Anda di halaman 1dari 4

“Buku Pintar” Klasik: Kitab al-

al-Ma‘ārif
Ma‘ rif karya Ibn Qutaybah

Syamsuddin Arif
Dosen Pascasarjana ISID Gontor Indonesia

Bio-
Bio-bibliografi

Ia mula beranjak dewasa tatkala Khalifah al-Ma’mūn (putra Hārūn ar-Rasyīd) gencar-
gencarnya menginstruksikan penerjemahan karya-karya saintifik pelbagai bidang dari
bahasa Yunani (Greek), Parsi, Siriak, dan Hindi ke dalam bahasa Arab pada penghujung
abad kedua Hijriah (sekitar tahun 815 Masehi). Ia bernama-lengkap Abū Muhammad
‘Abdullāh ibn Muslim ibn Qutaybah, dengan tambahan gelar: al-Kūfī (asli Kūfah kota
kelahirannya, menurut sebagian ahli sejarah); al-Marwazī (dari Marw/Merv, sebuah
bandar di wilayah Khorasan Persia/Iran (sekarang disebut Marw dan masuk wilayah
Turkmenistan, kampung asal orangtuanya); ad-Dīnawarī (warga Dīnawar, kota dimana
ia bertugas sebagai hakim (qādhī); dan al-Baghdādī (orang Baghdād, tempat ia kemudian
menetap hingga akhir hayatnya).
Ibn Qutaybah lahir di kota Kūfah pada tahun 213 Hijriah/ 828 Masehi dan wafat
di Baghdād pada tahun 276 H/ 889 M. Ia meninggal dunia akibat demam panas dan
menjerit-jerit hingga tak sadarkan diri sesudah memakan harīsah (daging yang dimasak
dengan campuran tepung gandum), cerita Ibn al-Anbārī (w. 577/1181) dalam Nuzhat a l-
Alibbā’, 272-4. Kata qutaybah adalah bentuk diminutive (tashghīr) dari qitbah, qitb atau
qatab yang jamaknya aqtāb, berarti “usus”. Demikian ia menerangkan namanya sendiri
dalam Adab al-Kātib. Sementara menurut Qutaybah ibn Muslim, sebagaimana dicatat
oleh az-Zabīdī dalam kamus Tāj al-‘Arūs, artinya ialah ikāf (pelana bagasi keledai). Perlu
diketahui ada dua Ibn Qutaybah; satu Sunnī dan satu lagi Syi‘ī (Syiah). Yang sedang kita
bicarakan adalah Ibn Qutaybah yang Sunnī.
Sedikit sekali informasi yang kita peroleh tentang riwayat hidupnya. Pendidikan
Ibn Qutaybah bermula di sekolah al-Qur’ān (kuttāb), dimana ia belajar dan menghafal
al-Qur’ān, hadits, fikih, tata bahasa Arab, dan aritmetika. Di Baghdad ia mulai berguru
kepada para profesor ilmu kalam, tafsīr, ushul fiqh, sastra and sejarah. Di sanalah ia
berkenalan dengan buku-buku terjemahan dari bahasa asing khususnya Parsi. Sejarah
mencatat sedikitnya 26 tokoh ulama terkenal yang kepadanya Ibn Qutaybah berguru.
Antara lain adalah ahli hadits Ishāq ibn Rāhawayh (w. 237 H/851 M), cendekiawan al-
Jāhizh (w. 254 H), ahli bahasa dan sejarah Abū Hātim as-Sijistānī (w. 255 H/ 869 M), dan
pakar filologi al-‘Abbās ibn al-Faraj ar-Riyāshī (w. 257/871), penerus al-Ashma‘ī dan Abū
‘Ubaydah.
Sesudah Khalifah al-Mutawakkil naik menggantikan al-Ma’mūn pada tahun 218
H/833 M, mazhab Ahlus Sunnah kembali mendapat angin dan nama Ibn Qutaybah pun
semakin berkibar. Perdana menteri Abū l-Hasan ‘Ubaydullāh ibn Yahya ibn Khāqān
mengangkatnya sebagai hakim (qādhī) untuk wilayah Dīnawar pada tahun 236 H/851 M,
jabatan yang dipegangnya selama dua-puluh tahun hingga 256 H/870 M, dimana ia
dilantik sebagai hakim kasasi kota Basrah. Sebagai akademisi, Ibn Qutaybah terkenal
murah hati terhadap sahabat maupun murid-muridnya. Ibn Qutaybah menulis dan

1
mengajar di Baghdād hingga wafatnya dalam usia 61 tahun. Biobibliografi beliau dapat
dibaca dalam: al-Sam‘ānī (w. 562/1167), kitab al-Ansāb, 443; Ibn al-Jawzī (w. 597/1201)
kitab al-Muntazham, 102; al-Qifthī (w. 646/1248), kitab Inbāh ar-Ruwāt, 2:143; Ibn
Khallikān (w. 681/1282) kitab Wafayāt al-A‘yān, 2:246; Ibn Katsīr (w. 774/1373), kitab al-
Bidāyah wa n-Nihāyah, 11:48; as-Suyūthī (w. 911) kitab Bughyat al-Wu‘āt, 291; dan juga G.
Lecomte, Ibn Qutayba (mort en 276/889: l'homme, son oevre, ses idées) dan Ishaq Musa
Huseini, The Life and Works of Ibn Qutayba.
Terbilang sangat produktif menulis, Ibn Qutaybah meninggalkan karya-karya
monumental dalam berbagai bidang. Di antaranya kitab Ta’wīl Musykil al-Qur’ān
(penjelasan tentang ayat-ayat yang terkesan pelik dan bercanggah dalam al-Qur’an)
dan kitab Tafsīr Gharīb al-Qur’ān (analisis seputar kata-kata dan kalimat luar biasa dalam
al-Qur’an). Dalam kedua bukunya itu ia banyak merujuk kitab Majāz al-Qur‘ān karya Abū
‘Ubaydah (w. 210/824) dan kitab Ma‘ānī al-Qur’ān karya al-Farrā’ (w. 207/822). Dan pada
gilirannya karya Ibn Qutaybah tersebut menjadi salah satu rujukan penting bagi Imam
al-Thabarī (w. 311/923), al-Qurthubī (w. 671/1272), Fakhruddin al-Rāzī (w. 606/-1209),
dan Abū Hayyān al-Andalusī (w. 744-5/1344) dalam kitab-kitab tafsir mereka.
Kitab Gharīb al-Hadīth merupakan karya lainnya yang tak kalah masyhurnya. Terdiri
dari tiga jilid (edisi Dr. ‘Abdullāh al-Jubūrī), kitab ini mengupas maka lafaz-lafaz yang
asing atau sukar dipahami secara langsung, menjelaskan etymologi istilah-istilah teknis
seperti wudhū’, shalāt, kāfir, zhālim dan sebagainya.
Kitab lainnya yang terkenal berjudul Adab al-Kātib (Kesarjanaan Sang Sekretaris),
berisi manual untuk pengarang dan sastrawan seputar perkamusan, kaedah penulisan
prosa maupun puisi, dan ilmu kata. Dalam bab ketiga buku ini (berkenaan taqwīm al-
lisān) misalnya, Ibn Qutaybah menerangkan seluk-beluk seni mengucap kata dan
implikasi semantiknya. Contohnya: ghasl bermakna “mencuci/mandi”, sedangkan ghisl
berarti “benda yang dicuci/dimandikan”, dan ghusl artinya “air untuk mencuci/mandi”.
Kalau rajul khud‘ah artinya “orang yang tertipu/korban penipuan”, maka rajul khuda‘ah
adalah “penipu”. Maka wajarlah jika kemudian Ibn Khaldūn (w. 737/1337) mencatat
bahwa di zamannya kitab Adab al-Kātib merupakan buku pegangan untuk mata kuliah
sastra Arab.

