Anda di halaman 1dari 12

TINDAKAN BEDAH UNTUK PROLAPSUS REKTAL

Prolaps rektum didefinisikan sebagai tonjolan rektum di luar anus. Meskipun


prolaps rektum mulai dikenali sejak awal 1500 SM, tindakan bedah yang optimal
masih diperdebatkan hingga sekarang. Berbagai tindakanbedah yang tersedia
untuk mengobati prolaps rektum dapat membingungkan. Tujuan pengobatan
adalah untuk mengontrol prolaps,mengembalikan kontinensi, dan mencegah
konstipasi atau gangguan evakuasi feses. Pada pasien usia lanjut dan pasien
dengan risiko tinggi, lebih disukai metode perineum, seperti prosedur Delorme
dan prosedur Altemeier, meskipun angka kejadian kekambuhan dan tingkat
inkontinensia yang persisten tampaknya lebih tinggi bila dibandingkan dengan
prosedur transabdominal. Pada tindakan bedah abdomen dilakukan diseksi dan
fiksasi rektum yang mungkin termasuk reseksi rektosigmoid. Pada akhir abad ke-
20, prosedur laparoskopi telah diterapkan pada pengobatan prolaps rektum.
Teknik laparoskopi saat ini termasuk jahitan rektopeksi,staples rektopeksi,
rektopeksi mesh posterior dengan bahan sintesis, dan reseksi kolon sigmoid
dengan anastomosis kolorektal dengan atau tanpa rektopeksi. Pilihan prosedur
bedah bergantung pada status pasien dan preferensi dokter bedah.

Kata kunci:Prolaps rektum; Prosidentia; Rektopeksi; Laparoskopi

PENDAHULUAN
Prolaps rektum menggambarkan suatu kondisi di mana seluruh lapisan dinding
rektum menjulur melalui lubang anus. Hal ini lebih banyak ditemukan pada
wanita lanjut usia. Prolaps rektum dibagimenjadi dua jenis: prolaps total atau
ketebalan penuh dan prolapssebagian atau ketebalan parsial. Prolaps
totalmenggambarkanadanya tonjolan dari seluruh lapisan rektum ke luar anus dan,
menunjukkan adanya lipatan konsentris. Prolaps sebagianmenggambarkan kondisi
dimana dinding rektum yang menonjol terbatas pada bagian dalam saluran anus,
yang juga disebut sebagai prolaps rektum okultis atau intususepsi rektum internal.
Pada praktek sehari-hari, prolaps mukosa sulit dibedakan dengan prolaps rektum.
Prolaps mukosa bukan merupakan tonjolan dari keseluruhan lapisan dinding
rektum, melainkan sebagian dinding rektum atau hanya mukosa anal. Hal ini
harus dibedakan dari prolaps rektum karena tindakan bedah yang dilakukan
berbeda.
Secara historis, prolaps rektumdijelaskan pertama kali pada papirus pada
tahun 1500 BC [1]. Hippocrates menjelaskan pengobatan untuk prolaps rektum,
yaitu bahwa pasien dapat dirawat dengan menggantung mereka secara terbalik di
atas pohon (kaki di atas, kepala di bawah), pengolesan natrium hidroksida ke
mukosa, dan dilakukan selama 3 hari berturut-turut. Di abad pertengahan,
perawatan lain disarankan; prolaps rektum bisa dicegah menggunakan bekas luka
yang didapat melalui pembakaran anus atau dengan menggunakan tongkat. Pada
abad ke-20, prolaps anus dipelajari secara ilmiah; Meskipun demikian, etiologi
dan metode pengobatan belum ditetapkan dengan jelas. UntukSaat ini, ada
berbagai prosedur bedah untuk prolaps rektum (Tabel 1). Dalam artikel ini,
penulis akan fokus pada prosedur bedah terbaru untuk prolaps rektum.

