PENDAHULUAN
1
terbanyak fetal loss. Delapan puluh persen fetal loss disebabkan oleh abortus
spontan. Sekitar 10-15% kehamilan berakhir dengan abortus spontan pada usia
kehamilan antara bulan kedua dan kelima. Sekitar setengahnya disebabkan oleh
anomali kromosom pada embrio.1,2,3
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
Kejadian abortus di Indonesia setiap tahun terjadi 2 juta kasus. Ini artinya
terdapat 43 kasus abortus per 100 kelahiran hidup. Menurut sensus penduduk
tahun 2000, terdapat 53.783.717 perempuan usia 15 – 49 tahun, dan dari jumlah
tersebut terdapat 23 kasus abortus per 100 kelahiran hidup.2 Menurut WHO,
diperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan setiap tahun di ASEAN dengan perincian
1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura, 750.000–1,5 juta dilakukan di
Indonesia, 155.000–750.000 dilakukan di Filiphina dan 300.000–900.000
dilakukan di Thailand. Laporan dari Australian Consortium For Indonesian
3
Studies, bahwa hasil penelitian yang dilakukan di 10 kota besar dan 6 kabupaten
di Indonesia menunjukkan terjadi 43 kasus aborsi per 100 kelahiran hidup.4
Riskesdas tahun 2010 menunjukkan presentase keguguran di Indonesia
sebesar 4% pada kelompok perempuan pernah kawin usia 10–59 tahun. Presentase
kejadian abortus spontan di Indonesia berdasarkan kelompok umur yaitu 3,8%
pada kelompok umur 15–19 tahun, 5,8 % pada kelompok umur 20-24 tahun, 5,8%
pada kelompok umur 25-29 tahun dan 5,7% pada kelompok umur 30-34 tahun
(Kemenkes RI, 2015). Besarnya kemungkinan keguguran yang terjadi pada wanita
usia subur adalah 10%–25%.4
9
25% di antaranya adalah enuploidi dan sisanya euploidi yaitu mengandung
kromosom normal.5,6 Kelainan dari struktur kromosom juga adalah salah satu
penyebab kelainan sitogenetik yang berakibat aborsi dan kelainan ini sering
diturunkan oleh ibu memandangkan kelainan struktur kromoson pada pria
berdampak pada rendahnya konsentrasi sperma, infertelitas dan faktor lainnya
yang bisa mengurangi peluang kehamilan.5
Selain itu, gen yang abnormal akibat mutasi gen bisa mengganggu
proses implantasi dan mengakibatkan abortus seperti mytotic dystrophy yg
berakibat pada kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi uterus.
Gangguan genetik seperti Sindroma Marfan, Sindroma Ehlers-Danlos,
hemosistenuri dan pseusoxantoma elasticum merupakan gangguan jaringan
ikat yang bisa berakibat abortus. Kelainan hematologik seperti pada penderita
sickle cell anemia, disfibronogemi, defisiensi faktor XIII mengakibatkan
abortus dengan mengakibatkan mikroinfak pada plasenta.5,6
2. Penyebab Anatomik
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik,
seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentai janin. Insiden
kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada
perempuan dengan riwayat abortus ditemukan anomali uterus 27% pasien.
Penyebab terbanyak abortus kerana kelainan anatomik uterus adalah septum
uterus akibat daripada kelainan duktus Mulleri (40-80%), dan uterus bicornis
atau uterus unicornis (10-30%).3 Mioma uteri juga bisa mengakibatkan
abortus berulang dan infertilitas akibat dari gangguan passage dan
kontraktilitas uterus. Sindroma Asherman bisa mengakibatkan abortus dengan
mengganggu tempat impalntasi serta pasokan darah pada permukaan
endometrium.3 Selain kelainan yang disebut di atas, serviks inkompeten juga
telah terbukti dapat meyebabkan abortus, ditandai dengan dilatasi serviks
tanpa nyeri pada trimester kedua. Hal ini dapat diikuti oleh prolaps dan
menggembungnya membran janin kedalam vagina dan akhirnya ekpulsi janin
imatur.
10
3. Penyebab Autoimun
Beberapa penyakit berhubungan erat dengan kejadian abortus.Diantaranya
adalah SLE dan Antiphospholipid Antibodies (aPA).3 apA adalah antibodi
spesifik yang ditemukan pada ibu yang menderita SLE. Peluang terjadinya
pengakhiran kehamilan pada trimester 2 dan 3 pada SLE adalah 75%.
Menurut penelitian, sebagian besar abortus berhubungan dengan adanya aPA
yang merupakan antibodi yang akan berikatan dengan sisi negatif dari
phosfolipid. Selain SLE, antiphosfolipid syndrome (APS) dapat ditemukan
pada preemklamsia, IUGR, dan prematuritas. Dari international consensus
workshop pada tahun 1998, klasifikasi kriteria APS adalah:3
a. trombosis vaskular
- Satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau kapiler yang
dibuktikan dengan gambaran Doppler, dan histopatologi
- Pada histopatologi, trombosisnya tanpa disertai gambaran
inflamasi
b. komplikasi kehamilan
- Tiga atau lebih abortus dengan sebab yang tidak jelas, tanpa
kelainan anatomik, genetik atau hormonal
- satuatau lebih kematian janin di mana gambaran sonografi normal
- satu atau lebih persalinan prematur dengan gambaran janin normal
dan berhubungan dengan preeklamsia berat,atau insufisiensi
plasenta yang berat
c. kriteria laboratorium
- IgG dan atau IgM dengan kadar yang sedang atau tinggi pada 2
kali atau lebih dengan pemeriksaan jaraklebih dari 1 atau sama
dengan 6 minggu
d. antibodi fosfolipid
- Pemanjangan koagulasi fospholipid, aPTT, PT, dan CT,
11
- Kegagalan untuk memperbaikinya dengan pertambahandengan
plasma platlet normal
- Adanya perbaikan nilai tesdengan pertambahan fosfolipid
aPA ditemukan 20% pada perempuan yang mengalami abortus dan lebih
dari 33% pada perempuan yang mengalami SLE. Pada kejadian abotus
berulang, ditemukan infark plasenta yang luas akibat adanya atherosis dan
oklusi vaskular.
4. Infeksi
Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi
terhadap abortus diantaranya sebagai berikut:
- Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin
yang berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta
- infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat
sehingga janin sulit bertahan hidup
- infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa
berlanjut kematian janin
- infeksi kronis endometrium dan penyebaran kuman genitalia
bawah ( misal Mikoplasma hominis, Klamidia, HSV) yang bisa
menggangu proses implantasi
- Amnionitis
- Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh
karena virus selama kehamilan awal.
12
- Spirokaeta: treponema pallidum.3
6. Faktor Hormonal
Ovulasi, implantasi dan kehamilan dini sangat bergantung pada
koordinasi sistem pengaturan hormonal martenal yang baik. Perhatian
langsung pada sistem humoral secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran
hormon setelah konsepsi terutamanya kadar progesteron sangat penting
dalam mengantisipasi abortus.3
- Diabetes mellitus
Pada diabetes mellitus, perempuan dengan kadar HbA1c yang
tinggi pada trimester yang pertama akan berisiko untuk mengalami
abortus dan malformasi janin. Diabetes jenis insulin dependen
dengan kontrol yang tidak adekuat berisiko 2-3 kali lipat untuk
abortus.
- Kadar progesteron yang rendah
Kadar progesteron yang rendah juga mempengaruhi resptivitas
endometrium terhadap implantasi embrio. Kadar progenteron yang
rendah diketahui dapat mengakibatkan abortus terutamanya pada
13
kehamilan 7 minggu di mana trofoblast harus menghasilkan cukup
steroid untuk menunjang kehamilan. Pengangkatan korpus luteum
pada usia 7 minggu akan berakibat abortus dan jika diberikan
progesteron pada pada pasien ini, maka kehamilan dapat
diselamatkan
- Defek fase luteal
Penelitian pada perempuan yang mengalami abortus berulang,
didapatkan 17% kejadian defek luteal yaitu kurangnya progesteron
pada fase luteal. Namum pada saat ini, masih blum ada metode
yang bisa terpercaya untuk mendiagnosa kelainan ini
- Pengaruh hormonal terhadap imunitas desidua
Faktor humoral terhadap imunitas desidua juga berperan pada
kelangsungan kehamilan. Perubahan endometrium menjadi
desidua mengubah semua sel pada mukosa uterus. Perubahan
morfologi dan fungsional ini mendukung proses implantasi, proses
migrasi trofoblas, dan mencegah invasi yang berlebihan pada
jaringan ibu. Di sini interaksi antara trofoblas ekstravillus dan
infiltrasi leukosit pada mukosa uterus berperan penting di mana
sebahagian besar leukosit adalah large granular cell, dan
makrofag dengan sedikit sel T dan sel B. Sel NK dijumpai dalam
jumlah yang banyak terutama pada endometrium yang terpapar
progesteron. Perannya adalah pada trimester 1 adalah akan terjadi
peningkatan sel NK untuk membunuh sel target dengan sedikit
atau tiada ekspresi HLA.3 Trofoblast ekstravillous tidak bisa
dihancurkan oleh sel NK kerana sifatnya yang cepat menghasilkan
HLA1 sehingga terjadinya invasi optimal untuk plasentasi yang
optimal oleh trofoblas extravillous.3 Maka, gangguan pada sistem
ini akan berpengaruh pada kelangsungan kehamilan.
7. Faktor hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan
14
adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen
koagulasi dan fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi
trofoblas dan plasentasi. Penelitian Tulpalla dkk menunjukan bahwa perempuan
dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi
tromboksan pada usia kehamilan 4-6 minggu, dan penurunan produksi
prostasiklin saat usia kehamilan 8-11 minggu. Perubahan rasio tromboksan
prostasiklin memacu vasospasme serta agregasi trombosit menyebabkan
mikrotrombi serta nekrosis plasenta.
Defisiensi faktor XII, berhubungan dengan trombosis sistemik ataupun
plasenter dan dilaporkan berhubungan dengan abortus berulang pada lebih dari
22% kasus.3
15
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah
mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi
masih didalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran. Penderita akan
merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuat, perdarahannya
bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan umur kehamilan.
besarnya uterus masih sesuai dengan usia kehamilan dan tes kehamilan
urin masih postif.3
c. Abortus kompletus
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500mg. Semua hasil
konsepsi telah dikeluarkan, ostium uteri telah tertutup, uterus telah
mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar uterus tidak sesuai usia
kehamilan, pada pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7-10
hari setelah abortus.3
d. Abortus inkomplet
Sebagaian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang
tertinggal. Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal didalam
uterus dimana pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka
dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri
eksternum. Perdarahan biasanya masih terjadi jumlahnya pun bisa banyak
atau sedikit bergantung pada jaringan yang tersisa. 3
e. Missed abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam
kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya
masih tertahan dalam kandungan. Penderita tidak merasakan keluhan
apapun.3
f. Abortus habitualis(recurrent abortion)
Abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut.3 Penyebab
abortus habitualis selain faktor anatomis banyak yang mengaitkannya
dengan reaksi imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen
lymphosite trophoblast cross reactive (TLX). Bila reaksi terhadap antigen
16
ini rendah atau tidak ada, maka akan terjadi abortus. Salah satu penyebab
lain yang sering dijumpai ialah inkompetensia serviks, yaitu keadaan
dimana serviks uteri tidak dapat menerima beban untuk tetap bertahan
menutup setelah kehamilan melewati trimester pertama, dimana ostium
serviks akan membuka (inkompeten) tanpa disertai rasa mules/kontraksi
rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran janin. Kelainan ini sering
disebabkan oleh trauma serviks pada kehamilan sebelumnya, misalnya
pada tindakan usaha pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks
yang luas sehingga diameter kanalis servikalis sudah melebar.3
g. Abortus infeksius (infectious abortion)
Abortus yang disertai infeksi genital.3
h. Abortus septik (septic abortion)
Abortus yang disertai infeksi beratdengan penyebaran kuman ataupun
toksinnya kedalam peredaran darah atau peritonium.3
i. Kehamilan Anembriogenik (Blighted ovum)
Kehamilan patologi dimana mudigah tidak terbentuk sejak awal walaupun
kantong gestasi tetap terbentuk.3
- Abortus provokatus
a. Abortus terapeutik
Terdapat sejumlah penyakit medis dan bedah yang merupakan indikasi
untuk mengakhiri kehamilan.7
b. Abortus elektif (voluntary)
Pengakhiran kehamilan sebelum janin mampu hidup atas permintaan
wanita yang bersangkutan.7
17
Gambar 1. klasifikasi abortus.3
18
terlalu dalam sedangkan pada kehamilan 8-14 minggu telah masuk agak dalam
sehingga sebagian keluar dan sebagian lagi akan tertinggal karena itu akan terjadi
banyak perdarahan.8
Pada abortus yang terjadi lama, beberapa kemungkinan boleh terjadi. Jika
fetus yang tertinggal mengalami maserasi, yang mana tulang kranial kolaps,
abdomen dipenuhi dengan cairan yang mengandung darah, dan degenarasi organ
internal. Kulit akan tertanggal di dalam uterus atau dengan sentuhan yang sangat
minimal. Bisa juga apabila cairan amniotik diserap, fetus akan dikompress dan
mengalami desikasi, yang akan membentuk fetus compressus. Kadang-kadang,
fetus boleh juga menjadi sangat kering dan dikompres sehingga menyerupai kertas
yang disebut fetus papyraceous.3
19
Pemerikasaan fisik
Bercak darah diperhatikan banyak, sedang atau sedikit. Palpasi abdomen
dapat memberikan gambaran keberadaan hasil konsepsi dalam abdomen dengan
pemeriksaan bimanual. Yang dinilai adalah uterus membesar sesuai gestasi, dan
konsistensinya. Pada pemeriksaan pelvis, dengan menggunakan speculum
keadaan serviks dapat dinilai terbuka atau tertutup, ditemukan atau tidak sisa hasil
konsepsi di dalam uterus yang dapat menonjol keluar, atau didapatkan di liang
vagina7. Pemeriksaan fisik pada perdarahan kehamilan muda dapat dilihat di tabel
berikut ini:
20
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang ini diperlukan dalam keadaan abortus:
1. Pemeriksaan ultrasonography dan doppler untuk menentukan apakah ada
janin masih hidup atau tidak serta menentukan prognosis
2. Pemeriksaan kadar fibrinogen pada missed abortion
3. Tes kehamilan
4. Pemeriksaan lain sesuai dengan keadaan dan diagnosis pasien
Klinis abortus:
1. Abortus Imminens ( Threatened abortion, Abortus mengancam ) 3,9,11
a. Perdarahan pervaginam, sementara ostium uteri eksternum masih tertutup
dan janin masih dalam intrauterine timbul pada pertengahan trimester
pertama
b. Perdarahan biasanya sedikit, hal ini dapat terjadi beberapa hari.
c. Kadang nyeri, terasa nyeri tumpul pada perut bagian bawah menyertai
perdarahan.
d. Tidak ditemukan kelainan pada serviks dan serviks tertutup
Pemeriksaan penunjang:
a. Pemeriksaan hormon hCG pada urin dengan cara melakukan tes urin
kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10.
Bila hasil tes urin masih positif keduanya maka prognosisnya adalah baik,
bila pengenceran 1/10 hasilnya negative maka prognosisnya dubia ad
malam.
b. USG: untuk mengetahui pertumbuhan janin yang ada dan mengetahui
keadaan plasenta apakah sudah terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan
juga ukuran biometri janin/kantong gestasi apakah sesuai dengan umur
kehamilan berdasarkan HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan janin
diperhatikan disamping ada atau tidaknya pembukaan kanalis servikalis.
Penatalaksanaan
a. Tirah baring
21
b. Diberikan spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan
hormone progesterone atau derivatnya untuk mencegah abortus
c. Anjurkan untuk tidak melakukan aktifitas fisik secara berlebihan atau
melakukan hubungan seksual
d. Bila reaksi kehamilan 2x berturut-turut negative, maka sebaiknya uterus
dikosongkan (kuret)
22
- Induksi oksitosin 20 unit dalam 500 ml NS atau RL mulai 8 tetes sampai
40 tetes/ menit, sesuai kondisi kontraksi uterus sampai terjadi pengeluaran
hasil konsepsi
- Segera lakukan persiapan untuk pengeluaran hasil konsepsi dari uterus.
23
Pemeriksaan penunjang:
a. USG: hanya dilakukan bila ragu dengan diagnosis secara klinis. Yang
didapatkan dalam USG adalah besar uterus sudah lebih kecil dari umur
kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit dikenali, di kavum uteri tampak
massa hiperekoik yang bentuknya tidak beraturan.
Penatalaksanaan
a. Hasil konsepsi yang terperangkap pada serviks yg disertai perdarahan,
dapat dikeluarkan secara digital, atau cunam ovum kemudian dievakuasi.
Bila perdarahan berhenti diberi ergometrine 0,2 mg I.M atau misoprostol
400 mg per oral
b. Bila perdarahan terus berlangsung, evakuasi sisa konsepsi dengan kuret
vakum (KV)
c. Bila tidak ada tanda-tanda infeksi, antibiotika prophilaksis. Bila terjadi
infeksi beri Ampicillin 1 gr dan Metronidazol 500 mg setiap 8 jam
d. Bila anemia terapi dengan Fe kalau perlu transfusi darah.
24
c. Pemeriksaan koagulasi perlu dilakuakn sebelum tindakan evakuasi dan
kuretase bila missed abortion berlangsung lebih dari 4 minggu karena
kemungkinan akan terjadi gangguan pembekuan darah.
Penatalaksanaan
a. pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi dapat
dilakukan secara langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila
serviks uterus memungkinkan.
b. Bila umur kehamilan di atas 12 minggu atau kurang dari 20 minggu
dengan keadaan serviks uterus yang masih kaku, dianjurkan untuk
melakukan induksi terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin atau
mematangkan kanalis servikalis. Caranya antara lain:
- infus intravena cairan oksitosin dimulai dari dosis 10 unit dalam
500 cc dekstrose 5% tetesan 20 tetes per menit dan dapat diulangi
sampai total oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan untuk
mencegah terjadinya retensi cairan tubuh.
- Jika tidak berhasil, penderita diistirahatkan 1 hari, dan kemudian
induksi diulangi. Biasanya maksimal 3 kali.
- Diberikan mesoprostol secara sublingual sebanyak 400 mg yang
dapat diulangi 2 kali dengan jarak 6 jam. Dengan obat ini akan
terjadi pengeluaran hasil konsepsi atau terjadi pembukaan ostium
serviks sehingga tindakan evakuasi dan kuretase dapat dikerjakan
untuk mengosongkan kavum uteri. Setelah janin atau jaringan
konsepsi berhasil keluar dengan induksi ini, dilanjutkan dengan
tindakan kuretase sebersih mungkin.
c. Apabila terdapat hipofibrinogenemia perlu disiapkan transfusi darah segar
atau fibrinogen
d. Pasca tindakan kalau perlu dilakukan pemberian infus intravena cairan
oksitosin dan antibiotika.
25
6. Abortus Habitualis. 3,9,11,12,13
Diagnosis:
a. Dapat ditegakkan dengan anamnesis cermat.
b. Pemeriksaan dalam/inspekulo: dinilai diameter kanalis servikalis dan
didapati selaput ketuban yang mulai menonjol pada saat mulai memasuki
trimester kedua. Diameter ini melebihi 8 mm.
Pemeriksaan :
a. Histerosalfingografi, untuk mengetahui adanya mioma uterus submukosa
atau anomali congenital.
b. BMR dan kadar yodium darah diukur untuk mengetahui apakah ada atau
tidak gangguan glandula thyroidea
c. Psiko analisis
Terapi :
a. Untuk kelainan kegagalan reaksi antigen TLX, maka diobati dengan
transfuse leukosit atau heparinisasi.
b. Pada serviks inkompeten, dianjurkan untuk periksa hamil seawal mungkin.
c. Bila dicurigai adanya inkompetensia serviks dialakukan tindakan untuk
memberikan fiksasi pada serviks agar dapat menerima beban dengan
berkembangnya umur kehamilan. Operasi dilakukan pada umur kehamilan
12– 14 minggu dengan cara SHIRODKAR atau MC DONALD (cervical
cerlage) dengan melingkari kanalis servikalis dengan benang
sutera/mersilenen yang tebal dan simpul baru dibuka setelah umur
kehamilan aterm dan bayi siap dilahirkan.
d. Merokok dan minum alcohol sebaiknya dikurangi atau dihentikan.
e. Pengobatan pada kelainan endometrium pada abortus habitualis lebih
besar hasilnya jika dilakukan sebelum ada konsepsi daripada sesudahnya.
26
b. Pemeriksaan : Kanalis servikalis terbuka, teraba jaringan, perdarahan, dan
sebagainya.
c. tanda – tanda infeksi yakni kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,5 derajat
Celcius, kenaikan leukosit dan discharge berbau pervaginam, uterus besar
dan lembek disertai nyeri tekan.
Penatalaksanaan
a. Bila perdarahan banyak, berikan transfusi darah dan cairan yang cukup
b. Berikan antibiotika yang cukup dan tepat (buat pemeriksaan pembiakan
dan uji kepekaan obat)
c. Berikan suntikan penisilin 1 juta satuan tiap 6 jam
d. Berikan suntikan streptomisin 500mg setiap 12 jam
e. Atau antibiotika spektrum luas lainnya.
f. Bila tetap terjadi perdarahan banyak setelah 1-2 hari lakukan dilatasi dan
kuretase untuk mengeluarkan hasil konsepsi
27
Tabel 2. Diagnosis banding
28
c. Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan
komplikasi beikan kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam
untuk 48 jam:
Teknik bedah
Terdapat berbagai metode bedah dan medis untuk mengobati abortus
spontan serta terminasi yang dilakukan pada keadaan lain, Kehamilan dapat
diakhiri secara bedah melalui serviks yang dibuka atau transabdomen dengan
histerektomi, dan hal ini diringkas sebagai berikut:7
29
- Dilatasi serviks diikuti oleh evakuasi uterus
Dilatasi dan Curretase (D&C): Kuretase, Aspirasi vakum (kuretase isap)
dan aspirasi haid
Pendekatan transerviks pada abortus bedah mensyaratkan bahwa
serviks mula-mula harus dibuka (didilatasi) dan kemudian kehamilan
dievakuasi dengan mengerok keluar secara mekanis isi (kuretase tajam)
dan dengan menghisap keluar (kuretasi hisap). 7
Teknik untuk dilatasi dan kuretase
Setelah pemeriksaan bimanual dilakukan untuk menentukan
ukuran dan orientasi uterus, dilakukan pemasangan speculum, dan serviks
diusap dengan larutan povidon iodine atau ekivalennya. Bibir serviks
anterior dijepit dengan tenakulum bergigi. 7
Jika diperlukan, serviks dapat diperlebar lebih lanjut dengan dilator
Hegar, Hank atau Pratt sampai kanula penghisap dengan garis tengah yang
sesuai dapat dimasukkan. Dalam memilih ukuran kanula yang sesuai
diperlukan pertimbangan terhadap terhadap faktor-faktor yang saling
bersaing, kanula kecil memiliki risiko tersisanya jaringan intrauterus
pasace pembedahan sementara kanula besar memiliki resiko cedera serviks
dan rasa tidak nyaman. 7
30
Cara untuk melakukan kuretase hisap yaitu, pemasangan sonde
uterus mengukur kedalaman dan arah rongga uterus sebelum insersi
kanula. Kanula penghisap didorong kea rah fundus dan kemudian ditarik
kearah ostium dan berputar secara berkeliling mencakup keseluruhan
permukaan rongga uterus. Jika tidak ada lagi jaringan yang terhisap maka
dilakuakn kuretase tajam secara hati-hati untuk membersihkan semua
potongan janin atau plasenta yang tersisa.7
31
Dilatasi dan evakuasi (D&E)
Mulai 16 minggu, ukuran dan struktur janin menentukan
pemakaian teknik ini. Setelah janin dikeluarkan seluruhnya maka plasenta
dan jaringan yang tersisa dikeluarkan dengan kuret vakum.
32
Injeksi intraamnion
Injeksi ekstraovula
Insersi vagina
Injeksi parenteral
Ingesti oral
33
e. Inhibisi vagus, hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang
dilakukantanpa anestesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah, dan panik.
Hal ini dapatterjadi akibat alat yang digunakan atau suntikan secara
mendadak dengancairan yang terlalu panas atau terlalu dingin.
f. Keracunan obat/ zat abortivum, termasuk karena anestesia. Antiseptik
lokalseperti KmnO4 pekat, AgNO3, K-Klorat, Jodium dan Sublimat
dapatmengakibatkan cedera yang hebat atau kematian. Demikian pula
obat-obatan. seperti kina atau logam berat. Pemeriksaan adanya Met-Hb,
pemeriksaan histologik dan toksikolgik sangat diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.
g. Infeksi dan sepsis. Komplikasi ini tidak segera timbul pasca tindakan
tetapimemerlukan waktu. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu
staphylococci,streptococci, Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma,
Treponema (selain T.paliidum), Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis,
sedangkan pada vagina ada lactobacili,streptococci, staphylococci, Gram
negatif enteric bacilli, Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur.
Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas padsa desidua. Pada
abortus septik virulensi bakteri tinggi dan infeksi menyebar ke
perimetrium, tuba, parametrium, dan peritonium. Organisme-organisme
yang paling sering bertanggung jawab terhadap infeksi paska abortus
adalah E.coli, Streptococcus non hemolitikus, Streptococci anaerob,
Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitikus, dan Clostridium
perfringens. Bakteri lain yang kadang dijumpai adalah Neisseria
gonorrhoeae, Pneumococcus dan Clostridium tetani. Streptococcus
pyogenes potensial berbahaya oleh karena dapat membentuk gas.
34
- Pada wanita keguguran dengan etiologi yang tidak diketahui,
kemungkinan keberhasilan kehamilan sekitar 40-80 %.
- Sekitar 77 % angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktivitas jantung
janin pada kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan 2 atau lebih
aborsi spontan yang tidak jelas.
35