Anda di halaman 1dari 46

A.

Tinjauan Tentang Hemiparese Post Stroke

1. Pengertian

Hemiplegia (hemiparesis) adalah kerusakan pada seluruh korteks piramidalis sesisi

sehingga menimbulkan kelumpuhan UMN (Upper Motor Neuron) pada belahan tubuh

sisi kontralateral. Pada tahap pertama hemiparesis karena lesi kontralateral sesisi, otot-

otot wajah yang berada di atas fisura palpebrale masih dapat digerakkan secara wajar.

Pada tahap ini lidah menunjukkan kelumpuhan pada sisi kontralateral.

Hemiparese merupakan akibat lanjut dari stroke. Stroke adalah kehilangan fungsi

otak secara mendadak yang diakibatkan oleh gangguan suplai darah ke bagian otak.

Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah

kebagian otak (Brunner & Sudarth, 2000 dalam Veni Wulandari, 2009). Stroke adalah

cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak (Elizabeth J. Corwin, 2002

dalam Veni Wulandari, 2009). Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya

mendadak, progresif, cepat berupa defisit neurologis vokal atau global yang berlangsung

24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian. Semata-mata disebabkan oleh

peredaran darah otak non traumatik. Definisi stroke menurut WHO (2006) dalam Afans

(2008) adalah manifestasi klinis dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun global,

yang berlangsung dengan cepat dan lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan kematian,

tanpa ditemukannya penyakit selain daripada gangguan vaskular.

2. Etiologi

Dilihat dari etiologi stroke dapat dibagi dalam golongan besar yaitu stroke

haemoragik (perdarahan) dan stroke non haemoragik (infark ishkemia). Etiologi yang

akan penulis bahas disini adalah stroke non haemoragik saja.


Stroke non haemoragik, sangat erat hubungannya dengan atherosclerosis. Kata

atherosclerosis digunakan bagi sekelompok kelainan yang mengakibatkan menebalnya

serta mengurangnya kelenturan (elasitis) dinding pembuluh darah arteri.

Terdapat 3 jenis atherosclerosis, yaitu :

a. Atherosclerosis (ditandai oleh pembentukan ateromata (plaque intima) fokal,

b. Sclerosis Monckeberg (ditandai oleh pengapuran pada tunika media pembuluh darah

arteria) ;

c. Atherosclerosis dengan ditandai oleh proliferasi fibro - muscular atau penebalan

endotel dinding arteri berukuran kecil dan arteriol. (Lumantobing 2003)

Manifestasi klinis atherosclerosis bermacam – macam. Kerusakan dapat terjadi

melalui mekanisme sebagai berikut :

a. Lumen arteri menyempit dan menyebabkan berkurangnya aliran darah.

b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi trombosis atau perdarahan pada

ateroma.

c. Merupakan tempat untuk terjadinya thrombus dan kemudian dapat melepaskan

kepingan thrombus (embolus).

d. Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang kemudian

dapat robek (Lumantobing, 2003).

Faktor yang mempengaruhi aliran darah diotak diantaranya :

a. Keadaan arteri, arteri dapat menyempit oleh proses atherosclerosis atau tersumbat oleh

thrombus atau embolus.

b. Keadaan darah, keadaan darah dapat mempengaruhi aliran darah dan suplai oksigen.

Darah bertambah kental, peningkatan viskositas darah, peningkatan hematokrit


(misalnya pada penyakit polisitemia) dapat melambatkan aliran darah. Pada anemia

berat suplai oksigen dapat pula menurun.

c. Kelainan jantung, bila denyut jantung tidak teratur dan tidak efisien (misalnya pada

fibrilasi, blok jantung) maka curahnya akan menurun dan mengakibatkan aliran darah

diotak mengurang (iskemia). Jantung yang sakit dapat pula melepaskan embolus yang

kemudian tersangkut dipembuluh darah/arteri otak dan mengakibatkan iskemia.

Berdasarkan jenis infarknya, stroke non haemoragik dapat dikelompokkan

menjadi :

a. Transient ischemik attack (TIA), serangan stroke sementara yang berlangsung kurang

dari 24 jam.

b. Reversible ischemic neurologic defisit (RIND), gejala neurologis akan menghilang

antara lebih dari 24 jam sampai dengan 21 hari.

c. Progresive stroke atau stroke in evolution ; kelainan atau defisit neurologis

berlangsung bertahap dari ringan sampai menjadi berat.

d. Completed stroke ; kelainan neurologis sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.

Stroke iskemik berdasarkan penyebabnya menurut klasifikasi The National Institute

of Neurological Disorders Stroke Part III (NINDS III) dalam R Sujito (2007), dibagi

menjadi 4 golongan yaitu :

a. Aterotrombotik ; erat hubungannya dengan platelet, trombosis

b. Cardioemboli

c. Lakunar

d. Penyebab lain yang menyebabkan hipotensi.

3. Patologi Hemiparese Post Stroke


Secara patologi suatu infark dapat dibagi dalam trombosis serebri, emboli serebri,

dan artheritis sebagai akibat dari arteritis temporalis. Iskemik otak adalah kelainan atau

gangguan suplai darah ke otak yang membahayakan fungsi saraf tanpa memberi

perubahan yang menetap. Infark pada otak timbul karena iskemia otak yang lama dan

parah dengan perubahan fungsi dan struktur otak yang irreversible.

Gangguan aliran darah otak akan menimbulkan perbedaan daerah jaringan otak

yaitu :

a. Pada daerah yang mengalami hipoksia akan timbul edema sel otak dan bila

berlangsung lebih lama, kemungkinan besar akan terjadi infark.

b. Daerah sekitar infark menimbulkan daerah penumbra iskemik dimana sel masih hidup

tetapi tidak berfungsi.

c. Daerah diluar penumbra akan timbul edema lokal atau hiperemia berarti sel masih

hidup dan berfungsi.

Orang normal mempunyai suatu sistem autoregulasi arteri serebral. Bila tekanan

darah sistemik meningkat, pembuluh serebral menjadi vasospasme (vasokonstriksi).

Sebaliknya, bila tekanan darah sistemik menurun, pembuluh serebral akan menjadi

vasodilatasi. Dengan demikian, aliran darah ke otak tetap konstan. Walaupun terjadi

penurunan tekanan darah sistemik sampai 50 mmHg, autoregulasi arteri serebral masih

mampu memelihara aliran darah ke otak sehingga tetap normal. Batas atas tekanan darah

sistemik yang masih dapat ditanggulangi oleh autoregulasi ialah 200 mmHg untuk

tekanan sistolik dan 110-120 mmHg untuk tekanan diastolik. Ketika tekanan darah

sistemik meningkat, pembuluh serebral akan berkonstriksi. Derajat konstriksi tergantung

pada peningkatan tekanan darah. Bila tekanan darah meningkat cukup tinggi selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun, akan menyebabkan hialinisasi pada lapisan otot

pembuluh serebral. Akibatnya, diameter lumen pembuluh darah tersebut akan menjadi

tetap. Hal ini berbahaya karena pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau

berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi dari tekanan darah sistemik. Bila

terjadi penurunan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi ke jaringan otak tidak

adekuat. Hal ini akan mengakibatkan iskemik serebral. Sebaliknya, bila terjadi kenaikan

tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi pada dinding kapiler menjadi tinggi.

Akibatnya, terjadi hiperemia, edema, dan kemungkinan perdarahan pada otak (Hariyono,

dalam R. Sujito, 2007).

Adanya penyumbatan atau perdarahan pada cabang kortikal a.cerebri media dapat

menyebabkan kelumpuhan pada bagian bawah wajah sisi kontralateral, lidah belahan

kontralateral, dan otot-otot leher sisi kontralateral. Jika terjadi tumor di sekitar falx

cerebri yang dapat menekan pada kedua sisi korteks piramidalis, maka kedua daerah

somatotropik kedua tungkai bisa mengalami gangguan, sehingga terjadi kelumpuhan

UMN pada kedua tungkai (paraplegia). Lesi yang merusak korteks piramidalis jarang

terbatas pada area 4 saja, melainkan melibatkan area 6 dan 8 (daerah di depan dan di

belakangnya). Dalam hal itu gejala pengiringnya bisa berupa hipestesia atau gangguan

berbahasa (Mardjono dalam Veni Wulandari, 2009).

Jika tingkat kerusakan pada seluruh korteks piramidalis sesisi menimbulkan

kelumpuhan UMN pada belahan tubuh sisi kontralateralnya. Jika tingkat kerusakan pada

kapsula interna hampir selamanya disertai hipertonia yang khas. Tergantung pada arteri

yang tersumbat, maka lesi vaskular yang merusak kapsula interna dapat melibatkan

bangunan-bangunan fungsional lainnya juga, yaitu radiasio optika, nucleus kaudatus dan
putamen. Oleh karena itu, hemiplegia akibat lesi kapsular memperlihatkan tanda-tanda

kelumpuhan UMN yang dapat disertai oleh rigiditas, atetosis, distonia, tremor dan

hemianopia. Jika tingkat kerusakan pada level batang otak yang melibatkan jaras

kortikobulbar/kortikospinal maka terjadi sindrome hemiplegia atau hemiparese alternans.

Sindrom ini terdiri atas kelumpuhan UMN yang melanda otot-otot belahan tubuh

kontralateral yang berada di bawah tingkat lesi, sedangkan setingkat lesinya terdapat

kelumpuhan LMN yang melanda otot-otot yang dipersarafi oleh saraf cranial.

4. Gambaran Klinis

Gejala neuorologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah diotak

bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokalisinya. Gejala

utama stroke iskemik akibat trombosis serebri adalah timbulnya defisit neurologik secara

mendadak, didahului gejala prodormal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan

kesadaran biasanya tidak menurun.

