PENDAHULUAN
Rhinolith berasal dari bahasa Yunani ‘Rhino’ yang artinya hidung dan ‘lithos’ yang
artinya batu.1 Rhinolith, sesuai dengan pengertian tersebut, merupakan hasil proses lithiasis
atau timbunan batu pada hidung.2 Biasanya ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan THT
rutin atau karena gejala terkait seperti hidung tersumbat atau bau busuk yang persistent nasal
discharge yang biasanya unilateral.3 Benda asing yang tersisa di rongga hidung selama
beberapa tahun menyebabkan pembentukan rhinolith. Ini merupakan akumulasi dari kalsium,
zat besi, magnesium dan fosfor sekitar inti tengah yang kemudian semakin bertambah
ukurannya.3 Rinolit biasanya ditemukan di dasar hidung, sekitar pertengahan nares anterior dan
posterior.4
Kasus pertama Rhinolithiasis pertama kali dilaporkan pada tahun 1654 oleh Barthdinin.2
Sejak itu, lebih dari 600 kasus telah dilaporkan dalam literatur. Insidensnya adalah 1 dalam
setiap 10.000 pada pasien rawat jalan otolaryngo. Biasanya usia rentan untuk diagnosis adalah
antara 8 sampai dengan 25 tahun dan lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki.
Meskipun sebagian besar rhinolith terdeteksi pada orang dewasa muda, mereka dapat
ditemukan pada usia berapapun (6 bulan sampai 86 tahun).4
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os
palatum 4
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap
hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius
yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior 4
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid,
konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial 4
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka
inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media dan
inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior.
Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka
suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid,
sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila
bagian superior dan palatum 4
Gambar 3. Cavum nasi 2
Perdarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna,
di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang – cabang a.fasialis 4,5
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial
dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan
hidung) terutama pada anak 5,6
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi hingga ke intracranial 6
Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.
oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum
selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media 5,6
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung 2,3
Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi
penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk
resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri
melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal 5-7
Fisiologi sinus paranasalis
Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.
Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini
adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku
Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak
memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh Proetz
, bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak memiliki
rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari sinus
paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi yang
masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsi
apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka 6-8
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah
(1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati
pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus
pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara
total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan
kelenjar yang sebanyak mukosa hidung 6
(2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita
dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-
organ yang dilindungi 6
(3) Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna.6,7
(4) Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang
efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada
hewan-hewan tingkat rendah 6
2.3 EPIDEMIOLOGI
Rhinolith lebih sering ditemukan pada orang dewasa.Pada umur 15 tahun periode
pertumbuhan telah terbentuk untuk pembentukan rhinolith. Bartholin mengenalkan
pertama kali mengenai rhinolith pada tahun 1654. Sejak itu, lebih dari 600 kasus telah
dilaporkan dalam literature. Insidensnya adalah 1 dalam setiap 10.000 pada pasien rawat
jalan otolaryngo. Biasanya usia rentan untuk diagnosis adalah antara 8 sampai dengan 25
tahun dan lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki. Meskipun sebagian besar
rhinolith terdeteksi pada orang dewasa muda, mereka dapat ditemukan pada usia
berapapun (6 bulan sampai 86 tahun). 2,8-10
2.4 ETIOLOGI
Rhinolith terjadi karena adanya benda asing yang telah lama tinggal dalam hidung
(misalnya sejak kecil), kemudian terbungkus oleh endapan garam-garam kalsium atau
magnesium sebagai ikatan fosfat atau karbonat yang berasal dari lacrima. Kalsifikasi
benda asing di hidung dulunya dikenal dengan rhinolith palsu (false rhinoliths) atau
rhinolith benar (true rhinoliths). Saat ini, istilah-istilah ini telah digantikan oleh eksogen
dan endogen, tergantung apakah ada atau tidak ada inti. Rhinolith dapat terbentuk dari
bahan di luar tubuh manusia yang masuk ke dalam hidung dan yang tersisa di dalam rongga
hidung seperti batu berbentuk cherry, batu, nasal swab yang tertinggal, atau benda
semacam ini yang disebut eksogen. Rhinolith endogen adalah bahan-bahan yang
dikembangkan yang berasal di sekitar tubuh sendiri misalnya, gigi ektopik di sinus
maksilaris, disekat tulang, bekuan darah yang mengering di rongga hidung, dan lendir
mengeras. Sekitar 20% dari rhinolith berasal dari materi endogen. 9,10
2. 5 PATOGENESIS
Meskipun patogenesis tidak jelas, sejumlah faktor dianggap terlibat dalam
pembentukan rhinolith ini yaitu dengan masuknya benda asing dalam rongga hidung
kemudian terjadi pemadatan, peradangan akut atau kronis, obstruksi terjadi akibat
terhalangnya dan stagnasi mukus, serta pengendapan garam-garam mineral. Sekret hidung
menjadi bau karena memiliki kandungan kalsium dan / atau magnesium yang tinggi.
Sekresi tersebut harus terpapar dengan aliran udara dalam hidung untuk memusatkan pus
dan mukus yang menyebabkan terbentuknya endapan garam-garam mineral.
Perkembangan dan progresifitasnya terjadi bertahun-tahun.4
Pada umumnya rhinolith terdiri dari 90% bahan anorganik, dengan sisa 10% yang
terbuat dari bahan organik dimasukkan ke dalam lesi dari sekret hidung. Garam-garam
yang tidak larut dalam sekret hidung membentuk suatu kalsifikasi sebesar benda asing atau
bekuan darah yang tertahan lama. Sekret pada sinusitis kronik dapat mengawali
terbentuknya massa kalsifikasi dalam rongga hidung. Rhinolith ini terutama terbuat dari
fosfat dan kalsium karbonat. Kadang-kadang juga dibentuk oleh magnesium fosfat,
natrium klorida dan magnesium karbonat. Garam ini juga dapat berasal dari sekresi
1,2,7
mukosa hidung, air mata, dan eksudat inflamasi.
Gambar 6. Tumpukan Mukus yang Membentuk Rhinolith 7
Pada pemeriksaan foto polos kepala untuk evaluasi harus mencakup beberapa proyeksi
diambil dari sudut yang berbeda untuk mengevaluasi bentuk, ukuran, luas, lokasi, dan
hubungan dengan jaringan sekitarnya. Pada pemeriksaan foto polos kepala akan tampak
massa radioopak yang homogen atau heterogen dengan ukuran yang bervariasi
dan bentuknya tergantung dari asal nidusnya. Jika batunya memiliki densitas yang rendah
maka kemungkinan tidak dapat terlihat secara radiografi sampai terjadi
kalsifikasi.Terkadang densitas batu ini dapat melebihi densitas tulang di sekitarnya. Untuk
evaluasi maka diperlukan beberapa proyeksi dari sudut yang berbeda agar dapat dinilai
bentuk, ukuran, lokasi, dan hubungan dengan jaringan sekitarnya.5
Gambar 11. Foto X-ray yang Menunjukan densitas kalsifikasi irreguler Gambaran
Rhinolith 8
2. 8 KOMPLIKASI
Adanya rhinolith pada hidung dapat menyebabkan terjadinya sinusitis, perdarahan,
erosi pada septum nasi, sinus maksilaris dan palatum durum, bahkan dapat menyebabkan
perforasi.3,8,9
2.10 PROGNOSIS
Prognosis untuk rhinolith setelah pengangkatan rhinolith pada umumnya baik jika
dilakukan penanganan secara dini dan tepat.7
DAFTAR PUSTAKA
1. R Bhandari, TR Limbu, A. Ghimire. 2012. Journal of Chitwan Medical College. Vol 1(2):
65-66. Available online: www.cmc.edu.mp.
2. Hilger P. Penyakit Hidung. Dalam : Higler AB. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
ke-6.Philadelphia : Boeis Fundamental of OTOLARYNGOLOGY. 1997.p 201-239
3. Nizar NW, Mangunkusumo E. Polip Hidung. Dalam : Soepardi A, dkk, editors. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. p 97-99
4. Ghorayeb BY. Picture of Rhinolith (Nasal Calculus).In Otolaryngology.Houston.
Available from: http://www.ghorayeb.com/Rhinolith.html. Accessed: 10/05/2019.
5. Examination of the Nose - Anatomy of the Nose. Available from
:http://www.netterimages.com/product/978...13813.htm. Accessed: 10/05/2019
6. Netter's Head and Neck Anatomy for Dentistry. Available from
:http://www.netterimages.com/product/978...289.htm. Accessed: 10/05/2019
7. The Netter Collection of Medical Illustrations - Nervous, Part I - Anatomy and Physiology.
Available from: http://www.netterimages.com/product/978...v-95.htm. Accessed: 10/05/2019
8. Patil, Karthikeya, Mahima V Guledgud, Malleshi Suchettha N. Rhinoliths. Available
from :http://www.ijdr.in/article.asp?issn=0970-
9290;year=2009;volume=20;issue=1;spage=114;epage=116;aulast=Patil. Accessed:
10/05/2019
9. Ridder, Gerd J. The Rhinolith—A Possible Differential Diagnosis of a Unilateral Nasal
Obstruction. Available from: http://www.hindawi.com/journalc/cm/2010/845671.html.
Accessed: 10/06/2019
10. Soedarjatni, dr. Foetor ex nasi. Available from: http://www.ghorayeb.com/Rhinolith.html.
Accessed: 10/05/2019.
11. K. Arvind, K. Mallika. Endogenous Adult Rhinolith. 2014. Indian Journal of Basic and
Applied Medical Research. Vol 3: p517-520.
12. Ballenger, John Jacob, M.S,M.D. Epistaksis, Rinofima, Furunkulosis, Benda Asing di
Hidung, Rinolit, Atresia Koana. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher,
Edisi 13. 1994. P : 118-119.
13. Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.EGC