Anda di halaman 1dari 75

TESIS

PROFIL SITOKIN INTERLEUKIN-8 (IL-8) SERUM PADA IBU


INFERTIL DENGAN ATAU TANPA ENDOMETRIOSIS

THE PROFILE OF INTERLEUKIN-8 (IL-8) CYTOKINE SERUM IN


INFERTILE MOTHERS WITH OR WITHOUT ENDOMETRIOSIS

Disusun dan diajukan oleh

Hasnaeni

PROGRAM STUDI KEBIDANAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
TAHUN 2017

1
TESIS

PROFIL SITOKIN INTERLEUKIN-8 (IL-8) SERUM PADA IBU


INFERTIL DENGAN ATAU TANPA ENDOMETRIOSIS

THE PROFILE OF INTERLEUKIN-8 (IL-8) CYTOKINE SERUM IN


INFERTILE MOTHERS WITH OR WITHOUT ENDOMETRIOSIS

Disusun dan diajukan oleh

HASNAENI

PROGRAM STUDI KEBIDANAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
TAHUN 2017

2
ABSTRAK

HASNAENI. Profil Sitokin Interleukin-8 (IL-8) Serum pada Ibu Infertil


dengan atau tanpa Endometriosis (dibimbing oleh Muh. Nasrum Massi
dan Werna Nontji)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar


interleukin-8 serum dengan infertil dengan endometriosis dan hubungan
kadar interleukin-8 serum dengan infertil dengan endometriosis dan infertil
tanpa endometriosis.

Metode yang digunakan pada penelitiani ni yaitu cross sectional


untuk mengukur kadar interleukin-8 serum pada sampel penelitian.
Sampel penelitian adalah ibu infertil dengan endometriosis sebanyak 21
orang dan infertil tanpa endometriosis sebanyak 21 orang dan memenuhi
kriteria inklusi. Kemudian dilakukan pengambilan darah sebanyak 3cc
untuk dilakukan pemeriksaan kadar interleukin-8 serum dengan metode
ELISA.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kadar Interleukin-8


serum kelompok infertil dengan endometriosis 324.1751±99.97643
sedangkan rerata kadar interleukin-8 serum pada infertile tanpa
endometriosis 260.3062±70.76830. Penentuan cut off point berdasarkan
uji kurva ROC yaitu 315,4650 pg/mL. Kadar interleukin-8 serum lebih
tinggi pada ibu infertil dengan endometriosis dibading pada infertil tanpa
endometrisos. Terdapat hubungan kadar interleukin-8 serum dengan
infertil dengan endometriosis dan infertil tanpa endometriosis dengan nilai
p 0.001 α<0.05).
Kata kunci : Infertil, Endometriosis, Interleukin-8.

4
ABSTRACT

HASNAENI. Profile of Interleukin-8 (IL-8) Serum Cytokine in Infertile


Mother with or without Endometriosis (guided by Muh Nasum Massi and
Werna Nontji)

This study aims to determine the difference between serum interleukin-8


and infertile levels with endometriosis and serum interleukin-8 serum
association with infertile with endometriosis and infertile without
endometriosis.

The method used in this research is cross sectional to measure serum


interleukin-8 level in the research sample. The samples were infertile
mother with endometriosis as many as 21 people and infertile without
endometriosis as many as 21 people and meet the inclusion criteria. 3c
blood sampling was then performed for serum interleukin-8 levels with
ELISA method.

The results showed that the mean of interleukin-8 serum infertile group
with endometriosis 324.1751 ± 99.97643 while mean serum interleukin-8
level in infertile without endometriosis 260.3062 ± 70.76830. Determination
of cut off point based on ROC curve test is 315,4650 pg / mL. Serum
interleukin-8 levels were higher in infertile mothers with endometriosis
dibading on infertile without endometrisos. There was association of serum
interleukin-8 with infertile with endometriosis and infertile without
endometriosis with p value 0.001 α <0.05

Keywords: Infertil, Endometriosis, Interleukin-8.

5
PRAKATA

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuahan Yang Maha

Kuasa yang senantiasa melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat

merampungkan Tesis ini dengan judul ―Profil Sitokin Interleukin-8 Serum

Pada Ibu Infertil dengan Atau tanpa Endometriosis‖guna memenuhi syarat

dalam menyelesaikan pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas

Hasanuddin progam studi megister kebidanan.

Penulis tesis ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya

bantuan dari berbagai pihak, baik berupa data, bimbingan, petunjuk,

nasehat maupun fasilitas lainnya yang telah penulis pergunakan dalam

menyusun tesis ini. Atas semuanya itu penulis mengucapkan banyak

terima kasih, semoga amal kebijakan bapak/ibu dan saudara bernilai

pahala dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat, penulis

menyampaikan. Terima Kasih yang tak terhingga kepada:

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina, MA, sebagai Rektor Universitas Hasanuddin

yang telah memberikan kesepatan kepada saya untuk mengikuti

pendidikan program Megister di Universitas Hasanuddin.

2. Prof. Dr. Muhammad Ali, SE, MS., selaku Dekan Sekolah Pasca

Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar beserta staff.

3. Prof. Dr. dr. Suryani As’ad., M.Sc sel kebidanan, Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin

6
4. Prof. Dr. Muh. Nasrum Massi, PhD dan Dr. Werna Nontji, S.Kp.,

M.Kep, sebagai Dosen Pembimbing yang tidak pernah lelah

meluangkan waktu dan penilaian di sela-sela kesibukan untuk

membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penelitian ini dapat

selesai.

5. Dr. dr. Sarvianti, M.Kes, Dr. Dr Saidah, dan Dr. dr. Burhanuddin

bahar, selaku penguji yang senantiasa memberi masukan dan saran

kepada peneliti demi kesempurnaan tesis ini

6. Direktur RSUD Syekh Yusuf Gowa yang telah memberikan Izin

penelitain dan Informasi yang dibutuhkan selama penulisan tesis ini.

7. Terkhusus untuk keluargaku tercinta suami Henry,SE dan anak-anak

serta yang saya hormati ayahanda H. H yang senantiasa mendukung

dan mendoakan kesuksesan penulis dan

tak lupa kepada saudara saudari saya tercinta yang memberikan

motivasi kepada penulis saat mengerjakan tesis ini. Semoga Allah

SWT senantiasa memberikan rahmat, keselamatan, kesehatan yang

tak terhingga baginya..

8. Kepada rekan-rekan mahasiswa Magister Kebidanan Angkatan 4

yang telah memberikan bantuan dan masukan serta dukungan selama

proses perkuliahan sampai pada saat penyusunaan tesis ini

9. Dan segenap keluarga besar STIKES Nani Hasanuddin Makassar.

Penulis menyadari bahwa penulisan proposal ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu penulis masih mengharapkan saran dan

7
kritik yang sifatnya membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan

tulisan ini selanjutnya. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi

pembacanya terkhususnya lagi bagi diri penulis sendiri. Amin.

Makassar, 2017

Penulis

8
DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL ..................................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... ii

PRAKATA ................................................................................................ iii

DAFTAR ISI .............................................................................................. v

DAFTAR TABEL .................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR .............................................................................. viii

DAFTAR SINGKATAN........................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang .............................................................................. 1

b. Rumusan Masalah ........................................................................ 5

c. Tujuan penelitian ........................................................................... 6

d. Manfaat Penelitian ........................................................................ 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

a. Tinjauan tentang Infertil................................................................ 8

b. Tinjauan tentang Endometriosis ...............................................24

c. Tinjauan tentang Interleukin-8...................................................48

d. Hubungan interleukin-8, Infertile dan Endometriosis ............51

e. Penelitian Terkait ........................................................................55

9
f. Kerangka Teori .............................................................................56

g. Hipotesis .......................................................................................57

h. Kerangka Konsep........................................................................58

BAB III METODE PENELITIAN

a. Jenis Penelitian ...........................................................................59

b. Lokasi dan Waktu penelitian .....................................................59

c. Populasi dan Sampel ..................................................................59

d. Instrumen Penelitian dan Prosedur Pengumpulan Data ......61

e. Defenisi Oprasional ....................................................................63

f. Alur Penelitian ...............................................................................65

g. Analisis da Pengolahan Data ....................................................66

h. Etika Penelitian ............................................................................66

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Hasil ..............................................................................................70

b. Pembahsan ..................................................................................77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan ..................................................................................86

b. Saran .............................................................................................86

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

10
DAFTRA TABEL

Tabel 2.1. Jurnal Penelitian Terkait .....................................................55

Tabel 2. 2. Defenisi Oprasional ............................................................63

Table 4.1. Distribusi Karakteristik Sampel Penelitian .......................71

Tabel 4.2. Rerata umur , Lama infertil, Dismenore, dan Siklus haid pada

kelompok Ibu Infertil dengan Endometriosis dan ibu Infertil tanpa

Endometriosis..........................................................................................72

Tabel 4.3. Frekuensi berdasarkan Kadar Interleukin-8 ....................73

Tabel 4.4 Perbedaan Kadar rerata Interleukin-8 Serum pada kelompok ibu

Infertil dengan Endometriosis dan kelompok Infertile Tanpa

Endometriosis..........................................................................................74

Tabel 4.5 : Hubungan kadar Interleukin-8 serum pada ibu Infertil dengan

Endometriosis dan tanpa Endometriosis ............................................76

11
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Patogenesis Endometriosis ...........................................28

Gambar 4.3. Boxplot Kadar Interleukin-8 pada infertil dengan

endometriosis dan tanpa endometriosis .............................................72

12
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

1. Hasil SPSS

2. Lembar master tabel

3. Lembar penjelasan dan persetujuan responden

4. Lembar observasi

5. Lembar Pengajuan Judul

6. Lembar persetujuan etik

7. Pengajuan ijin penelitian

8. Lembar rekomendasi penelitian

9. Surat Keterangan Penelitian

10. Lembar persetujuan menjadi responden (Informed Concent)

11. Lembar peminjaman laboratorium

12. Lembar keterangan pengambilan data


DAFTAR SINGKATAN

CA : Cancer Antigen

CAMs : Cell Adhesion Molecules

ELISA : Enzyme-Linked Immunosorbent Assay

FIV : Fertilisasi In Vitro

FSH : Follicle Stimulating Hormone

HSG : Histerosalpingografi

IIU : Inseminasi Intra Uterin

IL : Interleukin

KS : Klomifen Sitrat

LH : Luteinizing Hormone

LOD : Laparaskopi Ovarium Driling

LUF : Luteinized Unruptured Follicle

MCP-1 : Monocyte Chemotactic Protein-1

mL : Mililiter

MPA : Medroksi Gesteron Asetat

MRI : Magnetic Resonance Imaging

NK : Natural Killer

NSFG : National Survey Of family Growth

OAINS : Obat Anti Inflamasi Non Steroid

pH : Potential of Hydrogen

RANTES : Normal T-cell Expressed, and Secreted

RSPTN : Rumah Sakit Pendidikan Tinggi Negri

14
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah

SPSS : Statistical Package for Social Science

TGF-β : Transformi Growth Factor-β

TNF-α : Tumor Necrus Factor-α

UNHAS : Universitas hasanuddin

USG : Ultrasonography

WHO : World Health Organization

15
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah kesuburan dan ketidaksuburan atau infertil merupakan

masalah yang cukup sensitif bagi pasangan suami istri yang sulit

mempunyai anak. Infertil (infertility) atau ketidaksuburan adalah keadaan

di mana seseorang tidak dapat hamil secara alami atau tidak dapat

menjalani kehamilannya secara utuh. Defenisi standar infertil adalah

kondisi yang menunjukkan tidak terdapatnya pembuahan dalam waktu

satu tahun setelah melakukan hubungan seksual tanpa perlindungan

kontrasepsi (Djuwantono, 2008).

Infertil merupakan kondisi yang dialami oleh pasangan suami istri

yang telah menikah minimal 1 tahun, melakukan hubungan sanggama

teratur tanpa kontrasepsi, namun tidak berhasil memperoleh kehamilan.

(Sarwono, 2008)

Penyebab infertil pada perempuan di antaranya, adalah: faktor

Tuba fallopi (saluran telur) 36%, gangguan ovulasi 33% dan endometriosis

30. Hal ini berarti sebagian besar masalah infertil pada perempuan

disebabkan oleh gangguan pada organ reproduksi atau karena gangguan

proses ovulasi. diperkirakan 8-12 % pasangan yang mengalami masalah

infertil selama masa reproduktif mereka.

16
Infertil terjadi pada banyak pasangan di seluruh dunia, yaitu

sebanyak 50 juta hingga 80 juta pasangan dengan usia wanita yang masih

subur. World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 8-10%

pasangan usia subur mengalami masalah kesuburan. Di Indonesia, pada

tahun 2007, dari sekitar 30 juta pasangan usia subur terdapat 3-4, 5 juta

atau sekitar 10-15 % pasangan yang memiliki problem kesuburan. (WHO

Tahun 2011).

Kelainan mekanis yang menghambat pembuahan juga dapat

menyebabkan infertil, kelainan tersebut meliputi kelainan tuba,

endometriosis, stenosis kanalis servikalis atau hymen, fluor albus, dan

kelainan rahim. Kelainan anatomis seperti kelainan pada tuba, disebabkan

adanya penyempitan, perlekatan maupun penyumbatan pada saluran

tuba. Kelainan rahim diakibatkan kelainan bawaan rahim, bentuknya yang

tidak normal maupun ada penyekat, serta endometriosis berat dapat

menyebabkan gangguan pada tuba, ovarium, dan peritoneum

(Djuwantono, 2010).

Prevalensi faktor penyebab infertil dari faktor laki-laki 40%, dari

faktor perempuan 40% dan 20% dari faktor lain. Faktor-faktor yang

melibatkan gangguan bawaan, hormon, morfologi dan Imunologi.

Gangguan utama yang terlibat dalam infertil termasuk patologis

spermiogram, masalah ovulasi/anovulation, penyakit tuba

adhesi/endometriosis.

17
Di Indonesia ditemukan 20%-40% wanita infertil yang disebabkan

endometriosis. Prevalensi diperkirakan mengenai 6-10% populasi wanita

umum dan 35-50% pasien mengalami rasa nyeri dan atau infertilitas

(Charles dkk., 2009). Prevalensi dan insiden yang sesungguhnya dari

endometriosis di populasi umum tidak diketahui dengan pasti. Salah satu

faktor yang menyebabkan sulitnya diketahui angka kejadian endometriosis

karena kepastian diagnosisnya membutuhkan pemeriksaan laparoskopik

(Jacoeb dkk., 2009). Preciado Ruiz dkk pada tahun 2005 meneliti wanita

infertil, endometriosis ditemukan pada usia 30,3 ± 3,9 tahun sedangkan

angka kejadian endometriosis pada 197 wanita infertil sebanyak 68 orang

(34,5%) (Preciado et al., 2005). Endometriosis adalah implan jaringan (sel-

sel kelenjar dan stroma) abnormal mirip endometrium (endometrium like

tissue) yang tumbuh di sisi luar kavum uterus, dan memicu reaksi

peradangan menahun (Farah, 2006). Endometriosis adalah penyakit jinak

yang didefinisikan sebagai adanya jaringan yang terdiri dari kelenjar dan

stroma endometrium ektopik atau di luar dari kavum uteri dan

dihubungkan dengan nyeri pelvik dan infertile. (Arya p, 2005)

Berdasarkan data yang diperoleh dari RSUD Syekh Yusuf

Kabupaten Gowa pada tahun 2015 terdapat 23 ibu infertil dan 20

diantaranya menderita endometriosis.

Penanganan infertil pada penderita endometriosis dengan teknik

fertilisasi in vitro merupakan penanganan terpilih saat ini namun memberi

18
hasil yang rendah, sekitar 20 –25 % dan membutuhkan biaya yang cukup

besar. Beban biaya dirasakan sangat berat oleh penduduk negara yang

sedang berkembang seperti Indonesia. Rendahnya angka keberhasilan

hamil pada penderita infertil yang disertai endometriosis dikarenakan

mekanisme infertil pada endometriosis belum terungkap dengan jelas.

Infertil yang disebabkan oleh endometriosis dikaitkan dengan

proses inflamasi yang terjadi pada endometriosis sehingga dapat

menyebabkan gangguan pada fungsi tuba fallopian, menurunnya

reseptivitas endometrium, mengganggu perkembangan oosit dan embrio.

Sitokin pro inflamsi yang terkait dengan endometriosis berasal dari

makrofag peritoneal yang aktif. Makrofag yang aktif menghasilkan

beberapa diantaranya interleukin-8. interleukin-8 adalah sitokin yang

menginduksi kemotaksis neutrofil dan merupakan agen angiogenik kuat.

Selain itu, baru-baru ini interleukin-8 ditemukan untuk merangsang

proliferasi berbagai sel. dikemukakan bahwa interleukin-8 meningkat pada

serum perempuan dengan endometriosis dan berkorelasi dengan tingkat

keparahan penyakit. (Soeroso, A 2007)

Terdapat suatu anggapan bahwa endometriosis adalah suatu

proses inflamasi pelvik dengan perubahan fungsi dari sel-sel yang

berkaitan dengan kekebalan dalam lingkungan peritoneum. Beberapa

peneliti mendukung konsep ini, yang menunjukkan bahwa cairan

peritoneum penderita endometriosis mengandung jumlah makrofag aktif

19
yang meningkat yang mensekresi berbagai produk lokal, seperti faktor-

faktor pertumbuhan dan sitokin. Di samping itu, peneliti lain melaporkan

peningkatan sitokin dalam cairan peritoneum, dengan demikian

menandakan bahwa sitokin ini mungkin penting bagi perkembangan

endometriosis serta kaitannya dengan infertilitas. Lebih jauh lagi,

dilaporkan bahwa terdapat peningkatan berbagai sitokin dalam serum

penderita endometriosis

Berdasarkan dari hal tersebut, perlu pemahaman yang sangat

penting tentang proses inflamasi pada ibu infertil dengan endometriosis

dengan faktor interleukin-8. Melihat dari tingginya kasus endometriosis

maka perlu adanya suatu penelitian untuk mengkaji peran interleukin-8

untuk menemukan suatu upaya yang dapat dipakai pada ibu

endometriosis pada tahap yang lebih awal sebagai pencegahan terjadinya

infertil. Penelitian ini dilakukan untuk melihat profil sitokin interleukin-8

serum pada ibu infertil dengan atau tanpa endometriosis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan permasalahan

pada penelitian ini yaitu bagaimana profil interleukin-8 serum pada ibu

infertil dengan atau tanpa endometriosis?

20
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui profil interleukin-8 serum pada ibu infertile dengan

atau tanpa endometriosis di wilayah kerja RSUD Syekh Yusuf

Kabupaten Gowa

2. Tujuan Khusus

a. Mengukur kadar interleukin-8 serum pada ibu infertile dengan

endometriosis

b. Mengukur kadar interleukin-8 serum pada ibu infertile tanpa

endometriosis

c. Membedakan kadar interleukin-8 serum pada ibu infertile dengan

endometriosis dan tanpa endometriosis

d. Menghubungakan kadar interleukin-8 serum dengan infertil

dengan endometriosis

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

a. Sebagai sumber pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah

informasi ilmiah tentang profil interleukin-8 serum pada ibu infertile

dengan atau tanpa endometriosis.

b. Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

21
2. Manfaat Aplikatif

a. Memberikan masukan bagi penentu kebijakan program kesehatan

dan instansi terkait yang diharapkan dapat lebih meningkatkan

pelayanan kesehatan, khususnya penanganan infertile pada ibu.

b. Sebagai dasar pertimbangan untuk melakukan pencegahan

terhadap kejadian infertile pada pasangan usia subur.

22
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infertil

1. Definisi

Infertil adalah kegagalan dari pasangan suami-istri untuk

mengalami kehamilan setelah melakukan hubungan seksual, tanpa

kontrasepsi, selama satu tahun (Sarwono, 2005). Infertil

(kamandulan) adalah ketidakmampuan atau penurunan kemampuan

menghasilkan keturunan (Fauziah, 2012). Ketidaksuburan (infertil)

adalah suatu kondisi dimana pasangan suami istri belum mampu

memiliki anak walaupun telah melakukan hubungan seksual

sebanyak 2 –3 kali seminggu dalam kurun waktu 1 tahun dengan

tanpa menggunakan alat kontrasepsi jenis apapun (Djuwantono,

2008).

Infertil atau ketidaksuburan adalah kesulitan untuk

memperoleh keturunan pada pasangan yang tidak menggunakan

kontrasepsi dan melakukan sanggama secara teratur (Depkes RI,

2008). Sedangkan menurut Medicine (2006) Infertil adalah

ketidakmampuan untuk hamil atau menghamili setelah satu tahun

secara teratur menjalani hubungan intim tanpa penggunaan alat

kontrasepsi.

23
2. Klasifikasi Infertil Menurut Wiknjosastro (2005)

a) Infertil primer

Berarti pasangan suami istri belum mampu dan belum pernah

memiliki anak setelah satu tahun berhubungan seksual

sebanyak 2-3 kali perminggu tanpa menggunakan alat

kontrasepsi dalam bentuk apapun.

b) Infertil sekunder

Berarti pasangan suami istri telah atau pernah memiliki anak

sebelumnya tetapi saat ini belum mampu memiliki anak lagi

setelah satu tahun berhubungan seksual sebanyak 2-3 kali

perminggu tanpa menggunakan alat atau metode kontrasepsi

jenis apapun. Berdasarkan hal yang telah disebutkan

sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pasangan suami

istri dianggap infertil apabilamemenuhi.

3. Epidemiologi

Diperkirakan 85-90% pasangan yang menikah dalam satu tahun

pernikahannya akan menjadi hamil, dimana 10-15 % pasangan

tersebut akan mengalami kesulitan untuk menjadi hamil dan mereka

ini lah yang disebut sebagai pasangan infertil. Prevalensi infertil yang

tepat tidak diketahui dengan pasti, sangat bervariasi tergantung

keadaan geografis, budaya dan status sosial negara tersebut.

Di Amerika serikat persentase wanita infertil meningkat dari 8,4

% pada tahun 1982 dan 1988 menurut National Survey of Family

24
Growth (NSFG) menjadi 10,2 % (6,2 juta) pada tahun 1995. Menurut

penelitian Stephen dan Chandra diperkirakan 6,3 juta wanita di

Amerika menjadi infertil dan diperkirakan akan meningkat menjadi

5,4-7,7 juta pada tahun 2025. Dalam suatu studi populasi dari tahun

2009-2012 diperkirakan akan terdapat 12-24 % wanita infertil. Al

Akour dkk melaporkan 155 (46,3%) wanita dengan infertil primer dan

180 (53,7%) wanita dengan infertil sekunder.

Di Kuwait, Ommu dan Omu melaporkan data infertiltas primer

65,7% dan 34,3 % wanita dengan infertil sekunder. Di Banglades,

Akhter dkk dari 3184 wanita infertil, 61,9 % wanita dengan infertil

primer dan 38 % wanita dengan infertil sekunder. Di Jerman,

Wischmann dkk dilaporkan 67,6 % wanita dengan infertil primer dan

32,4 % dengan infertil sekunder.

4. Etiologi Infertil

Sebanyak 60% –70% pasangan yang telah menikah akan

memiliki anak pada tahun pertama pernikahan mereka. Sebanyak

20% akan memiliki anak pada tahun ke-2 dari usia pernikahannya.

Sebanyak 10% - 20% sisanya akan memiliki anak pada tahun ke-3

atau lebih atau tidak pernah memiliki anak.

Walaupun pasangan suami istri dianggap infertil bukan tidak

mungkin kondisi infertil sesungguhnya hanya dialami oleh sang

suami atau sang istri. Hal tersebut dapat dipahami karena proses

pembuahan yang berujung pada kehamilan dan lahirnya seorang

25
manusia baru merupakan kerjasama antara suami dan istri.

Kerjasama tersebut mengandung arti bahwa dua faktor yang harus

dipenuhi adalah:

a. Suami memiliki sistem dan fungsi reproduksi yang sehat

sehingga mampu menghasilkan dan menyalurkan sel kelamin

pria (spermatozoa) kedalam organ reproduksi istri.

b. Istri memiliki sistem dan fungsi reproduksi yang sehat sehingga

mampu menghasilkan sel kelamin wanita (sel telur atau ovarium)

(Djuwantono, 2008).

Infertil tidak semata-mata terjadi kelainan pada wanita saja. Hasil

penelitian membuktikan bahwa suami menyumbang 25-40% dari

angka kejadian infertil, istri 40-55%, keduanya 10%, dan idiopatik

10%. Hal ini dapat menghapus anggapan bahwa infertil terjadi murni

karena kesalahan dari pihak wanita/istri (Djuwantono, 2008).

5. Faktor-Faktor Infertil

a. Faktor wanita (60-70%)

1) Faktor vagina (3%-5%)

Masalah vagina yang dapat menghambat penyampaian air mani

ini ialah adanya sumbatan atau peradangan. Sumbatan jenis

pertama adalah sumbatan psikogen yang disebut juga

vaginismus atau dispareunia dan yang kedua adalah sumbatan

anatomis berupa vaginitis atau radang pada vagina yang biasa

disebabkan oleh candida albicans atau trikomonas sejenis

26
kuman yang hidup di dalam vagina ini dapat menghambat gerak

spermatozoa.

2) Serviks (1%-10%).

Infertil yang berhubugan dengan faktor serviks dapat

disebabkan oleh sumbatan kanalis servikalis, lendir serviks yang

abnormal, malposisi dari serviks atau kombinasinya. Terdapat

berbagai kelainan anatomi serviks yang berperan dalam infertil,

yaitu cacat bawaan (atresia), polip serviks, stenosis akibat

trauma, peradangan (servisitis menahun), sineksia setelah

konisasi dan inseminasi yang tidak adekuat. Vaginitis yang

disebabkan oleh trikomonas vaginalis dan kandida albicans

dapat menghambat motilitas spermatozoa akan tetapi pHnya

tidak mengahambat motilitasnya.

3) Uterus (4%-5%)

Adanya kelainan rongga rahim karena perlengketan, mioma

atau polip, peradangan endometrium dan gangguan kontraksi

rahim, dapat mengganggu transportasi spermatozoa. Kalaupun

sampai terjadi kehamilan biasanya kehamilan tersebut akan

berakhir sebelum waktunya.

4) Tuba fallopii (65%-80%)

Paling banyak ditemukan dalam masalah infertil. Diantara tuba

yang membesar seluruhnya ataupun yang menebal karena

adanya kerusakan dinding tuba akibat infeksi atau

27
endometriosis, tuba yang memendek akibat peradangan

sebelumnya, fibriosis atau pembentukan jaringan ikat, serta

perlengaketan tuba yang menganggu pergerakan fimbria.

5) Ovarium (5%-10%)

Gangguan pada ovarium (indung telur), seperti adanya tumor

atau kista endometriosis bisa mengakibatkan tidak terjadinya

ovulasi. Sebab bagaimana bisa terjadi pembuahan bila tidak

ada sel telur yang akan dibuahi (Manuaba, 1999).

6) Anovulasi (35%)

Menurut Inayatullah (2008) salah satu penyebab infertil

(ketidaksuburan) adalah anovulasi yaiti 35%. Anovulasi adalah

tidak ada sel telur berarti tak akan ada kehamilan. Ovulasi dan

menstruasi adalah satu rangkain orkestrasi kejadian hormonal

didalam tubuh wanita, yang berarti mencerminkan suatu

peristiwa yang teratur dan periodik.

b) Faktor laki-laki (30-40%)

Meliputi kelainan sperma, penyempitan saluran mani karena infeksi

bawaan, faktor imonuglobik/antibody, antisperma, serta faktor gizi.

c) Gabungan (20-30%)

Yaitu biasa dari kedua-duanya (suami dan istri mengalami infertil).

d) Tidak jelas (10%)

Faktor ini sekitar 10% dari kejadian infertil setelah semua pemikiran

dilakukan penyebab infertil dapat saja tidak diketahui atau

28
terdekteksi (Scott, 2004).

6. Patofisiologi Infertil

a) Wanita

Beberapa penyebab dari gangguan infertil dari wanita

diantaranya gangguan stimulasi hipofisis hipotalamus yang

mengakibatkan pembentukan FSH dan LH tidak adekuat sehingga

terjadi gangguan dalam pembentukan folikel di ovarium. Penyebab

lain yaitu radiasi dan toksik yang mengakibatkan gangguan pada

ovulasi. Gangguan bentuk anatomi sistem reproduksi juga

penyebab mayor dari infertil, diantaranya cidera tuba dan

perlekatan tuba sehingga ovum tidak dapat lewat dan tidak terjadi

fertilisasi dari ovum dan sperma. Kelainan bentuk uterus

menyebabkan hasil konsepsi tidak berkembang normal walaupun

sebelumnya terjadi fertilisasi. Abnormalitas ovarium mempengaruhi

pembentukan folikel. Abnormalitas servik mempengaruhi proses

pemasukan sperma. Faktor lain yang mempengaruhi infertil adalah

aberasi genetik yang menyebabkan kromosom seks tidak

berkembang dengan baik.

Beberapa infeksi menyebabkan infertil dengan melibatkan

reaksi imun sehingga terjadi gangguan interaksi sperma sehingga

sperma tidak bisa bertahan, infeksi juga menyebabkan inflamasi

zigot yang berujung pada abortus.

29
b) Pria

Abnormalitas androgen dan testosteron diawali dengan

disfungsi hipotalamus dan hipofisis yang mengakibatkan kelainan

status fungsional testis. Gaya hidup memberikan peran yang besar

dalam mempengaruhi infertil diantaranya merokok, penggunaan

obat-obatan dan zat adiktif yang berdampak pada abnormalitas

sperma dan penurunan libido. Konsumsi alkohol mempengaruhi

masalah ereksi yang mengakibatkan berkurangnya pancaran

sperma. Suhu disekitar areal testis juga mempengaruhi

abnormalitas spermatogenesis. Terjadinya ejakulasi retrograt

misalnya akibat pembedahan sehingga menyebabkan sperma

masuk ke vesika urinaria yang mengakibatkan komposisi sperma

terganggu. (Winkjosastro, 2007)

7. Pemeriksaan Pasangan Infertil

Ketidaksuburan merupakan masalah dari satu kesatuan

pasangan, oleh karenanya pemeriksaan untuk mengetahui penyebab

ketidaksuburan tersebut mutlak harus dilakukan baik pada suami

maupun istri. Masih sering dijumpai bahwa suami agak enggan

bahkan kadang-kandang tidak mau diperiksa dan sering pula

mengatakan bahwa istrinya dahulu yang diperiksa baru suami

kemudian, sikap seperti ini tidak dapat dibenarkan. Pada umumnya

pemeriksaan terhadap suami relatif lebih mudah dilaksanakan

dibandingkan dengan pemerikasaan terhadap istri yang biasanya

30
memakan waktu dan biaya yang cukup besar. Maka yang terbaik

adalah pemeriksaan dilakukan secara simultan dengan demikian ini

juga memperlihatkan tanggung jawab pasangan tersebut terhadap

masalah mereka. (Djuwantono, 2010)

8. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Infertil Yaitu:

a. Umur

Di Indonesia angka kejadian perempuan infertil 15% pada

usia 30-34 tahun meningkat 30% pada usia 35-39 tahun dan 64%

pada usia 40-44 tahun. Kemampuan reproduksi wanita menurun

drastis setelah berumur 35 tahun. Hal ini dikarenakan cadangan

sel telur yang makin sedikit. Fase reproduksi wanita adalah masa

sistem reproduksi wanita berjalan optimal sehingga wanita

berkemampuan untuk hamil. Fase ini dimulai setelah fase

pubertas sampai sebelum fase menopause (Idra dan Irsal, 2008).

Fase pubertas wanita adalah fase disaat wanita mulai dapat

bereproduksi yang ditandai dengan haid pertama kalinya

(menarche) dan munculnya tanda-tanda kelamin sekunder yaitu

membesarnya payudara, tumbuhnya rambut disekitar alat kelamin,

dan timbunan lemak dipanggul. Fase Reproduksi pada wanita

terjadi pada umur 20-35 tahun. Pada fase reproduksi wanita

memiliki 400 sel telur. Semenjak wanita mengalami menstruasi

secara periodik yaitu pelepasan satu sel telur. Jadi, wanita dapat

mengalami menstruasi sampai sekitar 400 kali. Pada umur 35

31
tahun simpanan sel telur menipis dan mulai terjadi perubahan

keseimbangan hormon sehingga kesempatan wanita untuk bisa

hamil menurun drastis. Kualitas sel telur yang dihasilkanpun

menurun sehingga tingkat keguguran meningkat sampai pada

akhirnya kira-kira umur 45 tahun sel telur habis dan wanita tidak

menstruasi lagi atau tidak bisa hamil lagi. Pemeriksan cadangan

sel telur dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah atau USG

saat mentruasi hari kedua atau ketiga (Andi saraswati, 2015).

b. Lama Infertil

Berdasarkan laporan klinik di Surabaya, lebih dari 50%

pasangan dengan masalah infertil datang terlambat dalam artian

umur makin tua, penyakit pada organ reproduksi yang makin

parah dan makin terbatasnya jenis pengobatan yang sesuai

dengan diberi batasan jumlah bulan di mana pasangan melakukan

senggama tanpa metode kontrasepsi. Hal ini penting karena dapat

memberikan informasi prognostik tentang infertil tiga tahun atau

kurang mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mengalami

kehamilan spontan di kemudian hari. Jika lama infertil lebih

panjang, maka sangat mungkin ada masalah biologis yang berat.

Lama infertil perlu dalam merancang atau melaporkan

penelitian ilmiah dan klinis tentang infertil. Pada percobaan klinis

tanpa kontrol, angka kehamilan spontan sering kali disalah artikan

sebagai efek pengobatan. Pada umumnya, pasangan di negara

32
maju mencari bantuan pengobatan setelah waktu intertilitas yang

lebih pendek. Lama infertil tidak memberikan informasi tentang

apakah masalah infertil ada pada pihak pria atau wanita. Pada

kasus-kasus infertil sekunder harus dicatat jumlah bulan setelah

kehamilan terakhir. Untuk pria dengan infertil sekunder, jangka

waktu yang lebih panjang dari kehamilan terakhir dapat

berhubungan dengan peningkatan kemungkinan kelainan yang

didapat pada diagnosis.pasangan tersebut (Anastasia Oktarina,

2014).

c. Gaya hidup

Gaya hidup ternyata pegang peranan penting dalam

menyumbang angka kejadian infertil, yakni sebesar 15-20%. Gaya

hidup yang serba cepat dan kompetitif dewasa ini rentan membuat

seseorang terkena stress. Padahal kondisi jiwa yang penuh

gejolak bisa menyebabkan gangguan ovulasi, gangguan

spermatogenesis, spasme tuba fallopii, dan menurunnya frekuensi

hubungan suami istri (Kurniawan,2008).

d. Kegemukan

Timbunan lemak dapat mengganggu kinerja organ tubuh,

termasuk organ-organ reproduksi. Kadar kolestrol yang tinggi akan

mengusik keseimbangan hormonal yang antara lain bermuara

pada terganggunya siklus haid, bisa berupa haidnya terlambat,

tidak datang sama sekali dalam beberapa bulan meski tidak hamil,

33
atau sebaliknya justru keluar terus tapi tidak teratur. Padahal

gangguan haid berpengaruh langsung pada perhitungan

matangnya sel telur, sedangkan hubungan seks di luar masa

subur berpeluang tipis menghasilkan pembuahan. Pada pria

gemuk terjadi penumpukan lemak dimana-mana, termasuk di

daerah pubis (bagian atas kemaluan), sehingga penisnya tampak

pendek dan kecil. Akibatnya, dapat menghambat kontak seksual.

Selain itu, obesitas juga berpengaruh pada metabolisme

testosterone. Padahal hormon ini menjamin berkembangnya organ

reproduksi, timbulnya ciri-ciri seks sekunder laki-laki sebelum

pubertas dan berlangsungnya spermatogenesis (pembentukan

sperma) serta mempertahankan fungsi seksual setelah pubertas

(Kurniawan, 2008).

e. Sangat kurus

Gangguan siklus haid pada umumnya dialami oleh wanita

yang sangat kurus, misalnya pada atlet lari jarak jauh, model,

penari balet, ataupun mereka yang mengalami pengurangan berat

badan secara signifikan dan mendadak. Bisa dimengerti karena

dalam tubuh, lemak antara lain berfungsi melancarkan

metabolisme (Kurniawan, 2008).

f. Lingkungan

Salah satunya, polusi udara akibat kebiasaan merokok

maupun buang timbal dari kendaraan bermotor. Mereka yang

34
terpapar zat-zat polutan terbukti mengalami penurunan kualitas

sperma. Begitu juga pemakaian ganja, kokain, dan heroin

disinyalir menyebabkan gangguan sekresi hormon gonadotropin

dan prolaktin yang bertujuan pada pengahambatan pelepasan sel

telur pada wanita (Puspayanti, 2008).

g. Akrab dengan minuman berakohol

Konsumsi alkohol pada wanita akan menekan produksi

hormon esterogen dan progesteron namun meningkatkan prolaktin

yang akan menghambat proses ovulasi. Pada pria alkohol akan

menurunkan ukuran testis, volume semen (air mani), maupun

konsentrasi (kepekatan), mobilitas (kecepatan bergerak), serta

morfologi normal spermatozoa.

h. Obat-obatan

Obat-obatan tertentu yang termasuk golongan narkotik

maupun obat-obatan kedokteran, seperti beberap jenis antibiotik,

obat darah tinggi, obat sakit maag, obat anti kejang, maupun obat-

abatan yang digunakan dalam terapi melawan kanker dapat

menurunkan kesuburan wanita dan mempengaruhi kualitas

sperma.

i. Olahraga berlebihan

Pada wanita, olahraga berlebihan bisa menyebabkan sulit

hamil karena mengganggu siklus haid. Diduga akibat penurunan

produksi gonadotropin serta peningkatan produksi endorphin dan

35
kortisol.

j. Gangguan ovulasi

Ovulasi adalah proses terlepasnya sel ovum dari ovarium

sebagai akibat pecahnya folikel yang telah masak. Waktu yang

dibutuhkan oleh seluruh proses ovulasi tergantung pada lokasi sel

telur dalam folikel. Waktu ovulasi akan singkat apabila sel telur

berada di dasar folikel dan akan lama apabila sel telur berada

dekat pada stigma yang meTanpajol dipermukaan ovarium.

Gangguan ovulasi jumlahnya sekitar 30-40% dari seluruh

kasus infertil wanita. Gangguan-gangguan ini umumnya sangat

mudah didiagnosis menjadi penyebab infertil. Karena ovulasi

sangat berperan dalam konsepsi, ovulasi harus dicatat sebagai

bagian dari penilaian dasar pasangan infertil.

k. Infeksi

Umumnya ditandai dengan munculnya keputihan yang

mesti mendapat perhatian serius. Jika dibiarkan berlanjut dan tak

mendapat pengobatan semestinya, infeksi ini akan merambat naik

ke rahim atau bahkan ke adneksa yang terdiri dari saluran telur,

indung telur, dan ligamentum atau otot-otot penyangga

rahim.Terapinya cukup dengan pemberian obat-obatan golongan

antibiotik yang tepat. Namun butuh kesabaran dari pasien untuk

menjalani terapi ini agar infeksinya benar-benar sembuh.

Pencegahan infeksi dapat dilakukan antara lain dengan menjaga

36
kebersihan kebersihan diri saat buang air. Terutama kala terpaksa

buang air di tempat umum yang kurang terjaga kebersihanya,

sedapat mungkin segera bilas begitu menemukan air bersih.

Perhatikan pula pola membasuhnya, yakni dari atas ke bawah.

Jangan pernah sebaliknya, dari anus ke vagina, karena

berpeluang membawa kuman yang mungkin bercokol di anus ke

vagina (Kurniawan, 2008).

9. Penatalaksanaan Infertil

Penanganan infertil pada prinsipnya didasarkan atas 2 hal yaitu

Mengatasi faktor penyebab / etiologi dan meningkatkan peluang untuk

hamil.

a. Gangguan Ovulasi

Tindakan untuk mengatasi faktor penyebab infertil salah satunya

adalah dengan melakukan induksi ovulasi (pada kasus anovulasi),

reanastomosis tuba (oklusi tuba fallopii) dan pemberian obat-

obatan secara terbatas pada kasus faktor sperma.

Apabila induksi ovulasi tidak berhasil, metoda dikembangkan untuk

meningkatkan peluang satu pasangan mendapatkan kehamilan,

seperti stimulasi ovarium, inseminasi dan fertilisasi in vitro.

Kasus terbanyak gangguan ovulasi pada perempuan usia

reproduksi adalah sindrom ovarium polikistik.

Lini pertama induksi ovulasi: klomifen sitrat (KS): pemberian KS

sebanyak 3 siklus (dosis maksimal 150 mg/hari) terjadi ovulasi

37
selama 3-6 siklus, tetapi tidak terjadi kehamilan. Lini kedua:

gonadotropin atau laparoskopi ovarian drilling (LOD). Lini ketiga:

fertilisasi in vitro.

b. Faktor sperma

Karakteristik sperma tidak terkait langsung dengan laju kehamilan,

tidak terdapat bukti cukup kuat bahwa pengobatan varikokel

memberikan hasil yang baik terhadap terjadinya kehamilan.

Pemberian vitamin, anti oksidan dan carnitine tidak memiliki bukti

cukup kuat terhadap kualitas sperma.

c. Endometriosis

Bila dijumpai endometriosis derajat minimal dan ringan pada

laparoskopi diagnostik, tindakan dilanjutkan dengan laparoskopi

operatif. Endometriosis derajat sedang-berat merupakan indikasi

fertilisasi in vitro.

d. Faktor tuba, oklusi tuba

Tindakan laparoskopi dianjurkan bila dijumpai hasil pemeriksaan

HSG abnormal. Fertilisasi in vitro memberikan luaran yang lebih

baik dalam hal kehamilan dibandingkan bedah rekonstruksi tuba

pada kasus oklusi tuba bilateral. Faktor idiopatik infertil ditegakkan

atas 3 pemeriksaan dasar infertil yang memberikan hasil normal,

yaitu deteksi ovulasi, patensi tuba fallopii dan analisis sperma.

Penanganan pasangan infertil idiopatik dapat dilakukan inseminasi

intra uterin (IIU) sebanyak 4-6 x. Stimulasi ovarium dalam IIU

38
terutama dilakukan pada kasus endometriosis dan infertil idiopatik.

e. Fertilisasi in vitro (FIV)

Tindakan fertilisasi in vitro terutama dilakukan atas indikasi :Faktor


sperma yang berat dan tidak dapat dikoreksi, oklusi tuba bilateral,
endometriosis derajat sedang ‐berat, infertil idiopatik yang telah
menjalani IIU 4-6 x dan belum berhasil hamil, gangguan ovulasi
yang tidak berhasil dengan induksi ovulasi lini pertama dan lini
kedua. (Winkjosastro, 2005)

B. Endometriosis

1. Definisi

Pengertian endometriosis menurut Kamus Kedokteran Dorland

adalah suatu keadaan dengan jaringan yang mengandung stroma dan

kelenjar endometrium khas terdapat secara abnormal pada berbagai

tempat di dalam rongga panggul atau daerah lain pada tubuh. Definisi

endometriosis adalah ditemukannya jaringan yang mengandung

stroma dan kelenjar endometrium fungsional di luar kavum uteri.

(Alfaina, 2010)

2. Epidemiologi

Endometriosis merupakan penyakit progresif ginekologi yang

sering ditemukan pada wanita remaja dan usia reproduksi (15–44

tahun). Diagnosis ditegakkan biasanya pada usia reproduktif yaitu 25-

29 tahun. Prevalensi pasti dari endometriosis masih belum diketahui,

39
karena dibutuhkan laparaskopi, laparatomi, dan histopatologi untuk

memastikan diagnosis. Namun demikian diperkirakan ada 3-10% dari

wanita usia produktif yang mengalami endometriosis. Dua puluh lima

persen sampai tiga puluh lima persen dari jumlah tersebut ditemukan

pada wanita infertil.

Endometriosis ditemukan pada 1-2% wanita yang mengalami

sterilisasi atau pengembalian sterilisasi, 10% dari operasi histerektomi,

16-31% dari laparaskopi, dan 53% dari remaja dengan keluhan nyeri

pelvis berat (DeCherney et al, 2007). Selain itu, Memardeh (2003) juga

mendapatkan bahwa endometriosis ditemukan pada 1–2% penderita

yang menjalani sterilisasi, 10 % histerektomi dan 16–38 % pada

laparaskopi (Andriana dan Arsana, 2003). Endometriosis merupakan

diagnosis guinekologi yang paling sering ditemukan pada pasien rawat

inap di rumah sakit terutama usia 15-44 tahun yaitu sekitar 6% dari

semua pasien rawat inap.

Evers mendapatkan angka kejadian endometriosis ini pada 60–

80% penderita dismenorea, 30–50% penderita nyeri perut, 25–40%

penderita dispareunia, 30–40% pasangan suami istri yang infertil, dan

10–20% pada penderita dengan siklus menstruasi yang kacau.

Endometriosis tidak terbatas pada nullipara, karena endometriosis juga

sering ditemukan pada wanita dengan infertil sekunder. Angka kejadian

maksimum adalah selama usia 30-40 tahun. Diagnosis umumnya agak

terlambat ditegakkan pada mereka yang datang

40
dengan infertil daripada nyeri (Jacoeb dan Hadisaputra, 2009).

3. Etiologi dan Patogenesis

Mekanisme terjadinya endometriosis belum diketahui secara

pasti dan sangat kompleks. Peneliti mengemukakan perkembangan

endometrium melalui beberapa teori. Teori yang paling terkenal adalah

teori dari Sampson, yaitu teori menstruasi berbalik (retrograde

menstruation). Menurut teori ini, endometriosis terjadi karena darah

haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke rongga pelvis.

Didalam darah haid tersebut masih dijumpai sel-sel endometrium yang

masih hidup. Sel-sel endometrium tersebut kemudian dapat

mengadakan implantasi pada struktur pelvis (Hoffman et al., 2012).

Darah haid yang berbalik ke rongga peritoneum diketahui

mampu berimplantasi pada permukaan peritoneum dan merangsang

metaplasia peritoneum, kemudian merangsang angiogenesis. Hal ini

dibuktikan dengan lesi endometriosis sering dijumpai pada daerah

yang meningkat vaskularisasinya.

Pentingnya selaput mesotelium yang utuh dapat dibuktikan

pada penelusuran dengan mikroskop elektron, terlihat bahwa serpih

haid atau endometrium hanya menempel pada sisi epitel yang

selaputnya hilang atau rusak. Lesi endometriosis terbentuk jika

endometrium menempel pada selaput peritoneum. Hal ini terjadi

karena pada lesi endometriosis terdapat protein intergin dan kadherin

yang berpotensi terlibat dalam perkembangan endometriosis. Molekul

perekat haid seperti (cell-adhesion molecules, CAMs) hanya ada di

41
endometrium dan tidak berfungsi pada lesi endometriosis.

Teori pencangkokan Sampson merupakan teori yang paling

banyak diterima untuk endometriosis peritoneal. Semua wanita usia

reproduksi diperkirakan memiliki endometriosis peritoneal, didasarkan

pada fakta bahwa hampir semua wanita dengan tuba falopi yang paten

membawa endometrium hidup ke rongga peritoneum sewaktu haid.

Begitu juga ditemukannya jaringan endometriosis pada irisan serial

jaringan pelvik pada wanita 40 tahun dengan tuba falopi paten dan

siklus haid normal. Walaupun demikian tidak setiap wanita yang

mengalami retrograde menstruasi akan menderita endometriosis.

Baliknya darah haid ke peritoneum menyebabkan kerusakan

selaput mesotel dan perlekatan jaringan endometrium. Jumlah haid

dan jaringan yang terdiri dari kelenjar dan stroma serta sifat-sifat

biologis bawaan dari endometrium sangat memegang peranan penting

pada kecenderungan perkembangan endometriosis. Setelah perekatan

matriks ekstraseluler, metaloperoksidasenya sendiri secara aktif

memulai pembentukan ulang matriks ekstraseluler sehingga

menyebabkan invasi endometrium ke dalam rongga submesotel

peritoneum (Hoffman et al., 2012).

Teori lain mengenai perkembangan endometriosis dilontarkan

oleh Robert Meyer, yaitu dikenal dengan teori metaplasia epitel

selomik. Pada teori ini dikemukakan bahwa endometriosis terjadi

karena rangsangan pada sel-sel epitel dari selom yang dapat

mempertahankan hidupnya di daerah pelvis. Rangsangan ini

42
menyebabkan metaplasi dari sel-sel tersebut, sehingga terbentuk

jaringan endometrium. Selain itu dikemukakan juga teori pengendalian

sirkulasi dan implantasi jaringan menstruasi ektopik melalui vena dan

limfa, ataupun keduanya.

Kegagalan mekanisme sistem imunitas untuk menghancurkan

jaringan ektopik dan diferensiasi yang tidak normal pada endometriosis

telah dilaporkan sebagai mekanisme yang mendasari kerusakan sel

stroma. Hal ini berhubungan dengan peningkatan produksi estrogen

dan prostaglandin, bersama dengan adanya resistensi progesteron.

Sel-sel endometriosis yang masih hidup berhubungan erat

dengan timbulnya inflamasi yang menimbulkan gejala klinis pada

pasien seperti infertil dan nyeri panggul. Inflamasi ini disebabkan oleh

adanya produksi berlebihan dari sitokin, prostaglandin, dan faktor-

faktor inflamasi lainnya. Baru-baru ini banyak penelitian yang

menghubungkan leptin dan reseptornya dengan jaringan endometriosis

melalui pengaturan inflamasi. Mekanismenya akan dijelaskan pada

bagian selanjutnya.

43
Gambar 1. Patogenesis Endometriosis

4. Faktor Risiko

Berdasarkan beberapa sumber, dapat disimpulkan resiko tinggi

terjadinya endometriosis ditemukan pada :

a) Wanita yang ibu atau saudara perempuannya menderita


endometriosis (Mounsey et al., 2006 ; Hoffman et al., 2012)

b) Wanita usia produktif yaitu 15–44 tahun (Jacoeb dan Hadisaputra,


2009)

c) Wanita dengan siklus menstruasi kurang dari 28 hari atau siklus


menstruasi 28-34 hari (Mounsey et al., 2006)

d) Usia menars yang lebih awal dari normal (Limbong, 2012)

e) Lama waktu menstruasi kurang dari 6 hari atau lebih dari 6 hari
(Mounsey et al., 2006)

f) Adanya orgasme ketika menstruasi (Limbong, 2012)

44
g) Terpapar toksin dari lingkungan (Hoffman et al., 2012)

h) Defek Anatomi (Hoffman et al., 2012)

i) Mengkonsumsi alkohol (Mounsey et al., 2006)

j) Pernah mengkonsumi kontrasepsi oral (Mounsey et al., 2006)

5. Klasifikasi dan Lokasi Anatomi Endometriosis

a. Klasifikasi

Penentuan klasifikasi dan stadium endometriosis sangat

penting dilakukan untuk menerapkan cara pengobatan yang tepat

dan untuk evaluasi hasil pengobatan. Klasifikasi Endometriosis

yang digunakan saat ini adalah menurut American Society For

Reproductive Medicine yang telah di revisi pada tahun 1997 yang

berbasis pada tipe, lokasi, tampilan, kedalaman invasi lesi,

penyebaran penyakit dan perlengketan. Klasifikasi tersebut

sebagai berikut :

1. Stadium I (minimal) 1–5

Implantasi terbatas dan tidak ada perlengketan b) Stadium II

(ringan) 6–15 Implantasi superfisial berkelompok dengan luas

kurang dari 5 cm, tersebar pada ovarium dan peritoneum.

Tidak ada perlengketan yang nyata.

2. Stadium III (sedang) 16–40

Implantasi superfisial dan dalam jumlah yang multipel.

Terdapat perlengketan peritubal dan periovarium.

45
3. Stadium IV (berat) >40

Implantasi superfisial dan dalam yang multipel, terdapat

endometrioma ovarium yang besar. Terdapat perlengketan

yang yang hebat.

b. Lokasi Anatomi

Endometriosis bisa terjadi di mana saja dalam pelvis dan

pada permukaan peritoneal di luar pelvis. Paling umum,

endometriosis ditemukan di daerah panggul. Ovarium, peritoneum

di bagian panggul, anterior dan posterior cul-de-sac, dan ligamen

uterosakral sering terlibat. Selain itu, septum rektovaginal, ureter,

dan kandung kemih. Kista coklat ovarium (endometrioma) adalah

manifestasi umum dari endometriosis. Endometriosis juga

ditemukan di perikardium, bekas luka bedah, dan pleura namun

kasusnya jarang. Sebuah teori patologi mengungkapkan bahwa

endometriosis telah diidentifikasi pada semua organ kecuali limpa

(Hoffman et al., 2012).

6. Imunologi dan Endometriosis

Data yang cukup telah menyatakan bahwa endometriosis

dihubungkan dengan sebuah keadaan inflamasi subklinis peritoneum

yang ditandai oleh peningkatan volume cairan peritoneum,

peningkatan konsentrasi sel darah putih cairan peritoneum (terutama

makrofag dengan peningkatan aktivitasnya) dan peningkatan sitokin

inflamasi, faktor pertumbuhan dan substansi

46
penyokong angiogenesis. Telah dilaporkan pada baboon bahwa

inflamasi subklinis peritoneum terjadi selama menstruasi dan setelah

injeksi peritoneum intrapelvik. Tingkat aktivasi basal yang lebih tinggi

dari makrofag peritoneum pada pasien dengan endometriosis dapat

mengganggu fertilitas dengan cara menurunkan motilitas sperma,

meningkatkan fagositosis sperma atau mengganggu fertilisasi,

mungkin dengan meningkatkan kadar sitokin.

Sitokin inflamasi memainkan peran sentral dalam regulasi proliferasi,

aktivasi, motilitas, adesi, kemotaksis dan morfogenesis dari sel. Beberapa

sitokin seperti IL-1,IL-5, IL-6, INTERLEUKIN-8, IL-15, monocyte chemotactic

protein-1 (MCP-1), TNF-α, transformigrowth factor-β (TGF-β) dan Regulated-

cellActivation, Expresseddanon

NSecreted (RANTES) telah diimplikasikan dalam patogenesis

endometriosis. Telah juga diobservasi bahwa kadar beberapa sitokin

dalam cairan peritoneum dan serum berkorelasi dengan keparahan

penyakit. Ekspresi TNF-α,INTERLEUKIN,-8 dan MCP-1 lebih tinggi

pada endometriosis tingkat dini dan menurun pada endometriosis

tingkat lanjut, sementara ekspresi TGF-β menurun dengan penu keparahan penyakit.

Sistem imun manusia sehat menyingkirkan sel-sel

endometrium ektopik dan mencegah implantasi dan

perkembangannya menjadi lesi endometriosis. Proses ini mungkin

difasilitasi oleh perubahan apoptosis sel-sel endometrium yang

47
normalnya meningkat pada akhir siklus menstruasi tetapi proses

apoptosis ini secara signifikan menurun pada endometriosis. Dengan

demikian pada wanita sehat, sel-sel endometrium yang didiseminasi

ke dalam lokasi ektopik mungkin diprogram untuk mengalami

kematian dan dengan mudah dieliminasi oleh sistem imun (Karnen

dkk, 2014).

Endometriosis dapat disebabkan oleh penurunan

pembersihan sel-sel endometrium cairan peritoneum akibat

penurunan aktivitas sel NK atau penurunan aktivitas makrofag.

Penurunan sitotoksisitas yang dimediasi secara seluler terhadap sel-

sel endometrium autolog telah dihubungkan dengan endometriosis.

Endometriosis merupakan kondisi inflamasi dimana sejumlah

besar leukosit direkrut dari sirkulasi darah ke dalam lesi endometriosis

sehingga terjadi perubahan jumlah dan fungsi dari leukosit ini dalam

endometrium eutopik dan cairan peritoneum dan juga dalam lesi

endometriosis.

Endometriosis juga dikaitkan dengan meningkatnya aktivitas

inflamasi. Beberapa penelitian telah membuktikan terjadi peningkatan

serum marker inflamasi yang berada di dalam cairan peritoneum. Nyeri

panggul, yang merupakan keluhan yang paling sering terjadi pada

endometriosis, dapat diatasi dengan obat-obatan antiinflamasi, hal

mendukung hipotesa yang menyatakan terdapat kontribusi dari

inflamasi kronis dalam patogenesa endometriosis.

48
7. Gejala Klinis

Gejala klinis pada endometriosis akan memuncak pada

keadaan premenstruasi, dan mereda setelah menstruasi selesai.

Nyeri panggul adalah gejala yang paling umum terjadi, gejala lain

adalah dispareunia, dismenorea, nyeri pada kandung kemih dan nyeri

pada punggung bawah. Endometriosis muncul dengan gejala yang

tidak khas tetapi muncul sesuai siklus menstruasi. Misalnya, wanita

dengan endometriosis saluran kemih dapat menggambarkan infeksi

saluran kemih siklik dan hematuria; wanita dengan keterlibatan

rektosigmoid mengeluhkan hematoschezia siklik; dan lesi di pleura

menunjukkan gejala pneumotoraks menstruasi atau batuk berdarah

(hemomptisis) (Hoffman et al., 2012).

a) Dismenorea

Nyeri siklik saat menstruasi umum ditemukan pada wanita

dengan endometriosis. Biasanya, dismenorea dimulai 24-48 jam

sebelum menstruasi dan kurang respon terhadap obat anti

inflamasi Tanpa steroid (OAINS) dan kombinasi kontrasepsi oral.

Nyeri pada dismenorea dengan endometriosis ini lebih parah

dibandingkan dengan dimenorea primer. Selain itu, endometriosis

yang sangat invasif, yaitu endometriosis dengan invasi >5 mm di

bawah permukaan peritoneal, juga berhubungan dengan tingkat

keparahan dismenorea (Chapron, 2003).

49
b) Dispareunia

Endometriosis terkait dispareunia yang paling sering

berhubungan dengan lokasinya di septum rektovaginal atau di

ligamen uterosakral. Keterlibatan ovarium jarang dihubungkan

dengan dispareunia (Murphy, 2002). Nyeri tersebut muncul

karena ligamen uterosakral tegang selama koitus (Fauconnier,

2002). Endometriosis dicurigai jika dispareunia muncul pada

orang yang telah bertahun-tahun melakukan koitus namun

sebelumnya tidak pernah mengeluhkan nyeri saat koitus (Ferrero,

2005).

c) Nyeri pelvis

Nyeri pelvis sering ditemukan dengan kondisi nyeri yang

tidak sesuai dengan periode mestruasi atau aktifitas seksual,

tetapi seringkali dirasakan terus-menerus (kronik) pada pelvis.

Nyeri pelvis dihubungkan dengan adanya perlengketan dan

ditemukannya jaringan parut pada pelvis. Penyebab pasti nyeri

masih belum jelas. Salah satu penyebabnya diduga karena

adanya substansi sitokin dan prostaglandin yang dihasilkan oleh

implan endometriosis ke cairan peritoneum (Giudice, 2010).

d) Nyeri punggung bawah

Endometriosis yang terjadi pada ligamen uterosakral dapat

menghasilkan nyeri yang menjalar hingga ke punggung bagian

belakang. Nyeri dari uterus juga dapat menjalar ke area tersebut.

50
e) Infertil

Endometriosis sangat erat kaitannya dengan infertil, dan

diperkirakan 20% sampai 40% perempuan infertil menderita

endometriosis (Speroff, 2005). Pada endometriosis berat terjadi

distorsi dari anatomi panggul, perubahan bentuk anatomi dari

tuba falloppii dan dapat pula terjadi obstruksi dari tuba falloppii.

Pada endometriosis berat terbentuk endometrioma yang besar

kadang berganda yang merusak jaringan ovarium, secara

mekanis mengganggu ovulasi dan fertilisasi. Dengan kondisi

seperti ini dengan mudah dapat dijelaskan bahwa gangguan

mekanis sangat berperan terhadap fungsi reproduksi.

Endometriosis ringan yang pada pengamatan dengan laparoskop

tidak terjadi distorsi seperti pada endometriosis berat tetapi dapat

menimbulkan infertil (Oepomo, 2007).

Infertil yang berhubungan dengan endometriosis dapat

dijelaskan melalui mekanisme berikut (Speroff, 2005): (1) Distorsi

anatomi dari adnexsa, menghalangi atau mencegah

penangkapan ovum sesudah ovulasi ; (2) Gangguan

pertumbuhan oosit atau embryogenesis dan; (3) Penurunan

reseptivitas atau kemampuan menerima endometrium.

Pada endometriosis yang ringan kemungkinan besar

mekanisme infertil disebabkan oleh : (1) gangguan pada

implantasi; (2) defek imunologi dan; (3) penurunan kualitas oosit

51
karena terganggunya proses folikulogenesis.

f) Nyeri pada kandung kemih dan Disuria

Lesi superfisial pada kandung kemih biasanya

asimtomatik. Lesi dapat menyerang otot dan menimbulkan nyeri

saat berkemih, dan dysuria. Meskipun keluhan ini tidak selalu

muncul pada penderita endometriosis, namun keluhan nyeri pada

kandung kemih, disuria, dan urgensi pada wanita tetap menjadi

gejala pada wantia yang terkena endometriosis, terutama jika

keluhan ini disertai hasil kultur urin yang negatif.

g) Nyeri saat defekasi

Nyeri saat defekasi merupakan gejala yang paling jarang

muncul dibandingkan dengan gejala lain pada endometriosis.

Biasanya gejala ini mencerminkan adanya implan endometriosis

di rektosigmoid. Gejala ini dapat terjadi secara kronik, siklik, dan

sering berhubungan juga dengan gejala seperti konstipasi, diare,

atau hematoschezia (Hoffman et al., 2012).

h) Penyumbatan Intestinal

Varras (2002) dalam buku Williams Gynecology

menyebutkan bahwa endometriosis bisa melibatkan usus kecil,

sekum, apendiks atau kolon rektosigmoid dan menyebabkan

obstruksi usus dalam beberapa kasus (Hoffman et al., 2012).

Meskipun endometriosis pada saluran pencernaan biasanya

terbatas pada usus dinding subserosa dan muskularis propia,

52
namun pada kasus yang berat bisa melibatkan lapisan

transmural. Hal ini menimbulkan gambaran klinis dan gambaran

radiologi yang sama dengan keganasan (Decker, 2004).

8. Diagnosis dan Staging

Pada sebagian besar penyakit, anamnesis yang lengkap akan

merujuk kepada diagnosis pada mayoritas pasien. Trias klasik gejala

dari endometriosis yaitu dismenore (kram perut pada saat menstruasi),

dispareuni (nyeri pada saat bersenggama), dan Mittleschmerz (nyeri

pada pertengahan siklus atau saat ovulasi).

Nyeri panggul kronis dan infertil adalah gejala yang paling

umum dari endometriosis. Nyeri panggul kronis dapat berupa nyeri

siklik, nyeri Tanpasiklik, dismenore sekunder, dan / atau dispareunia.

Rasa sakit biasanya dimulai sebelum timbulnya menstruasi, meningkat

dengan banyaknya menstruasi, dan berkurang secara bertahap

menjelang akhir menstruasi. Dispareunia sering dalam dan sebagian

besar merupakan akibat imobilitas organ panggul akibat adhesi.

Saat ini, metode definitif untuk mendiagnosis, penilaian stadium

endometriosis dan evaluasi terhadap rekurensi penyakit setelah

pengobatan adalah visualisasi dengan tindakan bedah. Saat ini,

laparoskopi merupakan gold standar untuk mendiagnosis

endometriosis. Sistem penilaian yang telah direvisi dari American

Society for Reproductive Medicine digunakan untuk menentukan

stadium penyakit (mulai dari stadium I yang menunjukkan penyakit

53
minimal, hingga stadium IV yang menunjukkan penyakit parah)

berdasarkan jenis, lokasi lesi, penampilan, dalamnya invasi lesi,

luasnya penyakit dan adesi. Walaupun penilaian stadium berguna

dalam menentukan manajemen penyakit, stadium tidak berkorelasi

dengan beratnya nyeri atau memprediksi respons terhadap terapi

untuk nyeri atau infertil.

Pendekatan diagnostik Tanpa-operatif seperti ultrasonografi

transvaginal dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak banyak

membantu dalam mendeteksi adanya adesi dan implantasi di

peritoneum dan ovarium. Namun, kedua metode pencitraan tersebut

dapat mendeteksi endometrioma ovarium dengan baik, dengan

kisaran sensitivitas 80 - 90% dan spesifisitas 60 - 98%. Karena biaya

yang lebih rendah, ultrasonografi ransvaginal lebih disukai daripada

MRI dalam diagnosis endometrioma.

Doppler ultrasonografi dapat membantu dalam menetapkan

diagnosis, karena dapat menunjukkan karakteristik aliran darah sedikit

ke endometrioma, aliran normal pada jaringan ovarium normal, dan

aliran yang meningkat pada tumor ovarium. Kadar CA-125 mungkin

meningkat pada endometriosis, tetapi tes ini tidak dianjurkan untuk

tujuan diagnostik karena rendahnya sensitivitas dan spesifisitas.

Interval rata-rata antara timbulnya rasa sakit dan diagnosis definitif

(bedah) adalah 10,4 tahun.

54
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

a. Anamnesis

Keluhan utama pada endometriosis adalah nyeri. Nyeri

pelvik kronis yang disertai infertil juga merupakan masalah klinis

utama pada endometriosis. Endometrium pada organ tertentu akan

menimbulkan efek yang sesuai dengan fungsi organ tersebut,

sehingga lokasi penyakit dapat diduga. Riwayat dalam keluarga

sangat penting untuk ditanyakan karena penyakit ini bersifat

diwariskan. Kerabat jenjang pertama berisiko tujuh kali lebih besar

untuk mengalami hal serupa. Endometriosis juga lebih mungkin

berkembang pada saudara perempuan monozigot daripada dizigot.

Rambut dan nevus displastik telah diperlihatkan berhubungan

dengan endometriosis (Limbong, 2012).

b. Pemeriksaan Fisik Inspeksi

Endometriosis adalah penyakit yang sebagian besar

ditemukan di dalam rongga panggul. Oleh karena itu, sering tidak

ada kelainan yang ditemukan pada inspeksi. Kecuali pada

endometriosis di bekas luka episiotomi atau bekas luka

operasi. Endometriosis jarang dapat berkembang secara

spontan pada daerah perineum atau perianal (Hoffman et al.,

2012).

c. Pemeriksaan dengan Spekulum

Pemeriksaan vagina dan leher rahim dengan spekulum

55
sering memberi kesan tidak ada tanda-tanda endometriosis.

Kadang-kadang, kebiruan atau merah (burn powder lesion) dapat

dilihat pada serviks atau forniks posterior vagina. Lesi ini bisa lunak

atau berdarah saat kontak. Sebuah studi baru-baru ini menemukan

bahwa pemeriksaan spekulum memperlihatkan lesi endometriosis

pada 14% pasien yang didiagnosis infiltrasi endometriosis

(Chapron, 2003).

d. Pemeriksaan Bimanual

Palpasi organ panggul sering memperlihatkan kelainan

anatomi yang dicurigai endometriosis. Nodul yang lunak pada

ligamen uterosakral mencerminkan penyakit aktif di sepanjang

ligamen. Selain itu, massa adneksa kistik yang membesar dapat

menunjukkan adanya endometrioma ovarium. Pemeriksaan

bimanual dapat menunjukkan retroversi uterus, uterus lembek yaitu

dengan perabaan posterior cul-de-sac. Meskipun palpasi organ

panggul dapat membantu dalam diagnosis, adanya nyeri panggul

saat pemeriksaan lebih fokus dalam mendeteksi endometriosis

yaitu dengan sensitivitas 36-90% dan spesifisitas 32-92% (Hoffman

et al., 2012). Sebagai contoh, Chapron dan rekan kerjanya (2003)

dalam Hoffman et al. (2012) mempalpasi nodul yang nyeri pada

43% pasien endometriosis.

e. Uji Laboratorium

Penanda Kanker antigen 125 (CA125) serumKanker antigen

56
125 (CA125) merupakan sebuah penentu antigen pada

glikoprotein, CA125 telah diidentifikasi pada beberapa jaringan

dewasa seperti epitel saluran tuba, endometrium, endoserviks,

pleura, dan peritoneum (Hoffman et al., 2012). Menurut Hornstein

dalam buku Williams Gynecology Kadar CA125 tinggi telah terbukti

berkorelasi positif dengan tingkat keparahan endometriosis. Namun

Mol menjelaskan pemeriksaan CA125 memiliki sensitivitas yang

buruk dalam mendeteksi endometriosis ringan (Hoffman et al.,

2012). Penanda ini tampaknya menjadi tes yang lebih baik dalam

mendiagnosis endometriosis stadium III dan IV.

f. Pencitraan Diagnostik

Pencitraan Diagnostik yang bisa dilakukan untuk melihat

endometriosis adalah Ultrasonography (USG) dan Magnetic

Resonance Imaging (MRI) (Hoffman et al., 2012).

g. Laparaskopi Diagnostik

Laparoskopi diagnostik adalah metode utama yang

digunakan untuk mendiagnosis endometriosis (Kennedy, 2005).

Temuan laparskopi yang dilihat adalah lesi endometriosis yang

terpisah, endomterioma, dan terbentuknya perlengketan (adhesion)

(Hoffman et al., 2012).

h. Pemeriksaan Patologi Anatomi

Inspeksi visual dengan laparoskopi biasanya adekuat untuk

mendiagnosis endometriosis tetapi konfirmasi histopatologi

57
idealnya tetap dilakukan. Diagnosis histologis ditegakkan apabila

ditemukan kelenjar dan stroma endometrium. Kelenjar dan stroma

endometrium yang ditemukan kadang disertai deposit hemosiderin

dan fibromuskular (Murphy, 2002).

Pemeriksaan patologi anatomi dilakukan untuk melihat

sedimen secara makroskopik dan mikroskopik (histologi). Overton

et al. (2007) dalam buku An Atlas of Endometriosis mengatakan

bahwa endometriosis dikelompokkan berdasarkan bentuk

maksroskopik dan mikroskopiknya menjadi :

1. Implan Klasik

Implan klasik adalah implan nodular ditandai dengan

berbagai tingkat fibrosis dan pigmentasi, sehingga warna akan

bervariasi dari putih ke coklat atau hitam. Pewarnaan coklat dan

hitam disebabkan oleh jumlah hemosiderin. Pemeriksaan

histologi dari biopsi implan menunjukkan jaringan epitel kelenjar

dikelilingi oleh stroma.

2. Implan Vesikular

Implan vesikuler berukuran kecil, dapat terjadi secara

tunggal atau berkelompok. Ciri khas dari implan ini adalah

adanya vaskularisasi yang meTanpajol dan tampak berwarna

merah. Peritoneum sekitar juga dapat menunjukkan

peningkatan vaskularisasi. Histologi dari lesi menunjukkan

adanya epitel permukaan dan stroma endometrium yang

58
hipervaskuler. Cairan menumpuk di antara permukaan implan

dan peritoneum yang melapisi, sehingga berbentuk seperti

vesikel atau lepuhan. Selain berwarna merah, implan vesikuler

juga ditemukan berwarna putih. Implan diduga merupakan

tahap awal perkembangan implan sebelum terjadi vaskularisasi

dan perdarahan.

3. Implan Papular

Implan papular adalah implan kecil, bisa dalam bentuk

tunggal atau berkelompok. Warna implan ini biasanya keputih-

putihan atau kadang-kadang kuning. Secara histologi, struktur

kelenjar kistik dengan stroma ditemukan tertutup dalam jaringan

subperitoneal. Peritoneum yang melapisi implan sering

hipervaskular, dan akumulasi hasil produk sekretori dalam

struktur kistik yang berisi cairan putih keruh atau kuning.

4. Implan Hemoragik

Implan hemoragik berkembang ketika implan memiliki epitel

permukaan yang ditutupi oleh stroma dengan pembuluh darah

yang banyak. Implan hemoragik adalah implan yang aktif.

Implan ini mengikuti semua fase pada siklus menstruasi.

5. Implan Nodular

Berbeda dengan implan klasik implan nodular tidak memiliki

epitel permukaan. Komponen implan respon terhadap hormon,

berproliferasi, mengalami vasodilatasi pembuluh darah tetapi

59
tidak mencapai aktivitas sekretori penuh. Tidak ada perdarahan

pada fase menstruasi pada implan.

6. Implan Menyembuh (Healed Implant)

Implan sembuh masih mengandung sedikit kelenjar kistik

dan tidak ada stroma. Implan sembuh dikelilingi oleh jaringan

ikat, berbentuk nodular atau fibrosis pada daerah implant

tersebut.

9. Penatalaksanaan Endometriosis

Berdasar prinsip umpan balik negatif, pengobatan endometriosis

awalnya masih menggunakan estrogen. Dewasa ini, estro-gen tidak

terlalu disukai lagi dan mulai ditinggalkan. Efek samping yang

ditimbul-kan kadang-kadang dapat berakibat lanjut kematian. Salah

satu efek samping yang sangat dikhawatirkan ialah terjadinya hi-

perplasia endometrium yang dapat berkem-bang menjadi kanker

endometrium (Schenken R, 2012).

Dari berbagai jenis hormon yang telah dipakai untuk

pengobatan endometriosis dalam dua dasawarsa terakhir ini, ternyata

danazol termasuk golongan hormon sintetik pria turunan androgen

dengan substitusi gugus alkil pada atom C-17 ol. Efek anti-

gonadotropin Danazol ini terjadi dengan cara menekan FSH dan LH,

sehingga teriadi penghambatan steroidogenesis ovarium. Pemberian

danazol meng-akibatkan jaringan endometriosis menjadi atrofi dan

diikuti dengan aktivasi mekanisme penyembuhan dan resorpsi

60
penyakit.

Androgen dapat membebani fungsi hati; oleh karena itu danazol

tidak dianjurkan pada pasien endometriosis dengan penyakit hati,

ginjal, dan jantung. Selain itu, hormon ini juga termasuk hormon pria

sehingga efeknya tidak terlalu nyaman bagi wanita. Danazol juga

kadang-kadang menyebabkan perdarahan bercak (spotting) yang

tidak menyenangkan. Dewasa ini dipakai preparat medroksi pro-

gesteron asetat (MPA) dan didrogesteron. Kedua senyawa ini

merupakan progesteron alamiah dengan efek samping yang tidak

separah danazol. Bentuk yang tersedia berupa paket komposit, jadi

satu tablet dapat terdiri dari beberapa jenis obat (Selak V, 2012).

Mengingat endometriosis dapat me-nyebabkan infertil,

pengobatan endo-metriosis pada pasien dengan infertil harus

mendapatkan perhatian. Pilihan peng-obatan endometriosis pada

kasus infertil belum seragam dan bergantung pada be-berapa faktor,

yaitu usia, luasnya endo-metriosis, luas dan lokasi perlekatan pelvik,

dan faktor-faktor infertil secara ber-samaan. Kepastian diagnosis

endometriosis harus dibuat padasaat laparaskopi atau laparatomi,

oleh karena itu rencana pengobatan harus dirancang dan dimulai

dimeja operasi. Dengan adanya perkembangan pesat berbagai tehnik

pengobatan, termasuk elektrokauter, laser, dan laparaskopi operatif,

maka semua susunan endometriosis yang tampak pada saat

laparkopi awal kini telah mampu diablasi (Adamson GD,1996).

61
Pada endometriosis derajat berat dan luas pembedahan

atraumatik merupakan pilihan utama karena sudah diketahui bahwa

endometrioma yang lebih besar dari 1cm tidak menyusut selama

pengobatan medika mentosa pengangkatan endometrioma saat

operasi dilakukan karena faktor-faktor mekanik antara lain perlekatan

yang mengganggu mekanisme penangkapan ovum yang hanya dapat

ditanggulangi dengan pembedahan, oleh karena itu sekuele

endometriosis merupakan indikasi primer untuk pembedahan.

Pada endometriosis derajat minimal, pengamatan dan sikap

menunggu sering menghasilkan kehamilan. Pada derajat ringan,

pengobatan medikamentosa merupakan pilihan. Bila endometriosis

ringan terjadi bersamaan dengan factor-factor infertil tersebut. Pada

endometriosis ringan, bila disertai anovulasi, luteinized Unruptured

follicle (LUF), defekfa luteal serta hiperprolaktinemia hendaknya hal-

hal tersebut diperbaiki terlebih dahulu. Bila pendekatan demikian tidak

menghasilkan kehamilan dlam waktu dekat, maka endometriosisnya

harus diobati terlebih dahulu (Falcone T 1996).

Dengan mikroskop electron akan terlihat bahwa lesi

endometriosis yang sederhana biasanya terpencar pada permukaan

peritoneum sebagai polip-polip kecil atau bongkah-bongkah

berdiameter <1mm. lesi endometriosis ini tidak dapat dilihat dengan

mata telanjang atau dengan laparaskopi saja. Lesi ini juga dapat

62
dirusak dengan pembedahan atau koagulasi. Meskipun belum terlihat

adanya destruksi sempurna, lesi-lesi demikian dapat menyusut

selama pengobatan medikamentosa, oleh karena itu, kombinasi obat-

obatan dengan pembedahan harus beriringan (Falcone T, 1996).

Skema pengobatan endometriosis disusun berdasarkan gejala

yang paling utam dikeluhkan oleh pasien. Nyeri dan infertil merupakan

gejala yang paling sering dikeluhkan oleh pasien endometriosis.

C. Interleukin-8

Sejauh ini, sebagian besar IL-1, IL-6 dan IL-8 telah diteliti dalam

patogenesis endometriosis. Sebagian besar dari penelitian ini meneliti

tingkat interleukin dalam cairan peritoneum, tetapi beberapa laporan juga

memberikan informasi tentang perubahan perubahan dari interleukin

dalam darah.(Agic dkk, 2006)

IL-1 menginduksi sintesa prostaglandin dan merangsang proliferasi

fibroblast, deposisi kolagen dan pembentukan fibrinogen, yang dapat

menyumbang pada fibrosis dan pembentukan keterlekatan yang berkaitan

dengan endometriosis. Di samping itu, IL-1 merangsang proliferasi sel-B

dan produksi antibodi. IL-1 juga merangsang sekresi IL-2 melalui sel-T

dan sel NK, yang pada gilirannya menginduksi proliferasi sel NK dan

pertumbuhan sel-T. Konsentrasi IL-1 yang tinggi telah ditemukan da lam

cairan peritoneum penderita endometriosis. (Schall TJ, 1990)

63
IL-6 adalah suatu sitokin pleiptropik yang dihasilkan oleh sejumlah

jenis sel, termasuk limfosit, monosit, fibroblast, sel-sel endotelial,

keratinosit dan sel-sel mesangial. IL-6 disekresi oleh makrofag sebagai

respon terhadap sejumlah zat yang ditemukan dalam cairan peritoneum,

termasuk IL-1. IL-6 merupakan aktivator dari makrofag dan meningkatkan

proliferasi sel endometriosis. Meskipun demikian, Yoshioka dan kawan-

kawan melaporkan bahwa IL-6 menghambat proliferasi sel-sel stroma

endometriosis dari fase sekresi. Tetapi pengamatan ini hanya ditemukan

dalam endometrium eutopik in vitro dan tidak dalam jaringan

endometriosis. Konsentrasi IL-6 yang meningkat telah terlihat pada kultur

jaringan endometriosis ektopik dan cairan peritoneum penderita

endometriosis. (Punnonen, 1997)

IL-8 merupakan suatu sitokin yang meningkatkan pertumbuhan dan

pro-inflamasi, angiogenik yang kuat. Merupakan suatu chemoattractant

untuk neutrofil dan merangsang ekspresi dari beberapa molekul

perlekatan sel. Dapat juga mengaktivasi neutrofil dan karena itu dapat

menyumbang pada patogenesis dari penyakit-penyakit inflamasi seperti

endometriosis. Dilaporkan konsentrasi IL-8 yang meningkat dalam cairan

peritoneum penderita endometriosis, di mana suatu jumlah besar diduga

berasal dari makrofag peritoneum. Konsentrasi cairan peritoneum dari IL-8

meningkat seiring dengan beratnya penyakit. Sebaliknya, tingkat serum IL-

8 menurun seiring dengan beratnya penyakit, tetapi meskipun begitu lebih

tinggi pada pasien endometriosis dibandingkan dengan kelompok

64
kontrol. Sementara penyakit ini berkembang, tingkat IL-8 lokal (yang

serupa dengan tingkat MCP-1) dapat meningkat karena aktivitas sekresi

yang meningkat dari makrofag peritoneum dan karena pelepasan autokrin

dari sel-sel endometriosis (Gmyrek dkk, 2005)

Interleukin-8 adalah hormon golongan kemokin berupa polipeptida

dengan massa sekitar 8-10 kDa yang digunakan untuk proses dasar,

pengikatan heparin, peradangan dan perbaikan jaringan (Hedges JC,

Singer CA, Gerthoffer WT, 2008). Ciri khas Interleukin-8 terdapat pada

dua residu sisteina dekat N-terminus yang disekat oleh sebuah asam

amino. Tidak seperti sitokina umumnya, Interleukin-8 bukan merupakan

glikoprotein.

Interleukin-8 diproduksi oleh berbagai macam sel, termasuk

monosit, neutrofil, sel T, fibroblas, sel endotelial dan sel epitelial. Dua

bentuk Interleukin-8 (77 CXC dan 72 CXC) merupakan sekresi neutrofil

pada saat teraktivasi. Produksi Interleukin-8 yang berlebihan selalu

dikaitkan dengan penyakit peradangan, seperti asma, leprosy, psoriasis

dll. Interleukin-8 juga dapat menginduksi perkembangan tumor sebagai

salah satu efek angiogenik yang ditimbulkan, selain vaskularisasi. Dari

beberapa kemokin yang memicu kemotaksis neutrofil, Interleukin-8

merupakan chemoattractant yang terkuat. Sesaat setelah terpicu, neutrofil

menjadi aktif dan berubah bentuk oleh karena aktivasi integrin dan

sitoskeleton aktin. Basofil, sel T, monosit dan eosinofil juga menunjukkan

respon kemotaktik terhadap Interleukin-8 dengan terpicunya aktivasi

65
integrin yang dibutuhkan untuk adhesi dengan sel endotelial pada saat

migrasi.

Peran Interleukin-8 sebagai faktor kemotaktik neutrofil, memiliki

dua fungsi utama. Pertama menginduksi reaksi kemotaksis dalam sel

target terutama neutrofil dan granulosit lalu menyebabkan sel

tersebut bermigrasi ke tempat infeksi, Interleukin-8 juga menginduksi

fagositosis. Interleukin-8 juga dikenal sebagai promotor

ampuh angiogenesis . Dalam sel target, Interleukin-8 menginduksi

serangkaian respon fisiologis yang diperlukan untuk migrasi


2+,
dari fagositosis, seperti peningkatan kandungan Ca intraseluler
eksositosis (misalnya histamin).

Selain itu Interleukin-8 diyakini memainkan peran dalam

patogenesis bronchiolitis (penyakit saluran pernapasan umum yang

disebabkan oleh infeksi virus) (Soeroso. A, 2007).

D. Hubungan Interleukin-8 serum dengan infertile dan


endometriosis

Endometriosis telah dikenal sejak tahun 1927 dan diperkenalkan

oleh Sampson. Hubungan endometriosis dengan infertil sudah diketahui

sejak lama hanya penanganannya belum memberi hasil yang

memuaskan. Teori regurgitasi yang dikemukakan oleh Sampson masih

menjadi dasar patogenesis endometriosis sampai sekarang. Sel

endometriotik yang terbawa bersama sama debris pada saat menstruasi

masuk ke dalam kavum peritonii melalui tuba falopii. Sel endometriotik

kemudian mengadakan implantasi dan tumbuh yang akhirnya

66
berkembang menjadi endometriosis. Menstruasi merupakan keadaan

fisiologis yang dialami oleh setiap wanita pada masa reproduksi. Tetapi

hanya 10 % dari wanita tersebut menderita endometriosis.

Pada endometriosis terdapat perubahan lingkungan peritoneal yang

tidak lazim atau menyimpang akibat masuknya sel endometriotik bersama

debris pada waktu menstruasi ke dalam kavum peritonii. Perubahan dalam

lingkungan peritoneal ditandai dengan kadar sitokin yang meningkat

dalam peritoneal. Sitokin tersebut berasal dari makrofag peritoneal yang

aktif. Makrofag yang aktif menghasilkan beberapa sitokin diantranya

adalah Interleukin-8. Endometriosis dikaitkan dengan lingkungan

peritoneal inflamasi, di mana beberapa sitokin dan faktor pertumbuhan

yang ditemukan pada tingkat tinggi. Interleukin-8 adalah sitokin yang

menginduksi kemotaksis neutrofil dan merupakan agen angiogenik kuat.

Selain itu, Interleukin-8 baru-baru ini ditemukan untuk merangsang

proliferasi berbagai sel. Interleukin-8 akan meningkat pada cairan

peritoneal perempuan dengan endometriosis dan berkorelasi dengan

tingkat keparahan penyakit (Ryan, 1995).

Tinggi rendahnya kadar sitokin sangat erat kaitannya dengan berat

ringannya penyakit endometriosis. Perubahan respon imun yang

menyimpang juga berpengaruh pada folikel ovarium. Sel granulosa di

dalam folikel ovarium pada penderita endometriosis akan terlihat

meningkat jika dibandingkan dengan Tanpa endometriosis. Aktivitas

caspase sangat erat kaitannya dengan berat ringannya endometriosis dan

67
juga mempunyai hubungan dengan kesuburan ovarium yang berakibat

pada infertile.

Sitokin berperan penting pada pertumbuhan dan perkembangan

endometriosis dengan jalan mengaktifkan makrofag dan juga melalui

proses aromatase sel adipose stroma menjadi estrogen sehingga

endometriosis tumbuh dan berkembang. Selain berpengaruh pada

pertumbuhan dan perkembangan endometriosis estrogen juga

berpengaruh pada sekresi FSH. Sekresi FSH terganggu menyebabkan

folikel imatur. Folikel imatur akan menghasilkan apoptosis sel granulosa

folikel ovarii yang patologis dan mengakibatkan kesuburan ovarium

menurun dan berakhir dengan infertil.

Interleukin-8 berperan aktif pada implantasi endometrial yang

merupakan patogenesis dari endometriosis. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Ryan dan kawan-kawan menemukan bahwa terdapat

hubungan antara Interleukin-8 dengan stadium endometriosis dan hal ini

membuktikan bahwa Interleukin-8 merupakan faktor angiogenesis yang

penting pada patogenesis endometriosis dengan pembentukan pembuluh

darah baru dan proliferasi dari impalntasi endometrial (Ryan, 1995).

Selain itu fenomena imunologis lain yang melibatkan sekresi

cytokine, seperti interleukin-8 juga berperan dalam menyebabkan infertil

yang tinggi. Hal ini akan berpengaruh negatif terhadap implantasi dan

kehamilan. Kesuburan dapat terganggu oleh karena terjadi proses

inflamasi pada peritoneal. Kadar lekosit dalam peritoneal pada penderita

68
endometriosis lebih tinggi dibandingkan wanita normal, keadaan ini

mengaktifkan makrofag. Makrofag mudah melewati bagian distal tuba.

Penelitian secara in vitro memperlihatkan bahwa makrofag pada

peritoneal pada penderita inferil dengan endometriosis memfagositosis

lebih banyak sperma. Jika makrofag ini memasuki sistem reproduksi

melalui tuba, maka akan terbentuk antibodi terhadap sperma sehingga

terjadi infertil. Produk sekresi makrofag meningkat pada endometriosis,

seperti enzim proteolitik, cytokines, dan growth factor. Hal ini akan

berpengaruh negatif terhadap proses reproduksi, antara lain mengurangi

pergerakan sperma, mengganggu interaksi sperma sel telur, kegagalan

fimbria menangkap sel telur pada saat ovulasi, menghambat pertumbuhan

embrio dan berakhir dengan infertil.

69
E. Penelitian Terkait

No Nama Hasil penelitian

IL-8 mungkin juga relevan untuk merangsang


pelekatan implan endometrium dalam patogenesis
endometriosis. Selain itu, kepatuhan sel endometrium
menginduksi ekspresi IL-8 lebih lanjut oleh
Ann N Y mekanisme yang bergantung pada integrin.
1 Acad Singkatnya, IL-8 dapat bertindak sebagai faktor
Sci. 2002 pertumbuhan autokrin di endometrium dan mungkin
juga berperan dalam patogenesis endometriosis
dengan mempromosikan lingkaran setan dari
endapan sel endometrium, pertumbuhan sel, dan
sekresi sitokin ini lebih lanjut.
Interleukin-8 terdeteksi pada PF pada sebagian besar
wanita (67%). Konsentrasi interleukin-8 lebih tinggi
Isabelle P.
pada PF wanita dengan endometriosis daripada
2 Ryan, M.D.
kontrol normal yang sesuai. Sebuah korelasi yang
dkk
signifikan antara konsentrasi PF IL-8 dan stadium
endometriosis dicatat.
Tingkat IL-8 pada cairan peritoneal secara signifikan
lebih tinggi pada pasien dengan endometriosis
daripada pada pasien tanpa endometriosis. Sebuah
Tomio korelasi yang signifikan dicatat dengan tingkat
3 Iwabe endometriosis aktif. Interleukin-8 secara signifikan
M.D, dkk meningkatkan jumlah sel dan sintesis DNA pada sel
stroma endometrium dan endometriotik dengan cara
yang tergantung dosis. Transkrip IL-8 reseptor tipe A
terdeteksi pada sel stroma

terdapat hubungan antara Interleukin-8 dengan


stadium endometriosis dan hal ini membuktikan
Ryan, dkk bahwa Interleukin-8 merupakan faktor angiogenesis
4
1995 yang penting pada patogenesis endometriosis dengan
pembentukan pembuluh darah baru dan proliferasi
dari impalntasi endometrial

70
kadar interleukin 6 dan Interleukin-8 dalam zalir
Oepomo, peritoneal lebih tinggi pada infertile dengan
5 endometrisosis dengan rerata IL-8 5.21280±8.11607
2005
dibanding dengan infertile dengan non
endometriosis dengan rerata IL-8 0.55587±0.26333

konsentrasi IL-8 yang meningkat dalam cairan


peritoneum penderita endometriosis, di mana suatu
jumlah besar diduga berasal dari makrofag peritoneum.
Konsentrasi cairan peritoneum dari IL-8 meningkat
seiring dengan beratnya penyakit. Sebaliknya, tingkat
serum IL-8 menurun seiring dengan beratnya penyakit,
6 Gmyrek tetapi meskipun begitu lebih tinggi pada pasien
dkk,2005
endometriosis dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Sementara penyakit ini berkembang, tingkat IL-8 lokal
(yang serupa dengan tingkat MCP-1) dapat meningkat
karena aktivitas sekresi yang meningkat dari makrofag
peritoneum dan karena pelepasan autokrin dari sel-sel
endometriosis

Palma dkk pada tahun 2007 melakukan penelitian


terhadap 40 pasien AV dengan cara mengambil
punksi dari lesi inflamasi AV. Dan dilakukan
Palma et
7 pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi produksi IL-1B,
al., 2007
IL-8 dan TNF-α. Pada penelitian
peningkatan interleukin dan yang tertinggi adalah IL-8
(16) kemuadian IL-1Β (13) -αdan. TNF
Wang dkk melakukan penelitian pada 30 pasien
dengan AV dan 20 kontrol dengan mengambil sampel
darah dan menggunakan pemeriksaan ELISA
digunakan untuk deteksi konsentrasi IL-8 dan TNF-a
dan mendetksi adanya hubungan antara TLR dan IL-
8 Wang et 8, TNF-α. Pada penelitianutdidapatkankadarte
al., 2011
serum IL-8 dan TNF-αyang menin
signifikan pada pasien AV dibandingkan dengan
kontrol tanpa AV serta menunjukkan bahwa ekspresi
TLR2 berkorelasi dengan positif dengan konsentrasi
IL-8 dan TNF-α .

71
Sugisaki ddk meneliti mengenai peningkatan produksi
interferon gamma, interleukin 12p40 dan interleukin-8
9 Sugisaki et pada spesimen darah penderita AV dan didapatkan
al., 2009
peningkatan sitokin yang lebih tinggi pada penderita
AV dibandingkan deng an non akne.

Ghoname pada tahun 2008 melakukan studi


mengenai ekspresi TLR2 dan IL-8 pada pasien AV
dibandingkan dengan kulit tanpa lesi dan didapatkan
10 Ghoname et ekspresi m-RNA dari TLR2 dan IL-8 secara statistik
al., 2008
lebih tinggi pada biopsi kulit dengan lesi dibandingkan
tanpa lesi. Ditemukan korelasi yang kuat antara TLR2
dan IL-8 pada biopsi lesi kulit.

Penelitian lainnya mengenai IL-8 pada AV pernah


dilaporkan oleh All,dkk yang meneliti mengenai
All et al., ekspresi IL-8 pada biopsi kulit dari lesi inflamasi AV
11
2007 dibandingkan dengan normal dan ditemukan ekspresi
IL-8 pada lesi AV lebih tinggi dibandingkan dengan
sampel non lesi (p<0.001).

72
F. Kerangka Teori

Faktor Penyebab Endometriosis :


Hubungan Seks saat Retrogade Menstruasi
Menstruasi, Genentik, Genetik
Sistim Imun Sistem Imun
Metaplasia

Darah haid berbalik Darah Haid Keluar


Mestruasi
ke rongga pelvis melalui Vagina

Sel endometrium masuk Perubahan


Limfosi, B, T,
& mampu bertahan Lingkungan
NK
dalam cairan peritoneal peritoneal

Mengaktifkan
Makrofag
Faktor Lain
Risiko Infertil
Perlekatan sel Peningkatan aktifitas dan Pada Wanita
endometrium dan
Jumlah Interleukin-8
peritoneum

Menarche Dini Usia


- Merangsang metaplasia
Implantasi
& angiogenesis
menyebabkan invasi
- Merangsang perlekatan
lesi endometriosis pada
sel stroma endometrium Funsional Organ
daerah pelvik Obesitas
- Proliferas stroma Reproduksi
endometrium
- Menyokong implantasi
Pertumbuhan dan dan pertumbuhan
pemeliharaan jaringan Ovulasi Tidak Siklus Haid
endometrium ektopik
endometriosis Baik tidak Teratur

Infeksi organ
Perdarahan secara siklik pH Vagina ↑
Hormon Estrogen reproduksi
dalam rongga

Gangguan
Inflamasi kronik/ Anatomi
pembentukan
peritoneal fibrosis
Pola hidup
tidak sehat

ENDOMETRIOSIS
Stress,
Lingkungan,
Obat-
obatan
Merusak Gangguan
Distorsi Obstruksi
Jaringan pertumbuhan
Anatomi Tuba
Ovarium oosit

Folikel
Immatur

INFERTIL

Skema Kerangka Teori Oleh Sampson (2009),

73
G. Hipotesis

1. Kadar interleukin-8 serum pada ibu infertile dengan endometriosis

lebih tinggi daripada ibu infertile tanpa endometriosis

2. Ada hubungan kadar Interleukin-8 dengan infertil dengan

endometriosis

74
H. Kerangka Konsep

Infertil dengan
endometriosis
Interleukin-8
Serum
Infertil tanpa
endometriosis

- Umur ibu
- Lamanya infertil
- Dismenore
- Siklus Haid

Ket :

Variabel Independen : Interleekin-8 Serum

Variabel Dependen : Infertil dengan endometriosis, Infertil tanpa

endometriosis

Variabel perancu : Umur, Lama Infertil, Dismenore

75

Anda mungkin juga menyukai