Komplikasi cacat akibat stroke berdasarkan gangguan neurologi fokal otak dapat

berupa :

a. Gangguan motoris : kelemahan atau kelumpuhan separuh anggota gerak, kekakuan

pada satu extremitas atau separuh tubuh, mulut dan atau bibir mencong, lidah

mencong, pelo, melihat dobel (diplopi), kelopak mata sulit di buka (ptosis), gerakan

tak terkendali (chorea/atetosis), kejang–kejang (seizer), tersedak (aspirasi), tidak

keluar suara (disfoni/afoni)

b. Gangguan sensoris : gangguan perasaan (deficit sensoris), kesemutan (parestesi), rasa

tebal – tebal (hipertesi), tidak bisa membedakan rabaan (anestesi), pendengaran

terganggu (tinnitus/deafness), penglihatan terganggu (gangguan visual)


c. Gangguan bicara : sulit berbahasa (disfasia), tidak bisa bicara (afasia motorik), tidak

bisa memahami bicara orang (afasia sensorik), tidak dapat mengerti apa yang dilihat

(visual agnosia), tidak dapat menulis (agrafia), kepandaian mundur (predemensia),

tidak dapat berhitung (acalculia), pelupa (demensia)

d. Gangguan psikiatris : mudah menangis (force crying), mudah tertawa (force laughing),

depresi, bingung, gangguan otonom, keringat, seksual, sindroma menggerutu

e. Gangguan kognitif : yaitu pasien mengalami kesulitan untuk mengorganisasikan

informasi secara efisien dan terarah, dan juga paisen mengalami kesulitan dalam

mengingat perintah yang diberikan kepadanya (Soetedjo, dalam R. Sujito, 2007).

5. Gangguan Motorik

Seluruh reaksi keseimbangan dan serangkaian gerakan harmonis yang halus sangat

bergantung pada tonus postural yang normal. Koordinasi gerakan dan variasi postur yang

diperlukan untuk skill fungsional juga bergantung pada kemampuan bergerak secara

selektif pada bagian tubuh yang diperlukan dalam tugas fungsional, sementara

menginhibisi aktivitas dari bagian tubuh lainnya. Inhibisi pada otot yang over-aktivitas

merupakan salah satu peran yang paling penting dalam Susunan Saraf Pusat (SSP),

semenjak rasio jalur inhibitor sebanding dengan jalur eksitator dalam batang otak dan

spinal cord. Setiap skill fungsional dapat dikatakan dikelilingi oleh “dinding inhibisi”.

(Kottke, 1978) Ketika skill fungsional yang baru terbentuk maka inhibisi meningkat pada

otot yg over aktivitas.

a. Massa sinergis primitif yang terus menerus

Selektifitas terhadap aksi otot yang normal merupaan fungsi dari korteks motorik

yang dituntun dari proprioceptif feedback. Anak yang baru lahir memiliki level over-
aktivitas yg tinggi pada kontrol motoriknya. Pada saat terjadi kematangan, over-

aktivitas tersebut akan hilang dan tidak ada sama sekali pada orang dewasa.

Refleks postural masih dapat diobservasi pada manusia normal meskipun telah

terjadi modifikasi dan perubahan oleh aktivitas pusat atas SSP. Kerusakan pada pusat

atas atau pusat intermediate dari SSP (otak dan batang otak) dapat menyebabkan

abnormalitas performa motorik dengan melepaskan aktivitas pusat bawah yang tidak

rusak dari kontrol sehingga lebih banyak membangkitkan bentuk gerakan yang baru.

Ketika pasien yang mengalami hemiplegia dapat menggerakkan anggota

geraknya maka terjadi pola stereotip dengan massa sinergis yang total primitif dimana

menurut Perry (1969) dianggap sebagai respon pola primitif. Gerakan sinergis ini

berbeda dengan pola refleks spastisitas sebagai contoh bayi yang bergerak dengan

massa sinergis yang primitif tetapi tidak mengalami spastisitas. Beberapa pasien

hemiplegia tidak memiliki hipertonus yang berlebihan namun tidak mampu untuk

melakukan gerakan tertentu yang selektif atau gerakan yang terisolir. Pada kondisi ini

terapis dapat menggerakkan anggota geraknya secara pasif dalam arah yang sama dan

tidak ditemukan adanya tahanan.

Perry menggambarkan refleks sebagai respon involunter terhadap stimulus

sensorik. Bagaimanapun juga respon pola primitif digambarkan sebagai aksi volunter

pada saat pasien hemiplegia ingin melakukan tugas fungsional. Sinergis ini dianggap

sebagai pola stereotipe karena otot-otot yang berpartisipasi dalam pola gerakan dan

kekuatan memiliki respon yang sama terhadap setiap usaha. Dapat dikatakan bahwa

setiap pasien yang bergerak menggunakan massa sinergis primitif juga akan memiliki
tonus yang abnormal dan setiap pasien yang memiiki tonus yang abnormal akibat lesi

SSP juga akan bergerak tanpa seleksi penuh dari sistem saraf pusat.

b. Pola sinergis yang muncul pada hemiplegia

1) Pada anggota gerak atas

a) Fleksor sinergis

Fleksor sinergis terlihat ketika pasien berusaha mengangkat lengannnya ke atas,

mempertahankan lengannya setelah terangkat, mencapai suatu objek atau

membawa tangannya ke mulut. Fleksor sinergis yang terjadi adalah :

Scapula terjadi elevasi dan retraksi

Shoulder Abduksi dan eksterna rotasi (internal rotasi)

Elbow Fleksi

Lengan bawah Supinasi (pronasi)

Wrist Fleksi

Jari tangan Fleksi dan adduksi

Ibu jari tangan Fleksi dan adduksi

Karena hipertonus maka fleksi senergis biasanya akan muncul yang disertai

dengan internal rotasi shoulder dan pronasi lengan bawah.

b) Ekstensor sinergis

Scapula terjadi protraksi dan terdorong ke bawah

Shoulder Internal rotasi dan adduksi

Elbow Ekstensi dengan pronasi

Wrist Extensi

Jari tangan Fleksi dengan adduksi


Ibu jari tangan Fleksi disertai adduksi

Karena spastisitas maka wrist seringkali terlihat fleksi

2) Pada anggota gerak bawah

a) Fleksor sinergis

Pelvis terjadi elevasi dan retraksi

Hip Abduksi dan eksternal rotasi

Knee Fleksi

Ankle Supinasi disertai dorsifleksi

Jari kaki Plantar fleksi dan adduksi

Karena hipertonus maka jari-jari kaki biasanya fleksi sedangkan ibu jari kaki

mengalami ekstensi.

b) Ekstensor sinergis

Hip terjadi ekstensi dan internal rotasi disertai adduksi

Knee Ekstensi

Ankle Plantar fleksi dan inversi

Jari kaki Plantar fleksi dan adduksi

Karena spastisitas maka ibu jari kaki terjadi ekstensi

Variasi yang besar dan kombinasi pola gerakan yang diperlukan untuk skill

fungsional sangat bergantung pada kemampuan suatu otot atau grup otot untuk

berfungsi sebagai bagian dari sejumlah pola gerakan dan tidak hanya sebagai bagian

dari salah satu atau dua pola gerakan (B. Bobath 1978). Pada kerusakan SSP seperti

stroke, pusat atas dari SSP (otak) yang mengandung pola gerakan kompleks dan

fasilitasi untuk inhibisi pola gerakan yang kasar akan mengalami kehilangan kontrol
dan tidak terkontrol atau terkontrol secara parsial sehingga muncul pola stereotip dari

pusat bawah SSP (spinal cord).

Secara umum, gangguan fungsi akibat hemiplegi post stroke adalah sebagai berikut:

a. Gangguan mental dan intelegensi mental penderita pada umumnya, labil, kadang

bingung dan cenderung pelupa.

b. Lemah separuh badan mulai dari wajah, lengan, badan dan tungkai.

c. Gangguan ketegangan (tonus) otot tubuh yang lemah.

d. Gangguan keseimbangan dan koordinasi gerak dalam berbagai posisi dari tidur ke

duduk, duduk ke berdiri dan berdiri ke jalan.

e. Gangguan postur tubuh.

f. Gangguan aktivitas sehari-hari dalam hal aktivitas makan minum, kamar mandi,

berpakaian, dan pemeliharaan diri.

g. Gangguan aktivitas seks

B. Tinjauan Tentang Motor Relearning Programme (MRP)

Motor Relearning Programme (MRP) terbentuk dari 7 bagian aktivitas sehari-hari

yang representatif terhadap fungsi-fungsi esensial (tugas-tugas motorik) dalam kehidupan

sehari-hari, sebagian besar aktivitas tersebut dikelompokkan secara bersamaan yaitu : fungsi

extremitas atas, fungsi oro-facial, tugas-tugas motorik dalam posisi duduk dan berdiri, duduk

ke berdiri dan berdiri ke duduk, serta berjalan. Duduk dari posisi tidur terlentang merupakan

petunjuk untuk membantu pasien memperoleh lebih awal postur tegak setelah stroke pada

saat pasien memiliki sedikit kontrol motorik.


Didalam setiap bagian aktivitas dapat ditentukan rencana pengobatan, menyusun 4

langkah (lihat tabel 2.1) dan didahului oleh gambaran tentang aktivitas normal mencakup

komponen-komponen gerakan yang paling esensial.

Terapist dapat memulai suatu tahap pengobatan dengan bagian apapun atau komponen

dari bagian tersebut paling cocok bagi pasien. Bagaimanapun juga, setiap tahap pengobatan

biasanya terdiri dari komponen dari seluruh bagian.

MRP dapat dimulai secepat mungkin bila pasien secara medis dianggap stabil.

Sebaiknya pasien dibatasi pada bed saja selama jangka waktu yang pendek setelah stroke.

Pasien sebaiknya memulai pengobatan dengan bagian-bagian dari program MRP sebagai

contoh fungsi oro-facial, fungsi extremitas atas dan ekstensi hip untuk persiapan berdiri.

