Anda di halaman 1dari 42

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS
2.1.1 SEJARAH
AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome pertama kali ditemukan di
Amerika Serikat pada tahun 1981, ketika CDC atau Centers for Disease Control
andPrevention menjumpai kasus pneumonia Pneumocystis jiroveci (P. jiroveci)
pada pria homoseksual yang sebelum nya sehat dan sarcoma Kaposi dengan atau
tanpa pneumonia P.jiroveci, serta infeksi oportunistik pada 26 orang pria
homoseksual yang sebelumnya sehat di New York, San Francisco, dan Los
Angeles. Pada tahun 1983 virus HIV atau HumanImmunodeficiency Virus berhasil
ditemukan dari pasien dengan limfadenopati, dan pada tahun selanjutnya secara
jelas ditemukan bukti bahwa virus HIV merupakan penyebab AIDS1.
Sampai dengan saat ini, masalah HIV-AIDS masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian lebih, terutama dalam rangka
mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang juga merupakan bagian
dari unsur MDGs (Millenium Development Goals) pemerintah, yaitu
menanggulangi penyakit infeksi dan penyakit menular. Program MDGs ini juga
sejalan dengan misi UNAIDS tahun 2015 agar tidak ada lagi penyebaran infeksi
(zero new infections), kematian (zero AIDS-related deaths), dan stigma (zero
discrimination) karena HIV-AIDS 2.
Salah satu langkah pencegahan semakin bertambahnya jumlah penderita
HIV adalah dimulai dari populasi yang beresiko tinggi terinfeksi virus HIV,
dalam hal ini salah satunya adalah pada WBP/tahanan. Menurut survey,
prevalensi infeksi HIV di Rutan/Lapas secara signifikan lebih tinggi dari populasi
HIV pada umumnya2. Penanganan populasi khusus ini harus dimulai dari
melakukan pemeriksaan tes HIV yang disertai dengan pemberian konseling.
Diharapkan dengan pemeriksaan ini tidak hanya untuk memastikan status HIV
nya, tapi juga menjadi pintu masuk untuk pengobatan infeksi nya dan pencegahan
penularan ke orang lain.

21

Universitas Sumatera Utara


2.1.2 VIRUS HIV
HIV merupakan virus RNA yang menyebabkan AIDS. Virus ini termasuk
dalam famili Retrovirus dan subfamili Lentivirus. Virus HIV sendiri dibagi
menjadi dua tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 merupakan virus klasik pemicu
AIDS, yang didapatkan pada sebagian besar populasi di dunia. Sedangkan HIV-2
diisolasi dari binatang dan beberapa pasien di Afrika Barat, dan dalam jumlah
kecil ditemukan juga di Amerika 3.
Virus HIV memiliki lapisan membran lipid yang dibatasi oleh matriks
protein yang ditempeli oleh tonjolan glikoprotein gp120 dan gp41, yang akan
berikatan dengan reseptor CD4. CD4 merupakan protein yang dominan dijumpai
pada limfosit T yang berperan pada sistem imunitas tubuh. Selain itu, dapat
dijumpai juga pada permukaan monosit ataupun makrofag serta sel dendritik
ataupun Langerhans.
Inti virus HIV berbentuk corong (cone) yang disusun dari protein p24, berisi 2
kopi RNA untai tunggal yang mengandunng enzim reverse transcriptase yang
berperan dalam tahap replikasi dimana akan mengubah inti RNA menjadi DNA 5.

Gambaran virus HIV sendiri dapat dilihat pada gambar berikut 1:

Gambar 2. Virus HIV

22

Universitas Sumatera Utara


Setelah berikatan dengan reseptor CD4, siklus perjalanan replikasi virus HIV
dapat dilihat pada gambar berikut 5:

Gambar 3. Siklus Replikasi Virus HIV

2.1.3 PENULARAN VIRUS HIV


HIV ditularkan terutama melalui kontak seksual, baik antara heteroseksual
maupun antara sesama jenis (laki-laki dengan laki-laki); selain itu juga dapat
ditularkan melalui kontak non seksual seperti transfusi darah, penggunaan jarum
suntik, ataupun penularan dari ibu ke bayi.
Penularan yang disebabkan oleh hubungan seksual merupakan penyebab
yang dominan dari infeksi HIV di seluruh dunia. Hal ini umum terjadi terutama di
negara sedang berkembang diantara heteroseksual, dan di negara maju yang
didominasi antara lelaki dengan lelaki. Tingkat penularan tidak hanya dipengaruhi
oleh jumlah virusnya, tapi juga dipengaruhi faktor lain seperti jenis hubungan
seksual (tingkat penularan lebih tinggi pada hubungan seksual melalui anus) dan
ada tidaknya ulkus di daerah genitalia. Resiko tertular HIV dari transfusi darah
diketahui pada tahun 1982 dimana pasien hemophilia yang mendapat transfusi
darah, mengalami infeksi HIV. Saat ini, resiko penularan melalui transfusi darah

23

Universitas Sumatera Utara


kasus nya cukup rendah, karena unit transfusi darah sudah melakukan
pemeriksaan untuk mendeteksi virus HIV sebelum diberikan kepada resipien.
HIV juga dapat ditularkan melalui penggunaan jarum suntik pada pemakai
narkotika, dimana sering menggunakan jarum suntik bersama-sama. Resiko HIV
meningkat tergantung pada durasi injeksi, frekuensi berbagi jarum suntik, dan
jumlah orang yang ikut menggunakan jarum suntik bersama-sama.
Penularan virus HIV dari ibu ke bayi dapat terjadi sejak bayi masih di
dalam kandungan, selama proses persalinan, ataupun saat menyusui. Saat ini
resiko penularan ke bayi dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan status
HIV pada ibu hamil. Jika dijumpai positif HIV, maka persalinan harus dilakukan
terencana dengan tindakan operasi dan memberikan terapi Anti Retro Viral (ARV)
tanpa memandang jumlah CD4 nya 1,4.

2.1.4 PATOGENESIS AIDS


AIDS merupakan kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan
diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang 6.
Perjalanan penyakit AIDS dimulai dari adanya infeksi primer. Infeksi ini akan
menunjukkan gejala lebih dari 50% kasus HIV, akan tetapi sering tidak
terdiagnosa. Periode inkubasi berlangsung 2-4 minggu setelah paparan. Durasi
gejala bervariasi, tapi jarang lebih dari dua minggu. Manifestasi klinis yang
didapat dari infeksi primer, dapat dilihat pada gambar berikut 5.

Gambar 4. Tampilan Klinis Infeksi Primer HIV

Pada fase ini, penegakan infeksi HIV dideteksi dengan pemeriksaan virus
HIV-RNA menggunakan metode PCR atau Polymerase Chain Reaction ataupun
dengan mendeteksi antigen p24. Virus akan meningkat jumlahnya dan menyebar
secara luas pada fase ini, dimana jumlah virus akan mencapai jutaan kopi per

24

Universitas Sumatera Utara


milimeternya yang berlangsung selama beebrapa minggu. Antibodi spesifik anti-
HIV di serum dapat dideteksi 2-12 minggu setelah timbul gejala tersebut di atas.
Setelah fase infeksi primer, akan diikuti fase klinis laten yang ditandai dengan
tidak adanya gejala klinis atau asimtomatik. Pemeriksaan fisik yang mungkin
dijumpai adalah limfadenopati generalisata yang persisten dengan diameter < 2
cm. Pada fase ini jumlah virus mulai menurun seiring terbentuknya respon imun,
dan akan terus bertahan selama 3 bulan. Fase ini berlangsung selama lebih kurang
9 tahun hingga akhirnya pasien mengalami kondisi yang disebut sebagai AIDS.
Pada fase AIDS mulai timbul gejala klinis yang sesuai dengan infeksi
oportunistiknya, dimana gejala ini dapat menentukan juga jenis stadium HIV pada
pasien. Jumlah CD4 pada fase ini akan terus menurun, dan hal ini dapat dijadikan
patokan kemungkinan infeksi apa yang mungkin terjadi pada pasien HIV. Berikut
adalah gambar yang menunjukkan jenis infeksi yang timbul sesuai dengan jumlah
CD4 pasien 5

Gambar 5. Jumlah CD4 dan Resiko Infeksi yang Mungkin Terjadi pada Pasien HIV

Seluruh perjalanan penyakit yang disebabkan virus HIV hingga akhirnya menjadi
kondisi AIDS, dapat dilihat pada gambar berikut

25

Universitas Sumatera Utara


Gambar 6. Perjalanan Penyakit Virus HIV

2.1.5 EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS


Berdasarkan data Global AIDS Update, di tahun 2015 jumlah penderita
HIV mencapai 36,7 juta orang di seluruh dunia, dan diantaranya adalah kasus baru
sebanyak 2,1 juta orang. Di Asia sendiri, jumlah penderita HIV mencapai 5,1 juta
orang dengan kasus baru 300.000 orang di tahun 2015 8.
Sedangkan data di Indonesia sejak tahun 2005 hingga Desember 2016, akumulasi
kasus HIV mencapai 232.323 orang dan AIDS sebesar 86.780 orang. Dari data
ini, pada bulan Oktober sd Desember tahun 2016 terdapat 13,287 orang terinfeksi
HIV, dan 3.812 orang dengan AIDS. Kasus HIV-AIDS sendiri lebih banyak pada
pria dibandingkan wanita, dengan perbandingan 2 : 1. Persentase infeksi HIV
tertinggi dilaporkan tertinggi pada kelompok umur 25-49 tahun sebesar 68%, dan
pada kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (35,3%). Faktor
resiko HIV-AIDS sendiri tertinggi bila penderita melakukan hubungan seks
beresiko pada heteroseksual, diikuti LSL (lelaki seks lelaki), dan penasun
(pengguna narkoba suntik) 9.