ETIOLOGI
Pada tahun 1912, Moschowitz [2] mengamati bahwa kantong rektovaginal
anterior sangat dalam pada pasien dengan prolaps rektum dan menyarankan teori
sliding herniadimana dinding anterior rektum mengalami herniasi akibat defek
fasia pelvis. Demikian, perbaikan cacat pada m. levator ani dan penutupan Cavum
Douglas diusulkan sebagai pengobatannya. Namun metode ini menyebabkan
tingkat rekurensi yang tinggi; sehingga, tidak digunakan lagi dalam tindakan
praktek.
Pada tahun 1968, Broden dan Snallmann [3] menunjukkan bahwa
intususepsi rektummerupakan penyebab prolaps rektum dengan penggunaan
sinedefekografi. Pada tahun 1970, Theuerkauf et al. [4] membenarkan teori ini
dengan imaging yang diambil setelah melakukan tindakan radioisotop ke mukosa
rektum. Teori intususepsi rektal menjelaskan bahwa mukosa rektum, 6-8 cm dari
ambang anus, menjadi titik utama, dan terjadilah intususepsi. Intususepsi
diperburuk dengan mengejan berlebihan untuk waktu yang lama dan
kemudianprolaps rektum. Hal ini didukung oleh pengamatan bahwa tekanan
internal rektum pada pasien dengan prolaps rektum lebih rendah dari normal.
Hingga saat ini, teori intususepsi rektum telah diterima secara luas, tetapi masih
ada kontroversi. Shorvon et al. [5] melaporkan bahwa lebih dari 50% individu
normal mengalami intususepsi pada pemeriksaan sinedefekografi. Mellgren et al.
[6] mengusulkan bahwa tidak semua pasien dengan intususepsi rektal akhirnya
prolaps rektum pada akhirnya.
Selain itu, Parks et al. [7] mengemukakan teori cedera saraf perineal. Pada
tahun 1977, mereka melakukan biopsi pada dasar panggul pasien yang menjalani
perbaikan posterior penyakit fekal inkontinensia dan prolaps rektum, dan cedera
pada saraf perineum secara histologis. Mereka menjelaskan bahwa penyebab
prolaps rektum adalah melemahnya otot-otot dasar panggul karena cedera saraf
perineum. Cedera saraf perineum juga menyebabkan fekal inkontinensia.
Kemungkinan penyebab cedera saraf adalah karena turunnya dasar panggul,
persalinan pervaginam, atau mengejan berlebihan saat buang air besar. Pada
pasien dengan prolaps rektim yang tidak mengalami inkontinensia, tidak ada bukti
cedera saraf pudendal pada pemeriksaan electromyogram sfingter ani. Dengan
demikian, tampaknya teori ini hanya berlaku untuk pasien prolaps rektum dengan
fekal inkontinensia. Selain itu, relaksasi ligamen lateral dan inersia otot-otot dasar
panggul masih diduga sebagai penyebab lain untuk prolaps rektum [8].
GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSA KLINIS
Gejala yang paling sering adalah adanya penonjolan, pendarahan, sering buang air
besar, dan tenesmus. Pada fase awal, penonjolan hanya tampak selama buang air
besar, dan dalam waktu tertentu, penonjolan kemudian menjadi lebih sering
muncul dan menjadi berat. Gejala seperti batuk atau bersin, juga dapat
menginduksi peningkatan tekanan abdominal. Gejala umum lainnya adalah fekal
inkontinensia dan keluarnya lendir melalui anus. Pada kebanyakan pasien,
menurunnya tekanan rektum selama masa istirahat dan relaksasi sfingter
analmenyebabkan keluarnya lendir. Pendarahan sering terjadi pada kasus-kasus di
mana prolaps rektum tidak diatasi. Jika pendarahan atau strangulasi yang berat
terdeteksi, perawatan darurat harus segera diberikan. Jika prolaps rektum menetap
untuk waktu yang lama, gangguan urologis, seperti batu kandung kemihatau
striktur uretra, dapat jugaterjadi. Gangguan pada dasar panggul, seperti prolaps
buli atau prolaps uterus, mungkin juga terjadi[9]. Dalam kasus yang seperti itu,
terapi harus diarahkan tidak hanya pada prolaps rektum tetapi juga pada gangguan
dasar panggul.
Prolaps dubur dapat didiagnosis dengan mudah di klinik rawat jalan
dengan anamnesis dan memeriksa bentuk penonjolan. Pada kasus prolaps total,
dinding rektum dengan kongesti mukosa dan edema menonjol ke anus sepanjang
8-15 cm. Dalam beberapa kasus prolaps sebagian atau prolaps occult,
sinedefekografi sangat membantu proses diagnostik. Rektum berbentuk corong
dipisahkan dari sakrum dan berfluktuasi secara berlebihan, dan selama mengejan,
membentuk kantong berbentuk cincin. Selain itu, pada kasus prolaps dubur yang
khas, sigmoid yang panjang dan cavum douglas yang dalam juga diamati. Tes
fisiologis anorektal, seperti anal manometry, electromyography, atau pengukuran
waktu transit kolon, juga digunakan.