Kitab al-
al-Ma‘ārif
Ma‘ rif

Meski sudah sangat akrab di kalangan ulama Islam, kitab ensiklopedik ini pertama kali
dicetak di Mesir pada tahun 1934 berdasarkan naskah versi F. Wüstenfeld cetakan
Göttingen 1850. Edisi kritis baru terbit pada tahun 1961 hasil suntingan Dr Tsarwat
‘Ukāsyah (cetakan Dār al-al-Ma‘ārif, no.44 dalam seri Dzakhā’ir al-‘Arab). Menurut
penyuntingnya, kitab ini tampaknya dimaksudkan oleh pengarang sebagai kelanjutan
dari kitab Adab al-Kātib (kata pengantar hlm.109), dimana Ibn Qutaybah menghimpun
fakta-fakta historis yang amat wajib diketahui oleh orang berpangkat, berpendidikan,
dan berilmu. “Hādza kitābun jama‘tu fihi min al-ma‘ārif mā yahiqqu ‘alā man un‘ima ‘alayhi
bi-syarafi l-manzilah, wa ukhrija bi t-ta’addub ‘an thabaqat al-husywah, wa fudhdhila bi l-‘ilmi
wa l-bayān ‘alā l-‘āmmah, ” tulisnya (hlm.1). Kitab yang rampung ditulisnya pada tahun
266 H ini konon ia persembahkan kepada Pangeran al-Muwaffaq (putera Khalifah al-
Mutawakkil) yang lantas memberikan kepadanya 1000 dinar emas.

2
Di antara sebab yang mendorong Ibn Qutaybah menulis kitab ini, katanya,
seringkali ketika hadir dalam pertemuan atau simposium para peserta dilihatnya tidak
kenal tokoh-tokoh sentral dalam peristiwa-peristiwa penting sepanjang sejarah.
Bahkan tidak sedikit kaum bangsawan yang tidak tahu sama sekali nenek-moyang atau
negeri asal-usulnya. Sering pula terjadi seorang mengaku cucu kesekian dari si fulan,
padahal fulan tersebut tidak mempunyai keturunan sama sekali. Jangan sampai anda
seperti orang yang berjalan memandang langit lantas jatuh tersandung batu atau
terpelosok ke dalam lubang. Belajar yang pelik-pelik, sementara yang asasi-asasi
terabaikan, ujar Ibn Qutaybah (hlm.2-3).
Ibn Qutaybah mengurai pembahasannya dalam beberapa bagian. Diawali
dengan kisah penciptaan alam semesta dan kisah para nabi semenjak Adam hingga Isa
alayhimussalam (hlm. 1-58), dimana ia banyak menukil kitab Taurat (misalnya pada
hlm. 1 dan hlm. 17: qara’tu fi t-Tawrāt) dan mengutip Wahb ibn Munabbih secara jujur.
Selanjutnya diuraikan nasab suku-suku Arab termasuk silsilah Rasulullah saw, ahli
keluarga dan kaum kerabat beliau beserta keturunannya. Juga dipaparkan sekilas peri
kehidupan beliau hingga wafatnya (hlm. 63-166). Dilanjutkan dengan biografi para
Sahabat ra, Tabi‘in dan khulafa’ hingga zaman al-Mu‘tamid (hlm. 167-493).
Berikutnya adalah bab mengenai tokoh-tokoh penting dari kalangan ahli fikih
(ashhāb ar-ra’yi), ahli riwayat (ashhāb al-hadīts), ahli qira’at, ahli nasab, ahli sejarah, ahli
syair, ahli bahasa, dan ahli pendidikan (hlm. 494-549). Juga disebutkan negeri-negeri
yang berhasil diislamkan, nama-nama gubernurnya dan masjid-masjid yang pertama
kali didirikan (hlm. 550-71). Tak ketinggalan diceritakannya hal-ihwal aliran-aliran
sesat semacam Ibadhiyyah, Syi‘ah, Murji’ah, Qadariyyah dan sebangsanya (hlm. 622-5).
Di bagian akhir dituturkannya nama dan silsilah raja-raja Yaman, Ethiopia, Iraq dan
Persia (hlm. 626-67). “Sengaja aku bikin buku ini seringkas dan seringan mungkin
(ghardhī al-ījāz wa t-takhfīf), dengan mementingkan yang masyhur dan memasukkan
informasi yang ada sebabnya,” jelas Ibn Qutaybah dalam pendahuluannya.
Cukup menarik, umpamanya, berita mengenai keluarga Nabi Ibrahim as; bahwa
beliau mempunyai empat istri: Sarah (melahirkan Ishaq), Hajar (melahirkan Ism‘ail),
Qathura (melahirkan empat anak), dan Hajura (melahirkan tujuh anak), sehingga
jumlah putranya seluruhnya tiga-belas orang (hlm. 33). Disebutkan pula jumlah nabi-
nabi itu seratus duapuluh empat ribu orang, tiga ratus lima belas diantaranya
berpangkat rasul (hlm. 56). Ada juga cerita kepandaian Sa‘id ibn al-Musayyib ra
menafsirkan mimpi. “Kulihat diriku memaku empat pasak di punggung Abdul Malik ibn
Marwan,” kata seseorang kepada Sa‘id. Maka dijawabnya: “Kalau begitu yang kau lihat,
maka dari tulang rusuknya bakal lahir empat orang penguasa!” (hlm.437). Dan benar
terbukti empat anak kandung Abdul Malik menjadi khalifah, yaitu al-Walid, Sulayman,
Yazid, dan Hisyam. Masih banyak lagi informasi langka yang tersimpan dalam kitab
klasik ini.
Ditilik isinya, kitab al-Ma‘ārif ini menyerupai “buku pintar” untuk zamannya.
Namun Ibn Qutaybah bukanlah yang pertama kali dan bukan pula satu-satunya orang
yang menghasilkan karya semacam ini. Lebih kurang tiga puluh tahun sebelumnya
Muhammad ibn Habīb al-Baghdādī (w. 245) telah menulis kitab al-Muhabbar, yang mirip
isi maupun susunan bab-babnya sampai. Satu lagi yang juga sama kandungannya
adalah kitab al-‘Alā’iq an-Nafīsah karya Ibn Rastah Abu ‘Ali Ahmad ibn ‘Umar. Kemiripan
tersebut begitu ketara sampai ada yang mengatakan Ibn Qutaybah telah menjiplak dari

