pelayaran.”
“Karena berita-berita itu?”
“Karena berita-berita itu, Sabarini.”
“Bukankah belum tentu semua itu benar?”
“Seorang nakhoda selamanya bicara benar. Kalau tidak
dia akan jadi tertawaan di setiap bandar, penghidupannya
akan mati.”
0od-w-o0
42. Koma
Malam itu tenang dan tenteram di pesanggrahan
balatentara Tuban di sebelah barat kota. Dari gubuk-gubuk
dan bedeng-bedeng dari daun kelapa nampak sinar pelita
suram. Angin laut tak henti-hentinya bertiup dan membawa
serta dedaunan kering dari hutan-hutan keliling.
Sudah sejak senja hari udara terasa dingin. Dan angin
membikin udara semakin dingin. Tetapi tak ada seorang
pun membikin pendiangan. Semua prajurit diperintahkan
beristirahat dua minggu penuh tanpa boleh berdiang di
malam hari.
Istirahat sepanjang itu membikin mereka jadi gelisah,
menduga sendiri apa akan diperbuat oleh Senapati
Wiranggaleng dalam mengusir Peranggi.
Pada malam itulah Gelar datang ke pesanggrahan.
Kudanya melangkah pelan mendekati gubuk peratusnya,
kemudian ia turun.
“Sekarang kau boleh beristirahat, Sultan,” bisiknya.
Ia berhenti, tak jadi masuk waktu mendengar seseorang
bicara hati-hati: “Tunggu nanti bila bulan mulai tua. Pada
waktu itulah kita akan mulai bergerak. Kemenangan
Senapatiku sejak dulu diperoleh dalam gerakan malam,
berlindungkan kegelapan.”
Gelar mendeham dan percakapan berhenti. Ia masuk dan
mendapatkan peratusnya sedang duduk bersama peratus
lain. Suaranya sekarang tinggal jadi bisikan, tak dapat
ditangkapnya. Kemudian peratus lain itu pun pergi.
Ia melaporkan segala yang telah dilihatnya di Tuban,
kecuali urusan pribadinya dengan Syahbandar dan Nyi
Gede Kati. Dan peratus itu merasa puas. Ia menyatakan
pekerjaannya baik.
‘Tetapi,” katanya lagi, “kalau keterangan-keteranganmu
ternyata isapan jempol, apalagi ternyata kau sama sekali tak
pernah masuk ke Tuban Kota… kau tahu sendiri
ganjarannya.”
“Barang tentu, peratusku!”
“Siapa saja yang pernah kau temui di sana?”
“Nyi Gede Kati bekas pengurus keputrian kadipaten, la
tinggal di gubuk daun kelapa di daerah pelabuhan.
“Maksudmu di gubuk-gubuk perempuan gelandangan?”
“Benar, peratusku!”
“Tak pernah kau melihat… eh, eh. Syahbandar?”
“Lebih dari melihat, peratusku.”
“Mengapa tak kau sampaikan sejak tadi?”
Dan Gelar dengan rikuh menceritakan segala yang telah
terjadi di dalam gubuk Nyi Gede Kati.
“Gelar!” serunya, “bukankah kau dididik dalam
Buddha?”
“Benar, peratusku.”
“Bukankah kau sendiri tahu dia ayahmu?”
“Tahu, peratusku.”
“Bagaimana bisa kau lakukan….”
“Sudah terjadi, Peratusku, jalan lain tak ada.”
Peratus itu menatap prajuritnya dengan mata tajam.
Perasaan jijik terpancar pada wajahnya. Kemudian ia pergi
tanpa bicara lagi.
Dalam salah sebuah gubuk di pesanggrahan balatantara
Tuban beberapa orang mengelilingi pelita minyak yang
terbuat dari ruas bambu yang berdiri dengan kaki-kaki.
Mereka nampak bersungguh-sungguh. Bayang-bayang yang
bergerak-gerak pada wajah mereka disebabkan gerak api,
membikin mereka nampak seram. Mereka: Braja, Kala
Cuwil, Rangkum, Banteng Wareng dan Wiranggaleng.
Mereka menyimpulkan: Portugis jelas bisa diusir dari
Tuban, tidak saja dengan penyerbuan dari laut, juga dan
terutama dari darat. Mereka mengakui: pertempuran
malam, yang untuk pertama kali dilancarkan oleh
Wiranggaleng dalam sejarah perang di Jawa, akan
menjamin kemungkinan itu. Dalam perang pengusiran
tidak diperlukan cetbang, yang jelas tak dapat menandingi
meriam musuh.
Masalah yang kemudian timbul: sampai berapa lama
Peranggi dapat menahan serangan? Benteng bawah-tanah
mereka memberikan perlindungan yang tak tertembusi oleh
tombak, panah ataupun pedang, sedangkan serangan harus
kilat pada waktu mereka terlena atau berhasil dibikin lena.
Serangan yang tersusul oleh terbitnya bulan atau matari
akan menyebabkan meriam-meriamnya menggagalkan
semua usaha. Meriam rampasan telah tenggelam di laut, tak
bisa diharapkan.
Kesimpulan kedua: serangan harus merupakan sekali
pukulan yang mematikan.
Masalah yang kemudian timbul: balatentara Demak.
Walau musafir-musafirnya tak sebanyak dan tak sefanatik
dulu, setiap waktu Trenggono bisa tahu apa yang terjadi di
mana-mana. Bila Demak tahu apa sedang direncanakan
Tuban, Trenggono tinggal menunggu terjadinya perang
pengusiran, dan tanpa bersusah-payah ia akan mengambil-
alih semua usaha Tuban, bahkan menguasainya pula.
Keputusan terakhir: semua diserahkan pada satu tangan.
Dan yang diserahi adalah Senapati Tuban Wiranggaleng.
Dengan demikian persidangan sambil berdiri
mengelilingi pelita itu berakhir. Sebelum mereka bubar,
Senapati masih sempat bertanya: “Bagaimana berita telik
terakhir?”
“Tidak berbeda dengan yang seminggu terdahulu,
dengan tambahan, dia telah memerlukan menghabisi jiwa
Syahbandar Tuban Sayid Ulasawa,” jawab Kala Cuwil.
Wiranggaleng terdiam.