TINDAKAN BEDAH
Prolaps dubur hanya dapat dikoreksi sepenuhnya melalui prosedur operasi.
Meskipun demikian, sebagian besar pasien berusia tua, dengan keadaan umum
yang buruk. Dengan demikian, selama fase akut, perawatan nonoperatif seperti
obat yang mengurangi edema, menghentikan konstipasi, latihan perineum untuk
mengejan, simulasi listrik, injeksi zat sklerotik, atau ligasi pita karet dicoba.
Biofeedback sangat membantu untuk pemulihan fungsional setelah operasi, tetapi
tidak cocok sebagai yangprosedur utama pengobatan [10].
Prosedur bedah untuk prolaps rektum sangat beragam. Namun,tujuan akhir
pengobatan adalah untuk mencegah terjadinya prolaps, memulihkanfungsi buang
air besar, dan untuk mencegah sembelit atau inkontinensia.Untuk mencapai tujuan
tersebut, diperlukan diseksi atau fiksasi yang luas. Untuk mencapai tujuan ini,
operasi prosedur melalui abdomen atau perineum sangat penting. Karena itu,
metode bedah sebagian besar dibagi menjadi prosedur melalui abdomen dan
perineum. Prosedur bedah representatif adalah sebagai berikut:
Prosedur perineal
Pada awal abad ke-20, prosedur operasi melalui perineum merupakantindakan
operasiutama. Pada tahun 1891, Thiersch di Jerman menyarankan prosedur
“encirclement”, yaitu prosedur di mana prostesis dimasukkan di sekitar anus, yang
berguna untuk mempersempit lubang anus. Pada tahun 1900, Delorme di Perancis
melaporkan suatu metode yang reseksi mukosa rektum yang membentuk kolom
dan dilakukan pelapisan lapisan yang berotot. Reseksi perineal kolon-rektum
sigmoid dilaporkan untuk yang pertama kalinya pada tahun 1889 oleh Mickulicz
dan kemudian dilaporkan oleh Miles pada tahun 1933 dan oleh Gabriel et al. pada
tahun 1948; menjadi dikenal secara luas pada tahun 1971 karena Altemeier [11].
Hasil prosedur perineum ditunjukkan pada Tabel 2.

Prosedur Thiersch
Prosedur ini sering dilakukan pada pasien dengan usia tua atau risiko tinggi. Ini
adalah prosedur sederhana yang menggunakan prothesis yang mempersempitanus.
Prosedur Thiersch dapat dilakukan dengan menggunakan anestesi lokal, dan
kepuasan pasien relatif tinggi. Prosedur ini dilaporkan untuk pertama kalinya oleh
Thiersch [12], sebuah kawat perak digunakan sebagai prostesis. Saat ini, karena
adanya ulkus dan komplikasi lainnya, sebagai ganti dari kawat digunakan jahitan
dan nilon, dacron, silastic, teflon, dan silikonbahan karet. Jika lubang anus terlalu
sempit, impaksi tinja dapat terjadi. Setelah operasi, terjadinya infeksi luka relatif
umum, dan jika infeksi menjadi semakin berat, prothesis harus segera
disingkirkan. Setelah penyembuhan luka, prothesis dapat dimasukkan kembali.
Karena dilakukan secara selektif pada kelompok risiko tinggi, hasil dari tindak
lanjut jangka panjang jarang terjadi, dan angkakekambuhan dalam literatur
diperkirakan sekitar 30-50% [13-16]. Baru-baru ini, alih-alih menggunakan
prosedur Thiersch saja, dilakukan kombinasi dengan prosedur perineum lain
dalam banyak kasus.