3
dua kitab itu. Tetapi tiga ratus tahun kemudian Ibn al-Jawzī (w. 597 H) menerbitkan
kitab Talqīh Fuhūm al-Atsarah fi t-Tārīkh wa s-Sīrah yang lagi-lagi banyak kemiripannya
dengan kitab al-Ma‘ārif. Tak mengejutkan, sebab kata orang bijak, adakah sesuatu yang
baru di kolong langit ini? Well, nothing is new under the sun.
Kendati cukup masyhur, Ibn Qutaybah tak lepas dari kritikan sejumlah ulama.
Imam ad-Dāraquthnī (w. 385/995) menuduhnya cenderung pada anthropomorphisme
dan beralih dari keturunan Rasulullah saw (yamīlu ilā t-tasybīh munharifan ‘an al-‘itrah).
Demikian pula al-Hākim an-Nīsabūrī (w. 405/1015) menuduhnya pendusta (ajma‘at al-
ummah ‘alā ann al-Qutaybī kadzdzāb), besar kemungkinan lantaran suka menukil sumber
Yahudi (isrā’īliyyāt) tanpa sikap kritis (padahal Rasulullah saw telah mewanti-wanti la
tushaddiqūhum wa lā tukadzdzibūhum dan cukuplah seseorang itu disebut pendusta jika
ia menceritakan segala yang didengarnya – tanpa disaring). Adapun Imam al-Bayhaqī
(w. 458/1066) menganggapnya penganut akidah Karrāmiyyah, manakala Abu l-Husayn
Ahmad ibn Fāris (w. 395) mengecam tulisan-tulisannya yang memberi kesan negatif
terhadap para Sahabat ra (yuthliqu ithlāqāt munkarah wa yarwī asyyā’ musyanni‘ah).
Namun demikian, semua tuduhan tersebut telah ditolak oleh mayoritas ulama
sesudahnya seperti al-Khathīb (w. 463/1071) dalam Tārīkh Baghdād, 10:670: “Dia itu
dapat dipercaya, kuat agamanya, dan punya kelebihan (kāna tsiqatan, dayyinan,
fādhilan)”; az-Dzahabī (w. 748/1347), dalam Mīzān al-I‘tidāl, 2:33: “Ia jujur namun sedikit
meriwayatkan (shadūq qalīlu r-riwāyah)”; al-Hāfizh as-Salafī (w. 576): “Dia itu terhitung
ilmuwan terpercaya dan termasuk Ahlus-Sunnah (kāna Ibn Qutaybah min ats-tsiqāt wa
ahli s-sunnah)”. Terlepas dari itu semua, kitab tua ini menjadi sebuah bukti lagi bahwa
manusia bisa mati, namun karya tulisnya akan terus dinikmati. *

Anda mungkin juga menyukai