Tabel 2.1
Empat langkah atau tahap dalam Motor Relearning Programme

No Tahap/Langkah Komponen
.
1. Tahap I Analisis Tugas :
Observasi
Membandingkan
Analisis
2. Tahap II Latihan pada komponen-komponen yang hilang :
Penjelasan - identifikasi tujuan akhir
Instruksi
Latihan + verbal dan visual feedback + tuntunan manual
3. Tahap III Latihan pada tugas-tugas fungsional :
Penjelasan - identifikasi tujuan akhir
Instruksi
Latihan + verbal dan visual feedback + tuntunan manual
Re-evaluasi
Anjuran fleksibilitas
4. Tahap IV Transfer training :
Kesempatan untuk latihan sesuai pola yang benar
Konsistensi latihan
Organisasi latihan yang dimonitor sendiri
Lingkungan pembelajaran yang terstruktur
Keterlibatan staff/petugas
Sumber : Janet H. Carr, 1998
MRP merupakan suatu program yang diperuntukkan untuk memperoleh kembali

kontrol motorik melalui tugas-tugas motorik. Dengan kata lain, training fungsional

merupakan remedial itu sendiri. Bagaimanapun juga, metode yang lain untuk mengaktivasi

otot-otot dan tugas-tugas motorik, metode yang memberikan bukti/fakta bahwa pendengaran

(auditory) atau penglihatan (visual) dapat merangsang kontraksi otot (khususnya

biofeedback) dan yang membantu pasien untuk mengkontraksikan otot yang sebelumnya

flaccid atau menginhibisi otot yang overaktif, mungkin digunakan dalam kaitannya dengan

program MRP.

Informasi dari penelitian tentang perilaku motorik tidak akan meragukan lagi sehingga

metode training kontrol motorik dapat menjadi lebih spesifik daripada metode yang ada.

Sebagai contoh, penelitian baru-baru ini tentang fungsi otak menunjukkan bahwa terdapat

interaksi yang kompleks antara 2 hemisphere cerebral. Jika hemisphere kanan dianggap

sebagai minor hemisphere dan terdapat gambaran dominan sederhana yang menunjukkan

dominan secara total pada salah satu hemisphere, maka sekarang dapat dipahami bahwa

setiap hemisphere memiliki fungsi-fungsi khusus dan kedua hemisphere tersebut akan

bekerja secara bersamaan untuk menyempurnakan satu sama lain. Istilah “dominan”

sekarang digunakan untuk berhubungan dengan fungsi-fungsi tertentu. Sebagai contoh,

hemisphere kanan dianggap dominan dalam hal fungsi visuospatial, dan hemisphere kiri

dalam hal bahasa. Suatu pemahaman tentang fungsi tersebut dimana setiap hemisphere

memiliki dominasi dan suatu pemahaman tentang cara dimana kedua hemisphere dapat

berinteraksi dan menyempurnakan satu sama lain dalam organisasi perilaku yang akhirnya

memungkinkan terapis untuk menentukan metode training tersebut (training kontrol

motorik) sehingga terapis dapat berkonsentrasi dengan pasien tertentu. Tentu saja, dalam
penatalaksanaan program ini terapis harus mempertimbangkan adanya gangguan dari

instruksi verbal ke peragaan visual atau sebaliknya.

Variasi dari bagian-bagian program akan terbentuk pada tahap pengobatan sehari-hari,

dimana berkisar dari ½ jam dalam 2x sehari pada beberapa hari pertama sampai tahap 1 jam

setiap hari atau yang lebih baik dari itu. Bagaimanapun juga, agar terjadi pembelajaran,

tugas-tugas motorik pasien yang telah dilatih oleh terapis akan membutuhkan latihan diluar

tahap pengobatan, dan dianjurkan partisipasi penuh dari pasien untuk menghasilkan

feedback yang konsisten dan diperlukan suatu bantuan. Suatu rutinitas atau latihan tertentu

yang dilakukan melalui tahap pengobatan sampai rest (istirahat) adalah hal yang esensial

untuk konsistensi performa dan pembelajaran kontrol motorik.

Rencana pengobatan berdasarkan pada 4 langkah yang terlihat pada tabel diatas.

Langkah pertama melibatkan analisis performa pasien atau usaha pasien untuk melakukan

tugas-tugas motorik dan problem-problem yang berkaitan dengan performa tersebut. Hal ini

memungkinkan untuk membuat keputusan tentang intervensi dan memungkinkan klarifikasi

tujuan akhir bagi pasien.

Terapis akan mengobservasi pasien dan membandingkan performanya dengan daftar

komponen-komponen yang esensial. Terapis menggunakan daftar ini sebagai model dari

tugas-tugas motorik dan sebagai kerangka kerja (framework) untuk menganalisis dan

mengetahui bahwa suatu perubahan dalam gerakan angular suatu sendi akan dikompensasi

oleh perubahan pada sendi lain. Terapis akan mengobservasi apakah dapat mencapai tujuan

akhir dan menganalisis tujuan mana yang tercapai, perhatikan adanya komponen-komponen

yang hilang atau timing yang tidak tepat dari komponen tersebut dalam pola sinergis, tidak
adanya aktivitas otot, adanya aktivitas otot yang berlebihan atau tidak tepat serta adanya

perilaku motorik kompensasi.

Sebagai contoh, dalam analisis berdiri ditemukan bahwa kenapa terjadi hiperekstensi

knee pada saat menumpu berat badan ? Apakah problem ini akibat hilangnya kontrol dari

otot quadriceps pada 0 - 15o extensi (level neural) ? Apakah hilangnya kontrol ini berkaitan

dengan aktivitas otot yang tidak perlu seperti hiperaktivitas plantarfleksor ? Apakah posisi

kneenya akibat abnormal alignment hip (terjadi fleksi yang berlebihan) atau akibat kneenya

terdorong ke belakang extensi secara pasif oleh terapis saat membantu berdiri (level

kinematik) ? Apakah posisi kneenya disebabkan oleh pemendekan otot betis (level

muskular) ? Terapis harus dapat membedakan antara problem primer dan problem yang

bersifat sekunder (kompensasi) agar dapat membuat keputusan yang tepat tentang problem-

problem yang diarahkan pada pengobatan yang tepat.

Dengan demikian, hanya dengan melakukan seluruh analisis pada setiap tugas-tugas

motorik dan problem yang berkaitan mencakup faktor anatomi, biomekanik, fisiologis dan

perilaku, maka terapis akan mampu membuat keputusan yang tepat tentang intervensinya.

Pasien juga dianjurkan untuk berpartisipasi dalam analisis performanya sehingga dapat

melihat apakah atau tidak dia dapat mendeteksi problem gerakannya sendiri. Jika pasien

berpartisipasi dengan cara ini, maka dia akan memahami latihan yang dilakukan dan apa

yang dicapai.

Dalam penelitian ini, peneliti menerapkan Motor Relearning Programme pada

extremitas atas dan aktivitas berjalan yang akan dijelaskan dibawah ini.

1. Extremitas Atas

a. Gambaran Fungsi Normal Pada Extremitas Atas


Sebagian besar aktivitas kegiatan sehari-hari melibatkan gerakan kompleks

pada anggota gerak atas. Tugas-tugas motorik yang dihasilkan oleh anggota gerak atas

dapat menggambarkan 2 problem fundamental dalam kontrol motorik yaitu problem

derajat kebebasan gerak dan problem gerakan spesifik. Dalam kehidupan sehari-hari,

tujuan akhir dari gerakan lengan adalah peletakan tangan (memposisikan tangan)

sebagai contoh menunjuk, meraih, atau memindahkan obyek yang dipegang. Salah

satu kebutuhan adalah mampu untuk :

1) Memegang dan melepaskan obyek yang berbeda yaitu berbeda bentuk, ukuran,

berat, susunan

2) Memegang dan melepaskan obyek yang berbeda dengan posisi lengan yang

berbeda (yakni mendekati tubuh, menjauhi tubuh)

3) Memindahkan suatu objek dari satu tempat ke tempat lainnya.

4) Menggerakkan suatu objek disekitar tangan

5) Memanipulasi alat-alat untuk tujuan spesifik

6) Mencapai sesuatu dalam seluruh arah (di depan, belakang, diatas kepala, dan lain-

lain).

7) Menggunakan 2 tangan secara bersamaan, sebagai contoh salah satu tangan

memegang dan tangan yang lain bergerak, atau kedua tangan melakukan gerakan

yang sama, atau kedua tangan melakukan gerakan yang berbeda-beda (pemain

piano).

Gerakan-gerakan ini adalah kompleks karena melibatkan kebutuhan untuk

mengontrol beberapa sendi dan otot sehingga membentuk rantai biokinematik multi-

link seperti gerakan pada lengan. Lebih jauh, beberapa derajat kebebasan gerak
terlaksana (sendi, otot, motor unit) dalam cara yang berbeda sesuai dengan tugas

fungsional seseorang.

Pada sense yang umum, gerakan terbentuk oleh kebutuhan tugas-tugas

fungsional. Lebih spesifik, tangan itu sendiri terbentuk oleh objek yang dipegang.

Sebagai contoh, bentuk gelas dan level air didalamnya dapat menentukan genggaman

tangan, dan ditambah pula lokasi mulut dapat menentukan bagaimana tangan bergerak

melalui suatu ruang/space, besarnya rotasi shoulder dan lengan bawah. Tangan akan

terbentuk pada suatu objek karena sifat objek dan penggunaan tangan. Aktivasi otot

diperlukan untuk memegang gelas secara keseluruhan dan membawa ke mulut.

Ada prasyarat tertentu untuk penggunaan yang efektif pada anggota gerak atas

yaitu :

1) Kemampuan untuk melihat apa yang dilakukan,

2) Kemampuan untuk melakukan penyesuaian postural yang terjadi saat gerakan

lengan dan kebebasan tangan dalam manipulasi, dan

3) Informasi sensorik.