Prosedur delorme
Prosedur Delorme membukapenyempitan berlebihan dari mukosa rektum,
membuat lapisan otot rektum terbuka, dan kemudian menjahit mukosa anorektal
[17]. Komplikasi prosedur ini yang telah dilaporkan adalah, perdarahan,
hematoma, dehiscence luka yang lama, dan stenosis. Angka mortalitas adalah 0-
4%, dan tingkat kekambuhan adalah 4-38% [18-23]. Setelah operasi, karena
rektum tidak melekat pada sakrum, telah dilaporkan tingkat rekurensi yang tinggi,
dibandingkan dengan prosedur lain. Karena prosedur ini tidak memerlukan
tindakan memasuki rongga abdomen, sehingga dapat dilakukan dengan relatif
aman; dengan demikian, itu bisa diterapkan untuk pasien usia lanjut yang berisiko
tinggi. Hasil fungsional yang dihasilkan oleh plikamuskularis untuk mengontrol
buang air besar masih kontroversial. Salah satu alasan terjadinya rekurensi adalah
tidak cukupnya reseksimukosa rektum, tetapi tidak ada konsensus yang membahas
tentang panjang optimal reseksi mukosa. Banyak ahli bedah berdasarkan
pengalaman menggambarkannya sebagai daerah yang tidak lagi mengalami
herniasi dan ketegangan dirasakan saat mukosa yang direseksi ditarik. Namun, hal
ini tidak bersifat objektif dan, karenanya, sangat membingungkan. Pada kasus
prolaps rektum total, penulis umumnya melakukan reseksi sepanjang 15-20 cm.

Reseksi perineum rektum kolon sigmoid (prosedur Altemeier)


Prosedur perineum lebih disukai di Amerika Serikat dan Eropa.Rektum yang
menonjol direseksi 2 cm di atas baris dentate, dan mesenterium dari kolon
sigmoid ditarik cukup, diikat, dan direseksi. Dapat dilakukan dengan cara dijahit
manual atau di staples untuk Anastomosis. Untuk mencegah fekal inkontinensia,
levatoplasti anterior dilakukan secara bersamaan. Tingkat komplikasi lebih rendah
dari 10%, dan perdarahan pada garis jahitan adalah komplikasi yang paling sering
terjadi. Meski jarang, abses panggul karena kegagalan penjahitan dapat terjadi.
Altemeier [24] melaporkan kasus rekurensi pada 3 dari 106 pasien.
Bagaimanapun dalam literatur, tingkat kekambuhan dilaporkan 16-30% [25-28].
Di Korea, pada tahun 1998, Rhyu et al. [29] melaporkan tingkat kekambuhan 20%
pada 16 pasien. Ketika levatorplasty dilakukan secara bersamaan, tingkat
kekambuhan dilaporkan lebih rendah dari 10% dalam observasi tindak lanjut 3
tahun [30], hal ini tergantung pada sang ahli bedah. Saat terjadi rekurensi prolaps
rektum, hal ini bisa direseksi dengan menggunakan metode yang sama [31]
Namun, Corman [11] merekomendasikan prosedur operasi melalui abdomen
untuk kasus rekurensi prolaps rektum karena risiko iskemia pada rektum distal.

Prosedur Gant-Miwa
Pada tahun 1920-an, Gant melakukan permohonan untuk melakukan
prosedurplikasi untuk kasus penyempitan mukosa rektum untuk pertama kalinya,
tetapi tidak diterima secara luas. Oleh karena itu, hasil dari prosedur ini jarang
ditemukan di literatur berbahasa Inggris. Pada tahun 1960, seorang ahli bedah
Jepang, Miwa memperkenalkan sebuah prosedur untuk melakukan prosedur
plikasi dan prosedur Thiersch secara bersamaan, dan prosedur tersebut kemudian
menjadi prosedur yang paling populer untuk prolaps rektum di Jepang [11].
Dengan menggunakan benang 3-0 yang dapat diserap, dilakukan tindakan plikasi
pada mukosa yang mengalami herniasi dengan cara ligasi mukosa, lapisan otot
dijahit 20-40 kali membentun sebuah kacang, dan pembukaan anus dipersempit
dengan menggunakan prostesis. Untuk mencegah tukak mukosa,
direkomendasikan dilakukan ligasi berjarak 5 mm . Pada tahun 2003, Yamana dan
Iwadare [32] melaporkandata Jepang yang menunjukkan bahwa tanpa adanya
komplikasi yang signifikan, tingkat rekurensi adalah 23% dan kepuasan pasien
adalah 81,3%. Di Korea, ada beberapa laporan tentang prosedur ini. Lim et al.
[33] melaporkan tingkat rekurensi 6% dalam 50 kasus. Kim et al. [34] melaporkan
prosedur yang dimodifikasi di mana levatoplasti dilakukan pada dinding rektum
posterior dan prosedur Gant-Miwa dilakukan secara bersamaan untuk area
anterior.
Pendekatan Abdominal

