Anda di halaman 1dari 6

ABSTRAK

LATAR BELAKANG: Pneumonia aspirasi berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan,
namun masih sedikit data tentang aspirasi pneumonia pada pasien keracunan karbon monoksida yang
menyebabkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi prevalensi, dampak klinis, dan faktor
resiko untuk mengembangkan pneumonia aspirasi pada pasien dengan keracunan karbon monoksida dengan
hilangnya kesadaran.
METODE: Analisis retrospektif dari data rekam medic pasien dengan keracunan karbon monoksida dilakukan
pada Instalasi Gawat Darurat periode Januari 2008 - Desember 2015. Data yang digunakan adalah semua data
pasien dewasa yang mengalami keracunan karbon monoksida dengan kehilangan kesadaran.
HASIL: Pneumonia aspirasi meningkat sebanyak 103 (19,2%) pada 537 pasien. Hal ini terkait dengan
peningkatan penggunaan ventilator (52,4% vs 3,2%), lama perawatan di rumah sakit (median 3,6 hari sampai
1,3 hari) atau ([kisaran interkuartil], [2,1-5,1] sampai [0,6-2,1]), dan mortalitas di rumah sakit (5,8% vs 0,0%)
(semua nilai P <0,001). Terjadi perubahan status mental sejak pasien tiba kedatangan instalasi gawat darurat,
jumlah sel darah putih, dan peningkatan durasi paparan adalah independen faktor yang terkait dengan
pengembangan pneumonia aspirasi; odds ratio adalah 9,46 (kepercayaan 95% interval [CI] 4.92-18.19; P
<.001), 1.19 (95% CI 1.13-1.26; P <.001), dan 1.12 (95% CI 1.06-1.19; P <.001), masing-masing. Untuk status
mental yang menyakitkan atau tidak responsif dan jumlah sel darah putih> 12.000 / mm3, kemungkinannya
rasio meningkat hingga 17.75 (95% CI 10.65-29.59; P <.001).
KESIMPULAN: Prevalensi aspirasi pneumonia adalah 19,2% pada pasien keracunan karbon monoksida dengan
kehilangan kesadaran dan dikaitkan dengan hasil yang buruk. Selain itu, perubahan status mental pada
kedatangan departemen gawat darurat, jumlah sel darah putih, dan peningkatan durasi paparan secara
independen terkait dengan pengembangan pneumonia aspirasi
PENGANTAR
Menurunya Tingkat kesadaran pada pasien keracunanan berhubungan dengan peningkatan risiko
pneumonia aspirasi. Namun, kejadian pneumonia aspirasi bervariasi pada pasien yang keracunan akibat
penggunaan kelas terapi obat yang berbeda-beda. Laporan sebelumnya tentang keracunan mengungkapkan
bahwa obat hipnotik antikonvulsif dan sedatif adalah obat yang paling sering dikaitkan dengan peningkatan
angka pneumonia aspirasi. Kasus keracunan inhibitor kolinesterase juga berisiko tinggi pada pneumonia
aspirasi akibat hipersekresi cairan mukosa yaitu berkisar 26% -58% peningkatan kasus pneumonia.
Dalam kasus keracunan karbon monoksida, penurunan tingkat kesadaran sering terlihat, karena hipoksia
jaringan, dan menjadi penyebab kematian paling umum terkait keracunan. Namun, beberapa penelitian telah
meneliti tentang prevalensi, hasil dan faktor risiko aspirasi pneumonia setelah keracunan karbon monoksida
akut.
Kami berhipotesis bahwa aspirasi pneumonia (1) adalah umum, karena tingginya risiko aspirasi dari
penurunan tingkat kesadaran sampai pada terpapar karbon monoksida; (2) memiliki dampak prognostik; dan
(3) bisa diprediksi oleh variabel klinis. Berdasarkan rumusan masalah tersebut sehingga peneliti melakukan
penelitian observasional retrospektif untuk mengevaluasi prevalensi, dampak klinis, dan risiko faktor
pneumonia aspirasi pada pasien keracunan karbon monoksida dengan kehilangan kesadaran sementara atau
terus-menerus.

BAHAN DAN METODE


Desain Studi
Penelitian ini dilakukan kepada 2.800 tempat tidur di Instalasi Gawat Rarurat, perawatan tersier (Rumah
sakit khusus), rumah sakit yang berafiliasi dengan Universitas di Seoul, Korea. Semua data yang digunakan
adalah data pasien dewasa (> 18 thn) yang keracunan karbon monoksida dengan kehilangan kesadaran
sementara atau terus-menerus yang masuk ke IGD sejak tanggal 1 Januari 2008 - 31 Desember 2015, data
keracunan karbon monoksida dikumpulkan sejak 2008. Dalam kasus skor "waspada" atau "verbal" pada skala
Alert / Verbal / Painful / Unresponsive (AVPU) skala dan waktu pada waktu kedatnagn ke IGD. Semua Paiesn
dan keluarga pasien seelumnya telah ditanyakan apakah pasien telah mengalami kehilangan kesadaran baik
sementara atau terus menerus. Skor “menyakitkan” atau “tidak responsif” pada skala AVPU yang
berhubungan dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS) skor 3-8 dianggap kehilangan kesadaran yang terus
menerus.”
Pasien dikeluarkan (Eksklusi) jika :
(1) Usia pasien kurang dari 18 tahun
(2) Memiliki keracunan karbon monoksida yang disebabkan oleh kebakaran atau api
(3) Pasien rujukan dari RS lain atau
(4) Catatan rekam medis pasien tidak lengkap.
Registri keracunan karbon monoksida secara retrospektif ditinjau untuk mengidentifikasi pneumonia
aspirasi. Pneumonia aspirasi didefinisikan sebagai temuan klinis (demam dan sekret purulen dan suara
pernapasan abnormal yang menunjukkan konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik) dan temuan radiologis
(infiltrat pada radiografi toraks) yang menandakan pneumonia dalam interval waktu 48 jam pertama.

SIGNIFIKANSI KLINIS
 Prevalensi pneumonia aspirasi adalah 19,2% pada pasien keracunan CO dengan kehilangan kesadaran dan
berhubungan dengan hasil yang buruk. Selain itu, perubahan status mental pada kedatangan IGD , jumlah
sel darah putih, dan peningkatan paparan durasi secara independen terkait dengan pengembangan
pneumonia aspirasi.
 Skrining aktif pada pasien berisiko tinggi untuk dewasa dan penatalaksanaan pneumonia aspirasi memiliki
implikasi signifikan yang potensial untuk hasil yang baik.

Pengumpulan data
Pengelompokkan pasien berdasarkan karakteristik demografi dan klinis yaitu usia, jenis kelamin,
penyebab keracunan karbon monoksida, durasi paparan, interval dari keracunan sampai kedatangan IGD,
penggunaan bersamaan obat penenang hipnotik dan/atau alkohol, penyakit bawaan, status mental pada saat
tiba/masuk di IGD , hipotensi, dan temuan laboratorium awal, dimasukkan sebagai pasien dengan keracunan
karbon monoksida.
Penyebab keracunan karbon monoksida "disengaja" didefinisikan sebagai keracunan karbon monoksida
setelah membakar arang di ruang tertutup untuk upaya bunuh diri. Status mental awal pasien ditentukan oleh
skala AVPU saat tiba di IGD. Status mental yang berubah pada saat kedatangan IGD didefinisikan sebagai
"respon nyeri" atau "tidak responsif" pada skala AVPU, yang mencerminkan skor GCS <8 poin. Keadaan
hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik <90 mm Hg.
Pasien penelitian diklasifikasikan menjadi 2 kelompok:
1. Kelompok pneumonia aspirasi didefinisikan sebagai pasien yang memiliki pneumonia aspirasi dalam 48
jam pertama keracunan,
2. Kelompok pneumonia non aspirasi didefinisikan sebagai pasien yang mengalami pneumonia aspirasi lebih
dari 48 jam pertama keracunan. Hasil klinis adalah mortalitas di rumah sakit, penggunaan ventilator, jam
penggunaan ventilator, dan lama rawat di rumah sakit. Pengumpulan data dilakukan pada 2 orang dokter
yang bertugas di IGD menggunakan data predtruksi bentuk abstraksi. Setiap formulir abstraksi data
diverifikasi untuk kelengkapan dan akurasi oleh salah satu dari 2 dokter tersebut.

Analisis statistik
Data disajikan sebagai rentang median dan interkuartil untuk variabel kontinyu dan sebagai frekuensi
absolut atau relatif untuk variabel kategori. Uji Pearson χ2 atau tes Fisher digunakan untuk membandingkan
variabel kategori.
Variabel kontinyu dianalisis untuk distribusi normal dengan uji Kolmogorov-Smirnov, dan kemudian tes t
Student atau Mann Whitney U test dilakukan, tergantung pada distribusi. Dalam analisis primer kelompok
aspirasi pneumonia dibandingkan dengan kelompok pneumonia aspirasi, dan kemudian analisis regresi logistik
multivariat digunakan untuk mengidentifikasi faktor independen yang terkait dengan pengembangan
pneumonia aspirasi. Umur, jenis kelamin, dan variabel yang menampilkan nilai P ≤ 0.10 menurut analisis
univariat dimasukkan dalam analisis regresi multivariat. Pemodelan bertahap digunakan untuk menyaring
variabel potensial untuk dimasukkan dalam model akhir. Hasil analisis regresi logistik multivariat dilaporkan
sebagai odds ratios (OR) dan 95% interval kepercayaan (CI). Nilai signifikat jika nilai P >0,05. Semua analisis
statistik dilakukan menggunakan PASW Statistics

HASIL
Berdasarkan penelitian terhadap 537 pasien dalam penelitian ini, ditemukan sebanyak 103 (19,2%)
perkembangan/peningkatan pneumonia aspirasi. Data demografi dan Karakteristik klinis pasien dapat dilihat
dalam Tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasrkan data demografi dan Karakteristik klinis pasien
didapatkan Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal usia, jenis kelamin, interval waktu sampai pasien
tiba di IGD, coingestion, atau penyakit bawaan pada 2 kelompok variabel. Namun, ada perbedaan yang
signifikan dalam penyebab keracunan karbon monoksida, durasi paparan, status mental pada kedatangan IGD,
tekanan darah sistolik, keadaan hipotensi, tekanan darah diastolik, dan denyut jantung pada antara 2
kelompok variabel.
Temuan hasil laboratorium dan hasil klinis pasien studi dibandingkan pada Tabel 2. Pasien dengan
pneumonia aspirasi secara signifikan memiliki jumlah sel darah putih yang lebih tinggi, neutrofil yang lebih
tinggi, dan tingkat protein C-reaktif yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki
pneumonia aspirasi (nilai P <0,001).
Pneumonia aspirasi dikaitkan dengan peningkatan penggunaan ventilator (52,4 % sampai 3,2%; dengan
nilai P <0,001), peningkatan durasi penggunaan ventilator (26,5 sampai 7,0 jam; dengan nilai P <0,001) dan
lama perawatan di Rumah sakit (3,6 sampai 1,3 hari; dengan nilai P <.001), dan tingginya angka kematian di
rumah sakit (0,0% sampai 5.8%; dengan nilai P <0,001).
Usia, jenis kelamin, dan semua variabel (penyebab keracunan karbon monoksida, durasi paparan,
perubahan status mental pada saat kedatangan IGD, keadaan hipotensi, darah putih jumlah sel, neutrofil, dan
protein C-reaktif) menampilkan nilai P ≤ 0.10 dalam analisis univariat dimasukkan dalam analisis regresi
logistik multivariat. Variabel status mental “respon nyeri atau tidak responsif” pada saat tiba di IGD , jumlah
sel darah putih, dan durasi paparan adalah variabel independen yang terkait dengan perkembangan aspirasi
pneumonia, dengan odds ratio 9.46 (95% CI; dengan nilai P < 0.001), 1.19 (95% CI; dengan nilai P < 0.001), dan
1.12 (95% CI; dengan nilaui P < 0,001), Selain itu, untuk pasien dengan status mental “respon atau tidak
responsif” sejak tiba di IGD dan peningkatan jumlah sel darah putih (> 12.000/mm3), odds rasio meningkat
hingga 17.75 (95% CI; dengan nilai P < 0.001) (lihat Tabel 3). Isolat bakteri diidentifikasi pada angka 15 (14,6%)
dari 103 pasien dengan pneumonia aspirasi (lihat Tabel 4).
Pasien yang teridentifikasi adanya Organisme lain adalah:
- Staphylococcus aureus yang sensitif terhadap methicillin sebanyak 4 kasus, atau 26,7%,
- Klebsiella pneumoniae sebanyak 3 kasus, atau 20,0%,
- Escherichia coli sebanyak 3 kasus, atau 20,0%,
- Klebsiella oxytoca sebanyak 2 kasus atau 13,3%,
- Staphylococcus aureus resisten methicillin sebanyak 1 kasus atau 6,7%,
- Streptococcus pneumoniae sebanyak 1 kasus, atau 6,7%, dan
- Staphylococcus warnei sebanyak 1 kasus, atau 6,7%.

DISKUSI
Dalam penelitian ini kami mengamati bahwa prevalensi pneumonia aspirasi adalah 19,2% pada pasien
dengan keracunan karbon monoksida yang mengalami kehilangan kesadaran sementara atau terus-menerus,
dan pneumonia aspirasi dikaitkan dengan hasil yang buruk. Selain itu, perubahan status mental pada
kedatangan di IGD, jumlah sel darah putih, dan peningkatan durasi paparan sebagai variable independen
terkait dengan pengembangan pneumonia aspirasi.
Karbonmonoksida menyebabkan hipoksia jaringan dengan membentuk karboksi-hemoglobin dan
menggeser kurva disosiasi oksi-hemoglobin ke kiri. Paparan karbonmonoksida juga menyebabkan peradangan
melalui berbagai jalur independen dari jalur yang menghasilkan hipoksia jaringan, mengakibatkan cedera
neurologis dan jantung. Oleh karena itu, paparan karbonmonoksida yang parah dapat menyebabkan
hilangnya kesadaran dan akibatnya, risiko tinggi pneumonia aspirasi pada pasien dengan keracunan
karbonmonoksida. Dalam penelitian ini, prevalensi pneumonia aspirasi pada pasien dengan keracunan
karbonmonoksida adalah 19,2%. Tidak ditemukan penelitian yang serupa dalam literatur mengenai prevalensi
pneumonia aspirasi pada pasien dengan keracunan karbonmonoksida. Al-Moamary dkk. mengevaluasi
komplikasi dari keracunan karbonmonoksida dan melaporkan bahwa pneumonia sebagai salah satu
komplikasi, terjadi pada 42% dari 24 pasien dengan keracunan karbo monoksida. Namun, temuan ini terbatas
pada populasi penelitian yang kecil dan heterogen. Meskipun kejadian pneumonia aspirasi setelah keracunan
bervariasi tergantung pada kelas obat yang menyebabkan keracunan, kejadian faktor risiko dan strategi
pengobatan, tingkat umum pneumonia aspirasi dilaporkan berkisar antara 11% hingga 29% pada pasien over-
dosisi yang tidak dipilih. Prevalensi aspirasi pneumonia pada populasi kami berada dalam kisaran yang
ditemukan di pasien overdosis; patofisiologi pengembangan pneumonia aspirasi dalam keracunan
karbonmonoksida tampaknya tidak berbeda pada pasien de yang menggunakan obat golongan sedatif,
hipnotik, atau pasien yang overdosis opioid.
Menurut literatur, pneumonia aspirasi berhubungan dengan hasil yang buruk, termasuk insiden yang
lebih tinggi dari serangan jantung, peningkatan perawatan unit perawatan intensif dan lama rawat inap di
rumah sakit, dan peningkatan mortalitas pada pasien dengan overdosis obat. Studi kami menunjukkan bahwa
aspirasi pneumonia setelah keracunan karbon monoksida juga terkait dengan hasil yang buruk, termasuk
peningkatan penggunaan ventilator, peningkatan durasi penggunaan ventilator dan rawat inap di rumah sakit,
dan mortalitas di rumah sakit yang lebih tinggi. Mengingat hasil ini dalam kasus keracunan karbon monoksida
dengan kehilangan kesadaran, pengenalan dini diperlukan, dan pengobatan agresif setelah skrining aktif untuk
pneumonia aspirasi akan menjadi penting untuk mencapai hasil pasien yang baik
Studi mengidentifikasi 3 faktor yang merupakan prediktor penting radang paru aspirasi pasca-karbon
monoksida. Mereka mengubah status mental pada saat kedatangan departemen gawat darurat, jumlah sel
darah putih, dan peningkatan durasi paparan karbon monoksida. Juga diketahui bahwa kejadian tersebut
aspirasi pneumonia meningkat dengan skor GCS ≤8 poin pada pasien dengan overdosis. Meskipun
departemen gawat darurat kami menggunakan skala AVPU, bukan GCS untuk menilai tingkat kesadaran
pasien, telah diketahui bahwa nilai AVPU sesuai dengan skor GCS dari 15, 13, 8, dan 3, masing-masing, pada
pasien yang teracuni. Mirip dengan penelitian sebelumnya pasien overdosis obat, status mental awal pasien
dengan keracunan karbon monoksida pada saat kedatangan di departemen darurat, diklasifikasikan menurut
skor “menyakitkan” yang konsisten dengan skor <8 pada GCS. , secara independen terkait dengan
pengembangan pneumonia aspirasi dalam penelitian ini. Jumlah karbon monoksida yang diserap ke dalam
tubuh manusia tergantung pada durasi paparan, konsentrasi karbon monoksida yang dihasilkan dari sumber
dan oksigen di lingkungan, dan ventilasi menit. Secara klinis tidak mungkin untuk menentukan konsentrasi
karbon monoksida dan oksigen di dalam tubuh. lingkungan atau ventilasi menit pada saat paparan. Namun,
dimungkinkan untuk menentukan durasi paparan dari pasien, wali yang menyertai, atau akun saksi. Dengan
demikian, secara klinis, hubungan antara durasi paparan karbon monoksida dan risiko aspirasi, dan akibatnya
risiko pneumonia aspirasi, dapat dipertimbangkan. Dalam penelitian ini durasi paparan karbon monoksida
adalah salah satu faktor independen yang terkait dengan pengembangan pneumonia aspirasi. Selain itu,
kombinasi yang menyakitkan atau tidak responsif status mental pada kedatangan departemen gawat darurat
dan peningkatan jumlah sel darah putih (> 12.000 / mm3) paling relevan dengan perkembangan pneumonia
aspirasi. Untuk pasien yang berisiko aspirasi pneumonia sekitar waktu intubasi endotrakeal, penelitian yang
parah menunjukkan bahwa kursus singkat (≤24 jam) antibiotik profilaksis dapat meningkatkan risiko
pneumonia terkait ventilator berikutnya. Oleh karena itu, antibiotik empiris awal dapat dipertimbangkan di
pasien-pasien ini berisiko tinggi untuk pneumonia aspirasi.
Telah ada perubahan signifikan dalam mikrobiologi pneumonia aspirasi selama 40 hingga 50 tahun
terakhir, mengungkapkan bahwa pentingnya bakteri anaerob dalam pneumonia aspirasi memudar dan prinsip
nosokomial khas mikrobiologi berlaku untuk pasien dengan pneumonia aspirasi jika makro aspirasi terjadi
setelah rawat inap. Bakteriologi dalam penelitian ini mirip dengan yang baru-baru ini studi, menunjukkan
bahwa aerob sebagai patogen aspirasi pneumonia memainkan peran yang lebih penting daripada anaerob.
Beberapa keterbatasan penelitian kami harus dijelaskan. Penelitian ini bersifat retrospektif, membuat
temuan kami rentan terhadap bias yang umum dibahas dan faktor pembaur, meskipun ini adalah studi
terbesar data yang dikumpulkan dari registri keracunan karbon monoksida prospektif. Selain itu, pasien dalam
penelitian ini dipilih dari satu institusi, yang membatasi penerapan temuan kami ke institusi lain atau populasi
pasien, seperti pasien dengan keracunan karbon monoksida tetapi tanpa kehilangan kesadaran.
Selain itu, kasus keracunan karbon monoksida yang terkait dengan kebakaran dikeluarkan dari
penelitian ini, karena situasi tambahan seperti keracunan sianida atau cedera inhalasi juga harus
dipertimbangkan. Dengan demikian, hasil kami tidak dapat berlaku untuk pasien dengan keracunan karbon
monoksida setelah kebakaran. Akhirnya, semua pasien dengan keracunan karbon monoksida yang disengaja
dalam penelitian kami adalah percobaan bunuh diri, sehingga durasi paparan mungkin tidak akurat dan
mungkin bertanggung jawab untuk lebih banyak kematian pada kasus karbon monoksida yang disengaja.
Kesimpulannya, kami mengamati bahwa prevalensi pneumonia aspirasi adalah 19,2% pada pasien
dengan keracunan karbon monoksida yang memiliki kehilangan kesadaran sementara atau persisten, dan
pneumonia aspirasi dikaitkan dengan hasil yang buruk. Selain itu, perubahan status mental pada kedatangan
IGD, jumlah sel darah putih, dan peningkatan durasi paparan secara independen terkait dengan
pengembangan pneumonia aspirasi. Hasil ini menunjukkan bahwa skrining aktif pasien risiko tinggi untuk
pengenalan dini dan manajemen pneumonia aspirasi memiliki implikasi yang signifikan untuk hasil yang baik
pada pasien keracunan karbonmonoksida yang mengalami hilang kesadaran. Pengamatan ini menitikberatkan
akan kebutuhan uji klinis prospektif di masa depan, sehingga dampak terapi antibiotik pada terjadinya
pneumonia aspirasi dapat diketahui.

Anda mungkin juga menyukai