Informasi utama terhadap kontrol motorik muncul dari penglihatan. Ketika

kami meminta seseorang untuk melihat apa yang dia lakukan, maka kami berharap dia

dapat mengambil informasi tentang objek dan lingkungan yang akan membantu dia

melakukan tugas-tugas motorik. Informasi taktil diperoleh dari rasa objek pada tangan,

mengenal sifat alamiah objek (ukurannya, bentuknya, komposisi dan teksturenya) dan

posisinya objek pada tangan. Informasi proprioceptive melibatkan kesadaran bagian

tangan yang berhubungan satu sama lain dan posisinya dalam ruang/space. Aspek

penting dalam deskriminasi sensorik melibatkan pengetahuan tentang kompresibilitas


objek, yang dapat melibatkan kombinasi dynamaesthesia (pengetahuan tentang gaya

yang teraplikasi pada aksi motorik), kinaesthesia (pengetahuan tentang perubahan

posisi jari-jari) dan pengetahuan tentang counterpressure pada ujung jari tangan.

b. Komponen-komponen Esensial

Meskipun kompleksitas fungsi anggota gerak atas, hal ini memungkinkan

untuk mengidentifikasi komponen-komponen gerakan yang esensial, dimana ketika

aktif akan memberikan performa pada beberapa aktivitas yang berbeda. Oleh karena

itu komponen otot-sendi dianggap sebagai bagian penting dalam beberapa sinergis

fungsional yang melibatkan tugas-tugas motorik setiap hari. Memang, performa dari

komponen-komponen itu sendiri tidak akan mampu melakukan tugas-tugas motorik

yang kompleks. Komponen-komponen ini terlebih dahulu akan membutuhkan aktivasi

dari pasien, kemudian dikombinasikan dengan komponen-komponen otot-sendi

lainnya dalam sinergis tertentu yang diperlukan untuk tugas-tugas spesifik.

1) Lengan

Fungsi utama lengan adalah memungkinkan tangan diposisikan dalam ruang

untuk manipulasi. Komponen-komponen esensial yang terlibat dalam mencapai

objek adalah :

a) Abduksi shoulder

b) Fleksi shoulder

c) Ekstensi shoulder

d) Fleksi dan ekstensi elbow

2) Tangan
Fungsi utama tangan adalah memegang, melepas dan memanipulasi objek

untuk tujuan-tujuan spesifik. Komponen-komponen esensialnya adalah :

a) Radial deviasi dikombinasikan dengan ekstensi wrist

b) Ekstensi dan fleksi wrist sementara memegang objek

c) Abduksi palmar dan rotasi (opposisi) pada carpometacarpal joint ibu jari

d) Fleksi dan rotasi (opposisi) pada jari-jari tangan kearah ibu jari.

e) Fleksi dan ekstensi metacarpophalangeal joint jari-jari tangan disertai dengan

beberapa fleksi interphalangeal joint.

f) Supinasi dan pronasi lengan bawah sementara memegang objek.

c. Tahap 1 Analisis Fungsi Extremitas Atas

Segera setelah stroke, beberapa pasien mengalami kesulitas dalam aktivitas

motorik pada anggota gerak atas. Bagaimanapun juga, saat terlihat adanya flaccid pada

lengan maka pemulihan aktivitas motorik dapat ditemukan jika terapis memahami

fungsi otot dengan cukup baik sehingga mampu secara aktif untuk mendeteksi besar

kecilnya aktivitas otot. Dengan kata lain, otot yang nampak tidak berfungsi akan

berkontraksi kembali jika kondisinya benar. Terapis berupaya untuk memungkinkan

pasien memunculkan kembali aktivitas ototnya, sebagai contoh dengan mengubah

tujuannya atau mengubah lamanya otot berkontraksi. Terapis harus menata kondisi-

kondisi yang diperlukan untuk aktivasi otot. Penggunaan EMG untuk memonitor

aktivitas dan memberikan feedback bagi pasien dan terapis merupakan tahap awal

yang esensial.

Analisis aktivitas otot disekitar shoulder dapat dibentuk saat pasien tidur

terlentang sampai pasien dapat mengontrol shouldernya dalam posisi duduk tanpa
gerakan kompensasi yang berlebihan. Aktivitas otot pada tangan dianalisis dengan cara

yang sama tetapi saat pasien duduk dengan tangan pada meja.

Dalam kenyataannya, problem-problem spesifik mencakup hilangnya

komponen-komponen esensial dan kesalahan fungsi yang menggambarkan hilangnya

kontrol yang berhubungan dengan komponen-komponen didalam sinergis spesifik,

dengan beberapa otot menunjukkan aktivitas yang minim dan aktivitas yang

berlebihan lainnya.

Problem-problem umum dan strategi kompensasi

1) Lengan

a) Gerakan scapula yang jelek (khususnya lateral rotasi dan protraksi) dan depresi

shoulder girdle yang terus menerus.

b) Kontrol otot yang jelek pada glenohumeral joint, yaitu hilangnya abduksi dan

fleksi shoulder atau ketidakmampuan menopang posisi-posisi tersebut. Pasien

mungkin melakukan kompensasi dengan menggunakan elevasi shoulder girdle

dan lateral fleksi trunk yang berlebihan.

c) Fleksi elbow, internal rotasi shoulder, dan pronasi lengan bawah yang

berlebihan.

2) Tangan

a) Kesulitan memegang dengan ekstensi wrist. Hilangnya aktivitas ekstensor wrist,

serta hilangnya longus fleksor jari tangan yang berfungsi untuk fleksi wrist dan

jari-jari tangan.
b) Kesulitan ekstensi dan fleksi metacarpophalangeal joint dengan beberapa fleksi

pada interphalangeal joint untuk posisi jari-jari tangan dalam memegang dan

melepas objek.

c) Kesulitan abduksi dan rotasi ibu jari untuk memegang dan melepas objek.

d) Ketidakmampuan melepas objek tanpa fleksi wrist.

e) Ekstensi jari-jari tangan dan ibu jari yang berlebihan dalam pelepasan objek

(biasanya dengan beberapa fleksi wrist).

f) Kecenderungan untuk pronasi lengan bawah secara berlebihan sementara

menggenggam atau mengambil suatu objek.

g) Ketidakmampuan menggenggam objek yang berbeda-beda sementara

menggerakkan lengan.

h) Kesulitan cupping (membentuk arkus palmar) pada tangan.

Ditambah pula, ada 5 akibat lanjut dari stroke yang umum dimana

memungkinkan dapat dicegah :

1) Kebiasaan postur pada anggota gerak menyebabkan perubahan panjang pada

jaringan lunak di shoulder, wrist, ibu jari, dan jari-jari tangan.

2) Kompensasi dengan lengan yang normal.

3) Penggunaan lengan normal untuk menggerakkan lengan yang lumpuh/lemah.

4) Pembelajaran tanpa penggunaan lengan yang lumpuh/lemah.

Problem utama setelah stroke adalah kebutuhan (kemandirian) pasien dapat

dilihat dengan penggunaan anggota gerak tunggal karena kebutuhannya relatif

sederhana. Gangguan fungsional yang besar pada salah satu anggota gerak seringkali

dijumpai pada pasien.


d. Tahap 2 dan 3 Latihan Fungsi Extremitas Atas

Literatur menjelaskan bahwa rehabilitasi pada fungsi anggota gerak atas

umumnya tidak berhasil, dimana pasien tidak pernah menilai efektif penggunaan

lengan dan beberapa diantaranya berkembang nyeri hebat pada shoulder. Hal ini

kemungkinan akibat teknik pengobatan yang kurang tepat dan kecenderungan

menunggu tanda-tanda pemulihan yang jelas sebelum memberikan terapi aktif.

Aktivitas motorik biasanya dapat dimunculkan lebih awal saat pasien tidur

terlentang dengan lengan elevasi. Seringkali, otot-otot dapat diaktifkan lebih awal

dengan kontraksi eksentrik yang lebih baik daripada kontraksi konsentrik, dan pada

panjang otot tertentu. Hal ini sulit bagi pasien yang mengaktifkan otot-otot disekitar

shoulder dengan lengan disamping tubuh baik saat duduk maupun tidur, sebagaimana

kontraksi otot diperlukan untuk mengangkat anggota gerak dengan kerugian

mekanikal.

Faktor penting lainnya adalah cara mengaktifkan otot sehingga berfungsi

normal. Setiap otot atau fungsi beberapa otot dengan otot lainnya dalam pola sinergis

yang beragam, bergantung pada tugas-tugas motorik yang dilakukannya. Oleh karena

itu, akibat stroke otot dapat diaktifkan sebagai bagian dari salah satu sinergis tertentu

sebelum dapat diaktifkan sebagai bagian lainnya. Sama halnya, jika otot tidak dapat

berkontraksi sebagai fungsi primemovernya, maka otot mampu berkontraksi sebagai

sinergis.
Pada tahap awal setelah stroke, terlihat adanya aktivitas motorik yang minimal

atau tidak ada sama sekali pada anggota gerak atas. Objektivitasnya adalah untuk

menemukan apakah aktivitas motorik muncul dengan memberikan kesempatan otot

tertentu untuk berkontraksi secara normal dalam tugas-tugas motorik tertentu, untuk

menunjukkan kepada pasien apakah dapat melakukan tugas-tugas motorik dan

membantu pasien untuk memperluas kemampuannya. Terapis tidak perlu lagi

melakukan latihan pasif (PROMEX) untuk memelihara ROM sendi, karena beberapa

aktivitas yang dijelaskan dibawah ini akan memiliki efek pemanjangan otot yang

dipertahankan dalam posisi memendek secara habitual. Berikut ini hal-hal yang harus

dipertahankan sepanjang bagian dari program MRP :

1) Gerakan-gerakan lengan, mencakup gerakan-gerakan tangan harus dilatih lebih

awal setelah stroke. Gerakan tangan harus dilatih dengan benar sampai terjadi

beberapa pemulihan fungsi disekitar shoulder, sebagaimana dianjurkan oleh

beberapa peneliti. Pemulihan tidak perlu terjadi dari proksimal ke distal, melainkan

terlebih dahulu berupaya memperoleh kembali kontrol tangan untuk memiliki

kontrol shoulder.

2) Tugas-tugas motorik yang melibatkan fungsi anggota gerak atas terbentuk dari

kombinasi yang kompleks dari aksi otot. Secepatnya aksi otot yang terisolir

dimunculkan, sehingga harus dilatih dan diperluas kedalam tugas-tugas motorik

yang bermanfaat, dimana pasien memperoleh kontrol melalui peningkatan ROM,

perubahan ke gerakan-gerakan lain yang juga memerlukan kontraksi otot sebagai

primemover, sinergis dan fiksator, perubahan kontraksi dari kontraksi konsentrik ke

eksentrik dalam ROM yang berbeda dan kecepatan yang beragam.