Pendekatan perineum adalah prosedur konservatif untuk reseksi atau mengangkat


area herniasi pada pasien dengan risiko operasi yang tinggi. Di sisi lain,
pendekatan abdominal adalah prosedur yang lebih agresif dan radikal melalui
tindakan laparatomi atau laparaskopi. Prosedur dengan pendekatan abdominal
melibatkan diseksi dan fiksasi usus yang luas; dengan demikian, jenis prosedur
bedah diklasifikasikan sesuai dengan metode atau lokasi fiksasi usus. Gambarn
prosedur abdominal adalah sebagai berikut:

Rectopexy

- Jahitan rectopexy

Jahitan rectopexy yang dilaporkan oleh Cutait pada tahun 1959 merupakan
metode paling sederhana di antara prosedur dengan pendekatan abdominal [35].
Ini adalah sebuah metode untuk menarik rektum secukupnya dan memfiksasinya
ke sacrum atau fascia dengan menggunakan jahitan yang tidak terserap tubuh
(non-absorbable). Prinsipnya adalah bahwa setelah penjahitan, fibrosis dan adhesi
terjadi; sehingga rektum terfiksasi. Tingkat kekambuhan sekitar 3 (0 27%) [36-
38]. Gangguan inkontinensia feses meningkat dalam banyak kasus, tetapi hasil
akhir berupa gejala sembelit masih kontroversial.

- Prosthetic rectopexy

Berdasarkan prinsip rectopexy oleh adhesi dan fibrosis,dengan asumsi bahwa


fiksasi menggunakan mesh akan lebih efektif daripada menggunakan jahitan
sederhana, meshes dan prostesis lainnya telah dikembangkan. Bahan-bahan yang
digunakan seperti fascia lata, nylon, polypropylene, marlex, polyvinylalchol, dan
polytape.

① Anterior sling rectopexy (operasi Ripstein)

Prosedur Ripstein diperkenalkan pada 1965, dan sudah digunakan secara luas di
Amerika Serikat. Teflon, lex, dan goretex digunakan sebagai bahan sling.
Prosedur Ripstein asli memobilisasi rektum yang berlebihan dan menariknya dan
menjahit mesh dengan jarak 4-5 cm ke tulang sakral dan dinding rektum anterior
di tingkat S2-3. Jika traksi rektum tidak adekuat, maka kemungkinan kekambuhan
tinggi. Selain itu, jika area antara sakrum dan rektum menyempit berlebihan,
konstipasi akan berkembang. Dengan demikian, penting untuk menjaga jarak 1-2
cm. Metode dimodifikasi untuk memasang mesh ke sakrum dengan jahitan atau
staples dan untuk mengekspos bagian dari dinding anterior rektum.Dalam
literatur, tingkat kekambuhan adalah 0-13%, dan angka kematian adalah 0-2,8%
(Tabel 3) [39-44]. Komplikasi intraoperatif, seperti perdarahan dan hematoma di
pleksus vena sakralis telah dilaporkan dan sering berkembang pada pria dengan
rongga panggul yang sempit. Sebagai komplikasi selanjutnya, striktur rektum
masih menjadi permasalahan. McMahan dkk. [45] melaporkan bahwa terjadinya
penyempitan rektum bisa dicegah dengan menggunakan goretex dan
memperlihatkan bagian anterior dinding rektum dengan menggunakan prosedur
yang dimodifikasi.