“Dia telah kerjakan lebih dari tugasnya,” Patih Tuban itu
menambahkan.
“Berikan pada dia tiga ratus orang dari pasukan kaki.”
“Baik, Senapatiku.”
‘Tugaskan dia mencari minyak tanah. Terserah pada dia
di mana dan cara dia mendapatkan.”
Gelar telah berusaha dengan berbagai cara dan jalan
untuk dapat menemui bapaknya. Selalu tak berhasil.
Peratusnya pun menolak menyampaikan pada atasannya.
Senapati sendiri tak pernah kelihatan pada umum.
Orang-orang bilang: jiwanya harus diselamatkan dari
intaian Demak.
Di mana saja Senapati berada, orang tak banyak tahu.
Juga dan apalagi Gelar.
Ia ingin menyampaikan sendiri apa yang telah
diperbuatnya terhadap Syahbandar terkutuk itu. Ia merasa
telah berjasa besar pada emak dan bapaknya. Ia berhak
mendapatkan pengakuan sebagai anak yang baik dan tahu
menghapus aib orangtua. Ia telah merasa sebagai pahlawan
keluarga. Musuh segala orang itu telah tumpas, oleh
tangannya sendiri. Bukankah ia seorang anak yang tahu
membalas budi? Tak kurang suatu apa? Bahkan ia pun
abang yang baik untuk adiknya dan prajurit yang baik untuk
senapatinya? Untuk itu ia telah pertaruhkan jiwanya, sega-
la-galanya? Mereka akan bangga pada dirinya. Tuban pun
akan bangga punya seorang prajurit seperti dirinya. Siapa
lagi bisa memusnahkan Syahbandar Tuban yang selalu
dalam kawalan Peranggi kalau bukan hanya Gelar?
Ia sendiri merasa terbebas dari kerisauannya. Sekali
waktu ia akan datang pada emaknya. Dan ia akan
mendapat pujian daripadanya. ingin segera pulang untuk
berpanen pujian itu. Tapi tak mungkin. Sekiranya Senapati
bukan bapaknya sendiri, pasti ia sudah tinggalkan
balatentara, kembali dalam lingkungan kasih-sayang
emaknya. Ia merasa malu untuk pergi. Wiranggaleng akan
malu pada umum punya anak yang melarikan diri dari
kewibawaannya. Ia terpaksa tinggal dalam pasukan.
Pada peratusnya ia menawarkan diri untuk tugas-tugas
yang lebih berat. Ia tak tahan harus diam-diam tanpa
kegiatan. Panggilan dari Senapati itu tak kunjung datang. Ia
harus dapat menarik perhatiannya dengan jasa-jasa yang
lebih besar.
Ataukah Senapati sengaja tak mau melihatnya lagi?
Tidak mungkin. Jasa yang lebih besar mengharuskan ia
mengenal Gelar. Dan peratus itu tak juga memberinya tugas
penting. Ia menjadi gelisah resah. Pada puncak kerisauan ia
telah siap untuk berbuat sesuatu – apa saja untuk menarik
perhatian Senapati. Dan perintah itu datang: memimpin
tiga ratus prajurit kaki, cari minyak tanah di mana saja,
dengan cara apa saja. Dan peratus itu menyampaikan
padanya pribadi: perintah langsung dari Senapati sendiri.
Waktu: tiga minggu.
Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia anggap perintah itu
sebagai ujian dari seorang bapak sendiri. Dan setelah
menerima jumlah yang tiga ratus segera ia berangkat.
Semua bersenjata lengkap.
Membawa kekuatan tiga kesatuan adalah pengalaman
baru bagi seorang prajurit muda. Dan hanya prajurit
luarbiasa saja ada kemungkinan mendapat kehormatan
seperti itu. Ia merasa lebih dipercaya daripada tiga orang
peratus sekaligus. Pikiran itu membesarkan hatinya.
Mereka semua sudah dan akan lebih bangga padaku, ia
memutuskan. Tanpa pikir panjang ia bawa pasukannya ke
Bojonegara. Senapati tak dapat ditemui. Baik. Ia akan
meminta restu dari Ibunya. Dan yang lebih penting lagi:
membawa berita pada Idayu tentang kedatangan Senapati.
Di sana nanti baru ia akan pikirkan apa harus diperbuat.
Begitu turun dari kuda ia langsung mendapatkan
emaknya dan berkata: “Mak, lihat, Mak, tiga ratus orang
prajuritku sekarang.”
Dan Idayu dan Kumbang mengagumi prajurit sebanyak
itu, mengagumi Gelar, semuda itu telah pimpin ratusan
orang yang lebih tua daripada dirinya sendiri.
“Kau mendapat kepercayaan besar, Gelar.”
“Tentu, Mak. Tahu kau, Mak, siapa yang memberi
kepercayaan ini?”
“Mana aku tahu, Nak?”
“Nanti aku bilangi. Sekarang…,” ia berbisik pada Idayu
dan emaknya mendengarkan dengan mata terbeliak
berpendaran berputar-putar kesana-sini.
Tiba-tiba emaknya memekik: “Gelar!” sambil
menyorongkan badan anaknya. “Tidak mungkin! Tidak
mungkin! Tidak mungkin! Jangan ulangi kebohongan itu.
Aku tak percaya.”
Gejolak dan rangsang girang dalam dada Gelar berobah
jadi beku, kaku dan membatu. Untuk pertama kali dalam
hidupnya ia lihat wanita itu berubah jadi orang lain yang
tak dikenalnya, seperti bukan orang yang pernah
melahirkan, menyusui membesarkan dan mendidiknya.
Idayu berdiri tegak seperti patung. Matanya masih
membelalak tidak bergerak dan tidak berkedip.
Gelar kehilangan semangat dan kepribadiannya.
Lambat-lambat Idayu memejamkan mata, menunduk.
Suara seorang ibu keluar dari dadanya yang sesak:
“Memuakkan! Tak ada seorang ibu pernah menyuruh atau
menganjurkan perbuatan seperti itu. Aku tak percaya ada
anakku bisa berbuat seperti itu!”