3) Seluruh aktivitas otot yang tidak diperlukan untuk gerakan harus dieliminir secara

sadar oleh pasien. Hal ini mencakup gerakan-gerakan pada sisi tubuh yang normal

dan aktivitas otot pada lengan yang lumpuh/lemah yang tidak diperlukan untuk

gerakan atau aktivitas tertentu harus dilatih. Eliminasi aktivitas otot yang tidak

perlu merupakan bagian dari perkembangan kontrol motorik, dan pada kasus

aktivitas otot yang tidak perlu dari lengan yang lumpuh harus diminimalisasi

perkembangan over-aktivitas fleksor.

4) Pola gerakan kasar yang dikontrol terapis pada anggota gerak atas harus dihindari

karena tidak akan memberikan kesadaran bagi pasien adanya aktivitas otot yang

minimal dan hanya akan cenderung otot yang lebih aktif berkontraksi (biasanya

cenderung menjadi memendek), dan dapat menyebabkan trauma disekitar shoulder

(sebagai contoh tendinitis bicipitalis).

5) Aktivitas harus dimunculkan terlebih dahulu dalam posisi keuntungan mekanikal

otot yang terbesar. Sebagai contoh, dalam posisi tidur terlentang lengan difleksikan

90o untuk kontraksi otot deltoid.

6) Hal ini penting bahwa terapis tidak memegang anggota gerak dengan sangat kuat

sejak secara aktual dapat mencegah pasien dari aktivitas otot. Ditambah pula,

anggota gerak yang tidak ditopang oleh aktivitas otot yang cukup harus dilatih

kembali. Tuntutan manual yang diperlukan ketika terdapat aktivitas otot yang tidak

cukup akan diubah dengan tuntutan verbal secepat mungkin.

7) Jika otot tidak berkontraksi dalam kondisi tertentu, maka diperlukan variasi kondisi.

Sebagai contoh, perubahan kecepatan gerakan, hubungannya dengan gaya gravitasi,

atau tujuan akhir.


8) Otot harus diarahkan berkontraksi dengan tepat. Latihan yang merangsang otot

berkontraksi secara konsentrik melalui seluruh ROMnya tidak akan diberikan jika

bergerak tidak alamiah dimana perubahan anggota gerak berhubungan dengan gaya

gravitasi. Sebagai contoh perubahan aktivitas otot terjadi pada akhir gerakan ketika

lengan digerakkan dari sisi tubuh ke atas kepala dalam posisi tidur terlentang.

9) Tujuan akhir harus diidentifikasi dengan jelas dan pasien akan mengetahui apakah

atau tidak pasien mampu mencapainya. Sama halnya, pasien tidak dianjurkan untuk

latihan gerakan yang tidak memiliki signifikansi fungsional. Sebagai contoh pasien

tidak akan diberikan latihan rubber ball (bola karet) karena kebiasaan aktivitas

fleksor, yang biasanya dikombinasikan dengan fleksi dan pronasi wrist, oleh karena

itu menuntun perkembangan postur fleksi yang terfiksir.

10) Overaktivitas otot yang stereotyp dan pemendekan otot dapat mempengaruhi

latihan gerakan lengan dan hal ini tidak dapat diatasi dengan kontrol volunter.

Aplikasi serial plaster, dikombinasikan dengan latihan mencapai dan menunjuk,

seringkali akan memungkinkan pasien untuk memperoleh beberapa kontrol

melalui aplikasi tugas-tugas motorik anggota gerak atas. EMG feedback juga

dapat memungkinkan pasien dipersiapkan untuk giat memperoleh ide tentang

bagaimana meminimalisasi aktivitas otot yang tidak diinginkan

11) Terapis tidak akan menggunakan istilah strengthening otot pada sense yang

umum. Objektivitasnya adalah untuk membantu pasien memunculkan aktivitas

otot dan melatih kontrol aktivitas untuk tugas-tugas motorik yang spesifik. Pada

saat pasien latihan pada tugas-tugas yang beragam, pasien akan memperoleh

kekuatan otot yang tepat dan endurance yang relatif mudah, dimana pasien
diberikan kesempatan untuk bekerja ototnya sampai titik kelelahan otot yang

ringan. Pasien akan meningkatkan jumlah repetisi terhadap tugas-tugas motorik

tertentu setiap hari dan tugas-tugas tersebut akan dimodifikasi sehingga

kekuatannya meningkat pada tugas-tugas yang sama. Sebagai contoh, tugas

motorik menunjuk dapat dimodifikasi dengan tugas motorik yang melibatkan

peningkatan gerakan mengangkat objek yang berat diatas kepala.

12) Tugas-tugas yang melibatkan kedua lengan akan diperkenalkan secepat mungkin.

Pada tugas-tugas tertentu, kedua anggota gerak kelihatannya berfungsi sebagai

bagian dari salah satu sinergis yang mencakup memanipulasi objek, dan tugas-

tugas tersebut akan membutuhkan latihan yang spesifik untuk proses

pembelajaran.

13) Meskipun hal ini berguna dengan melakukan gerakan tertentu secara pasif agar

dapat memberikan ide gerakan bagi pasien, gerakan pasif yang terus menerus

dapat mencegah pasien dari pemunculan aktivitas otot yang dapat mempengaruhi

usaha pasien. Ditambah pula, gerakan pasif membuat kesulitan bagi terapis untuk

mengenal aktivitas otot yang terjadi dan feedback bagi pasien dimana informasi

ini penting bagi proses pembelajaran. Gerakan pasif sedikit berperan dalam

meningkatkan motor learning semenjak informasi yang berasal dari gerakan pasif

berbeda dengan informasi dari gerakan aktif. Memang, anggota gerak perlu

diposisikan secara pasif oleh terapis.

e. Prosedur Pelaksanaan

1) Untuk memunculkan aktivitas otot dan melatih kontrol motorik untuk mencapai dan

menunjuk
a) Teknik 1 :

 Posisi pasien tidur terlentang, terapis mengangkat lengan pasien dan

menopang lengan dalam posisi fleksi. Pasien berusaha untuk mencapai

keatas. Juga dapat dilakukan dalam posisi tidur miring.

 Instruksi : angkat lengan keatas, konsentrasi pada gerakan shoulder, kemudian

biarkan shoulder kembali ke bed

 Pastikan scapula bergerak - mungkin harus digerakkan secara pasif kearah

posisi yang diinginkan selama beberapa usaha yang pertama. Jangan biarkan

terjadi retraksi shoulder secara aktif - penurunan/pengembalian gerakan harus

melibatkan aktivitas otot secara eksentrik.

b) Teknik 2 :

 Posisi pasien tidur terlentang, terapis mengangkat lengan pasien dan

menopang dalam posisi fleksi.

 Terapis membantu pasien memunculkan aktivitas otot dengan meminta pasien

untuk berusaha melakukan tugas-tugas motorik yang beragam, seperti

mengarahkan tangan kearah kepalanya, mengarahkan tangannya diatas kepala

kearah bantal.

 Pasien harus berusaha memunculkan aktivitas otot pada otot-otot tertentu

khususnya otot deltoid dan triceps brachii.

 Instruksi : perhatikan jika anda dapat membawa tanganmu kearah dahi

dengan lembut dan perlahan, jangan biarkan tangan langsung jatuh, kemudian

angkat tangan sedikit keatas

c) Teknik 3 :
 Posisi pasien tidur terlentang, terapis mengangkat lengan pasien dan

menopang lengan dalam posisi fleksi.

 Pasien melatih mempertahankan lengannya dalam posisi fleksi dan dan

menggerakkan lengan didalam ROM yang sama kesegala arah, selalu

mempertahankan kontrol motorik.

 Jangan biarkan lengan bawah pronasi, fleksi elbow, atau internal rotasi

shoulder secara berlebihan.

d) Teknik 4 :

 Duduk dengan lengan diatas meja, pasien melatih mencapai gerakan ke depan

dan keatas.

 Pasien harus melatih didalam ROMnya dan dapat melatih kontrol motorik,

kemudian secara bertahap ditingkatkan.

 Ketika pasien dapat mengontrol shouldernya diatas 90 o, pasien harus melatih

mencapai dibawah 90o tetapi ditingkatkan ROMnya, sampai pasien dapat

mencapai posisi yang diinginkan baik fleksi dan abduksi.

 Jangan biarkan elevasi shoulder girdle sebagai gerakan kompensasi untuk

abduksi atau fleksi shoulder. Jangan biarkan fleksi elbow kecuali diperlukan

karena posisi objek. Pastikan pasien mencapai fleksi kedepan dengan

eksternal rotasi shoulder.

2) Untuk memunculkan aktivitas otot dan melatih kontrol motorik untuk manipulasi

a) Teknik I :

 Pasien duduk dengan lengan tersanggah diatas meja, lengan bawah dalam

mid-posisi, jari-jari tangan dan ibu jari memegang objek (gelas).


 Pasien berusaha untuk mengangkat objek (gelas) keatas.

 Ditingkatkan : dengan posisi lengan bawah mid-posisi, pasien melatih

gerakan mengangkat objek keatas, mengekstensikan wrist, meletakkan

kembali, memfleksikan wrist, meletakkan kembali. Pasien harus memegang

objek selama latihan.

b) Teknik II

 Pasien juga dapat melatih gerakan tangan ke belakang sehingga menyentuh

objek.

 Jarak objek yang akan digerakkang dapat ditingkatkan secepat mungkin.

 Tujuan dapat diubah dengan pasien mendorong objek disepanjang meja, yang

melibatkan beberapa lengan serta gerakan wrist.

 Koreksi kecenderungan fleksi wrist ketika akan diekstensikan, dan koreksi

kecenderungan pronasi pada lengan bawah.

c) Teknik III

 Jari-jari tangan pasien memegang objek yang berbentuk silindrical, kemudian

pasien berusaha melakukan supinasi lengan bawah sehingga ujung objek

menyentuh meja.

 Jangan biarkan lengan bawah terangkat dari meja kecuali diperlukan oleh

tugas motorik tersebut.

 Tujuan dapat diubah dengan meminta pasien meratakan potongan dempul.

2. Berjalan

a. Gambaran Fungsi Normal


Berjalan normal pada orang dewasa melibatkan gerakan dari pusat gravitasi

melalui space dengan berbagai cara dan memerlukan pengeluaran energi yang

minimal. Hal ini memerlukan aktivitas otot yang kecil serta berirama dan simetris

secara alamiah. Orang dewasa yang berjalan normal akan mengambil langkah sekitar

100 langkah per menit. Berjalan merupakan fungsi yang kompleks, meskipun

beberapa penelitian biomekanis dan elektromyography belum ada gambaran yang jelas

apa yang terlibat.

Level berjalan pada makhluk hidup berkaki dua adalah gerakan yang sangat

instabil. Hal ini disebabkan karena adanya gaya gravitasi yang besar dan gaya

momentum ke depan sementara tubuh disanggah oleh satu kaki selama 80% siklus

berjalan, sehingga memerlukan kontrol yang kompleks.

Simpanan energi dan recovery adalah efisien dalam pola berjalan normal

karena adanya hubungan yang erat antara kontraksi otot dengan perpindahan tubuh

dan segmen anggota gerak serta jangka waktu yang singkat selama otot aktif. Faktor-

faktor ini juga memastikan bahwa berjalan adalah berirama dan alamiah.

b. Kontrol Neural dari Daya Penggerak (Lokomosi)

Menurut Mott and Sherrington bahwa perifer feedback diperlukan untuk

berjalan normal sehingga muncullah suatu gagasan bahwa lokomosi mungkin dapat

disempurnakan dengan rangkaian “rantai refeks” dimana input sensorik dari bagian

siklus langkah tertentu akan memicu bagian siklus berikutnya melalui aksi refleks.

Namun demikian pada tahun 1911, Graham Brown menjelaskan bahwa gerakan

berjalan bukan berasal dari refleks tetapi dibangkitkan oleh beberapa neuron yang

berlokasi di spinal cord.


Graham Brown menjelaskan bahwa meskipun input afferen bukan esensial

(bukan komponen penting) untuk pola motorik fundamental tetapi penting untuk

memodulasi berjalan dalam rangka kompensasi terhadap perubahan dalam lingkungan.

Pandangan ini masih dianggap benar secara esensial ; kearah sentral terdapat susunan

neuron yang dinamakan generator pola sentral atau oscillator neural, yang dapat

dimodulasi oleh kontrol descending dari struktur otak supraspinal sehingga

menghasilkan output yang berirama tanpa memerlukan feedback afferent.

Bagaimanapun juga, input afferent dapat memberikan modulasi program sesuai

dengan kebutuhan yang muncul dari adanya perubahan dalam lingkungan.

Untuk tujuan tersebut maka berjalan dapat dibagi kedalam stance phase (fase

menumpuh) dan swing phase (fase mengayun), meskipun juga terdapat tumpuan ganda

(double support) dalam waktu yang singkat.

1) Fase Menumpuh (stance phase)

Fase ini mulai dari heel strike (tumpuan tumit) dengan ciri khas plantarfleksi

kemudian dorsifleksi ankle, fleksi knee yang diikuti dengan ekstensi knee dimana

fleksi knee terjadi pada akhir fase ini. Komponen-komponen ini memungkinkan

pusat gravitasi akan bergeser ke depan. Ekstensi hip pada akhir stance phase secara

esensial muncul pada awal swing phase sehingga menghasilkan perpindahan fase

dari satu fase ke fase lainnya. Fleksi-ekstensi-fleksi knee dapat menghasilkan

berjalan dalam pola yang halus. Pada saat berat tubuh bergeser ke depan dan ke

lateral, maka pelvis dapat dicegah dari drop ke bawah pada sisi kontralateral oleh

adanya kontraksi abduktor hip dari tungkai yang menumpuh dan lateral fleksor
trunk dari sisi yang tidak menumpuh. Oleh karena itu, knee dari tungkai yang

mengayun harus selalu fleksi agar terjadi pemendekan tungkai dan memungkinkan

untuk tahap fase mengayun selanjutnya. Kontraksi abduktor hip dari tungkai yang

berdiri (yang menumpuh) juga berperan untuk mengontrol besarnya pelvis bergeser

ke samping, dengan kontraksi yang minimal sesuai dengan aksi yang dibutuhkan

untuk memindahkan pusat gravitasi kearah lateral sehingga tungkai sisi

kontralateral dapat mengayun. Pergeseran pusat gravitasi kearah lateral yang

berlebihan juga dapat dikoreksi dengan adanya sudut tibio-femoral ; abduksi tibia

yang relatif terhadap femur terjadi pada saat knee ekstensi dan femur adduksi pada

hip.

2) Fase Mengayun (swing phase)

Fleksi knee yang dini pada awal swing phase dapat menurunkan moment

inersia anggota gerak bawah, sebaliknya dapat mengurangi besarnya aktivitas

fleksor hip yang diperlukan. Sebenarnya, knee harus fleksi secara sempurna pada

saat fleksi hip, dimana kombinasi fleksi hip dan knee dapat memendekkan tungkai

serta menghasilkan ayunan kaki yang jelas ke lantai menyertai toe-off. Dengan

demikian, ciri khas dari awal swing phase adalah fleksi hip, disempurnakan dengan

fleksi knee dan dorsifleksi ankle. Tahap akhir swing phase terdiri dari ekstensi knee

sebelum heel strike, dan dorsifleksi ankle yang mengakhiri fase ini sebelum heel

strike.

Perpindahan pusat gravitasi ke depan disempurnakan oleh berpindahnya berat

tubuh seluruhnya ke depan oleh adanya gerakan pada ankle dan hip. Stabilitas

tubuh pada keseluruhan fase berjalan berkaitan dengan lebarnya dasar tumpuan.
Meskipun posisi kedua kaki terpisah beberapa inchi pada saat berdiri normal, tetapi

posisi kaki akan melibatkan perpindahan pelvis kearah lateral horisontal yang

berlebihan jika dilakukan berjalan. Malahan, kedua kaki saling bekerja sama untuk

bergerak langsung ke depan. Hal ini dapat membatasi besarnya pergeseran ke

lateral secara minimum sementara pada saat yang sama akan memberikan stabilitas.

Perpindahan pusat gravitasi tersebut memerlukan penyesuaian kompensasi didalam

trunk dan leher untuk mempertahankan balance. Tuntutan ini diminimalkan selama

berjalan dengan kecepatan sedang (rata-rata) tetapi menjadi lebih dibutuhkan jika

kecepatan diturunkan. Berjalan dengan sangat lambat tidak hanya memerlukan

lebih banyak balance tetapi juga dapat menyebabkan variasi dalam pola berjalan

yang sewajarnya. Penyesuaian postur kurang terlibat pada berjalan dengan

kecepatan tinggi.

Pada berjalan normal, rotasi pelvis terjadi pada bidang horisontal tetapi

besarnya rotasi ini kecil (hanya 4o pada salah satu sisi dari axis central), maksimum

penyimpangannya (rotasi yang besar) terjadi pada heel strike. Rotasi pelvis ini

diseimbangkan oleh rotasi thoracal. Dalam penelitian Murray et al menemukan

bahwa tidak adanya rotasi pelvis pada beberapa pasien maka secara signifikan

memiliki korelasi yang positif antara panjang langkah dan rotasi. Meskipun

Saunders et al menjadikan rotasi pelvis sebagai penentu utama dari berjalan, tetapi

Murray et al menjelaskan bahwa rotasi pelvic dan thoracal bukan komponen

esensial dari pola berjalan yang halus.

Pelvis merupakan struktur yang kaku sehingga rotasi pelvis terjadi pada hip

joint dan sendi-sendi vertebra. Hip joint berotasi kearah internal selama swing
phase sampai posisi full weight-bearing (FWB) selama stance phase tercapai ketika

terjadi sebaliknya kearah eksternal rotasi.

Rotasi sagital (pelvic tilting ke anterior dan posterior) terjadi melalui

penyimpangan rata-rata 3o, dengan maksimum anterior tilting terjadi sebelum heel

strike dan maksimum posterior tilting terjadi pada awal stance phase.

Ayunan lengan selama berjalan adalah relaks dan diseimbangkan oleh adanya

kecenderungan trunk berotasi jauh dari tungkai yang menumpuh. Sebagai contoh,

pada saat tungkai kanan mengayun ke depan, pelvis cenderung berotasi kearah sisi

kiri. Hal ini diseimbangkan oleh adanya gerakan ke depan dari shoulder kiri disertai

dengan ayunan lengan yang berhubungan.

c. Komponen-komponen Esensial dari Berjalan

1) Fase Menumpuh (stance phase)

a) Ekstensi hip secara keseluruhan (perpindahan angular terjadi pada ankle serta

hip).

b) Pergeseran horisontal lateral dari pelvis dan trunk (secara normal sekitar 4 – 5

cm (1,5 – 2 inchi).

c) Fleksi knee (sekitar 15o) pada awal heel strike, diikuti dengan ekstensi kemudian

fleksi sebelum toe-off.

2) Fase Mengayun (swing phase)

a) Fleksi knee, disertai dengan awal ekstensi hip.

b) Lateral pelvic tilting kearah bawah (sekitar 5o) dalam bidang horisontal pada toe-

off.

c) Fleksi hip.
d) Rotasi pelvis ke depan pada tungkai yang mengayun ke depan (3 o – 4o pada salah

satu sisi dari axis central bergantung pada panjang langkah).

e) Ekstensi knee plus dorsifleksi ankle dengan cepat sebelum heel strike.

Komponen-komponen diatas merupakan penentu utama atau tuntutan

biomekanik dari berjalan.

d. Berjalan ke Belakang

Berat tubuh tidak bergeser ke belakang selama swing phase dalam pola yang

sama seperti tubuh bergeser saat berjalan ke depan. Suatu tumpuan yang baru

diberikan sebelum berat tubuh bergeser karena sudah menjadi sifat instabilitas dari

aktivitas ini. Selama swing phase, hip dan knee fleksi, kemudian hip akan ekstensi

dalam jarak yang pendek disertai dengan fleksi knee yang dipertahankan sampai jari-

jari kaki menyentuh lantai. Pada saat berat tubuh bergeser ke belakang maka terjadi

ekstensi hip yang lebih besar dari tungkai yang menumpuh dan ekstensi knee. Berjalan

ke belakang lebih lambat daripada berjalan ke depan, membutuhkan beberapa

beberapa pedoman penglihatan dan panjang langkah lebih pendek. Pemeriksaan

elektromyography menunjukkan bahwa otot-otot menjadi lebih aktif pada saat berjalan

ke belakang daripada berjalan ke depan, karena kurangnya momentum yang relatif

pada saat tungkai dibawa ke belakang.

e. Berjalan menaiki dan menuruni tangga

Berjalan menaiki melibatkan komponen gerakan yang sama dengan level

berjalan, tetapi lingkup gerak sendi pada sendi-sendi yang terlibat dan aktivitas otot

yang diperlukan berbeda dengan berjalan ke depan. Ketika kaki melangkah, terjadi
inklinasi tubuh ke depan pada ankle yang menumpuh serta pergeseran pusat gravitasi

ke depan dan keatas pada tungkai yang bergerak ke depan.

Berjalan menuruni tangga adalah aman berdasarkan pertimbangan biomekanik.

Oleh karena itu, tidak seperti berjalan ke depan dan berjalan menaiki tangga, pusat

gravitasi dipertahankan tetap dibelakang dari tungkai yang menumpuh saat menuruni

tangga. Gerakan dilakukan oleh kontrol dari kontraksi eksentrik ekstensor hip dan

knee pada tungkai yang menumpuh.

f. Analisis Berjalan

Problem utama yang ditemukan dalam analisis berjalan pasien

hemiplegia/hemiparese adalah sebagai berikut :

1) Stance phase dari tungkai yang lumpuh

a) Menurunnya ekstensi hip dan dorsifleksi ankle

b) Menurunnya kontrol fleksi-ekstensi knee dari 0 – 15o

c) Pergeseran horisontal lateral yang berlebihan dari pelvis.

d) Pelvic tilting kearah bawah yang berlebihan pada sisi yang sehat kaitannya

dengan pergeseran pelvic ke lateral yang berlebihan pada sisi yang lumpuh.

2) Swing phase dari tungkai yang lumpuh

a) Menurunnya fleksi knee pada saat toe-off.

b) Menurunnya fleksi hip

c) Menurunnya ekstensi knee plus dorsifleksi ankle pada saat heel strike.

Berjalan merupakan aktivitas yang kompleks dan analisis terhadap problem

berjalan adalah sulit. Bagaimanapun juga, suatu alasan mengapa pasien tidak dapat

berjalan dalam beberapa hari pertama setelah stroke maka analisis biasanya
menunjukkan bahwa pasien tidak mampu untuk melakukan suatu komponen-

komponen esensial dari berjalan karena menurunnya aktivitas otot. Hal ini penting

bahwa terapis yang menganalisis problem dengan benar dan membuat keputusan yang

tepat tentang komponen-komponen yang hilang akan memudahkan latihan

terkonsentrasi. Adapun beberapa petunjuk bagi terapis khususnya pada awal masa

latihan adalah sebagai berikut :

1) Analisis dan latihan berjalan selalu mulai dengan tungkai yang lumpuh saat stance

phase.

2) Kesulitan memindahkan atau menggeser pusat gravitasi kearah lateral agar tungkai

yang sehat bebas untuk mengayun ke depan.

3) Ketidakmampuan untuk mengekstensikan hip sisi yang lumpuh dalam rangka

memindahkan pusat gravitasi ke depan.

4) Menurunnya kontrol knee pada seluruh stance phase.

5) Menurunnya fleksi knee pada toe-off merupakan problem utama, akibat usaha

kompensasi pasien sehingga terjadi distorsi seluruh rangkaian swing phase.

6) Menurunnya aktif dorsifleksi pada akhir swing phase tidak dianggap sebagai

problem yang terisolir.

7) Suatu dasar tumpuan yang lebar selama latihan melangkah ke depan atau berjalan

secara prinsipal terjadi akibat keseimbangan yang jelek dan rasa takut jatuh,

sehingga harus diatasi dengan latihan balance dengan kedua kaki rapat secara

bersamaan.

g. Latihan Terhadap Komponen Yang Hilang

1) Fase Menumpuh (stance phase)


a) Untuk melatih ekstensi hip pada seluruh stance phase

Berdiri dengan hip dalam posisi alignment yang benar, kemudian pasien

berlatih melangkah ke depan dan ke belakang dengan tungkai yang sehat,

pastikan terjadi ekstensi hip pada tungkai yang lumpuh saat melangkah ke

depan. Perhatian : latihan ini tidak dilakukan dengan sangat lambat atau ukuran

langkah yang sangat besar. Hal ini untuk memberikan ide didalam otak pasien

tentang berdiri dengan tungkai yang lumpuh sementara bergerak tungkai yang

sehat, dan dapat diikuti dengan meminta pasien untuk memindahkan berat

tubuhnya pada tungkai yang sehat sehingga pasien dapat start berjalan.

Instruksi : “bawa berat tubuh anda melalui tungkai yang lumpuh,

melangkah ke depan dengan tungkai yang sehat”. Selama latihan, pastikan

langkah pasien tidak kearah luar, pastikan terjadi ekstensi hip secara

keseluruhan, dan pastikan kedua hip tidak bergerak lebih dari 2 cm kearah lateral

saat tungkai menumpuh.

b) Untuk melatih kontrol knee selama stance phase

Duduk (tidur terlentang jika hamstring mengalami tight), disertai dengan

knee yang dipertahankan lurus, terapis memberikan tekanan yang kuat melalui

tumit kearah knee sementara pasien berlatih mengontrol kontraksi eksentrik dan

konsentrik otot quadriceps melalui lingkup gerak sendi 15 o, dan berusaha

mempertahankan knee tetap lurus (kontraksi isometrik). Tekanan melalui tumit

harus dipertahankan sekuat mungkin sehingga otot quadriceps harus

berkontraksi untuk mencegah knee dari posisi fleksi. Perhatian : hal ini lebih

mudah bagi pasien untuk mengaktivasi ekstensor knee pada saat knee
dipertahanakan pada 15o atau 20o pertama, kemudian meluruskan knee beberapa

derajat secara perlahan, fleksi knee lagi, dan begitu lagi sampai pasien latihan

pada lingkup gerak 0 – 15o. Hal ini penting bahwa otot quadriceps dapat

diaktivasi.

Instruksi : fleksikan sedikit knee – jangan terlalu besar. Sekarang luruskan,

pertahankan knee tetap lurus.

Latihan ini diikuti dengan pasien berdiri, latihan melangkah ke depan dan

ke belakang pada tungkai yang sehat. Berdiri dengan tungkai yang sehat didepan

tungkai yang lumpuh. Pasien berlatih menggerakkan berat tubuhnya ke depan

diatas kaki yang sehat dan ke belakang sementara ekstensi knee dari tungkai

yang lumpuh. Ukuran langkah harus kecil, pasien dapat memperoleh ide yang

lebih baik bagaimana mengontrol knee-nya jika pasien dapat memfleksikan

knee-nya beberapa derajat kemudian mengekstensikan knee-nya. Berat tubuh

harus dibawa ke depan diatas tungkai yang sehat sebagaimana pasien latihan ini,

sehingga pasien dapat berlatih mengontrol knee-nya dengan sedikit berat tubuh

melalui tungkai.

Instruksi : gerakkan hip anda ke depan pada kaki yang sehat, pertahankan

kedua knee tetap lurus. Latihan fleksi dan ekstensi knee yang lumpuh dengan

beberapa derajat dan pertahankan hip di depan sementara melakukan latihan ini.

Ada beberapa variasi latihan yang dapat mengontrol knee lebih jauh,

yaitu :
Berdiri dengan kaki yang lumpuh diatas bangku kecil, sementara pasien

menggeser berat badan dengan melangkah ke atas dan ke bawah lagi dari bangku

kecil pada tungkai yang sehat. Lakukan secara perlahan.

Instruksi : letakkan kaki anda yang lumpuh diatas bangku kecil, gerakkan

knee yang lumpuh ke depan sambil tungkai yang sehat melangkah keatas,

kemudian pertahankan tetap bengkok sampai berat tubuh berpindah ke depan,

sekarang luruskan knee yang lumpuh. Perhatian : latihan ini merupakan teknik

yang bermanfaat untuk memperkuat otot quadriceps, tetapi hanya jika dilakukan

berulang-ulang. Tinggi bangku kecil dapat bervariasi, juga dapat digunakan

untuk melatih gerakan yang diperlukan dalam berjalan menaiki tangga.

c) Untuk melatih perpindahan pelvic kearah horisontal lateral

Dalam posisi berdiri, pasien berlatih memindahkan berat tubuhnya dari

satu kaki ke kaki lainnya. Terapis menunjukkan dengan jari tangannya berapa

jauh pelvis harus bergeser, yakni sekitar 2,5 cm (sekitar 1 inchi).

Instruksi : gerakkan berat tubuh anda pada kaki kanan (yang lumpuh),

sekarang gerakkan berat tubuh anda ke belakang pada kaki kiri (yang sehat).

Untuk menggerakkan ke kanan, dorong secara lembut ke bawah melalui kaki

kiri. Pastikan kedua hip dan knee dalam keadaan ekstensi, serta jangan

memindahkan pelvis sangat jauh ke lateral.

Kemudian, dalam posis berdiri pasien berlatih melangkah ke depan dengan

tungkai yang sehat.

Berjalan ke samping
Perhatian : jika pasien tidak mampu mengabduksikan tungkai yang lumpuh

pada bangku kecil maka terapis dapat membantunya dengan menggunakan

kakinya sebagai panduan/bantuan untuk melangkah secepat berat tubuh dapat

berpindah ke tungkai yang sehat. Jika diperlukan, pasien dapat menyandarkan

kedua lengannya diatas shoulder terapis untuk memberikan sedikit bantuan.

Kedua elbow harus ekstensi dan pasien tidak boleh menggantung disekitar leher

terapis.

Instruksi : angkat kaki anda ke samping, berdiri dengan tungkai kanan dan

melangkah ke samping dengan kaki kiri kemudian berdiri dengan tungkai kiri,

dan sekarang kedua kaki rapat secara bersamaan. Pastikan kedua shoulder tetap

simetris, kedua hip tetap alignment dengan ankle, melangkah ke samping secara

progresif dan tidak secara diagonal. Berjalan ke samping sepanjang garis dapat

menuntun pasien, dan pasien tidak harus memindahkan pelvisnya sangat jauh

kearah lateral.

2) Fase Mengayun (swing phase)

a) Untuk melatih fleksi knee pada awal swing phase

Untuk memunculkan aktivitas fleksor knee maka pasien dalam posisi tidur

tengkurap. Terapis memfleksikan knee tepat dibawah 90o. Pasien berlatih

mengontrol fleksor knee-nya baik secara eksentrik maupun konsentrik pada

lingkup gerak sendi yang kecil, pertahankan knee pada titik LGS yang berbeda

dengan aktivitas otot yang terus menerus.

Perhatian : pada saat knee dalam posisi 90o, akan lebih mudah bagi pasien

untuk mengkontraksikan fleksor knee-nya. Jika pasien dapat memperoleh


kontrol disekitar titik ini maka pasien dapat memperoleh peningkatan LGS.

Pasien harus berusaha secara aktif memperoleh kontrol melalui otot hamstring

disekitar middle range. Terapis harus memastikan bahwa hip tidak boleh fleksi

pada saat pasien berusaha mengaktivasi fleksor knee. Jika pasien hanya mampu

mengaktivasi fleksor knee kaitannya dengan fleksi hip dan bukan dibawah

kondisi lainnya maka hal ini tidak sesuai dengan fungsi normal. Terapis harus

mempertahankan efek ketegangan dari otot rectus femoris dalam mencapai LGS

fleksi knee tanpa fleksi hip.

Instruksi : pertahankan knee anda pada titik LGS tertentu, fleksikan sedikit

keatas kemudian turunkan secara perlahan, fleksikan keatas lagi. Perhatikan

gerakannya harus lambat dan halus, dan pertahankan hip tetap rapat di bed

(jangan sampai hip terangkat). Pegang kaki dalam waktu yang lama.

Latihan ini dapat diikuti dengan latihan sebagai berikut :

Pasien berdiri, terapis memegang knee pasien dalam posisi fleksi. Pasien

akan berlatih mengontrol kontraksi eksentrik dan konsentrik fleksi knee.

Perhatian : latihan ini seringkali lebih mudah bagi pasien untuk

menggerakkan jari-jari kakinya kebawah (kontraksi eksentrik dari fleksor knee)

sebelum mengangkat tungkainya keatas dari lantai (kontraksi konsentrik).

Instruksi : angkat tungkai bawah anda untuk saya pegang, dan jangan

fleksikan hip. Bawa jari-jari kaki anda kearah bawah sampai menyentuh lantai,

kemudian angkat jari-jari kaki keatas dari lantai.

b) Untuk melatih ekstensi knee dan dorsifleksi kaki pada saat heel strike
Pasien berdiri dengan tungkai yang sehat, terapis memegang kaki pasien

yang lumpuh dalam posisi dorsifleksi dengan ekstensi knee. Pasien

menggerakkan berat tubuhnya ke depan melalui tumitnya.

Perhatian : teknik ini memberikan ide kepada pasien tentang komponen

dari swing phase.

Instruksi : bawa kaki anda ke depan dan jangan kaku, kemudian pindahkan

berat tubuhnya ke depan dengan memposisikan tumit ke bawah.

h. Latihan Berjalan

Latihan pada komponen-komponen berjalan akan diikuti dengan latihan

berjalan itu sendiri yang memungkinkan pasien mengaplikasikan komponen-

komponen itu secara bersamaan dalam rangkaian berjalan yang tepat.

1) Berjalan

Pasien melangkah pertama kali dengan tungkai yang sehat. Terapis

memegang kuat pasien pada lengan atasnya dengan berdiri dibelakang sehingga

tidak mengganggu penglihatan pasien. Pasien harus tahu menghentikan langkah dan

mengembalikan alignmen-nya dengan sendiri ketika merasakan off-balance dan

tidak dapat mengoreksi pada saat berjalan.

Perhatian : tujuan dari beberapa langkah pertama adalah untuk memberikan

pasien suatu ide tentang irama berjalan, yang mungkin dapat memperbaiki

kontrolnya sendiri dan komponen-komponen berjalan yang berurutan. Hal ini

mungkin sulit bagi pasien untuk melangkah ke depan dengan tungkai yang lumpuh,

dan terapis untuk beberapa waktu pertama memberikan bantuan atau menuntun

tungkai pasien melangkah ke depan. Terapis tidak harus memegang pasien dengan
kuat karena dapat mempengaruhi performa pasien oleh adanya tahanan terhadap

translasi massa tubuh ke depan, atau mempengaruhi alignment segmen tubuh

sehingga dapat mengalami off-balance. Memberikan perintah kanan-kiri atau

melangkah-melangkah akan membantu pasien untuk memperoleh irama gerakan.

Pasien akan berjalan dengan kecepatan rata-rata. Berjalan dengan sangat lambat

memerlukan aktivitas otot yang lebih besar.

Observasi dan analisis secara bersamaan terhadap alignment pasien pada saat

pasien berjalan secara progresif akan memungkinkan terapis dapat mengidentifikasi

pasien dengan tujuan yang jelas untuk memperbaiki komponen-komponen berjalan.

Sebagai contoh, pada stance phase tujuannya adalah mempertahankan gerakan hip

ke depan sehingga pasien merasakan berat tubuhnya melalui telapak kakinya. Pada

awal swing phase, tujuannya adalah memfleksikan knee dan membawanya lurus ke

depan. Dengan kata lain, tujuan akhirnya adalah strategi mengatasi problem khusus,

bukan sebagai problem itu sendiri.

Instruksi : sekarang anda berjalan, jangan khawatir jika anda tidak dapat

berjalan dengan baik untuk memulainya. Sesuatu yang penting dapat memberikan

ide bagi pasien tentang berjalan. Melangkah pertama dengan tungkai yang sehat.

2) Untuk meningkatkan kompleksitas

Pasien memerlukan kesempatan untuk memperbaiki ketrampilan berjalan dan

pasien hanya dapat melakukan melalui latihan berjalan. Kemampuan barunya harus

secara konstan terstretch sesuai batas kemampuannya, dengan sering menambah

program latihan yang lebih variatif. Berjalan dalam area fisioterapi diatas

permukaan yang kuat dan rata adalah latihan dalam lingkungan yang sangat dekat.
Pasien juga memerlukan latihan dalam lingkungan terbuka dengan beberapa orang

dan objek yang bergerak. Dibawah ini beberapa contoh untuk meningkatkan

kompleksitas.

a) Pasien berlatih melangkah melalui beberapa objek yang tingginya berbeda.

b) Berjalan yang dikombinasikan dengan aktivitas lain seperti bercakap, membawa

objek.

c) Memvariasikan kecepatan berjalan dan membatasi ruang didalam area orang

yang berjalan.

d) Berjalan sepanjang jalur yang sibuk. Awalnya, terapis harus mengikuti pasien

untuk membantu pasien mengidentifikasi tanda-tanda lingkungan yang kritis,

sebagai contoh jalan persimpangan, pintu keluar masuk, dan jalur lalu lintas.

e) Berjalan masuk dan keluar dari elevator. Dalam situasi ini, pasien harus

mencocokkan performanya dengan waktu yang terbatas saat penutupan pintu di

elevator.

f) Berjalan diatas treadmill merupakan cara lain untuk memperbaiki irama dan

waktu berjalan. Latihan juga merupakan metode yang bermanfaat untuk

meningkatkan efisiensi cardiopulmonar dan daya tahan. Treadmill harus

disesuaikan dengan kecepatan yang paling nyaman atau enak untuk setiap

pasien.

i. Transfer latihan kedalam aktivitas kegiatan sehari-hari

Pada akhir sesi latihan, terapis harus membolehkan pasien beberapa waktu

untuk berjalan dengan berbagai cara sampai pada tahap selanjutnya saat pasien

mengikuti terapis. Pasien dapat mengatur tujuanya sendiri yaitu berapa jauh mampu
berjalan pada hari pertama, dapat memperluas jarak dan/atau waktu yang ditempuh

pada hari berikutnya. Dengan mengukur jarak yang ditempuh dan waktu yang dicapai,

maka dapat dibuatkan grafik untuk melihat adanya perbaikan. Secepat mungkin pasien

harus bisa berjalan sendiri.

Pasien memerlukan kesempatan untuk berlatih sendiri atau dengan bantuan

terapis pribadi. Untuk latihan dengan sendiri pasien memerlukan kemampuan untuk

berdiri sehingga memerlukan kursi yang cocok. Pasien harus diberikan instruksi-

instruksi tertulis sehingga pasien tahu terhadap konsentrasi latihan tersebut. Sebagai

contoh, instruksi tersebut meliputi tujuan-tujuan khusus, jumlah repetisi, atau jarak

tempuh yang dicapai. Juga bermanfaat instruksi menggunakan video rekaman antara

setiap sesi latihan.

Beberapa fisioterapi biasanya menggunakan peralatan tradisional dalam

rehabilitasi berjalan yaitu paralel bar dan/atau three-point cane. Bagaimanapun juga,

bantuan berdiri dan berjalan seperti paralel bar atau three-point cane hanya dapat

menurunkan secara sementara problem balance pasien, dan ketika digunakan secara

terus menerus akan memperburuk problem sejak mekanisme kontrol dengan cepat

beradaptasi terhadap feedback dan support tambahan yang diberikan.

Anda mungkin juga menyukai