②Posterioir prosthetic rectopexy

Posterioir prosthetic rectopexy adalah prosedur di mana setelah rektum cukup


dimobilisasi, prostesis dimasukkan ke dalam ruang antara sakrum dan rektum
posterior dan dijahit pada rektum dan sakrum. Penggunaan spons ivalon yang
dijelaskan oleh Wells [46] pada tahun 1959 telah diadvokasi di Inggris. Meskipun
demikian, spons ivalon belum disetujui untuk digunakan dalam prosedur ini di
Amerika Serikat; dengan demikian, tidak ada laporan dari Amerika Utara. Ketika
fibrosis parah diinduksi oleh prostesis, sisi normal anorektal dipulihkan. Tingkat
kekambuhan sekitar 3%, dan mortalitas yang disebabkan oleh sepsis pelvic kira-
kira 1-2% (Tabel 4). Peningkatan inkontinensia tinja adalah 3-40% setelah operasi
[47-51]. Baru-baru ini, dipakai bahan yang dapat diserap, seperti vicryl atau
dexon, daripada spons yang tidak dapat diserap. Ketika bahan yang dapat diserap
digunakan, tingkat kekambuhan lebih rendah, dan komplikasi seperti sepsis
panggul dilaporkan sedikit lebih rendah [52]. Komplikasi terutama dipengaruhi
oleh usus yang sudah direseksi daripada oleh jenis bahan prostetik. Ketika sepsis
pelvis berkembang, prostesis harus segera disingkirkan.

Reseksi dan fiksasi

Kolektomi untuk pengobatan prolaps rektum dijelaskan berdasarkan pengamatan


bahwa setelah reseksi anterior yang rendah, anastomosisnya melekat pada
sakrum. Reseksi kolon sigmoid-rektum untuk menghilangkan kolon sigmoid yang
berlebihan, yang bisa mencegah bowl strangulation dan volvulus di beberapa
pasien. Bowl strangulation dan volvulus nampak sebagai gejala sembelit yang
‘sebenarnya’. Dalam literatur, ketika memperbaiki rektum penggunaan jahitan
lebih disukai daripada penggunaan prostesis. Mortalitas postoperatif adalah 0-
6.5%, dan tingkat kekambuhan adalah 0-5% (Tabel 5) [53-56]. Sejak usus
direseksi, mortalitas pasca operasi lebih tinggi daripada dalam prosedur lainnya.
Luukkonene dkk [55] membandingkan reseksi usus dikombinasikan dengan
rectopexy hingga rectopexy alon, dan melaporkan bahwa kejadian sembelit pasca
operasi lebih rendah pada reseksi usus dalam kombinasi dengan kelompok
rectopexy. Pada diseksi rektum, eksisi ligamentum lateral masih kontroversial.
Satu kelompok bersikeras bahwa eksisi ligamentum lateral menghasilkan
kekambuhan yang rendah sementara kelompok lain bersikeras bahwa eksisi
ligamentum dapat memperburuk konstipasi karena adanya cedera saraf otonom
pelvis [57, 58]. Dalam meta-analisis oleh Bachoodkk. [59], ketika ligamentum
lateral dieksisi, konstipasi semakin memburuk setelah operasi meskipun
insidensinya cukup rendah. Jadi, mengingat tingkat kekambuhan, mereka
bersikeras bahwa eksisi ligamentum lateral bermanfaat. Namun, keterbatasan
analisis ini adalah hanya 2 studi yang terlibat dan tidak cukup untuk menarik
kesimpulan yang pasti. Beberapa tahun belakangan ini,mempertahankan ligamen
lateral telah dianjurkan untuk meningkatkan fungsi defekasi dan untuk mencegah
konstipasi.