2.1.6 DIAGNOSIS LABORATORIUM HIV


Diagnosis HIV ditegakkan dengan kombinasi antara gejala klinis dan
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis yang dijumpai dapat dilihat pada stadium

26

Universitas Sumatera Utara


AIDS penderita, sedangkan pemeriksaan laboratorium HIV dideteksi dengan dua
cara yaitu secara langsung maupun tidak langsung.
Deteksi HIV secara langsung adalah dengan menemukan virus HIV atau bagian-
bagian dari virus tersebut, misalnya dengan pemeriksaan antigen p24, HIV-RNA
dengan metode PCR ataupun kultur virus. Antigen p24 dapat ditemukan di serum,
plasma, dan cairan serebrospinal. Kadarnya akan meningkat pada keadaan infeksi
akut, dengan sensitivitas 99% dan spesifitas 99,9%. Pemeriksaan ini hanya
dianjurkan pada pasien resiko tinggi terinfeksi HIV tapi hasil serologis nya
negatif, dan dapat juga dipakai pada bayi dengan ibu yang positif HIV.
Pemeriksaan HIV-RNA atau sering disebut viral load merupakan
pemeriksaan menggunakan teknologi PCR untuk mendeteksi jumlah virus HIV di
dalam darah. Pemeriksaan ini berguna pada keadaan bila hasil serologis belum
bisa menunjukkan hasil (seperti pada masa window period ataupun pada bayi
yang lahir dari ibu positif HIV), ataupun bila hasil pemeriksaan serologis
menunjukkan hasil intermediate.
Kultur virus HIV biasanya hanya dilakukan untuk kepentingan penelitian,
karena pemeriksaan nya yang mahal dan memerlukan waktu yang lama. Bahan
kultur didapat dari cairan plasma, serum, cairan serebrospinal, saliva, semen, dan
lender serviks.
Deteksi HIV dengan metode tidak langsung adalah dengan pemeriksaan
serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV. Metode yang paling banyak
digunakan adalah metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), karena
metode ini paling sesuai untuk screening specimen dalam jumlah besar. Metode
serologi lain adalah pemeriksaan sederhana yang tidak memerlukan alat, seperti
aglutinasi, imunofiltrasi, imunokromatografi, dan uji celup. Pemeriksaan ini dapat
dikerjakan dalam waktu kurang dari 20 menit, sehingga sering disebut uji cepat
dan sederhana (simple/rapid test). Selain kedua metode tersebut, pemeriksaan lain
adalah dengan uji Western Blot. Pemeriksaan ini jarang dilakukan dengan alasan
biaya yang besar.

27

Universitas Sumatera Utara


WHO dan UNAIDS merekomendasikan penggunaan kombinasi ELISA dan atau
uji cepat untuk pemeriksaan antibodi HIV, dibandingkan kombinasi ELISA dan
Western Blot 1,4.
Di Indonesia, tes HIV wajib menggunakan reagen tes HIV yang sudah
diregistrasi dan dievaluasi oleh institusi yang ditunjuk Kementrian Kesehatan,
yaitu dapat mendeteksi antibodi HIV-1 maupun HIV-2.
Berikut adalah alur tes HIV yang sesuai dengan pedoman nasional
pemeriksaan yang berlaku 10:

Gambar 7. Alur Diagnosis HIV


Setelah dilakukan tes HIV, langkah selanjutnya adalah menentukan tindakan yang
akan dilakukan berdasarkan hasil tes tersebut, yaitu 11:

28

Universitas Sumatera Utara


1. Tindak lanjut hasil positif: rujuk ke pengobatan HIV
2. Tindak lanjut hasil negatif:
• Bila hasil negatif dan beresiko, dianjurkan pemeriksaan
ulang minimal 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari
pemeriksaan pertama sampai satu tahun
• Bila hasil negatif dan tidak beresiko, dianjurkan
perilaku hidup sehat
3. Tindak lanjut hasil indeterminate:
• Tes perlu diulang dengan specimen baru minimal
setelah dua minggu dari pemeriksaan yang pertama
• Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan
pemeriksaan PCR
• Bila sarana pemeriksaan PCR tidak memungkinkan, tes
cepat atau rapid test diulang 3 bulan, 6 bulan, dan 12
bulan dari pemeriksaan yang pertama. Bila sampai satu
tahun hasil tetap indeterminate dan faktor resiko
rendah, hasil dapat dikatakan negatif

2.1.7STADIUM AIDS
Gejala AIDS sendiri dilihat dari tingkat stadium nya. Stadium AIDS dapat
menggunakan panduan dari WHO ataupun CDC. CDC lebih ditujukan untuk
klasifikasi stadium AIDS di negara-negara berkembang. CDC tidak hanya
mengklasifikasi stadium berdasarkan gejala klinis, tetapi juga dari nilai CD4
pasien. Di Indonesia, para klinisi menentukan stadium AIDS menurut kriteria
WHO.

29

Universitas Sumatera Utara


Pembagian stadium AIDS baik WHO maupun CDC, dapat dilihat pada
gambar berikut 5:

Gambar 8. Stadium AIDS menurut WHO & CDC

Gambar 9. Stadium AIDS berdasarkan nilai CD4

30

Universitas Sumatera Utara


2.1.8HIV-AIDS DI INDONESIA
Di Indonesia, orang yang terinfeksi HIV disebut ODHA (Orang yang
Hidup dengan HIV dan AIDS). Selain itu terdapat populasi kunci dan populasi
khusus. Populasi kunci atau key population adalah populasi yang terdiri dari
sekumpulan orang yang dengan perilaku yang memiliki resiko tinggi untuk
menularkan dan ditularkan infeksi HIV. Termasuk dalam kelompok ini adalah
Wanita Pekerja Seks (WPS), Waria, LSL yaitu lelaki yang berhubungan seks
dengan lelaki, dan penasun 4. Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS
Provinsi (KPAP) DKI Jakarta tahun 2014, terdapat 141.633 orang populasi kunci,
dengan jumlah terbanyak adalah populasi wanita pekerja seks sebanyak 11.862
orang 9.
Sedangkan populasi khusus adalah populasi yang rentan terhadap
penularan HIV (termasuk pekerja yang bekerja dengan mobilitas tinggi, atau
sering berpisah dengan keluarganya). Populasi ini terdiri dari tahanan, Warga
Binaan Pemasyarakatan (WBP), ibu hamil, pasien Tuberkulosis (TB), kaum
migrant, pelanggan pekerja seks, dan pasangan ODHA6.

2.1.9TAHANAN & WBP


Tahanan didefinisikan sebagai terdakwa yang ditempatkan di dalam
Rumah Tahanan Negara (Rutan) untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan sidang di pengadilan. Sedangkan WBP terdiri dari narapidana, anak
didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan2. Jumlah WBP/tahanan di
Indonesia pada tahun 2011 mencapai 140.217 orang, sedangkan di Sumatera
Utara sendiri pada tahun 2007, jumlah WBP mencapai 16.509 orang 14.
Tahanan dan WBP memiliki resiko tinggi tertular dan menularkan infeksi, karena
dikaitkan dengan perilaku nya yang beresiko selama masa penahanan. Perilaku
beresiko tersebut dikaitkan dengan penggunaan injeksi napza baik sebelum masuk
tahanan, ataupun penggunaan saat masa tahanan yang terutama dikaitkan dengan
bergonta-ganti pemakaian jarum suntik; aktivitas seksual baik antara sesama
tahanan (tanpa paksaan ataupun dengan pemaksaan), dengan petugas
Rutan/Lapas, ataupun pada saat kunjungan keluarga (istri maupun suami); serta

31

Universitas Sumatera Utara


tindakan pembuatan tato, penindikan, ataupun penggunaan pisau cukur bersama-
sama 11.

2.1.10.GAMBARAN KONDISI HIV-AIDS PADA WBP/TAHANAN


Setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah WBP/tahanan secara terus-
menerus yang tidak sebanding dengan peningkatan kapasitas hunian dan sarana-
prasarannya. Situasi ini semakin mempersulit pelaksanaan pembinaan
permasyarakatan, keamanan, peredaran dan penyalahgunaan narkoba, yang
akhirnya akan berdampak pada upaya penyehatan lingkungan dan kesehatan
termasuk program pengendalian infeksi HIV-AIDS dan penyakit infeksi lainnya2.
Berdasarkan laporan WHO mengenai populasi WBP/tahanan dengan
infeksi HIV, didapatkan prevalensi yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan
pria. Sebagai contoh, di Amerika Serikat pada tahun 2005, dijumpai 2,8% wanita
di penjara memiliki hasil tes HIV positif bila dibandingkan pria yang hanya
sebanyak 1,9% saja. Menurut penelitian Butler dkk tahun 1999, prevalensi yang
lebih tinggi pada wanita dikaitkan dengan riwayat pemakaian Napza suntik
10
sebelum masuk tahanan . Menurut CDC tahun 2007, penyebaran infeksi HIV
terbesar berasal dari kontak seksual antara pria dan pria yaitu 54%, pemakaian
Napza suntik sebesar 21%, kombinasi keduanya sebesar 8% 11.
Data prevalensi WHO di Asia Tenggara, dijumpai juga prevalensi yang
cukup tinggi pada WBP/tahanan di beberapa negara. Seperti di Malaysia tahun
2001 dilaporkan 6% WBP/tahanan terinfeksi HIV, Vietnam terdapat 22.161
tahanan terinfeksi HIV pada tahun 2000, dan di Thailand pada tahun 2003
terdapat 25,4% dari 689 tahanan pria terinfeksi HIV 10.
Menurut survey sentinel di antara WBP/tahanan di Jawa Barat tahun 2006,
menunjukkan prevalensi HIV adalah 13,1%, dimana hampir 60 kali lebih tinggi
daripada rata-rata nasional. Menurut survey 24 Lapas/Rutan di Indonesia
menunjukkan prevalensi HIV mencapai 1,1% pada WBP/tahanan laki-laki dan 6%
pada tahanan wanita. Sementara menurut penelitian IMPACT di Lapas Banceuy
di Bandung menunjukkan 17,2 % adalah penasun dengan prevalensi HIV 7,2%.
Di Sumatera Utara sendiri, tepatnya di Lapas Tanjung Gusta Medan, dijumpai 40
penderita AIDS pada tahun 2014.

32

Universitas Sumatera Utara


Dengan diterapkannya Undang-Undang tentang Narkotika dan
Psikotropika (UU No. 22/1997 dan UU No.5/1997) terjadi penambahan jumlah
yang pesat dari tahanan kasus narkotika. Hal ini ikut mempengaruhi jumlah kasus
HIV yang semakin terlihat jelas sejak tahun 2006 ke atas. Peningkatan jumlah
kasus HIV ini juga diikuti dengan peningkatan jumlah kematian karena HIV.
Untuk merespon situasi ini, Kementrian Hukum dan HAM RI, sebagai pengelola
sistem pemasyarakatan, melalui Ditjen Pemasyarakatannya pada tahun 2005
menetapkan Strategi Penanggulangan HIV-AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia 2005-2009.
Strategi ini kemudian dikembangkan lebih lanjut pada Rencana Aksi Nasional
Penanggulangan HIV-AIDS dan Penyalahgunaan Narkotika di Unit Pelaksana
Teknis Pemasyarakatan Tahun 2010-2014. Diharapkan dari kebijakan ini dapat
memberikan layanan kesehatan kepada seluruh penghuni Lapas, Rutan, dan
Bapas, yang dijamin dalam konstitusi negara Republik Indonesia 2.

2.1.11PELAYANAN KONSELING DAN TES HIV


Pengendalian HIV-AIDS di Indonesia, menunjukkan kemajuan program
sejak tahun 2011, dilihat dari bertambahnya jumlah layanan tes HIV dan layanan
perawatan, dukungan dan pengobatan HIV-AIDS, yang telah terdapat di lebih dari
300 kabupaten/kota di seluruh propinsi. Jumlah orang yang dites HIV dan
penemuan kasus HIV-AIDS juga cenderung meningkat, dimana tahun 2010
sebanyak 300.000 orang dites HIV dan tahun 2013 sebanyak 1.080.000 orang 12.
Pelaksanaan tes HIV disertai konseling bertujuan tidak hanya menegakkan
diagnosis HIV-AIDS, tapi juga untuk mencegah sedini mungkin terjadinya
penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV, dan juga untuk pengobatan
lebih dini. Konseling dan tes HIV di Indonesia yang berpedoman pada pasal 27
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV
dan AIDS, wajib menjadi acuan bagi tenaga kesehatan, pengelola program,
kelompok profesi yang menjadi konselor HIV, pengelola/pengurus tempat kerja,
dan pemangku kepentingan terkait lainnya.
Layanan konseling dan tes HIV saat ini ditingkatkan cakupannya sehingga
menjadi tes sama seperti penyakit lainnya. Tes HIV dilakukan dengan

33

Universitas Sumatera Utara


menawarkan kepada ibu hamil, pasien Infeksi Menular Seksual (IMS), pasien
Tuberkulosis (TB), pasien hepatitis B atau C dan pasangan ODHA, serta
melakukan tes ulang HIV 6 bulan sekali pada populasi kunci. 2,12.
Tes HIV yang dilakukan pada dasarnya harus mengikuti prinsip yang telah
disepakati secara global, yaitu terdiri dari lima komponen dasar yang disebut 5C,
yang terdiri dari 12:
1. Informed Consent, dimana ada persetujuan akan tindakan pemeriksaan
laboratorium HIV yang diberikan kepada pasien atau wali, setelah
mendapatkan dan memahami penjelasan yang diberikan secara lengkap
oleh petugas kesehatan tentang tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut
2. Confidentiality, yaitu semua isi informasi atau konseling antara klien dan
petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan
diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien. Hasil tes ini
dapat dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang akan menangani
pasien untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai indikasi penyakit
pasien
3. Counselling, adalah proses dialog antara konselor dengan pasien yang
bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti
pasien. Konselor meberikan informasi, waktu, perhatian, dan keahliannya,
untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan
melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatan yang diberikan
lingkungan. Layanan konseling harus dilengkapi dengan informasi HIV-
AIDS, konseling pra-Konseling, dan Tes Pasca-tes yang berkualitas baik.
4. Correct test results, yaitu hasil tes harus akurat mengikuti standar
pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus dikomunikasikan
sesegera mungkin kepada pasien secara pribadi oleh tenaga kesehatan
yang memeriksa.
5. Connection to care, treatment and prevention services, dimana pasien
harus dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan
pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan
terpantau.

34

Universitas Sumatera Utara


Konseling dan tes HIV telah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun
2004, yaitu dengan pendekatan konseling dan tes HIV atas inisiatif klien atau
yang dikenal dengan Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS). Hingga saat ini,
pendekatan ini masih dilakukan bagi klien yang ingin mengetahui status HIV nya.
Sejak tahun 2010 mulai dikembangkan konseling dan tes HIV dengan pendekatan
Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Layanan Kesehatan (KTIP).
Alur konseling dan tes HIV dengan pendekatan KTIP maupun KTS di
fasilitas layanan kesehatan tergambar pada gambar berikut 12:

Gambar 10. Alur Konseling dan Tes HIV


Konseling dan tes HIV secara umum, perlu dilakukan kepada pasien dengan
alasan 12:
1. Orang atau pasangan yang ingin mengetahui status HIV nya
2. Ibu hamil yang masuk dalam Program Pencegahan Penularan HIV dari
Ibu ke Anak (PPIA)

35

Universitas Sumatera Utara


3. Penegakan diagnosis untuk keperluan pasien (pasien Hepatitis, pasien
TB, pasien IMS, ibu hamil, bayi yang lahir dari ibu dengan HIV)
4. Pasien yang diduga telah terinfeksi HIV
5. Penapisan darah donor transfusi atau organ tubuh
6. Tata laksana Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) setelah terjadinya
tusukan pada kecelakaan kerja okupasional
7. Prosedur pemeriksaan dalam kasus perkosaan
8. Perintah pengadilan dari terdakwa dalam kasus kejahatan seksual dan
sebagainya

Konseling dan tes HIV saat ini dapat dilakukan dengan sistem terintegrasi
ataupun mandiri di setiap fasilitas layanan kesehatan, termasuk didalamnya adalah
lingkungan lembaga pemasyarakatan (Lapas) / rumah tahanan (Rutan) 2.
Konseling dan tes HIV di lingkungan Lapas dan Rutan dilaksanakan
dengan menggunakan pendekatan penawaran rutin sewaktu masa pengenalan
lingkungan, dan tes ulang yang dapat dilakukan secara KTS maupun KTIP.
Layanan konseling dan tes HIV di Lapas dan Rutan mengikuti alur
layanan yang berlaku di fasilitas pelayanan kesehatan dan ditawarkan pada saat:
• Pemeriksaan kesehatan WBP baru. Perhatian khusus diberikan
bagi WBP dan tahanan yang dinilai memiliki resiko tinggi
• Melakukan edukasi HIV-AIDS kelompok yang dilakukan secara
rutin di dalam Lapas/Rutan. WBP yang berminat untuk konseling
dianjurkan untuk mendatangi klinik kesehatan Lapas/Rutan
• WBP datang ke klinik di Lapas/Rutan untuk berbagai keluhan
medis
• 1-3 bulan sebelum WBP bebas. Pada tahap ini konseling untuk
WBP adalah prosedur yang wajib dilakukan
• WBP mendapatkan pembebasan bersyarat dalam pembinaan di
balai pemasyarakatan

Konseling dan tes HIV sukarela (KTS) adalah proses konseling sukarela
dan tes HIV atas inisiatif individu yang bersangkutan. KTS meliputi tiga langkah,

36

Universitas Sumatera Utara


yaitu konseling sebelum tes (pra tes), tes HIV, dan konseling sesudah tes (pasca
tes). KTS hanya dilakukan bila pasien memberikan persetujuan secara tertulis.
Konseling dan Tes Inisiatif atas Petugas Layanan Kesehatan (KTIP) dianjurkan
sebagai bagian standar pelayanan kesehatan, termasuk didalam nya populasi kunci
ataupun dengan perilaku beresiko, seperti pada tahanan ataupun WBP. Langkah-
langkah KTIP meliputi pemberian informasi tentang HIV-AIDS sebelum tes,
pengambilan darah untuk tes, penyampaian hasil tes, dan konseling.
Konseling merupakan komponen penting pada layanan tes HIV.
Konseling dilaksanakan baik sebelum tes, sesudah tes, dan selama perawatan HIV
yang dilaksanakan oleh tenaga yang terlatih. Konseling yang dilakukan bagi WBP
umumnya berjalan dalam format konseling individual,
Hal-hal yang dapat dilakukan dalam konseling bagi WBP:
• Mengkaji permasalahan yang dialami oleh WBP terkait perilaku beresiko
HIV maupun gangguan jiwa
• Mendiskusikan strategi pengurangan resiko penularan HIV, termasuk
mendorong penerapan praktek perilaku seks dan atau penggunaan napza
yang aman apabila yang bersangkutan aktif berhubungan seks atau
menggunakan napza
• Mendiskusikan strategi mengatasi stress yang mungkin dialami selama
berada di Lapas/Rutan
• Memberikan informasi dimana klien/pasien dapat mengakses layanan
selepas dari Lapas/Rutan

Setelah dilakukan konseling kepada pasien, tahap selanjutnya adalah tes


HIV. Tes HIV idealnya dilakukan di laboratorium yang tersedia di fasilitas
layanan kesehatan. Jika layanan tes tidak tersedia, maka dilakukan di laboratorium
rujukan. Bagi tahanan atau WBP yang ada di Lapas dan Rutan yang belum
memiliki sarana tes atau petugas belum terlatih, maka tes darah dilakukan dengan
bekerja sama dengan puskesmas setempat. Tes darah dapat dilakukan melalui
kegiatan mobile (mendatangi Lapas dan Rutan) ataupun dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan terdekat yang sudah mampu melaksanakan tes HIV 2,12.