Gelar tetap tak mengerti mengapa ibunya menanggapi
berita kejadian itu seperti orang kehilangan akal. Mengapa
lenyapnya seorang yang selama itu menyedihkan hatinya,
merusak ketenangan batinnya, ternyata tidak
menggirangkan hatinya? Ia kehilangan pegangan. Seorang
ibu yang benar-benar dicintainya telah menolak
persembahan bakti….
“Jadi apa harus kukerjakan, Mak?”
“Kau! Kau! Mengapa sekarang bertanya padaku? Kau
berangkat tanpa meninggalkan kata. Mengapa bertanya?”
Katanya dengan suara pedih.
Kumbang memperhatikan ibu dan abang berganti-ganti
tanpa mengerti duduk-soalnya.
“Kau merestui keberangkatanku, Mak.”
“Betul, tapi bukan untuk perbuatan seperti itu.
Memuakkan, memuakkan.”
“Dia musuh, Mak, manusia terkutuk.”
“Itu saja yang agak meringankan kau. Hanya itu. Maha
Buddha tidak. Memohonkan ampun pun aku takkan
sanggup – sekalipun kau bohong!”
Ada juga keringanannya, pikir Gelar. Dan Idayu
sekaligus telah demikian berobah, bukan emaknya yang
dulu, dan pondok pengungsian itu tak lagi terasa ramah dan
menyambut seperti dulu. Bahkan Kumbang pun sudah
nampak lain. Ia dipaksa untuk juga mengambil sikap lain,
lebih berhati-hati. Semua dirasainya telah jadi asing. Juga
dirinya sendiri. Ia berlutut dan berkata dengan suara
memohon: “Anakmu akan berangkat terus, Mak. Berilah
restu.”
“Berangkatlah,” kata Idayu seperti pada orang asing.
“Kau tak merestui aku, Mak?”
“Aku tak tahu apa lagi akan kau perbuat. Sejak sekarang
restui dirimu sendiri dengan perbuatan baik. Gelar,
berangkatlah.”
“Mak, tega kau melepas aku tanpa restu, Mak?”
Dan wanita yang dihadapinya itu memang sudah bukan
emak yang dulu, menjadi wanita yang tidak dikenalnya.
“Baik, Mak,” katanya sambil berdiri. “Aku berangkat
lagi. Nampaknya tak ada sesuatu yang bisa kuperbuat lagi
di sini. Sebelum berangkat kusampaikan padamu.
Senapatiku Wiranggaleng sudah datang di Tuban.”
“Bapak!” seru Kumbang.
Dan seruan itu terasa seperti halilintar di hati Gelar. Ia
tahu, ia tak berhak lagi berseru seperti adiknya.
Lambat-lambat wajah Idayu kembali seperti semula.
Matanya lunak dan bibirnya kehilangan ketegangan.
“Aku tinggalkan tiga orang prajurit untuk mengantarkan
Emak dan Kumbang. Tolonglah, Mak, kalau kau sudi,
Mak, sampaikan sembah-sujudku pada Senapatiku, sebagai
prajuritnya.” Ia hendak mengatakan kalau toh tak
mengakui aku sebagai anaknya, tetapi kata-kata itu tersekat
beku di dalam jakun.
Dengan hati bolong compang-camping ia tinggalkan
gubuk dan manusia-manusia tercinta yang sudah jadi asing
itu, menggabungkan diri dengan pasukannya, berangkat lagi
memasuki lebih dalam wilayah Bojonegara.
Dari seorang prajurit yang berpengalaman dalam hal
minyak-tanah ia mendapat keterangan, minyak bisa
didapatkan di tengah-tengah pecahan bukit cadas yang
patah atau belah. Mungkin jarak pecahan itu sampai satu
atau setengah hari perjalanan. Tengah-tengah jarak itu
biasanya sumber minyak.
Ia tak tahu-menahu tentang itu. Diserahkannya
pimpinan pencarian padanya.
“Pada mulanya orang pada bertanya-tanya apa perlunya
minyak-tanah sebanyak yang bisa diangkut oleh tiga ratus
orang, kalau gunanya toh untuk melawan wabah bengkak
yang membunuh itu dan sakit perut muntah-buang-air? Dan
penyakit demikian tak ada sehabis perang melawan Kiai
Benggala. Bila untuk penerangan, untuk apa pula
penerangan berlebihan di waktu perang? Bukankah cukup
dengan minyak kelapa?
Orang tak juga mengerti. Dan orang pun tak
mempersoalkannya lagi. Soal yang lebih gawat sekarang
adalah: kemungkinan terpergoki oleh pasukan Demak, dan
itu berarti pertempuran. Dan tiga minggu yang diberikan
mungkin akan terlewati.
Kecompang-campingan dan kebolongan hatinya segera
terdesak oleh tugasnya sebagai prajurit. Kewaspadaan dan
kesiagaan, pengaturan pasukan dan pengiriman telik, semua
jadi pekerjaan pokok untuk dapat menghindar sergapan
musuh.
Beberapa hari lamanya pasukan itu menjelajahi
perbukitan Kendeng mencari sumber minyak….
Wiranggaleng bersama dengan para pemimpin pasukan
sedang berdiri menghadap pada sebuah bukit kecil yang
dirimbuni hutan. Di belakang mereka berdiri beberapa
orang pengawal bersenjata tombak, pedang dan perisai.
Sekeliling mereka sunyi-senyap. Dan di belakang mereka
adalah perbukitan rendah yang setengah gundul.
Wiranggaleng berdiri bertolak pinggang dengan pandang
merenungi kejauhan. Ia nampak lebih kukuh dan lebih
tegap daripada tujuh belas tahun yang lalu. Hanya matanya
nampak cekung masuk ke dalam rongga dan garis-garis
kaki-ayam mulai menggurati sudut luar matanya.
Kumisnya yang kurang lebat dan panjang jatuh lunglai di
samping bibir, sedang jenggotnya yang juga kurang lebat
dipotong sepanjang tiga jari dan tergantung pada dagu
seperti sekepal ijuk.
“Kalau mereka tak mampu datang dalam tiga minggu
atau tanpa hasil, semua persiapan harus diperpanjang,
bahkan diganti, sementara itu mungkin lebih banyak lagi
Peranggi datang.”
“Senapatiku!” sela Rangkum, “telah kumasukkan dalam
pasukan itu seorang yang dahulu bekas pencari minyak-
tanah. Mereka pasti berhasil. Hanya jumlahnya kita tak
tahu. Bila ada halangan, pasti karena menghindari tentara
Demak.”
“Senapatiku, nampak ada orang-orang datang dari celah-
celah bukit,” pengawal datang memperingatkan.
Semua berbalik ke belakang mengikuti tudingan tangan
seorang pengawal. Dan seorang lain melompat ke atas
kuda, menuju ke celah-celah bukit itu.
“Nampak seperti orang desa biasa,” Banteng Wareng
berkata, “nampaknya ada juga beberapa orang prajurit.”
“Prajurit Tuban,” kata Braja.
“Seperti prajuritku,” kata Rangkum. “Seorang menuntun
anak. Perempuan nampaknya. Dan jalan itu jarang
ditempuh orang.”
Mereka menyingkir dari tempat terbuka, menghindari di
balik rumpun telekan, meneruskan pembicaraan.
Senapati menerangkan tentang keyakinannya, bahwa
sekali Peranggi dikalahkan di sesuatu tempat, mereka
takkan kembali untuk membuat perhitungan, mereka akan
pergi untuk selama-lamanya. Bahwa alat dan cara perang
mereka memang ampuh tidak menyalahi kenyataan,
mereka tidak lebih dari siapa pun di antara orang Tuban.
Mereka tak kalis dari sakit dan nyeri, mereka tidak lebih
mulia, tapi memang lebih unggul karena cara kerjanya.
Mereka juga punya kelemahan: takkan berdaya di malam
kelam. Mereka manusia biasa. Alat-alat perangnya pun
bikinan manusia biasa, bukan anugerah dari para dewa.
Ia memerintahkan pada para kepala pasukan agar semua
prajurit Tuban memahami itu, dan bahwa lelanangin jagad
adalah dongengan kanak-kanak semata.
Mereka dengar rombongan pendatang itu mendekati dan
ternyata memang ada beberapa orang prajurit Tuban di
antaranya.
Di dekat semak-semak telekan rombongan itu berhenti,
dan terdengar suara wanita memanggil-manggil: “Kang
Galeng, Kang, aku datang.”
Wiranggaleng kurang mendengar.
Seorang pengawal berkuda datang menghadap dengan
masih memegangi kendali dan melaporkan: “Senapatiku,
Nyi Gede Idayu datang menghadap.”
Seluruh pancaindra Senapati seakan berhenti bekerja.
Mata-batin-nya berhadapan dengan pegunungan masalalu,
sambung-menyambung tiada habis-habisnya: alam dan
manusia, kesakitan dan kebahagiaan, harapan dan
kekecewaan, cinta dan benci. Semua itu diwakili oleh hanya
satu nama: Idayu.
Ia berjalan cepat keluar dari balik semak-semak. Yang
lain-lain mengikutinya. Dan ia dapatkan anak dan istrinya
berdiri menanti. Ya, mereka adalah impian masalalu. Dan
ia jadi begitu kikuk.
“Kang Galeng,” panggil Idayu sekali lagi.
“Bapak!” teriak Kumbang dan lari, menjatuhkan diri ke
tanah, menyembah kemudian memeluk kakinya.
“Kau datang, Idayu.”
“Ya, Kang, dan itu anakmu,” Idayu menuding pada
Kumbang dengan pandangnya.
Senapati mengambil anak itu dari kakinya dan
mengangkatnya tinggi-tinggi seperti hendak
melemparkannya ke langit.
“Sudah besar, kau Nak.”
“Kau tak juga datang, Kang. Mungkin tak patut aku
datang kemari. Biar begitu aku paksakan datang untuk
mengantarkan anakmu. Dia berhak melihat bapaknya dan
bersembah sujud padanya. Turunkan anak itu, biar dapat
memuliakan kau dengan sembah yang sempurna.”
Senapati itu menurunkan anaknya. Dan Kumbang
berlutut: “Sembahlah bapakmu. Nak, dengan sembah yang
tulus, biarpun sekiranya kau tak diterimanya.”
“Ada apa Idayu? Mengapa kata-katamu begitu pahit?”
Idayu tak menjawab, dan Senapati membelai rambut
anaknya untuk merestui. Kembali anak itu diangkatnya di
atas sampai pasang-pasang mata anak dan ayah itu sejajar.
“Betul, sudah besar kau. Di mana kau tinggal sekarang?
Ah-ya, siapa pula namamu?”
Semua yang mendengar tertawa.
“Keterlaluan, kau, Kang anak sendiri lupa namanya,”
tegur Idayu.
“Hhh, hhh, tinggal di mana kau, Nandi?”
“Huh-huh, namaku bukan Nandi, Bapak.”
“Nandi itu anakmu yang lain lagi, yang ada di Malaka
sana,” sela Idayu.
“Kunamakan siapa kau dulu?” tanya Senapati. Kembali
orang pada tertawa dan Senapati menurunkan Kumbang ke
tanah.
“Kumbang, Bapak,” si anak membetulkan. “Kami
tinggal jauh di desa sejak terjadi perang. Kang Gelar yang
menjaga kami. Sekarang dia pergi.”
“Kumbang. Benar, Kumbang,” bisik Senapati, “bapak
sudah mulai pikun rupanya, Ya-ya-ya, ke mana Gelar
pergi?”
“Dengan pasukan, Bapak.”
Wiranggaleng terdiam. Keningnya berkerut. Matanya
ditujukan para pemimpin pasukan, pada para pengawal,
akhirnya pada Idayu: “Pasukan mana?”
“Pasukan Senapati Wiranggaleng,” jawab istrinya.
Mata Senapati cepat dialihkan pada para pemimpin
pasukan, bertanya: “Pasukan siapa berkeliaran di sana?”
tanyanya tajam.
“Pasukan dengan tugas khusus,” jawab Braja, “dengan
perintahmu. Senapatiku, mencari minyak-tanah.”
“Dialah yang bilang Bapak sudah kembali,” Kumbang
menambahkan. Idayu merasa perlu untuk menerangkan,
agar suasana yang mulai mengandung ketegangan
ketentaraan itu mengendur. Ia dekati suaminya dan berkata
pelahan setengah bisik: “Gelar menggabungkan diri kembali
pada tentara Tuban setelah Peranggi masuk.
Ditinggalkannya kami berdua di pedalaman. Kemudian dia
datang lagi membawa pasukan sebanyak tiga ratus orang.”
“Dia yang membawa?” tanya Senapati membelalak.
“Dia yang memimpin pasukan?” kembali pandangnya
berpendar-pendar pada para pemimpin pasukan. “Dewa
Batara!” sebutnya.
“Aku belum tahu tepat siapa nama pemimpin pasukan
khusus itu,” sela Braja.
Senapati memegangi kedua belah bahu istrinya:
“Tidakkah dia berbohong waktu mengatakan membawa
pasukan?”
“Tak pernah aku ajari dia berbohong,” jawab Idayu.
Wiranggaleng menoleh pada Braja, bertanya: “Bukankah
pemimpin pasukan itu orang yang baru pulang dari Tuban
Kota, Braja?”
‘Tepat, Senapatiku.”
“Ampun, Dewa Batara,” sebut Wiranggaleng.
“Apakah Senapatiku ingin segera mengetahui orang itu
Gelar atau bukan?” tanya Braja.
Senapati tak menjawab. Ia melangkah pelahan diikuti
oleh semua orang.
“Gelar, Senapatiku, seorang prajurit yang gesit seperti
elang, berani seperti harimau, patut jadi perwira sekiranya
kelakuan cukup baik,” Braja menyarani.
“Maafkan kami,” Kala Cuwil menambahkan, “bahwa
tak ada di antara kami mengetahui apakah kepala pasukan
khusus itu Gelar’
“Bagaimana keadaanmu, Idayu?” tanya Senapati.
“Kumbang,” panggil Idayu. “Mintalah gendong pada
bapakmu. Belum cukup engkau digendongnya dulu. Nak.”
0o-dw-o0
Penutup
Sylyester da Costa tak dapat melupakan pengalamannya.
Di Tuban waktu balatentara Portugis terjebak oleh tipuan
balatentara Pribumi. Peranggi telah terpancing oleh api
unggun raksasa dan ledakan, lengah keheranan. Dan
sebelum tahu pasti apa sedang terjadi, balatentara Pribumi
datang dari kegelapan, menyambar-nyambar seperti elang
rajawali. Dalam satu malam itu juga ia ikut menyaksikan
bagaimana balatentara tumpas. Benteng bawah-tanah sia-
sia, bahkan didekati pun tak bisa. Meledak.
Francisco de Sa kebetulan sedang berlayar ke Maluku.
Pengawalan meriam dari laut tak ada. Dibandingkan
dengan di Banda, pertahanan Peranggi di Tuban sungguh-
sungguh lapuk.
“Berbahagialah de Britto,” tulis Sylyester da Costa,
“berbahagialah Antonia Galyano. Celakalah kami.”
Tulisnya selanjurnya dalam buku hariannya: Aku kira
hanya beberapa belas orang saja dapat melarikan diri ke
timur, hanya untuk dapat mencari kuburannya sendiri yang
agak lebih jauh dari teman-temannya.
Prajurit-prajurit Pribumi memburu kami tanpa ampun.
Aku sendiri terguling di pinggir jalan, kemudian merangkak
menjauh. Tak mampu melarikan diri lagi. Sepucuk anak
panah telah menembusi pahaku. Masih beruntung tidak
terkena nadi karangan maut. Setiap gerak mendatangkan
nyeri tak tertahankan. Anak panah itu terbuat daripada
bambu, matanya dari tulang, entah babi entahlah sapi.
Entah bagaimana keterangannya, yang menembusi pahaku
itu tidak berbisa. Kaki kananku telah memar tertumbuk
pada bongkahan batu.
Satu-satunya jalan bagiku hanya tinggal berdoa untuk
keselamatan sendiri. Di mana musket dan pedangku aku
sudah tak tahu lagi. Pakaianku compang-camping seakan
aku seorang pengemis di depan salah sebuah gereja di
Lisboa, bukan lagi prajurit Portugis kebanggaan negeri, raja
Portugis.
Lengan bajuku telah kuputus untuk menghentikan jalan
darah pada lukaku. Rasa-rasanya, bila tak ada Tuhan, tak
ada Kristus, tinggal malam saja melindungi aku dari maut.
Ah, betapa menggeletar ketakutan hati ini waktu bulan
muncul dengan pelannya. Suara prajurit Pribumi yang
bersorak-sorak memburu dan menumpas masih kedengaran
di mana-mana. Mereka akan temukan aku juga. Puji
kepada-Mu, sorak-sorai kemudian semakin lama semakin
menjauh. Kesunyian menyusul.
Dalam kesakitan, ketakutan, kegentaran dan sebatang
kara di medan perang yang telah sunyi ditinggalkan begini,
terkenang aku pada orang-tuaku, pada saudara-saudaraku
yang sudah sejak semula tak setuju aku berlayar ke Umur.
Terkenang aku pada malam sebelum mancal. Ayah
mewejang: memang mulia cita-cita menaklukan negeri-
negeri kafir dan mentaubatkan mereka sesuai dengan
keputusan Tahta Suci. Aku sendiri bangga. Ibu tak henti-
hentinya memandangi anak lelakinya yang bungsu, aku
inilah, anak tersayang dan termanja. Seakan mata itu
tertuju pada Tuhan Kristus sendiri dan bertanya bagaimana
nasib anak bungsunya kelak. Beginilah keadaanku
sekarang.
Pagi-pagi benar mereka temukan juga aku.
Matilah aku sekarang, pikirku. Ketakutan telah
menghilangkan rasa nyeri.
Satu regu berkuda balatentara Pribumi, barangkali
sedang melakukan pemeriksaan medan sehabis serangan
malam, telah menemukan aku yang sedang bersembahyang
menyerahkan jiwaku kepada Tuhan, Bapak. Aku tahu,
hanya itu jalan bagiku. Maka kupersiapkan diri untuk mati
di dalam pengampunan-Nya.
Kafir-kafir itu mengerahkan tombak-tombaknya padaku.
Derap kudanya tak lagi terdengar. Jelas mereka sedang
melingkar mengepung aku. Puji kepada Tuhan, karena
berkah permohonanku suatu mukjijat telah terjadi.
Pemimpin regu Pribumi itu telah menunjukkan kemuliaan
hatinya. Ia perintahkan agar aku dirawat. Dirawatlah aku,
mungkin perawatan terbaik menurut setahu mereka.
Mereka naikkan aku ke atas kuda sambil bercakap-cakap
dalam bahasanya sendiri. Di sebuah rumah mereka bius aku
dengan obat yang aku tak tahu namanya. Waktu aku
siuman kembali anak panah itu telah tercabut dari pahaku.
Sebagai gantinya kulihat bebatan dari kain tenun berwarna
kuning. Kakiku yang memar telah tertutup dengan selapisan
obat berwarna putih yang membubungkan bau sedap. Bau
yang membikin aku selalu mengantuk.
Tiga bulan aku dirawat. Selama itu mulai aku mengerti
sedikit Jawa. Walau tidak banyak, ada juga dapat
kumengerti tentang cerita dan percakapan mereka.
Waktu aku sudah sembuh mereka beritahukan padaku:
aku harus meninggalkan Tuban. Aku pun bersiap-siap
hendak pergi untuk mencari bangsaku, entah di Malaka
entahlah di Maluku.
Sebagai seorang Kristen, orang Portugis, orang Eropa,
yang lebih tinggi peradabannya daripada kafir-kafir itu,
tentu aku merasa berhutang budi, terutama pada pemimpin
regu yang menyelamatkan jiwaku. Tanpa perlindungannya
barangkali aku sudah mati, biar pun tak terkena mata
tombak. Jadi sebelum berangkat aku perlukan
menyampaikan terimakasih pada mereka. Juga aku
utarakan keinginanku hendak menghadap pemimpin regu
yang dulu itu.
Dia sudah pergi, mereka bilang. Tak ada yang tahu.
Baiklah, barangkali memang aku tak boleh bertemu. Paling
tidak aku harus ketahui namanya. Siapa tahu, tidak
sekarang kelak pun mungkin dapat aku lakukan bila Tuhan
menghendaki.
Namanya Wiranggaleng, tanpa gelar. Bawahannya
memanggilnya Senapatiku. Aku ingat-ingat benar nama itu.
Rasa-rasanya aku pernah dengar sebelumnya.
Mereka sediakan untukku sebuah perahu layar kecil,
lengkap dengan perbekalan, kayu bakar, air tawar, baja,
batu dan kaul, juga pakaian. Di tengah-tengah laut ada
teringat olehku sesuatu: bukankah dia orang yang
membikin balatentara Portugis tak dapat keluar lebih jauh
dari kota Malaka? Kira-kira memang dia. Hang Wira
Malaka itu. Hang Wira -Wiranggaleng. Barangkali, aku tak
tahu betul. Agaknya terlalu jauh.
Setelah sampai di Maluku, kubuat ini jadi pekerjaan.
Aku mulai bertanya-tanya. Kemudian tak lain
kesimpulanku: Hang Wira memang Wiranggaleng itu juga,
penumpas kami di Tuban.
Sekiranya dalam hidupku aku tak ada kesempatan
berterimakasih padanya…
Dalam tulisan yang sudah banyak rusak dan hampir-
hampir tak terbaca disebutkan ia telah dipecat dari
dinasnya, dan selanjutnya: Orang Portugis siapa pun akan
lebih suka tinggal di Banda daripada di mana saja di
Maluku ini. Nampaknya aku akan terpakukan di negeri ini
dan jadi penduduk sini sampai mati. Berbahagialah kau,
Magelhaen, dapat mendarat dan mancal sesukamu,
mengelilingi dunia, melaksanakan impianmu. Sayang
kekasaran Portugismu kau bawa ke mana-mana sehingga
kau tewas oleh anak panah Pribumi Filipina. Aku sendiri
tersekat dari pulau yang satu ke yang lain di Maluku, dan
masih selamat sampai sekarang ini.
Banda akhirnya harus kutinggalkan juga. Begitu Ruy
Yaz Pereira jadi panglima di Malaka tahun ini, 1544, aku
harus meninggalkan Banda, ditunjuk jadi juruborong di
Halmahera. Tetapi keadaan di sini mencurigakan. Setiap
waktu bisa terjadi Tuban kedua. Telah aku coba dekati
Pribumi. Nampaknya mereka tak suka pada orang kulit
putih.
Aku minta pindah, dan diperintahkan ke Temate, 1548.
Istriku menolak kubawa serta. Bersama dengan anak-
anaknya, wanita Pribumi Ambon, mereka pulang ke
kampungnya di Ambon. Tak mengerti aku mengapa ia
menolak ke Temate, boleh jadi karena ia takut pada orang
Islam.
Maka sudah sejak di kapal dapat kurasai betapa kan
sunyi kehidupanku sebagai juruborong di sana.
Waktu aku mendarat, penyambutku hanya seorang
Pribumi. Atau bukan Pribumi Temate? Aku belum tahu
pasti. Setidak-tidaknya dialah yang mengangkuti barang-
barang ke loji. Ternyata dia tukang kebun, seorang Kristen
yang kelihatan saleh dan kemudian kuketahui tak pernah
melewatkan hari kebaktian. Pakaiannya selalu rapi, bersih
dan baik. Setiap ke gereja ia mengenakan setelan Portugis
sekalipun tidak bersepatu dan hanya bercakar ayam. Ia
menerima pakaian itu dari bekas tuannya, Gonsalyes
Mateo, juruborong untuk Temate.
Tukang kebun itu tidak beristri dan dengan sendirinya
tidak beranak. Ia bernama Paulus. Tak ada sahabat atau
teman padanya. Nampaknya ia pemurung dan pemenung.
Bila sudah sampai pada puncak kesepiannya ia memukul
tetabultan, yang di Maluku sini disebut totobuang, sebuah
alat musik yang biasa dipergunakan dan kelihatan di Tuban.
Tukang kebun ini menarik perhatianku. Bukan saja lagu
yang dibunyikannya tidak sama dengan lagu pribumi sini,
juga wajahnya tidak ada kesamaan dengan Melayu gereja
daripada Pribumi. Aku menduga dia seorang Moro.
Pada suatu malam sedang dia memukul totobuang aku
datangi dia di kamarnya di ujung gandok dekat dapur. Tak
dilihatnya aku masuk. Wajahnya murung seperti biasa.
Betul, lagu yang dimainkannya pernah kudengar di Tuban
sana. Maka setelah selesai ia kaget melihat aku. Nampak ia
seperti… benarkah dia seorang Moro?
“Aku pernah dengar lagu seperti itu,” kataku, “dulu di
Tuban?”
Ia pucat dan pemukulnya jatuh dari tangan. Ia menutup
mulut seperti hendak menindas jeritnya sendiri. Dan sejak
itu ia selalu ketakutan bila melihat aku.
Berhati-hati aku mencoba meramahi dia. Waktu
kuulangi pertanyaanku dulu ia nampak tidak lagi terkejut.
“Ya, Tuan Besar. Semua telah kuserahkan pada
kandungan gereja. Sudah tak tersisa sesuatu pun dari masa
laluku.”
Seorang yang banyak mengalami penderitaan seperti aku
ini segera dapat menangkap, ia mempunyai beban pada
punggung dan hatinya. Dugaanku tidak salah. Setelah
mulai bisa diajak bicara aku dapat menangkap ia seorang
pedosa besar, atau setidak-tidaknya ia merasa demikian,
seorang pembohong besar, yang hanya dalam Kristus saja
dapat memperoleh damai.
Setahun kemudian baru dapat kukumpulkan kalimat-
kalimat yang sedikit itu yang pernah dikatakannya, yaitu
setelah ia mendapat keyakinan pihak Portugis takkan
menghukumnya.
Ia kelahiran Tuban, mengaku pernah membunuh
ayahnya sendiri. Mula-mula ia tak mau mengaku mengapa.
Lama-kelamaan, dengan ragu-ragu ia mengatakan,
pembunuhan itu ia lakukan dengan sengaja dan dengan
rencana, karena ayahnya menyebabkan penderitaan ibunya,
terutama sekali karena ayahnya berpihak pada Portugis dan
mengkhianati Tuban.
“Tidak ada Pribumi Tuban berpihak pada Portugis,”
bantahku.
Ia menerangkan ayahnya bukan Pribumi, tetapi seorang
Moro, Syahbandar Tuban. Semua orang Portugis di
Maluku tahu cerita gila tentang Moro gila bernama Tholib
Sungkar Az-Zubaid. Inilah rupa-rupanya anaknya. Ibunya
seorang Pribumi, seorang penari kenamaan, katanya. Ia
bercerita tentang kelahirannya yang tak diharapkan oleh
siapa pun. Namun ibunya mengasihinya sampai terjadinya
pembunuhan itu. Setelah itu bukan hanya ibunya, seluruh
masyarakat mengucilkannya. Mereka tak dapat
menenggang dan mempercayai seorang pembunuh orang-
tua, pemeluk-pemeluk Buddha itu.
Ia mengembara ke mana-mana. Setelah kudanya mati
tua ia tak bisa berbuat lain kecuali menggabungkan diri
dengan balatentara Demak.
Dalam pasukan kuda ia bersahabat dengan seorang
prajurit pengawal yang cantik, lebih cantik dari seorang
wanita, katanya, kelahiran Trenggono, sebuah tempat di
Semenanjung, anak paman Paulus sendiri yang menetap di
sana. Pamannya itu juga kelahiran Tuban. Dan anak cantik
ini. Jafar, mungkin karena kecantikannya ditarik oleh
Sultan Trenggono jadi pengawal pribadi dan pelayan.
Karena keistimewaan kedudukannya ia dijuluki Juru
Taman, menjuru tamani Sultan.
Sekali peristiwa Paulus mendapat perintah untuk
melakukan pekerjaan telik di Blambangan. Trenggono telah
sampai di batas kerajaan Hindu Blambangan. Untuk dapat
melakukan serangan gilang-gemilang dan mematikan.
Sultan telah memanggil Fathillah untuk memimpin
serangan umum atas Blambangan. Paulus – tentu saja
waktu itu ia tidak bernama demikian, entah apa – mendapat
perintah untuk mengumpulkan keterangan.
Dalam penyusupannya di Blambangan pada suatu pagi
ia mendapatkan sebuah gubuk di tengah-tengah huma
dalam kepungan rimba-belantara, daerah yang terlalu
banyak macannya. Ia mengagumi penghuni, suami-istri
yang sudah tua itu. Perawakan lelaki itu tegap katanya. Ia
mendekatinya. Lelaki tua itu mengawasinya dengan curiga.
Dua-duanya berhadap-hadapan. Paulus segera
menjatuhkan diri pada kaki orang tua itu dan memanggil-
manggil: Senapatiku! Senapatiku!
Sampai pada bagian ini aku menajamkan perhatian.
Panggilan Senapatiku itu segera kukenal.
“Wiranggaleng?” tanyaku.
Paulus terkejut. Ditatapnya aku lama-lama. Aku
mencoba meredakannya dan masih juga ditatapnya aku.
Suaranya sangat pelan waktu bertanya: “Kenalkah Tuan
Besar pada nama itu?”
“Seorang kafir yang berbudi,” jawabku.
Ia menjadi sentimentil. Suaranya makin pelan dan
muncul kekafirannya yang lama dalam ia membantah:
“Bukan, Tuan Besar, Senapatiku bukan kafir. Memang aku
tak dapat mengatakan apakah ia Islam, ataukah Buddha,
Syiwa atau Wisynu. Menurut cerita ibuku dia lulusan
perguruan Buddha. Jangan sebut dia kafir, Tuan Besar,
karena itu menyakiti hati barangsiapa pernah mengenalnya.
Dia seorang yang perwira dalam kemenangan dan
kekalahan.”
Paulus pernah bercerita bagaimana ia mencintai
kudanya.
Waktu binatang itu telah kehabisan tenaga karena tuanya
dan menjelang kematiannya, ia merawatnya di tengah-
tengah hutan. Bangkainya ia timbuni dengan ranting-
ranting dan dedaunan, dan kayu-kayu kering kemudian
dibakarnya dengan penghormatan. Maka orang yang dapat
begitu setia pada binatangnya barangkali dapat mencintai
manusia dengan sedalam-dalam cinta.
Ternyata Wiranggaleng adalah ayahnya yang resmi.
Ia bertanya pada ayahnya mengapa ia tinggal di hutan
menyendiri seperti pertapa.
“Aku tinggal di luar jamanku. Dalam jaman ini tenagaku
terlalu kecil untuk membendung kemerosotan besar. Entah
di jaman lain kelak. Di tengah hutan ini aku bisa
memandang sampai batas-batas tebangan itu dengan bebas
dan lega. Di luar batas itu, selama ada manusia, di situlah
kemerosotan. Aku tak perlu melihat. Kau datang kemari
bukankah tidak dengan sengaja?”
Paulus menceritakan tugasnya. Senapati mengangguk-
angguk.
“Betul dugaanku. Kalau begitu kau belum mencapai cita-
citamu, karena kau memang tidak mempunyai cita-cita.
Bukankah aku dulu bilang akan menunggumu di rumah
kalau cita-citamu telah tercapai? Kau datang kemari sebagai
telik Demak!”
Senapati memanggil istrinya, seorang wanita yang juga
sudah nampak tua tapi sehat.
“Inilah anakmu, datang untuk bersujud padamu.”
Paulus bersujud pada kaki ibunya. Ia tak dapat
mengatakan sesuatu. Kata-kata yang keluar dari mulutnya
justru yang bukan dimaksudkannya: “Di manakah
Kumbang, Mak?”
“Kusuruh dia mencari ilmu untuk mengalahkan musuh-
musuh bapaknya. Dia pergi ke Giri Dahanapura, kemudian
di sana dia ikut dengan orang Peranggi. Bertahun-tahun dia
sudah pergi. Terakhir datang dia minta diri akan berlayar
dengan kapal Peranggi, ke negeri Peranggi. Sejak itu dia
belum pernah datang lagi. Dan kau, sekarang kau hanya
hamba seorang sultan yang dijijikkan Senapati.”
Mendengar itu Paulus mengerti, Wiranggaleng, masih
juga belum dapat berdamai dengan persoalannya, dan
karena itu semestinya juga jijik terhadap dirinya. Setelah
menyembah ia minta diri dan meneruskan perjalanan tanpa
singgah ke gubuk.
Setelah tugasnya selesai dan ia kembali ke pesanggrahan
tentara Demak tetaplah sudah hatinya: ia harus bunuh
Sultan Trenggono. Emak dan Senapati harus dapat
mengampuninya. Mahluk yang menjijikkan mereka itu
harus hapus dari muka bumi.
Pada sahabatnya, Jafar, ia ceritakan semua persoalan
yang lalu. Jafar si Juru Taman pun sudah muak terhadap
kelakuan Sultan atas dirinya. Suatu persekutuan rahasia
terjadi. Jafar si Juru Taman akan mengeris Sultan dan
Paulus akan menjaga keselamatannya.
Di depan pesanggrahan balatentara Demak peristiwa itu
terjadi. Jafar menikam rajanya sebagaimana direncanakan.
Para prajurit pengawal di selingkungan Suitan ternyata
lebih lincah. Trenggono memang mati seketika. Tapi Jafar
si Juru Taman juga tertembusi tombak-tombak waktu
hendak mencabut keris dari tubuh korbannya.
Karena, ya, karena seorang satria takkan meninggalkan
keris pada tubuh korbannya.
Melihat itu Paulus lari. Ia melompat ke atas salah seekor
dari dua kuda yang telah disiapkannya, menghindari hujan
tombak yang terarah padanya. Sekali ia sempat menengok
dan melihat pemuda cantik itu telah hancur berkeping-
keping.
Jafar si Juru Taman seorang yang mengalahkan Demak.
Balatentaranya mundur, intinya pulang ke Demak, sisanya
buyar ke tempat asalnya masing-masing. Dengan matinya
Trenggono, juga Demak sebagai kerajaan runtuh dan tak
bangun lagi!
Paulus masuk ke Blambangan dan mewartakan pada
penduduk: “Trenggono sudah mati! Kubunuh dia dengan
kerisku!”
Raja Blambangan mengangkatnya jadi perwira. Dengan
segala kebesaran ia berkunjung pada orangtuanya di tengah
hutan. Dengan sorak-sorai penuh kemenangan dalam hati
ia wartakan pada mereka di dalam gubuk: “Bapak, Emak,
telah aku selesaikan apa yang sudah sewajarnya harus
kuselesaikan untuk membendung kemerososotan besar.
Telah aku bunuh Sultan Trenggono di Pasuruan.”
Betapa lukahatinya melihat kedua mereka hanya
memandanginya dengan iba. Suatu rangsang marah tiba-
tiba menjompak seperti perjaka tertolak kasih oleh idaman
hati. Tangannya meraba keris. Sekilas itu pula ia sadar,
keluar dari gubuk dan kembali ke Blambangan. Hatinya
remuk-redam. Semua telah kehilangan arti kembali.
Ia tinggalkan Blambangan dan berlayar ke Maluku.
Menurut ceritanya, entah benar entahlah bohong, ia
pernah sempat menjamah jubah Franciscus Xaverius, dan
sejak itu, ia mengakui mendapat kedamaian hati….
Itulah Paulus, seorang yang bisa lakukan perbuatan
besar, tetapi, seperti dikatakan oleh Senapatinya sendiri,
tidak mempunyai cita-cita, hidup di bawah kebesaran
orangtuanya. Suatu tragedi kehidupan.
Rupa-rupanya ia menyesal telah menceritakan semua itu.
Ia ingin hilang-lenyap tiada berbekas. Seorang saja
mengetahui riwayatnya, semua akan mengetahui. Tidak,
Paulus, takkan kuceritakan ini pada siapa pun.
Kembali ia tak dapat berdamai dengan hatinya. Pada
suatu kali ia minta diri untuk mengabdikan diri sepenuhnya
pada Kristus.
Ia tinggalkan Temate, entah ke mana, mungkin ke
Sangir, mungkin Manado, mungkin juga ke pulau Kai.
Ia turun naik ke atas kapal Portugis dengan pakaian
pemberian Gonsalyes Mateo. Ia pergi sebelum aku sempat
mengucapkan terimakasih untuk ayahnya yang resmi,
Senapati Tuban, Wiranggaleng….
END