Prosedur laparoskopi

Kolektomi laparoskopi telah dilakukan sejak awal 1990-an. Saat ini, operasi
laparoskopi untuk prolaps rektum telah diterima luas. Prinsip-prinsip prosedur
bedah ini seperti fiksasi atau reseksi, mirip dengan laparotomi. Operasi
laparoskopi memiliki banyak keuntungan, seperti seperti pemulihan lebih awal,
rawat inap lebih pendek, lebih cepat kembali bekerja, hasil kosmetik yang unggul,
dan lebih sedikit merasakan sakit pasca operasi. Prosedur yang biasanya
dilakukan adalah prosedur fiksasi, diseksi rektum posterior dan memperbaikinya
dengan mesh, atau sigmoid colectomy (Tabel 6). Dalam banyak laporan pada
berbagai literatur termasuk penelitian meta-analisis, dibandingkan dengan
laparatomi operasi laparaskkopi kolektomi membutuhkan waktu lebih lama
sekitar 1 jam, masa rawat inap lebih pendek sekitar 3,5 hari, serta memiliki tingkat
kekambuhan dan komplikasi yang tidak jauh berbeda [60-72]. Di Korea, Yoon
dkk[73] membandingkan fiksasi rektum laparaskopik menjadi laparatomi pada 37
pasien dan melaporkan hasil operasi yang setara.

Pemilihan prosedur

Pada pasien dengan prolaps rektum, berbagai faktor harus dipertimbangkan.


Pertama, tergantung risiko operasi dan anestesi untuk memilih pendekatan
abdominal atau pendekatan perineum. Kedua, aspek fungsional seperti
inkontinensia feses dan sembelit harus dipertimbangkan dengan cermat. Pilihan
dari ahli bedah untuk satu prosedur operasi dibanding prosedur yang lain juga
penting. Pilihan berbeda tergantung pada negara dan bahan prosthestik digunakan.
Literatur terbaru menyatakan bahwa pendekatan abdominal melalui laparoskopi
mulai digunakan secara luas. Posterior prosthetic rectopexy adalah prosedur yang
disukai, dan dalam kasus reseksi usus pemeliharaan ligamentum lateral lebih
bermanfaat dalam fungsi defekasi. Pendekatan perineum menunjukkan tingkat
kekambuhan yang lebih tinggi daripada pendekatan abdominal; namun dapat
dilakukan dengan aman pada pasien risiko tinggi. Reseksi kolon sigmoid-rektum
perineal (Prosedur Altemeier) menunjukkan tingkat kekambuhan terendah dan
digunakan secara luas saat prosedur Delorme dilakukan secara selektif [74]. Jika
usus yang prolaps menunjukkan tanda inkarserata atau nekrosis sebagai pilihan
awal pendekatan perineum lebih disukai. Untuk pasien yang prolapsnya kambuh
setelah pendekatan perineum inisial, operasi ulang melalui pendekatan perineal
layak dilakukan. Baru-baru ini prosedur Altemeier lebih disukai untuk pasien
yang sehat karena rawat inap yang lebih ccepat dan prosedur yang kurang invasif
[75-77].

KESIMPULAN

Prosedur pembedahan untuk prolaps rektum beragam, menunjukkan bahwa


etiologi dan strategi pengobatan yang tepat belum jelas ditegakkan. Jika prosedur
terbaik akan dipilih dan hasil yang menguntungkan dicapai, perlu
dipertimbangkan secara cermat pemberian informasi kepada pasien dan
dibutuhkan pengalaman klinis dokter bedah terhadap tindakan. Tidak seperti
operasi untuk keganasan, aspek fungsional, seperti kualitas hidup dan defekasi,
harus dipertimbangkan dengan hati-hati dalam tindakan bedah untuk prolaps
rektum. Perhatian harus diberikan pada perawatan pasien yang multidimensional,
sebaik pada teknik tindakan bedah. Terutama, pasien prolaps rektum mungkin
mengalami prolaps uterus atau prolaps kandung kemih; dengan demikian,
pendekatan tim multidisiplin ilmu juga menjadi hal penting untuk diperhatikan.
Untuk hasil terbaik, pertimbangkan rencana sebelum pembedahan, pembedahan
optimal dengan tangan yang berpengalaman dan perawatan pasien dengan hati-
hati adalah hal yang penting.

KONFLIK KEPENTINGAN

Tidak ada potensi konflik kepentingan yang relevan dengan artikel ini yang
dilaporkan.
TABEL 1. Prosedur bedah untuk prolaps rektum

Penulis (tahun) Prosedur


Transabdominal
Rekonstruksi dasar panggul Moschcowitz (1212) Pendekatan Douglas

Graham (1942) Anterior levatoropexy

Goligher (1970) Anterior & posterior


levatoropexy

Sullivan (1990) Total pelvic mesh repair


Anterior fixation Pemberton (1937) Sigmoidopexy
Ripstein (1952) Anterior Teflon sling

Nigro (1958) Ventral Teflon sling

Posterior fixation Wells (1959) Ivalon sling


Sudeck (1923) Suture rectopexy

Reseksi Muir (1962) Anterior resection


Frykman (1969) Sigmoid resection &
rectopexy
Perineal Parks (1975) Posterior anal repair

Thiersch (1981) Perineal sling

Delorme (1964) Transanal repair

Altemeier (1971) Rectosigmoidectomy

Thomas (1975) Suture rectopexy

TABEL2. Hasil setelah prosedur perineal

Penulis Tahun Prosedur Pasien Kekambuhan Mortalitas


(%) (%)
Oliver 1994 Delorme 41 8,0 1,0
Lechaux 1995 Delorme 85 11,0 1,0
Pascatori 1998 Delorme 33 4,0 0
Liberman 2000 Delorme 34 0 0
Byun 2000 Delorme 39 3,4 0
Watkins 2003 Delorme 52 10,0 0
Altemeier 1971 Altemeier 106 3,0 0
Prasad 1986 Altemeier 25 0 0
Wiliams 1992 Altemeier 56 6,0 0
Ramanujam 1994 Altemeier 72 4,0 0
Kim 1999 Altemeier 183 29,0 0
Kimmins 2001 Altemeier 63 6,4 0
TABEL 3.Hasil setelah prosedur Ripstein

Penulis Tahun Pasien Kekambuhan Morta;itas (%)


(%)
Holmstrom 1986 108 4,0 2,8
Roberts 1988 135 10,0 0,6
Winde 1993 47 0 0
Tjandra 1993 142 7,0 0,7
Schultz 2000 69 2,0 0

TABEL 4. Hasil setelah posterior mesh rectopexy

Penulis Tahun Pasien Mesh (Jala) Kekambuhan Mortalitas


(%) (%)
Penfold 1972 101 Ivalon 3,0 0
Morgan 1972 150 Ivalon 3,0 3,0
Keighley 1984 100 Polypropylene 0 0
Luukkonen 1992 15 Dexon 0 0
Novell 1994 31 Ivalon 3,0 0
Scalgia 1994 16 Polypropylene 0 0
Yakut 1998 48 Polypropylene 0 0
Aitola 1999 96 Polypropylene 6,0 1,0
Mollen 2000 18 Teflon 0 NS
NS=Not started=belum dimulai

TABEL 5. Hasil setelah suture rectpexy dengan reseksi

Penulis Tahun Pasien Kekambuhan Mortalitas (%)


(%)
Frykman 1969 80 0 NS
Watts 1985 138 2,0 0
Luukkonen 1992 15 0 6,7
Deen 1994 10 0 0
Huber 1995 42 0 0
Yakut 1998 19 0 0
Kim 1999 176 5,0 NS
NS=Not started= belum dimulai
TABEL 6.Hasil setelah prosedur laparaskopi

Penulis Tahu Pasie Desain Prosedu Kekambuha Mortalita


n n r n (%) s (%)
Bruch 1999 32 Prospektif LSR 0 0
Kessler 1999 32 Prospektif LSR 6,0 0
Benoist 2001 18 Retrospekti LSR 0 NS
f
Solomon 2008 126 Retrospekti LSR 4,0 0
f
Yoon 2002 26 Retrospekti LSR <1 0
f
Himpens 1999 37 Prospektif LPMR 0 0
Boccansant 1999 10 Prospektif LPMR 0 0
a
Zittel 2000 29 Prospektif LPMR 4,0 0
Dulucq 2007 77 Prospektif LPMR 1,0 0
Xynos 1999 10 Prospektif LARR 0 0
Stevenson 2005 117 Prospektif LARR 2,5 <1
LSR= laparoscopic suture rectopexy

LPMR=laparocscopic posterior mesh repair

LARR=laparoscopic resection-rectopexy

NS=not started=belum dimulai

Anda mungkin juga menyukai