37

Universitas Sumatera Utara


2.1.12 PENERAPAN KONSELING & TES HIV DI BEBERAPA NEGARA
Penerapan KTIP di Rutan/Lapas di Amerika Serikat sendiri, memiliki
prevalensi yang bervariasi antar 39-83%. Penerimaan WBP/tahanan untuk
melakukan tes HIV lebih tinggi di Rutan/Lapas dengan prevalensi HIV rendah
dibandingkan di Rutan/Lapas dengan prevalensi HIV yang lebih tinggi. Beberapa
alasan penolakan dari para WBP/tahanan ini antara lain ketidakyakinan bahwa
perilakunya beresiko untuk tertular HIV dan rasa ketakutan bila hasil tes nya
positif. Hal ini akhirnya membuat beberapa Rutan/Lapas menerapkan sistem
pemeriksaan HIV dengan metode routine offer. Sistem Lembaga Pemasyarakatan
di Kanada juga menerapkan metode routine offer pada saat WBP/tahanan masuk
Rutan/Lapas, dan di Australia pemeriksaan tes HIV dilakukan pada saat masuk,
selama di tahanan, dan menjelang kebebasannya.
Negara-negara miskin atau berkembang, pemeriksaan HIV tidak secara
aktif ditawarkan pada WBP/tahanan pada saat masuk atau selama di penjara,
tetapi pemeriksaan dapat dilakukan bila WBP/tahanan meminta sendiri untuk
dilakukan tes HIV. Aksesibilitas untuk melakukan tes HIV tergantung pada
fasilitas yang tersedia di Rutan/Lapas tersebut 9.

2.1.11 PERAWATAN DAN PENGOBATAN


Bila tahanan atau WBP terinfeksi HIV, dapat dimulai langkah perawatan
dan pengobatan. Menurut WHO langkah perawatan dan pengobatan meliputi
perawatan kronis, akut, dan paliatif. Perawatan kronis meliputi pengobatan
dengan ARV, dukungan untuk kepatuhan konsumsi ARV, profilaksis infeksi,
manajemen klinis seperti diare, demam ataupun penurunan berat badan, dan
pencegahan penularan HIV. Perawatan akut meliputi diagnosis, pengobatan, serta
pencegahan berbagai macam infeksi oportunistik. Sedangkan perawatan paliatif
meliputi perawatan, pengobatan gejala dan keluhan yang timbul pada fase akut,
kronis, dan menjelang kematian. Ketiga jenis perawatan tersebut dapat disediakan
di layanan kesehatan dasar seperti di klinik Rutan dan Lapas 2,12.
Bila Lapas/Rutan belum mampu melakukannya, dapat dilakukan rujukan
dengan jejaring kerja sama dan rujukan dengan rumah sakit setempat atau
terdekat. Sebagai contoh di Sumatera Utara, pusat rujukan nya adalah Rumah

38

Universitas Sumatera Utara


Sakit Adam Malik, Rumah Sakit Haji Medan, Rumah Sakit Pirngadi, dan Rumah
Sakit Bhayangkara 13.
2
Alur rujukan ke luar Lapas/Rutan dapat dilihat pada bagan berikut

Gambar 11. Alur Rujukan Layanan Kesehatan ke luar Lapas/Rutan


2.1.13PENCEGAHAN HIV-AIDS DI LAPAS/RUTAN
Pencegahan perlu diterapkan di lingkungan Lapas/Rutan sebagai usaha
mencegah penularan HIV ke sesama narapidana maupun petugas di Lapas/Rutan
dan mencegah timbulnya infeksi oportunistik seperti tuberkulosis.
Tindakan pencegahan dasar yang dilakukan di Lapas/Rutan salah satunya adalah
kewaspadaan standar. Pencegahan ini dirancang untuk melindungi petugas
kesehatan dan pasien dari berbagai infeksi, termasuk infeksi yang ditularkan
melalui darah. Rekomendasi kewaspadaan ini meliputi kebersihan tangan dengan
mencuci tangan dengan benar, penggunaan alat pelindung untuk mencegah
paparan infeksi, etika batuk yang benar, menjaga kebersihan lingkungan,
pembuangan limbah dengan benar, dan melakukan tindakan sterilisasi pada
peralatan perawatan pasien 2.
Sedangkan pencegahan penularan HIV-AIDS diantara sesama tahanan
ataupun WBP, tergantung pada faktor resiko penularannya. Pencegahan yang
dilakukan meliputi pencegahan penularan melalui hubungan seksual maupun non
seksual. Penelitian yang dilakukan di lapas/Rutan di Indonesia tahun 2010
menunjukkan penularan infeksi HIV terbanyak adalah melalui Napza suntik 14.
Pencegahan hubungan seksual meliputi:
• Tidak melakukan hubungan seksual
• Setia dengan pasangan
• Menggunakan kondom secara konsisten
• Mengobati Infeksi Menular Seksual (IMS) sedini mungkin

39

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan tindakan pencegahan non seksual ditujukan untuk mencegah
penularan HIV melalui darah. Hal ini ditujukan terutama bagi tahanan/WBP yang
menggunakan napza suntik. Langkah pencegahan yang dimaksud meliputi 5:
• Program layanan alat suntik steril dengan konseling perubahan perilaku
• Mendorong pengguna napza suntik untuk menjalani program terapi
rumatan

Selain itu dianjurkan untuk tidak menggunakan alat pembuat tato, tindik, ataupun
pisau cukur secara bersama-sama.

2.2 SIFILIS
2.2.1 SEJARAH
Sifilis merupakan salah satu IMS (infeksi menular seksual) yang
menimbulkan kondisi cukup parah misalnya infeksi otak (neurosifilis), kecacatan
tubuh (gumma). Pada populasi ibu hamil yang terinfeksi sifilis, bila tidak diobati
dengan adekuat, akan menyebabkan 67% kehamilan berakhir dengan abortus,
lahir mati, atau infeksi neonatus (sifilis kongenital).1 Sifilis dapat bermanifestasi
lokal dan sistemik berbetuk bermacam-macam dan dapat menyerupai banyak
penyakit sehingga sering disebut sebagai “the great imitator” atau “the great
impostor”. Dalam perjalanannya, sifilis kadang dapat dikenali karena pada
sebagain besar infeksi berlangsung silent, dapat diselingi dengan periode laten
tanpa gejala, dan dapat hilang sendiri walau tidak mendapat pengobatan.2
Walaupun telah tersedia teknologi yang relatif sederhana dan terapi efektif dengan
biaya yang sangat terjangkau, sifilis masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang meluas di berbagai negara di dunia. Bahkan sifilis masih
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal di banyak
negara16.

2.2.2. Definisi
Penyakit sifilis adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Treponema
pallidum (T.pallidum), yang terutama ditularkan melalui hubungan seksual. Sifilis
secara khas ditandai dengan periode aktif yang disela oleh periode infeksi laten.

40

Universitas Sumatera Utara


Tidak seperti penyakit infeksi lainnya, sifilis jarang didiagnosis berdasarkan
penemuan kuman penyebab dari pemeriksaan langsung. Diagnosis sifilis terutama
didasarkan pada reaksi serologis terhadap treponema.17

2.2.3. Epidemiologi
Diseluruh belahan dunia hingga saat ini sifilis tetap merupakan masalah
kesehatan utama. Angka kejadian infeksi baru (insiden) diperkirakan 112 juta per
tahun di seluruh dunia, terutama di Afrika, Amerika Selatan, China, dan Asia
Tenggara. Di Asia Tenggara diperkirakan terjadi 4 juta infeksi baru per tahun.
Kejadiannya akhir-akhir ini meningkat di negara-negara Eropa terutama pada
kelompok Lelaki Suka sama Lelaki (LSL). Penularan sifilis dari ibu hamil ke
bayinya menyebabkan sifilis kongenital yang merupakan 50% penyebab bayi lahir
mati. Tiap tahun diperkirakan terjadi 500 ribu dan 1,5 juta sifilis kongenital3,4.
Survey Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2011 di Indonesia juga
melaporkan prevalensi sifilis masih cukup tinggi. Pada populasi waria, prevalensi
sifilis sebesar 25%, WPSL (wanita penjaja seks langsung) 10%, LSL (lelaki yang
berhubungan seks dengan lelaki) 9%, warga binaan lembaga pemasyarakatan 5%,
pria berisiko tinggi 4%, WPSTL (wanita penjaja seks tidak langsung) 3% dan
penasun (pengguna narkoba suntik) 3%.16,17,19

2.2.4 Etiologi
T.pallidum merupakan anggota genus Spirochaetas memiliki 4 spesies
yang pathogen terhadap manusia dan hewan. Spesies Leptospira menyebabkan
leptospirosis. Spesies Borella menyebabkan relapsing fever dan lyme disease.
Spesies Brachyspira yang menyebabkan infeksi usus, serta spesies Treponema
yang secara umum menyebabkan segolongan penyakit yang dsebut
treponematoses. Spesies Treponema terdiri lagi dari beberapa sub-spesies yang
dapat menyebabkan penyakit pada manusia, diantaranya: (1) Treponema pallidum
subsp.pallidum yang menyebabkan sifilis; (2) Treponema pallidum
subsp.pertenue yang menyebakan yaws; (3) Treponema pallidum
subsp.endemicum yang menyebabkan endemic syphilis (bejel) dan (4) Treponema

41

Universitas Sumatera Utara


pallidum subsp.carateum yang menyebabkan penyakit pinta. Dari keempat
subspecies Treponema di atas, hanya sifilis yang merupakan peyakit kelamin.17
T.pallidum subspecies pallidum berbentuk spiral tipis, mempunyai sel
yang dibungkus membrane trilaminar cytoplasmi, yang terdiri dari lapisan
peptidoglikan serta lipid-rich outer membrane yang hanya memiliki sedikit
protein sehingga berguna untuk menghindari deteksi sistem imun. Untuk
mobilisasi organisme ini memiliki endoflagella.16
T.pallidum tidak dapat dikultur secara invitro. Memiliki beberapa gen
yang bertanggung jawab pada transport asam amino, karbohidrat dan elektrolit.
Organisme ini memiliki single circular geome yang stabil tanpa elemen yang
mudah berpindah-pindah seperti bakteri lain. Hal ini menyebabkan organisme ini
sulit bermutasi dan mungkin dapat menjelaskan rendahnya kejadian resistensi
antibiotika pada sifilis.16

Histopatologis T.pallidumGambaran
mikroskop elektron denganpengecatan
Gambar 12. T Pallidum Steiner silver

