Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

Tinjauan Pustaka
1.1 Konsep Dasar Laparatomy
1.1.1 Definisi Laparatomy

Laparatomy merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu insisi


pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen (Sjamsurihidayat dan Jong,
2011). Ditambahkan pula bahwa laparatomi merupakan teknik sayatan yang
dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan
obgyn. Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan tenik insisi
laparatomi ini adalah herniotomi, gasterektomi, kolesistoduodenostomi,
hepatorektomi, splenoktomi, apendektomi, kolostomi, hemoroidektomi dfan
fistuloktomi. Sedangkan tindakan bedah obgyn yang sering dilakukan dengan
tindakan laoparatomi adalah berbagai jenis operasi pada uterus, operasi pada tuba
fallopi, dan operasi ovarium, yang meliputi hissterektomi, baik histerektomi total,
radikal, eksenterasi pelvic, salpingooferektomi bilateral.
Tujuan: Prosedur ini dapat direkomendasikan pada pasien yang mengalami
nyeri abdomen tanpa penyebabnya atau pasien yang mengalami trauma abdomen.
Laparatomy eksplorasi digunakan untuk mengetahui sumber nyeri atau akibat
trauma dan perbaikan bila diindikasikan.

1.1.2 Indikasi
1.1.2.1 Trauma abdomen (tumpul atau tajam)
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang
terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau
yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006). Dibedakan atas 2 jenis yaitu :
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium)
yang disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritoneum)
yang dapat disebabkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi
atau sabuk pengaman (sit-belt).
1.1.2.2 Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membrane serosa rongga
abdomen, yang diklasifikasikan atas primer, sekunder dan tersier. Peritonitis
primer dapat disebabkan oleh spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat
penyakit hepar kronis. Peritonitis sekunder disebabkan oleh perforasi appendicitis,
perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering
kolon sigmoid), sementara proses pembedahan merupakan penyebab peritonitis
tersier.
1.1.2.3 Sumbatan pada usus halus dan besar (Obstruksi)
Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun
penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus
biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya lambat.
Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai usus halus. Obstruksi total usus
halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan
pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup. Penyebabnya dapat berupa
perlengketan (lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh secara
lambat atau pada jaringan parut setelah pembedahan abdomen), Intusepsi
(salah satu bagian dari usus menyusup kedalam bagian lain yang ada dibawahnya
akibat penyempitan lumen usus), Volvulus (usus besar yang mempunyai
mesocolon dapat terpuntir sendiri dengan demikian menimbulkan penyumbatan
dengan menutupnya gelungan usus yang terjadi amat distensi), hernia (protrusi
usus melalui area yang lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen), dan
tumor (tumor yang ada dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor
diluar usus menyebabkan tekanan pada dinding usus).
1.1.2.4 Apendisitis mengacu pada radang apendiks
Suatu tambahan seperti kantong yang tak berfungsi terletak pada bagian
inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah obstruksi
lumen oleh fases yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa
menyebabkan inflamasi.
1.1.2.5 Tumor abdomen
1.1.3 Definisi Post Op Laparatomy
Post op atau Post operatif Laparatomi merupakan tahapan setelah proses
pembedahan pada area abdomen (laparatomi) dilakukan. Dalam Perry dan Potter
(2005) dipaparkan bahwa tindakan post operatif dilakukan dalam 2 tahap yaitu
periode pemulihan segera dan pemulihan berkelanjutan setelah fase post operatif.
Proses pemulihan tersebut membutuhkan perawatan post laparatomi. Perawatan
post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang di berikan kepadaklien
yang telah menjalani operasi pembedahan abdomen.
1.1.4 Tujuan Perawatan Post Op Laparatomy
1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.
2. Mempercepat penyembuhan.
3. Mengembalikan fungsi klien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.
4. Mempertahankan konsep diri klien.
5. Mempersiapkan klien pulang.
1.1.5 Manifestasi Klinis Post Op Laparatomy
Manifestasi yang biasa timbul pada pasien post laparatomy diantaranya :
1. Nyeri tekan pada area sekitar insisi pembedahan
2. Dapat terjadi peningkatan respirasi, tekanan darah, dan nadi.
3. Kelemahan
4. Mual, muntah, anoreksia
5. Konstipasi

1.1.6 Komplikasi
1. Syok.
2. Hemorrhagi
3. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
2. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi dan ambulatif
dini.
3. Buruknya integritas kulit sehubungan dengan luka infeksi.

1.2 Konsep Dasar Ileus Obstruktif


1.2.1 Definisi
Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya
obstruksi usus akut. Ileus paralitik adalah adalah obstruksi yang terjadi karena
suplai saraf otonom mengalami paralisis dan peristaltik usus terhenti sehingga
tidak mampu mendorong isi sepanjang usus. Ileus paralitik merupakan istilah
gawat abdomen atau gawat perut menggambarkan keadaan klinis akibat
kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai
keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering
berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan masif
di rongga perut maupun saluran cerna, infeksi, obstruksi atau strangulasi saluran
cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga
perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.
1.2.2 Etiologi
1. Pembedahan Abdomen
2. Trauma abdomen : Tumor yang ada dalam dinding usus meluas kelumen
usus atau tumor diluar usus menyebabkan tekanan pada dinding usus
3. Infeksi: peritonitis, appendicitis, diverticulitis
4. Pneumonia
5. Sepsis
6. Serangan Jantung
7. Ketidakseimbangan elektrolit, khususnya natrium
8. Kelainan metabolik yang mempengaruhi fungsi otot
9. Obat-obatan: Narkotika, Antihipertensi
10. Mesenteric ischemia
1.2.3 Klasifikasi
1. Ileus Mekanik
1) Lokasi Obstruksi
a. Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum
b. Letak Tengah : Ileum Terminal
c. Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum
2) Stadium
a. Parsial : menyumbat lumen sebagian
b. Simple/Komplit: menyumbat lumen total
c. Strangulasi: Simple dengan jepitan vasa 6
2. Ileus Neurogenik
1) Adinamik : Ileus Paralitik
2) Dinamik : Ileus Spastik
3. Ileus Vaskuler : Intestinal ischemia 6
1.2.4 Manifestasi klinis
1. Obstruksi Usus Halus
1) Gejala awal biasanya berupa nyeri abdomen bagian tengah seperti kram
yang cenderung bertambah berat sejalan dengan beratnya obstruksi dan
bersifat hilang timbul.
2) Pasien dapat mengeluarkan darah dan mukus, tetapi bukan materi fekal
dan tidak terdapat flatus.
3) Pada obstruksi komplet, gelombang peristaltik pada awalnya menjadi
sangat keras dan akhirnya berbalik arah dan isi usus terdorong kedepan
mulut.
4) Apabila obstruksi terjadi pada ileum maka muntah fekal dapat terjadi.
Semakin kebawah obstruksi di area gastrointestinal yang terjadi,
semakin jelas adanya distensi abdomen.
5) Jika berlanjut terus dan tidak diatasi maka akan terjadi syok
hipovolemia akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.

2. Obstruksi Usus Besar


1) Nyeri perut yang bersifat kolik dalam kualitas yang sama dengan
obstruksi pada usus halus tetapi intensitasnya jauh lebih rendah.
2) Muntah muncul terakhir terutama bila katup ileosekal kompeten.
3) Pada pasien dengan obstruksi disigmoid dan rectum, konstipasi dapat
menjadi gejala satu-satunya selama beberapa hari.
4) Akhirnya abdomen menjadi sangat distensi, loop dari usus besar
menjadi dapat dilihat dari luar melalui dinding abdomen, dan pasien
menderita kram akibat nyeri abdomen bawah.
1.2.5 Patofisiologi
Proses Perjalanan Penyakit Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah
obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang apakah obstruksi tersebut
diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utama pada
obstruksi paralitik adalah di mana peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan
pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten,
dan akhirnya hilang. Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus adalah
lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas
(70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang
menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8
liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari ke sepuluh. Tidak
adanya absorpsi dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat.
Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber
kehilangan utama cairan dan elektrolit.
Pengaruh atas kehilangan ini adalah penyempitan ruang cairan ekstrasel
yang mengakibatkan syok-hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan
perfusi jaringan dan asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus
mengakibatkan lingkaran setan penurunan absorpsi cairan dan peningkatan sekresi
cairan ke dalam usus. Efek lokal peregangan usus adalah iskemia akibat distensi
dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin
bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan
bakteriemia. Pada obstruksi mekanik simple, hambatan pasase muncul tanpa
disertai gangguan vaskuler dan neurologik. Makanan dan cairan yang ditelan,
sekresi usus, dan udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya
komplit. Bagian usus proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi
dan absorpsi membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi edema
dan kongesti. Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus
menerus dan progresif akan mengacaukan peristaltik dan fungsi sekresi mukosa
dan meningkatkan resiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan
kematian.
1.2.6 Komplikasi
1. gangguan vaskularisasi usus dan memicu iskemia akibat distensi dan
peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin– toksin
bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi
2. perforasi tukak peptik yang ditandai oleh perangsangan peritoneum yang
mulai di epigastrium dan meluas ke seluruh peritoneum akibat peritonitis
generalisata
3. Perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam
kurang lebih dua minggu disertai nyeri kepala, batuk, dan malaise yang
disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum
yang merosot dan berakhir pada kematian.
1.2.7 Pemeriksaan penunjang
1. Amilase-lipase
2. Kadar gula darah.
3. Kalium serum.
4. Analisis gas darah.
5. Foto abdomen 3 posisi
Tampak dilatasi usus menyeluruh dari gaster sampai rektum. Penebalan
dinding usus halus yang dilatasi memberikan gambaran herring bone appearance
(gambaran seperti tulang ikan), karena dua dinding usus halus yang menebal dan
menempel membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang sirkuler
menyerupai kosta dan gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak
di tepi abdomen. Tampak gambaran air fluid level pendek-pendek berbentuk
seperti tangga yang disebut step ladder appearance di usus halus dan air fluid level
panjang-panjang di kolon.
1.2.8 Penatalaksanaan Medis
1. Konservatif
1) Penderita dirawat di rumah sakit.
2) Penderita dipuasakan
3) Kontrol status airway, breathing and circulation.
4) Dekompresi dengan nasogastric tube.
5) Intravenous fluids and electrolyte
6) Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.
2. Farmakologis
1) Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob.
2) Analgesik apabila nyeri.
3. Operatif
1) Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai dengan
peritonitis.
2) Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric untuk
mencegah sepsis sekunder atau rupture usus.
3) Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik
bedah yang disesuaikan dengan hasil explorasi melalui laparotomi.
1.3 Pengkajian
Pengkajian Keperawatan Merupakan tahap awal dari pendekatan proses
keperawatan dan dilakukan secara sistematika mencakup aspek bio, psiko, sosio,
dan spiritual. Langkah awal dari pengkajian ini adalah pengumpulan data yang
diperoleh dari hasil wawancara dengan klien dan keluarga, observasi pemeriksaan
fisik, konsultasi dengan anggota tim kesehatan lainnya dan meninjau kembali
catatan medis ataupun catatan keperawatan. Pengkajian fisik dilakukan dengan
cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Adapun lingkup pengkajian yang
dilakukan pada klien ileus paralitis adalah sebagai berikut :
1. Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, alamat, status
perkawinan, suku bangsa.
2. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat kesehatan sekarang Meliputi apa yang dirasakan klien saat
pengkajian
b. Riwayat kesehatan masa lalu Meliputi penyakit yang diderita, apakah
sebelumnya pernah sakit sama.
c. Riwayat kesehatan keluarga Meliputi apakah dari keluarga ada yang
menderita penyakit yang sama.
3. Riwayat psikososial dan spiritual Meliputi pola interaksi, pola pertahanan
diri, pola kognitif, pola emosi dan nilai kepercayaan klien.
4. Kondisi lingkungan Meliputi bagaimana kondisi lingkungan yang
mendukung kesehatan klien
5. Pola aktivitas sebelum dan di rumah sakit Meliputi pola nutrisi, pola
eliminasi, personal hygiene, pola aktivitas sehari – hari dan pola aktivitas
tidur.
6. