Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Rhinolith berasal dari bahasa Yunani ‘Rhino’ yang artinya hidung dan ‘lithos’ yang
artinya batu.1 Rhinolith, sesuai dengan pengertian tersebut, merupakan hasil proses lithiasis
atau timbunan batu pada hidung.2 Biasanya ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan THT
rutin atau karena gejala terkait seperti hidung tersumbat atau bau busuk yang persistent nasal
discharge yang biasanya unilateral.3 Benda asing yang tersisa di rongga hidung selama
beberapa tahun menyebabkan pembentukan rhinolith. Ini merupakan akumulasi dari kalsium,
zat besi, magnesium dan fosfor sekitar inti tengah yang kemudian semakin bertambah
ukurannya.3 Rinolit biasanya ditemukan di dasar hidung, sekitar pertengahan nares anterior dan
posterior.4

Rhinolithiasis merupakan simptom klinis yang disebabkan oleh rhinolith.5 Rhinolithiasis


biasanya bersifat asimptomatik, yang menjadi tidak terdeteksi selama beberapa tahun, sampai
rhinolith menjadi cukup besar untuk menimbulkan gejala hidung tersumbat dan keluarnya
sekret dari hidung yang kadang salah didiagnosiskan menjadi kasus rhinitis atau infeksi sinus
berkepanjangan.4 Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, rhinoskopi anterior, dan
endoskopi hidung, kemudian dikonfirmasi melalui pemeriksaan radiologi.5

Kasus pertama Rhinolithiasis pertama kali dilaporkan pada tahun 1654 oleh Barthdinin.2
Sejak itu, lebih dari 600 kasus telah dilaporkan dalam literatur. Insidensnya adalah 1 dalam
setiap 10.000 pada pasien rawat jalan otolaryngo. Biasanya usia rentan untuk diagnosis adalah
antara 8 sampai dengan 25 tahun dan lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki.
Meskipun sebagian besar rhinolith terdeteksi pada orang dewasa muda, mereka dapat
ditemukan pada usia berapapun (6 bulan sampai 86 tahun).4
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Dan Sinus Paranasalis

2.1.1 Anatomi hidung dan sinus paranasalis


Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang
anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali
sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu
penyakit atau kelainan 1

Anatomi hidung luar


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal
hidung (bridge) , 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi,
5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh
kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa
otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os
maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri
dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1)
sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago
septum.2
Gambar 1. Anatomi hidur luar 2

Anatomi hidung dalam


Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di
sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,
konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior 2, 3

Gambar 2. Anatomi Hidung Dalam 2


Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago
septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan
inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid 2-4

Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os
palatum 4
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap
hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius
yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior 4
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid,
konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial 4
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka
inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media dan
inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior.
Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka
suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid,
sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila
bagian superior dan palatum 4
Gambar 3. Cavum nasi 2

Kompleks Ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina
papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal 3
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret
yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum
sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar
melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal.
Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid
atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media 3
Jika terjadi sumbatan pada celah yang sempit ini maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.
Gambar 4. Cavum nasi 3

Perdarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna,
di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang – cabang a.fasialis 4,5
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial
dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan
hidung) terutama pada anak 5,6
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi hingga ke intracranial 6

Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.
oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum
selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media 5,6
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung 2,3

2.1.2 Fisiologi hidung dan Sinus Paranasalis

Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi
penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk
resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri
melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal 5-7
Fisiologi sinus paranasalis
Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.
Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini
adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku
Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak
memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh Proetz
, bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak memiliki
rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari sinus
paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi yang
masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsi
apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka 6-8
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah
(1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati
pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus
pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara
total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan
kelenjar yang sebanyak mukosa hidung 6
(2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita
dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-
organ yang dilindungi 6
(3) Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna.6,7
(4) Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang
efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada
hewan-hewan tingkat rendah 6

(5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara


Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus 6
(6) Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis 6

Gambar 5. Sistim Mukosiliar / Mucociliary Clearance 5


2.2 DEFINISI
Rhinolith dianggap sebagai benda asing tipe khusus yang biasanya diamati pada
orang dewasa. Garam-garam tak larut dalam sekret hidung membentuk suatu masa
berkapur sebesar benda asing yang tertahan lama atau bekuan darah. Sekret sinus kronik
dapat mengawali terbentuknya masa seperti itu didalam hidung 3,10
Rhinolith adalah batu di dalam rongga hidung yang terbentuk hasil dari pengendapan
senyawa organik dan anorganik dalam rongga hidung, yang menyebabkan sumbatan
hidung unilateral, rhinorrhea, foetor, epistaksis, dan dapat menimbulkan komplikasi.
Laporan mengenai rhinolith diterbitkan pertama kali pada tahun 1654 di mana
Bartholini menggambarkan sebuah benda asing batu - keras yang tumbuh di sekeliling
batu ceri. Istilah rhinolith ini pertama kali diciptakan pada tahun 1845 untuk
menggambarkan sebagian atau seluruhnya pengapuran benda asing di dalam hidung.
Analisis kimia pertama kali dilakukan oleh Axmann pada tahun 1829 yang berhasil
mendeteksi komposisi batu ini umumnya terdiri dari 90% bahan anorganik seperti garam
mineral, kalsium, fosfat, magnesium karbonat, besi, aluminium dengan sisa 10% yang
terbuat dari bahan organik hasil lesi dari lendir hidung misalnya asam glutamate dan glycin.
Penulis ini juga menduga bahwa zat besi eksogen mungkin menjadi penyebab
pembentukan nidus karena sekresi fisiologis ( lendir hidung , air mata ) yang diproduksi
di hidung tidak mengandung jumlah besi yang mencukupi untuk membentuk nidus
rhinolith.

2.3 EPIDEMIOLOGI
Rhinolith lebih sering ditemukan pada orang dewasa.Pada umur 15 tahun periode
pertumbuhan telah terbentuk untuk pembentukan rhinolith. Bartholin mengenalkan
pertama kali mengenai rhinolith pada tahun 1654. Sejak itu, lebih dari 600 kasus telah
dilaporkan dalam literature. Insidensnya adalah 1 dalam setiap 10.000 pada pasien rawat
jalan otolaryngo. Biasanya usia rentan untuk diagnosis adalah antara 8 sampai dengan 25
tahun dan lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki. Meskipun sebagian besar
rhinolith terdeteksi pada orang dewasa muda, mereka dapat ditemukan pada usia
berapapun (6 bulan sampai 86 tahun). 2,8-10
2.4 ETIOLOGI
Rhinolith terjadi karena adanya benda asing yang telah lama tinggal dalam hidung
(misalnya sejak kecil), kemudian terbungkus oleh endapan garam-garam kalsium atau
magnesium sebagai ikatan fosfat atau karbonat yang berasal dari lacrima. Kalsifikasi
benda asing di hidung dulunya dikenal dengan rhinolith palsu (false rhinoliths) atau
rhinolith benar (true rhinoliths). Saat ini, istilah-istilah ini telah digantikan oleh eksogen
dan endogen, tergantung apakah ada atau tidak ada inti. Rhinolith dapat terbentuk dari
bahan di luar tubuh manusia yang masuk ke dalam hidung dan yang tersisa di dalam rongga
hidung seperti batu berbentuk cherry, batu, nasal swab yang tertinggal, atau benda
semacam ini yang disebut eksogen. Rhinolith endogen adalah bahan-bahan yang
dikembangkan yang berasal di sekitar tubuh sendiri misalnya, gigi ektopik di sinus
maksilaris, disekat tulang, bekuan darah yang mengering di rongga hidung, dan lendir
mengeras. Sekitar 20% dari rhinolith berasal dari materi endogen. 9,10

2. 5 PATOGENESIS
Meskipun patogenesis tidak jelas, sejumlah faktor dianggap terlibat dalam
pembentukan rhinolith ini yaitu dengan masuknya benda asing dalam rongga hidung
kemudian terjadi pemadatan, peradangan akut atau kronis, obstruksi terjadi akibat
terhalangnya dan stagnasi mukus, serta pengendapan garam-garam mineral. Sekret hidung
menjadi bau karena memiliki kandungan kalsium dan / atau magnesium yang tinggi.
Sekresi tersebut harus terpapar dengan aliran udara dalam hidung untuk memusatkan pus
dan mukus yang menyebabkan terbentuknya endapan garam-garam mineral.
Perkembangan dan progresifitasnya terjadi bertahun-tahun.4
Pada umumnya rhinolith terdiri dari 90% bahan anorganik, dengan sisa 10% yang
terbuat dari bahan organik dimasukkan ke dalam lesi dari sekret hidung. Garam-garam
yang tidak larut dalam sekret hidung membentuk suatu kalsifikasi sebesar benda asing atau
bekuan darah yang tertahan lama. Sekret pada sinusitis kronik dapat mengawali
terbentuknya massa kalsifikasi dalam rongga hidung. Rhinolith ini terutama terbuat dari
fosfat dan kalsium karbonat. Kadang-kadang juga dibentuk oleh magnesium fosfat,
natrium klorida dan magnesium karbonat. Garam ini juga dapat berasal dari sekresi
1,2,7
mukosa hidung, air mata, dan eksudat inflamasi.
Gambar 6. Tumpukan Mukus yang Membentuk Rhinolith 7

2.6 GEJALA KLINIS


Gejala Klinis
Rhinolith lebih sering terjadi pada orang dewasa. Sebagian besar ditemukan pada
nares anterior, meskipun beberapa benda asing telah dilaporkan dapat masuk melalui
koana selama muntah atau batuk. Dalam sebagian besar kasus, rinolit terletak di meatus
nasal inferior. Gejala rhinolith bervariasi mulai dari yang ringan dengan keluarnya sedikit
sekret atau sumbatan dari salah satu sisi hidung sampai yang berat dengan perubahan
struktur yang hebat. Rhinolith yang berukuran kecil biasanya asimptomatik. Rhinolith
yang berukuran besar dapat menyebabkan rhinorrhea unilateral, nyeri pada hidung,
obstruksi nasal, napas yang berbau busuk (foetor), epistaksis, pembengkakan pada hidung
atau wajah, sakit kepala, sinusitis, anosmia, dan epiphora. Epistaksis dan nyeri neuralgia
timbul akibat terjadi ulserasi pada mukosa sekitarnya.4,8,9-12
Rhinolith juga dapat ditemukan di sinus maksilaris, namun ini suatu kejadian
langka. Untuk saat ini, belum ada laporan tentang adanya kalsifikasi benda asing di salah
satu sinus lainnya. Rhinolith hampir selalu terjadi secara unilateral. Rhinolithiasis bilateral
dapat ditemukan setelah penghancuran septum hidung posterior.9
2.7 Diagnosa
Anamnesis
Gejala yang sering didapat adalah pasien mengeluhkan rhinorrhea yang purulen
dan / atau hidung tersumbat ipsilateral, sekret yang berbau busuk, perdarahan, obstruksi
nasal. Gejala lain termasuk bau mulut, epistaksis, sinusitis, sakit kepala dan, dalam kasus
yang jarang terjadi, epiphora.4,12 Pada beberapa pasien, rhinolit ditemukan secara tidak
sengaja. Paling umum, adanya benda asing yang telah dilupakan akan tetap di hidung
sampai pasien menjadi sadar akan adanya nasal discharge yang berbau busuk yang terjadi
unilateral.3

Gambar 7. Rhinolit pada pemeriksaan rhinoskopi anterior kavum nasi 12


Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior aka tampak massa warna kuning-keputihan pada
cavum nasi, di antara konka dan septum nasi. Massa ini terlihat keras dan terlihat berpasir
pada pemeriksaan. sering rapuh dan dapat terpotong sewaktu dilakukan pemeriksaan.
Kadang-kadang massa ini dikelilingi oleh granulasi.11
Gambar 8. Rhinolith pada Rongga Hidung 12

Gambar 9. Rhinolith yang menyebabkan


Obstruksi pada Cavum Nasi 12
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan yaitu pemeriksaan radilogik dengan foto
polos kepala dan CT scan kepala. Pemeriksaan endoskopi / rhinoskopi mikroskopis
digunakan untuk mengidentifikasi benda asing pada tahap awal pengembangan.8,9

Gambar 10. Gambaran endoskopi rhinolith pada cavum nasi kanan

Pada pemeriksaan foto polos kepala untuk evaluasi harus mencakup beberapa proyeksi
diambil dari sudut yang berbeda untuk mengevaluasi bentuk, ukuran, luas, lokasi, dan
hubungan dengan jaringan sekitarnya. Pada pemeriksaan foto polos kepala akan tampak
massa radioopak yang homogen atau heterogen dengan ukuran yang bervariasi
dan bentuknya tergantung dari asal nidusnya. Jika batunya memiliki densitas yang rendah
maka kemungkinan tidak dapat terlihat secara radiografi sampai terjadi
kalsifikasi.Terkadang densitas batu ini dapat melebihi densitas tulang di sekitarnya. Untuk
evaluasi maka diperlukan beberapa proyeksi dari sudut yang berbeda agar dapat dinilai
bentuk, ukuran, lokasi, dan hubungan dengan jaringan sekitarnya.5
Gambar 11. Foto X-ray yang Menunjukan densitas kalsifikasi irreguler Gambaran
Rhinolith 8

Pemeriksaan CT scan kepala dianjurkan karena sensitivitasnya untuk melihat


jumlah kalsifikasi yang berukuran kecil dan juga dapat memberikan informasi tentang
struktur yang berdekatan dan membantu menentukan batas rinolit dengan struktur
sekitarnya yang telah menyatu. Pada pemeriksaan CT scan kepala tampak massa hiperdens
pada cavum nasi, pendesakan dan perluasan pada tulang sekitarnya.5

Gambar 12. CT-Scan yang menunjukan Gambaran Rhinolith


diantara Konka Inferior dan Septum 8
2.7 PENATALAKSANAAN
Operasi pengeluaran rhinolith, debridement, dan kontrol infeksi dengan
penggunaan antibiotik merupakan terapi pilihan untuk rhinolith. Operasi pengeluaran
rhinolith dapat dilakukan dengan menggunakan anestesi lokal atau anestesi umum. Jika
ukuran batu yang besar, permukaannya ireguler, dan mengenai konka nasalis inferior
sinistra, maka pasien harus menjalani operasi dengan menggunakan anestesi umum.
Rhinolith dikeluarkan dengan menggunakan forsep nasal. Kebanyakan rhinolith dapat
dikeluarkan melalui nares anterior. Ukuran massa yang besar perlu dihancurkan terlebih
dahulu dan dikeluarkan dalam bentuk potongan yang kecil. Jika massanya sangat besar,
keras, dan permukaannya ireguler, maka perlu dilakukan Rhinotomi lateral.8,11,13
Batu yang masih berukuran kecil dan memungkinkan untuk di angkat tanpa operasi
dapat dikeluarkan langsung endonasal dengan menggunakan alat pengait benda asing.
Jika ukuran batu besar harus dihancurkan dan fragmen akan diangkat keluar. Namun
jika ukuran batu sangat besar, mungkin diperlukan pembedahan radikal seperti kasus
yang dilaporkan oleh Abu Jaudeh (1951) dan Myerson (1928). Dewasa ini pengangkatan
batu juga bisa dilakukan dengan menggunakan alat endoskopik nasal rigid dengan
bantuan anastesi topikal.

Gambar 13. Berbagai Ukuran Massa Rhinolith 4


Gambar 14. Ukuran Rhinolith Besar yang
dihancurkan menjadi beberapa Fragmen 4

2. 8 KOMPLIKASI
Adanya rhinolith pada hidung dapat menyebabkan terjadinya sinusitis, perdarahan,
erosi pada septum nasi, sinus maksilaris dan palatum durum, bahkan dapat menyebabkan
perforasi.3,8,9

Gambar 15. Komplikasi Rhinolith yang


menyebabkan Erosi pada Septum Nasi 9
2.9 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding adalah :
a. Adanya gigi pada rongga hidung
Yaitu gigi rahang atas yang tumbuh ke dalam hidung karena ada yang
menghalangi pertumbuhan ke bawah dan jumlah gigi yang berlebih.3
b. Benda asing lain dalam cavum nasi
Benda asing yang sering ditemukan biasanya pada anak-anak. Anak-anak
cenderung memasukkan benda-benda kecil seperti manik-manik, kancing, karet
penghapus, kelereng, kacang-kacangan, dan lain-lain.3
c. Polip nasi
Polip nasi adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga
hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Keluhan
utamanya ialah hidung tersumbat dari ringan sampai berat, rhinorrhea mulai jernih
sampai purulen, hiposmia dan anosmia, dapat disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada
hidung disertai rasa sakit pada daerah frontal, gejala sekunder yang dapat timbul
ialah bernapas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan
kualitas hidup. 3

2.10 PROGNOSIS
Prognosis untuk rhinolith setelah pengangkatan rhinolith pada umumnya baik jika
dilakukan penanganan secara dini dan tepat.7
DAFTAR PUSTAKA

1. R Bhandari, TR Limbu, A. Ghimire. 2012. Journal of Chitwan Medical College. Vol 1(2):
65-66. Available online: www.cmc.edu.mp.

2. Hilger P. Penyakit Hidung. Dalam : Higler AB. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
ke-6.Philadelphia : Boeis Fundamental of OTOLARYNGOLOGY. 1997.p 201-239
3. Nizar NW, Mangunkusumo E. Polip Hidung. Dalam : Soepardi A, dkk, editors. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. p 97-99
4. Ghorayeb BY. Picture of Rhinolith (Nasal Calculus).In Otolaryngology.Houston.
Available from: http://www.ghorayeb.com/Rhinolith.html. Accessed: 10/05/2019.
5. Examination of the Nose - Anatomy of the Nose. Available from
:http://www.netterimages.com/product/978...13813.htm. Accessed: 10/05/2019
6. Netter's Head and Neck Anatomy for Dentistry. Available from
:http://www.netterimages.com/product/978...289.htm. Accessed: 10/05/2019
7. The Netter Collection of Medical Illustrations - Nervous, Part I - Anatomy and Physiology.
Available from: http://www.netterimages.com/product/978...v-95.htm. Accessed: 10/05/2019
8. Patil, Karthikeya, Mahima V Guledgud, Malleshi Suchettha N. Rhinoliths. Available
from :http://www.ijdr.in/article.asp?issn=0970-
9290;year=2009;volume=20;issue=1;spage=114;epage=116;aulast=Patil. Accessed:
10/05/2019
9. Ridder, Gerd J. The Rhinolith—A Possible Differential Diagnosis of a Unilateral Nasal
Obstruction. Available from: http://www.hindawi.com/journalc/cm/2010/845671.html.
Accessed: 10/06/2019
10. Soedarjatni, dr. Foetor ex nasi. Available from: http://www.ghorayeb.com/Rhinolith.html.
Accessed: 10/05/2019.
11. K. Arvind, K. Mallika. Endogenous Adult Rhinolith. 2014. Indian Journal of Basic and
Applied Medical Research. Vol 3: p517-520.
12. Ballenger, John Jacob, M.S,M.D. Epistaksis, Rinofima, Furunkulosis, Benda Asing di
Hidung, Rinolit, Atresia Koana. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher,
Edisi 13. 1994. P : 118-119.
13. Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.EGC

Anda mungkin juga menyukai