2.2.5. Pathogenesis
Sifilis terutama menular melalui kontak seksual baik melalui vaginal, anal,
atau oral. Metode penularan lainnya yang lebih jarang adalah berciuman, berbagi
jarum suntik yang tidak aman, transfusi darah, needle stick injury, dan cangkok
organ. Secara klasik sifilis menyebabkan penyakit yang terbagi dalam beberapa
stadium : (1) masa inkubasi tanpa gejala; (2) sifilis primer yaitu timbulnya lesi
primer pada tempat inokulasi pertama; (3) sifilis sekunder yang terjadi akibat
penyebaran kuman ke seluruh tubuh dengan berbagai manifestasi klinik; (4)
Stadium klinis atau laten yang dapat berlangsung hingga bertahun-tahun dan
hanya dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologis; (5) sifilis tersier, stadium
akhir dari sifilis berupa penyakit progresif yang melibatkan susunan saraf pusat,

42

Universitas Sumatera Utara


pembuluh darah besar, dana atau pembentukan gumma yang dapat terjadi pada
semua organ 17
Sifilis primer, sekunder, dan laten awal merupakan stadium yang sangat
menular, dengan resiko penularan sebesar 60%. Kontak langsung dengan lesi kulit
sifilis primer atau sekunder merupakan penularan terbanyak. Pada stadium laten
awal, kemungkinan penularan menurun hingga sekitar 25%. Bayi baru lahir
tertular sifilis akibat infeksi dalam rahim, tetapi bayi dapat juga tertular akibat
kontak dengan lesi genital ibu pada saat persalinan. Risiko penularan dari wanita
dengan sifilis primer atau sekunder yang tidak mendapat pengobatan adalah
sekitar 70-100%. Risiko ini menurun hingga 40% bila ibu hamil berada pada
stadium laten awal dan 10% pada stadium laten lanjut atau sifilis tersier. Empat
puluh persen kehamilan pada wanita dengan sifilis menyebabkan kematian janin.
Secara teoritis, sifilis dapat menular melalui air susu ibu (ASI) dari ibu dengan
sifilis primer atau sekunder walaupun hal ini jarang ditemukan.17
Saat penularan T.pallidum dapat menembus membran mukosa mukosa
utuh atau kulit dengan mikroabrasi. Dalam beberapa jam pertama akan memasuki
jaringan limfatik dan aliran darah yang akan menimbulkan gejala infeksi sistemik
dan fokus metastatik sebelum timbulnya lesi primer. T.pallidum membelah diri
setiap 30 hingga 33 jam. Darah dari penderita dalam masa inkubasi dan sifilis
stadium awal sangat menular. Lamanya masa inkubasi berbanding terbalik dengan
jumlah inoculum Treponema. Semakin banyak jumlah Treponema yang
terinokulasi, maka semakin pendek masa inkubasinya. Masa inkubasi rata-rata
berlangsung 3 minggu sejak inokulasi pertama dan jarang berlangsung sampai
lebih dari 6 minggu. 17
Menandai stadium sifilis primer, muncul lesi primer pada tempat inokulasi
yang disebut canchre. Canchre biasanya bertahan dalam waktu 4-6 minggu dan
kemudian sembuh sendiri. Pemeriksaan histopatologis pada Canchre menemukan
infiltrasi masif perivaskular terutama oleh sel limfosit CD4 dan CD8, sel plasma,
serta makrofag. Ditemukan juga proliferasi endotel kapiler dan obliterasi
pembuluh-pembuluh darah kecil. Gejala-gejala konstitusi dan mukokutan sifilis
sekunder muncul antara 6-8 minggu setelah lesi primer menyembuh. Lima belas
persen penderita mengalami sifilis sekunder pada saat lesi primer masih ada.

43

Universitas Sumatera Utara


Tetapi pada beberapa penderita paska lesi primer, sifilis sekunder tidak ditemukan
dan penderita langsung masuk dalam stadium sifilis laten. Gambaran
histopatologis lesi sifilis sekunder meliputi hiperkeratosis epidermis, proliferasi
kapiler disertai dengan pembengkakkan endotel dan infiltrasi perivaskular oleh
limfosit CD4 dan CD8, sel plasma, serta makrofag. Treponema dapat ditemukan
pada jaringan termasuk cairan serebrospinal dan humor aques pada mata. Invasi
Treponema pada susunan saraf pusat (SSP) terjadi pada minggu pertama infeksi
dan kelainan pada SSP ditemukan pada 40% penderita sifilis sekunder.17
Hepatitis dan glomerulonephritis dapat terjadi pada sifilis sekunder
walaupun jarang. Gangguan fungsi hati ditemukan hingga 25% pada penderita
sifilis primer. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) generalisata terjadi pada
85% penderita sifilis sekunder. Lesi sifilis sekunder biasanya hilang sendiri dalam
2-6 minggu dan sifilis memasuki stadium laten yang hanya dapat dikenali dengan
menggunakan tes serologis. Stadium laten dapat diselang-seling oleh beberapa
episode kekambuhan mukokutan pada tahun-tahun pertama. Sekitar satu dari tiga
penderita sifilis yang tidak diobati dan melewati masa laten akan memasuki
stadium sifilis tersier. Pada stadium akhir ini manifestasi yang sering ditemukan
adalah gumma, sifilis pada sistem kardiovaskular, dan neorosifilis lanjut. Faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya sifilis tersier hingga saat ini belum banyak
diketahui. Kematian akibat sifilis terutama terjadi sifilis tersier. 17

2.2.6.Gejala dan tanda


Setelah masa inkubasi antara 2-6 minggu lesi primer muncul, sering
disertai dengan limfadenopati regional. Pada sifilis sekunder, dapat ditemukan lesi
mukokutan dan limfadenopati generalisata yang diikuti dengan periode laten
infeksi subklinis yang berlangsung bertahun-tahun. Keterlibatan SSP dapat terjadi
pada saat awal dan dapat asimtomatik atau simtomatik. Pada kurang lebih 1/3
kasus yang tidak diobati, berlanjut menjadi stadium 3, yang ditandai dengan
gejala destruktif mukokutan, musculoskeletal atau lesi parenkimal, aortitis atau
manifestasi SSP lanjut. Pada penderita HIV, gejala dan tanda-tanda di bawah ini
menjadi tidak jelas2. Gejala dan tanda sifilis dewasa ditunjukkan pada tabel 1.17

44

Universitas Sumatera Utara


Tabel 1. Gejala dan tanda Sifilis pada dewasa
Stadium Manifestasi klinis Durasi
Primer Ulkus/luka/tukak, biasanya soliter, tidak nyeri, 3 minggu
batasnya tegas, ada indurasi dengan pembesaran
KGB regional (limfadenopati)
Sekunder Bercak merah polimorfik biasanya di telapak 2-12 minggu
tangan dan telapak kaki, lesi kulit
papuloskuamosa dan mukosa, demam, malaise,
limfadenopati generalisata, kondiloma lata,
patchy alopecia, meningitis, uveitis, retinitis
Laten Asimtomatik Dini < 1
tahun;
Lanjut > 1
tahun
Tersier
Gumma Destruksi jaringan di organ dan lokasi yang 1-46 tahun
Sifilis terinfeksi 10-30 tahun
kardiovaskular Aneurisma aorta, regurgitasi aorta, stenosis
Neurosifilis osteum >2 tahun-20
tahun
Bervariasi dari asimtomatis sampai nyeri kepala,
vertigo, perubahan kepribadian, demensia,
ataksia, pupil Argyll Robertson
Sumber : kemenkes RI 2013

Sifilis primer
Munculnya chancre menandai stadium sifilis primer. Chancre timbul pada
tempat inokulasi pertama T.pallidum. Pada pria LSL, chancre dapat ditemukan
pada penis, rectum atau mulut. Pada wanita chancre bisa ditemukan pada labia
dan serviks. Hal ini menyebabkan sifilis primer pada wanita dan pria LSL lebih

45

Universitas Sumatera Utara


sulit ditemukan daripada pada pria heteroseksual. Chancre biasanya berupa
papula tunggal yang tidak nyeri, cepat terkikis dan berindurasi. Dasar chancre
biasanya halus, pinggirnya lebih tinggi dan teraba kenyal. Tanpa infeksi sekunder,
chancre tampak bersih tanpa eksudat.17
Variasi bentuk lesi tergantung dari status imunologis penderita terhadap
Treponema dan jumlah Treponema yang berinokulasi. Inokulum berjumlah besar
akan menyebabkan lesi ulseratif pada pederita yang nonimun, tetapi dapat
menyebabkan lesi papula asimtomatik pada penderita yang telah berada pada
stadium laten sifilis. Inokulum kecil dapat hanya menimbulkan lesi berbentuk
papula pada penderita yang nonimun. Oleh karena itu, sifilis tetap harus
dipertimbangkan pada lesi genital yang tidak khas. Diagnosis banding lesi primer
sifilis meliputi lesi yang disebabkan infeksi virus herpes simpleks, chancroid,
regional (inguinal) biasa terjadi dalam 1 minggu pertama timbulnya chancre.
Chancre hilang sendiri dalam waktu 4-6 minggu (rentang 2-12 minggu) tetapi
limfadenopati dapat bertahan hingga beberapa bulan.17

Ulkus sifilis primer anorectal Ulkus sifilis primer labia mayor Ulkus sifilis primer di Gpenis
Gambar 13. Ulkus Sifilis Primer

Sifilis Sßekunder
Manifestasi sifilis sekunder adalah lesi mukokutan dan limfadenopati
generalisata yang tidak terasa nyeri. Pada 15% kasus, kejadian sifilis sekunder
overlapping dengan sifilis primer, terutama pada penderita HIV. Lesi
mukokutaneus dapat berupa ruam yang berbentuk makula, papula,
papulaskuamosa atau pustular syphilides. Beberapa bentuk dapat terjadi
bersamaan. Ruam yang ringan kadang tidak disadari penderita dapat ditemukan
hingga 25%. Makula muncul pertama kali pada tubuh dan ekstremitas proksimal,
berwarna merah atau merah muda yang tidak terasa gatal. Makula ini kemudian

46

Universitas Sumatera Utara


berubah menjadi papula yang tersebar keseluruh tubuh termasuk telapak tangan
dan kaki. Lesi nekrotik yang dikenal sebagai lues maligna sering juga ditemukan
pada penderita HIV. Penyebaran lesi sekunder pada folikel rambut menyebabkan
kebotakan pada rambut, alis ataupun jenggot pada 5% kasus.17
Pada daerah lipatan kulit yang lembab dan hangat seperti daerah perianal,
vulva dan skrotum, papula dapat membesar hingga berbentuk papula lebar yang
lembab berwarna merah muda atau putih keabu-abuan yang disebut condyloma
lata. Condyloma lata sangat menular dan terjadi pada 10% penderita sifilis
sekunder. Erosi mukosa superfisial atau mucous patches terjadi pada 10-15%
kasus dan terutama terjadi pada mukosa oral dan genital. Mucous patches
berwarna abu-abu dan pinggir yang kemerahan dan tidak terasa nyeri.17
Gejala-gejala konstitusional dapat mendahului atau menyertai sifilis
sekunder, diantaranya adalah nyeri menelan (15-30%), demam (5-8%), penurunan
berat badan (2-20%), lemah badan (25%), anoreksia (2-10%), nyeri kepala (10%),
dan meningismus (5%). Meningitis akut ditemukan pada 1-2% kasus, tetapi
kelainan cairan SSP dapat ditemukan hingga 40%. T.pallidum dapat ditemukan
pada cairan SSP penderita sifilis primer dan sekunder hingga 30%. Gejala dan
tanda yang lebih jarang ditemukan pada sifilis sekunder meliputi hepatitis,
nefropati, keterlibatan gastro intestinal, artritis, dan periostitis. Gangguan mata
yang dapat ditemukan adalah kelainan pupil dan neuritis optic selain iritis dan
uveitis. Uveitis anterior ditemukan pada 5-10% kasus dengan sifilis sekunder dan
T.pallidum dapat ditemukan pada cairan aqueos. Hepatitis biasanya asimtomatik,
glomerulonephritis terjadi akibat deposit kompleks imun dan menyebabkan
proteinuria yang dapat berujung pada sindroma nefrotik. Seperti juga sifilis
primer, manifestasi sifilis sekunder menghilang sendiri dalam waktu 1-6 bulan.17

Bercak kemerahan sifilis sekunder di kaki di tangan di punggung

47

Universitas Sumatera Utara


Bercak kemerahan di vagina, sifilis sekunder Patchy alopecia
Gambar 14. Sifilis sekunder

Neurosifilis
Neurosifilis mempunyai 3 bentuk simtomatik yaitu meningeal,
meningovaskular dan sifilis parenkimal. Paraplegia (Erb’s paralysis) dan tabes
dorsalis termasuk kelompok yang terakhir. Sifilis meningovaskular terjadi setelah
10 tahun, dan tabes dorsalis terjadi setelah 25 tahun. Dengan kemajuan
pengobatan, gambaran neurosifilis tidak lagi khas.17
Sifilis meningeal mempunyai manifestasi sakit kepala, mual, dan muntah,
kaku kuduk, kelumpuhan syaraf kranial, kejang dan perubahan status mental.
Sifilis meningeal dapat terjadi berbarengan dengan sifilis sekunder. Penderita
sifilis dengan uveitis, iritis atau gangguan pendengaran sering juga mengalami
sifilis meningeal. Sifilis meningovaskular adalah meningitis yang disertai
vaskulitis pada pembuluh darah otak kecil sampai besar. Gambaran klinis yang
paling sering ditemukan adalah stroke yang melibatkan pembuluh darah otak pada
dewasa muda. Berbeda dengan stroke akibat trombus atau emboli yang
berlangsung mendadak, stroke akibat sifilis meningovaskular sering didahului
oleh keluhan sakit kepala, vertigo, insomnia dan gangguan psikologis yang diikuti
oleh gejala vaskular yang progresif. 17
Kerusakan parenkim yang luas akibat neurosifilis lanjut akan
menyebabkan gejala kelumpuhan umum dan termasuk di dalamnya adalah paresis
mneumonik perilaku, afektif, reflex hiperaktif, mata (Argyll Robertson pupils,
pupil kecil irregular), sensorium (delusi, ilusi, halusinasi), intelektual (penurunan
memori dan kapasitas untuk orientasi, kalkulasi, judgement dan insight), dan

48

Universitas Sumatera Utara


kemampuan berbicara. Tobes dorsalis adalah maifestasi lanjut akibat
demielinisasi koluma posterior, dorsal root dan ganglia dorsal root. Gejalanya
berupa gait lebar dan foot drop, paresthesia, gangguan miksi, impotensi, areflexia
dan kehilangan sensasi posisi, nyeri dalam dan suhu. Degenerasi sendi
(Charcoat’s joint) dan ulkus pada tungkai dapat terjadi akibat kehilangan sensasi
nyeri.17

Sifilis pada sistem kardiovaskular


Sifilis kardiovaskular yang terjadi 10-40 tahun setelah infeksi, diakibatkan
oleh endarteresis obliterans pada vasa vasorum yang memberi aliran darah pada
pembuluh darah besar. Keterlibatan kardiovaskular dapat berbentuk aortitis, aortic
regurgitation, saccular aneurisma pada aorta ascendens atau stenosis arteri
coroner.17

Gumma
Gumma adalah lesi tunggal dengan ukuran bervariasi mulai dari
mikroskopik hingga beberapa sentimeter. Gumma dapat ditemukan pada semua
organ tubuh terutama pada kulit dan tulang. Gumma pada kulit berbentuk lesi
indolen, nodul yang berindurasi atau ulserasi yang tidak nyeri. Pemeriksaan
histologis memperlihatkan inflamasi granulomatosa dengan daerah sentral
nekrosis akibat endateritis obliterans. 17

Gumma di palatum
Gumma di hidung

Gambar 15. Gumma

49

Universitas Sumatera Utara


Sifilis kongenital
Sifilis kongenital yang terjadi akibat transmisi T.pllidum pada saat
kehamilan dapat mempunyai beberapa manifestasi yaitu: (1) manifestasi dini pada
2 tahun pertama yang menular dan menyerupai sifilis sekunder pada orang dewas;
(2) manifestasi lanjut setelah 2 tahun yang tidak menular; (3) stigmata residual
yang berbentuk klasik seperti Hutchinson’s teeth, mulberry mollars, saddle nose,
dan sober shin. Tabel 2 menunjukkan gejala dan tanda sifilis kongenital.17

Gigi Hutchinson Lesi mukokutaneus pada sifilis kongenital


Gambar 16. Sifilis kongenital

Tabel 2. Gejala dan tanda sifilis kongenital


Stadium Manifestasi klinis Durasi
Dini • 70% asimtomatis Dari lahir
• Pada bayi usia < 1 bulan dapat ditemukan kelainana sampai < 2
kulit berbentuk vesikel dana tau bula tahun
• Infeksi fulmnan dan tersebar, lesi mukokutaneus,
osteokondroitis, anemia, hepatosplenomegaly,
neurosiflis
Lanjut Keratitis interstisial, lifadenopati, hepatosplenomegaly, Persisten > 2
kerusakan tulang, anemia, gigi Hutchinson, neurosifilis tahun setelah
kelahiran
Sumber : kemenkes RI 2013

50

Universitas Sumatera Utara


2.2.7. Diagnosis
Diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan kadang-kadang radiologi. Pemeriksaan
laboratorium yang tersedia adalah pemeriksaam sediaan langsung (misalnya
mikroskop lapangan gelap, direct fluorescent antibody test dan nucleic acid
amplification test), serologi (treponemal dan non treponemal test) dan
pemeriksaan cairan serebrospinal.20
Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah: (1) kontak seksual dengan
penderita sifilis, termasuk kelompok risiko tinggi (LSL, PSK, waria) yang
termasuk juga diantaranya gelandangan dan pengguna narkoba suntik (penasun),
(2) penderita dengan partner seksual multipel, (3) penderita dengan infeksi HIV,
dan penyakit menular seksual lainnya. Yang juga termasuk kelompok risiko tinggi
adalah semua pasangan seksual dari kelompok diatas.17

Pemeriksaan sediaan langsung


Pada sifilis primer, sekunder, dan tersier; pemeriksaan langsung apusan
dari lesi mukokutan dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap atau
pewarnaan immunofleresensi adalah pemeriksaan yang tercepat untuk dapat
menegakkan diagnosis. Pemeriksaan pada chancre, condyloma lata dan mucous
patches memberikan angka positif yang tinggi karena lesi-lesi ini mengandung
banyak trepoema. Walaupun demikian pemeriksaan langsung dari kulit kering
ataupun aspirasi KGB juga dapat memeberikan hasil positif.17,20
Tidak dianjurkan membersihkan lesi dengan menggunakan larutan
antiseptic, sabun atau larutan bakterisidal sebelum pengambilan bahan
pemeriksaan, karena Treponema yang mati sulit diidentifikasi; kecuali bila
menggunakan pewarnaan immunofluoreensi.17

Pemeriksaan serologis
Ada 2 macam pemeriksaan serologi pada sifilis : (1) pemeriksaan terhadap
antibodi reaginic nonspesifik non treponemal dan (2) antibodi spesifik anti-
treponemal.11,20Pemeriksaan pertama lebih murah, cepat dan mudah bila
digunakan sebagai alat skrining pada jumlah sampel yang besar, misalnya pada

51

Universitas Sumatera Utara


donor darah. Selain itu, tes non-treponemal dapat digunakan untuk memantau
aktivitas pengobatan. Tes spesifik dapat memastikan adanya infeksi sifilis saat ini
atau pada masa lalu. Kedua tes ini biasanya digunakan bersama-sama. Tes
serologis sifilis jarang memberikan hasil negatif palsu kecuali pada orang tua.17
Tes non-treponemal, seperti VDRL (venerreal disease research
laboratory), memeriksa antibodi terhadap komplek cardiolipin-lecithin-
cholesterol yang dihasilkan oleh interaksi antara T.pallidum dengan jaringan host.
Tes ini mempunyai positif semu yang tinggi sehigga hasil positif harus
dilanjutkan dengan tes treponema. VDRL merupakan tes standar untuk
pemeriksaan cairan serebrospinalis. Selain VDRL, yang termasuk dalam tes non-
treponemal adalah : rapid plasma reagin (RPR), automated reagin test (ART) dan
toluidine red unheated syphilis test (TRUST). Tes non-treponemal dianggap
positif bila titernya lebih dari 1:4, mencapai nilai titer tertinggi pada sifilis
sekunder dan late awal, kemudian menurun sesudahnya. Seiring perjalanan waktu,
25% penderita sifilis yang tidak mendapat pengobatan, tets non-reponemalnya
menjadi negatif. Perbandingan respon positif tes non-treponemal dan treponemal
dapat dilihat pada tabel 3. 17

Tabel 3. Tes serologi sifilis positif

Stadium VDRL FTA-abs TPHA


(%) (%) (%)
Sifilis primer 70 85 50-60
Sifilis sekunder 99 100 100
Sifilis laten atau 70 98 98
lanjut

Fenomena prozone, yaitu reaksi serologis yang negative walaupun kadar


antibody tinggi, dapat terjadi pada 2% kasus terutama pada sifilis sekunder dan
wanita hamil. Pengenceran bertahap pada baha pemeriksaan yang sama dapat
menunjukkan peninggian titer 4 kali.17

52

Universitas Sumatera Utara


Tes spesifik treponemal seperti FTA-abs (Flouresence treponemal
antibody-absobed) dan TPHA (Treponema pallidum hemaglutination test)
mendeteksi antibody terhadap antigen spesifik T.pallidum. tes ini memerlukan
standarisasi dalam pengerjaannya, sehingga lebih sulit dan interpetasinya dapat
bersifat subjektif. Test ini harganya mahal sehingga tidak dapat digunakan sebagai
alat skrining masal dan memiliki nilai positif semu yang rendah, sehingga tes ini
berguna untuk tes konfirmasi pada penderita dengan tes non-treponemal yang
positif. Tes spesifik positif akan berlangsug seumur hidup, tetapi 10% dapat
menjadi negative setelah mendapat terapi dini.17
Tes lain untuk mendiagnosa sifilis adalah tes PCR yang menggunakan
antigen sifilis dan isolasi bakteri. PCR spesifik tetapi tidak dapat membedakan
Trepnema mati dan yang hidup, sedangkan isolasi T.pallidum hanya dapat
dilakukan pada hewan percobaan karena T.pallidum tidak dapat tumbuh pada
media buatan. Keterlibatan SSP dapat didiagnosis dengan pleositosis (>5 sel darah
putih/uL), peningkatan protein (>45mg/dl) dan VDRL positif. Semua penderita
sifilis dengan gejala neurologi harus menjalani pemeriksaan cairan SSP tanpa
melihat stadium sifilisnya. Karena penderita sifilis mempunyai risiko tinggi untuk
terkena HIV dan juga sebaliknya. Penderita HIV dan sifilis harus dievaluasi untuk
kemungkinan adanya neurosifilis.17

Tes diagnostik cepat (Rapid diagnostic test)


Akhir-akhir ini, telah tersedia rapid test untuk sifilis yaitu (Treponema
Pallidum Rapid (TP Rapid)), menyediakan hasil antibodi treponemal dalam 10-15
menit dan dapat dilakukan dalam setting apapun karena tidak memerlukan
penyimpanan berpendingin atau peralatan laboratorium. Sensitivitas RDT berkisar
antara 85% - 98% dan spesifisitas 93% sampai 98%, dibandingkan dengan TPHA
atau TPPA sebagai standar acuan.16,20
Rapid test sifilis yang tersedia saat ini TP Rapid termasuk kategori tes
spesifik treponema yang mendeteksi antibodi spesifik terhadap berbagai spesies
treponema (tidak selalu T pallidum), sehingga tidak dapat digunakan
membedakan infeksi aktif dari infeksi yang telah diterapi dengan baik. TP Rapid
hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi treponema,namun tidak

53

Universitas Sumatera Utara


dapat menunjukkan seseorang sedang mengalami infeksi aktif. TP Rapid dapat
digunakan hanya sebagai pengganti pemeriksaan TPHA,dalam rangkaian
pemeriksaan bersama dengan RPR. Penggunaan TP Rapid tetap harus didahului
dengan pemeriksaan RPR. Jika hasil tes positif, harus dilanjutkan dengan
memeriksa titer RPR, untuk diagnosis dan menentukan pengobatan. Pemakaian
TP Rapid dapat menghemat waktu, namun harganya jauh lebih mahal
dibandingkan dengan TPHA. Bagi daerah yang masih mempunyai TPHA
konvensional/bukan rapid masih bisa digunakan

Interpretasi hasil tes serologi sifilis


Hasil tes non-treponemal (RPR) masih bisa negatif sampai 4 minggu sejak
pertama kali muncul lesi primer. Tes diulang 1-3 bulan kemudian pada pasien
yang dicurigai sifilis namun hasil RPR nya negatif.

Gambar17.Bagan alur tes serologi sifilis

54

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4. Interpretasi hasil tes serologis Sifilis dan tindakan16
RPR TPHA Titer RPR dan Interpretasi tindakan
riwayat
Negative Tidak Tidak dikerjakan - Ulangi tes 3 bulan
perlu lagi
Positif negatif Tidak dikerjakan Positif palsu Ulangi tes 3 bulan
lagi
Terdapat riwayat Masa evaluasi Tidak perlu
terapi sifilis dalam 3 terapi terapi. Ulangi tes
bulan terahir, berapa 3 bulan lagi
pun titernya
Positif Positif
1:2 Sifilis Terapi sebagai
atau laten sifilis laten lanjut.
1 :4 lanjut Evaluasi 3 bula
Tidak ada riwayat
kemudian
terapi dalam 3 bulan
≥ 1 : Sifilis Terapi sebagai
terahir
8 aktif/dini sifilis dii.
Evaluasi 3 bulan
kemudian
Positif Positif Bandingkan dengan Jika turu terapi Tdak perlu terapi.
atau titer 3 buan yang lalu berhasil Observasi dan
negative evaluasi 6 bulan
kemudian
Positif Positif Bandingkan dengan Jika naik infeksi Terapi sesuai
titer 3 bulan yang lalu baru titer/stadium
Sumber : kemenkes RI 2013

2.2.8Penatalaksanaan
Berdasarkan Guideline WHO untuk terapi Treponema pallidum (syphilis) 2016 20:
1. Sifilis dini (primer, sekunder dan sifilis laten dini durasi tidak lebih dari 2
tahun
a. Dewasa dan remaja, rekomendasi:

55

Universitas Sumatera Utara


1) Pada dewsa dan remaja dengan sifilis dini, guideline WHO infeksi

menular seksual (Sexually transmitted infections (STI)


merekomendasikan benzathine penicillin G 2.4 juta unit secara
intramuskular tanpa perawatan
2) Pada orang dewasa dan remaja dengan sifilis dini, pedoman WHO STI

lebih menyarankan penggunaan penisilin benzathine G 2,4 juta unit


sekali secara intramuskular daripada penisilin prokain G 1,2 juta unit
10-14 hari secara intramuskular.
Bila penisilin benzathine atau procaine tidak dapat digunakan
(misalnya karena alergi penisilin) atau tidak tersedia (misalnya karena
stok habis), pedoman WHO STI menyarankan penggunaan doksisiklin
100 mg dua kali sehari secara oral selama 14 hari atau ceftriaxone 1 g
intramuskular sekali sehari. Selama 10-14 hari, atau dalam keadaan
khusus, azitromisin 2 g sekali secara oral.
Keterangan: Doxycycline lebih disukai daripada ceftriaxone karena
biaya yang lebih rendah dan pemberian oral. Doxycycline tidak boleh
digunakan pada wanita hamil (lihat rekomendasi 3 dan 4 untuk wanita
hamil). Azitromisin adalah pilihan dalam keadaan khusus hanya jika
kerentanan lokal terhadap azitromisin mungkin terjadi. Jika tahap
sifilis tidak diketahui, ikuti rekomendasinya pada penderita sifilis.

b. Wanita hamil, rekomendasi:


3) Pada wanita hamil dengan sifilis dini, pedoman WHO STI
merekomendasikan penisilin benzathine G 2,4 juta unit sekali secara
intramuskular tanpa pengobatan lanjutan.
4) Pada wanita hamil dengan sifilis dini, pedoman WHO STI lebih

menyarankan penggunaan penisilin benzathine G 2,4 juta unit sekali


secara intramuskular daripada prokain penisilin 1,2 juta unit secara
intramuskular sekali sehari selama 10 hari.
Bila penisilin benzathine atau procaine tidak dapat digunakan
(misalnya karena alergi penisilin dimana desensitisasi penisilin tidak
mungkin dilakukan) atau tidak tersedia (misalnya karena stok habis),

56

Universitas Sumatera Utara


pedoman WHO STI menyarankan penggunaan, dengan hati-hati,
eritromisin 500 mg secara oral sebanyak empat kali, setiap hari selama
14 hari atau ceftriaxone 1 g intramuskular sekali sehari selama 10-14
hari atau azitromisin 2 g sekali secara oral.
Keterangan: Meskipun eritromisin dan azitromisin mengobati wanita
hamil, mereka tidak melewati barrier plasenta sepenuhnya dan
akibatnya janin tidak diobati. Oleh karena itu, perlu untuk merawat
bayi yang baru lahir segera setelah melahirkan (lihat rekomendasi 9
dan 10 untuk sifilis kongenital). Ceftriaxone adalah pilihan yang mahal
dan bisa disuntikkan. Doxycycline tidak boleh digunakan pada wanita
hamil. Karena sifilis selama kehamilan dapat menyebabkan komplikasi
merugikan parah pada janin atau bayi baru lahir, kurangnya stok
benzathine penisilin untuk digunakan dalam perawatan antenatal harus
dihindari.

2. Sifilis lanjut (durasi infeksi lebih dari dua tahun tanpa bukti infeksi
treponemal)
a. Dewasa dan remaja, Rekomendasi:
5) Pada orang dewasa dan remaja dengan sifilis lanjut atau tahap sifilis

yang tidak diketahui, pedoman WHO STI merekomendasikan


benzathine penicillin G 2,4 juta unit secara intramuskular sekali
seminggu selama tiga minggu berturut-
turuttanpaperawatan.Keterangan: Interval antara dosis penisilin
benzathine berturut-turut tidak boleh melebihi 14 hari
6) Pada orang dewasa dan remaja dengan sifilis lanjut atau tahap sifilis

yang tidak diketahui, pedoman WHO STI lebih menyarankan


benzathine penisilin G 2,4 juta unit secara intramuskular sekali
seminggu selama tiga minggu berturut-turut daripada prokain penisilin
1,2 juta unit sekali sehari selama 20 hari. Bila penisilin benzathine atau
procaine tidak dapat digunakan (misalnya karena alergi penisilin
dimana desensitisasi penisilin tidak mungkin dilakukan) atau tidak
tersedia (misalnya karena stok habis), pedoman WHO STI

57

Universitas Sumatera Utara


menyarankan penggunaan doksisiklin 100 mg dua kali sehari secara
oral selama 30 hari. Keterangan: Doxycycline tidak boleh digunakan
pada ibu hamil (lihat rekomendasi 7 dan 8 untuk wanita hamil).

b. Wanita hamil, rekomendasi:


7) Pada wanita hamil dengan sifilis lanjut atau tahap sifilis yang tidak
diketahui, pedoman WHO STI merekomendasikan penicillin
benzathine G 2,4 juta unit secara intramuskular sekali seminggu
selama tiga minggu berturut-turut tanpa perawatan.
Keterangan: Interval antara dosis penisilin benzathine berturut-turut
tidak boleh melebihi 14 hari.
8) Pada wanita hamil dengan sifilis lanjut atau tahap sifilis yang tidak

diketahui, pedoman WHO STI menyarankan penicillin benzathine G


2,4 juta unit secara intramuskular sekali seminggu selama tiga minggu
berturut-turut daripada penisilin prokain 1,2 juta unit secara
intramuskular sekali sehari selama 20 hari.
Bila penisilin benzathine atau procaine tidak dapat digunakan
(misalnya karena alergi penisilin dimana desensitisasi penisilin tidak
mungkin dilakukan) atau tidak tersedia (misalnya karena stok habis),
pedoman WHO STI menyarankan penggunaan, dengan hati-hati,
eritromisin 500 mg secara oral sebanyak empat kali, setiap hari selama
30 hari.
Keterangan: Meskipun eritromisin mengobati wanita hamil, ia tidak
melewati barrier plasenta sepenuhnya dan akibatnya janin tidak
diobati. Oleh karena itu, perlu untuk merawat bayi yang baru lahir
segera setelah melahirkan (lihat rekomendasi 9 dan 10 untuk sifilis
kongenital). Doxycycline tidak boleh digunakan pada wanita hamil.
Karena sifilis selama kehamilan dapat menyebabkan komplikasi
merugikan parah pada janin atau bayi baru lahir, kehabisan stok
benzathine penisilin untuk digunakan dalam perawatan antenatal harus
dihindari.

58

Universitas Sumatera Utara


3. Sifilis kongenital
Infant, Rekomendasi :
9) Pada bayi dengan sifilis bawaan yang dikonfirmasi atau bayi yang

normal secara klinis, namun ibunya memiliki sifilis yang tidak diobati,
sifilis yang tidak diobati secara memadai (termasuk pengobatan dalam
30 hari persalinan) atau sifilis yang diterapi dengan rejimen non-
penisilin, pedoman WHO STI menyarankan Penisilin benzil atau
penisilin prokain.
Dosis:
• Aqueous benzyl penicillin 100 000-150 000 U/kg/hari intravena
selama
10-15hari
• Procaine penisilin 50.000 U/kg/hari dosis tunggal intramuskular
selama
10-15hari
Keterangan: Jika venipuncturist berpengalaman tersedia, Aqueous
benzyl penicillin mungkin lebih disukai daripada suntikan
intramuskular penisilin prokain.
10) Pada bayi yang normal secara klinis dan ibu yang memiliki sifilis yang

telah diobati adekuat dengan tidak ada tanda-tanda reinfeksi, pedoman


WHO STI menyarankan pemantauan ketat pada bayi
Keterangan: Risiko penularan sifilis ke janin bergantung pada
sejumlah faktor, termasuk titer ibu dari tes non-treponemal (misalnya
RPR), waktu penanganan ibu dan tahap infeksi ibu, dan oleh karena itu
rekomendasi ini bersifat kondisional. Jika pengobatan diberikan,
benzathine penisilin G 50.000 U/kg/hari dosis tunggal secara
intramuskular merupakan pilihan.

2.2.9Komplikasi
Selain berbagai manifestasi yang muncul akibat kerusakan pada seluruh
organ tubuh, terutama pada sifilis tersier, sifilis juga menyebabkan peningkatan

59

Universitas Sumatera Utara


kemungkinan penularan HIV hingga 2-5 kali. Lesi siflis mudah berdarah sehingga
memudahkan penularan virus HIV saat melakukan hubungan seksual16
Penularan sifilis dari ibu ke bayi pada saat kehamilan juga akan
meningkatkan risiko keguguran dan kematian bayi beberapa hari setelah
melahirkan.17

2.2.10Pencegahan
Tidak ada vaksin untuk sifilis21.Segala jenis aktivitas seksual merupakan
faktor resiko penularan sifilis. Walaupun kontak langsung dengan lesi aktif
merupakan faktor resiko utama, tidak selalu lesi dapat terlihat sehingga semua
penderita sifilis dianggap mempunyai potensi menularkan sifilis dan harus
menggunakan hubungan seksual yang aman. Penderita asimtomatik yang
memerluka kontrasepsi harus diberikan pengertian mengenai efikasi barrier untuk
mencegah transmisi nfeksi menular seksual dan juga HIV. Pasien ini juga harus
diberikan konseling tentang pengurangan perilaku beresiko. Konseling ini juga
memberi pengetahuan tentang perlunya abstinensia seksual, pengurangan jumlah
partner seksusal, dan hubungan seksual aman.17
Pada penderita sifilis stadium primer, sekunder atau laten awal;
abstinensia seksual pada penderita dan partner seksualnya dianjurkan hingga
terapi pada keduanya selesai dan respons serologis yang memuaskan dicapai
setelah pengobatan. Sifilis dapat menular dari ibu hamil ke anaknya sehingga tes
rutin skrining sifilis merupakan hal penting yang harus dilakukan pada setiap
kehamilan.17,21
Partner notification yang bertujuan mnemukan kontak seksual penderita
sifilis dan memberikan pengobatan dini harus dilakukan oleh petugas terlatih.
Pengobatan dini pada semua kontak seksual sifilis dini dengan 2,4 juta unit
Benzatine Penisilin dapat dilakukan walaupun kontak seksual tidak mempunyai
kelainan serologis pada saat pemeriksaan karena sifilis dapat terjadi pad 30%
kontak seksual yang tes serolgisnya negatif. Pengobatan kontak dianjurkan
dilakukan pada semua kasus yang kontak seksual dengan penderita sfilis dini
dalam 90 hari terakhir.17,22,23

60

Universitas Sumatera Utara


2.2.11. Prognosis
Pengobatan pada sifilis primer dan sekunder memberikan hasil yang
sangat baik. Kegagalan terapi hanya masih ditemukan pada penderita HIV.
Penderita tabes dorsalis tidak akan membaik tetapi progresivitas penyakit akan
berkurang dengan pengobatan sifilis. Sifilis kardiovaskular juga memberikan
respon yang baik dengan pengobatan sifilis walaupun infark iskemik masih dapat
ditemukan.17,24

2.3 HUBUNGAN ANTARA PENYEBARAN SIFILIS DENGAN


PENULARAN HIV
Infeksi menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang salah satu penularannya
melalui hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular. Hubungan seks
ini termasuk hubungan seks lewat vagina, anus maupun mulut (oral). Infeksi
menular Seksual yang paling sering dijumpai salah satunya adalah Sifilis. IMS
merupakan faktor resiko independen untuk penularan HIV dan diketahui
mempermudah penularan HIV yang selanjutnya dapat berkembang menjadi AIDS
dengan tingkat kematian yang tinggi. IMS juga merupakan petunjuk tentang
terdapatnya perilaku seksual beresiko tinggi. Kemunculan IMS seperti penyakit
gonore, klamidia, sifilis dan chancroid ternyata dapat memperbesar resiko
penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High
Commissioner for Refugee, 2010).2
IMS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di dunia
termasuk di Indonesia. Kebutuhan akan adanya program penanggulangan IMS
yang efektif semakin dirasakan semenjak dibuktikan bahwa IMS merupakan
faktor resiko independen untuk penularan HIV. Keberadaan WBP dengan latar
belakang kasus penyalahgunaan narkotika suntik, tato dan praktek seksual yang
tidak aman, memberikan pemahaman bahwa Lapas/Rutan dianggap salah satu
tempat yang beresiko tinggi terjadinya penularan HIV dan IMS di Lapas/Rutan2
Secara epidemiologis terdapat kaitan erat antara penyebaran IMS dan penularan
HIV, baik dengan perlukaan maupun tanpa perlukaan. Terbukti meningkatnya
penularan HIV sebanyak 3-5 kali. IMS juga sangat memudahkan tertular HIV
karena virus tersebut dapat menular melalui cairan tubuh serta melalui darah dari

61

Universitas Sumatera Utara


luka yang ditimbulkan oleh IMS, diperkirakan IMS dengan luka dapat
meningkatkan infeksi HIV menjadi 300 kali pada paparan yang tidak
terlindungi.17
Pada Negara berkembang 3-5% wanita usia subur terdiagnosa sifilis. IMS
merupakan kofaktor penularan HIV dan penderita IMS lebih rentan terhadap HIV.
Orang dengan HIV dan IMS lebih cepat menjadi AIDS dan akan lebih mudah
menularkan kepada orang lain. Prevalensi IMS yang tinggi pada mereka yang
baru terinfeksi HIV dan dampaknya pada peningkatan jumlah virus sangat
mendukung kebutuhan skrining IMS secara rutin pada mereka yang baru di
diagnosa2.

62

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai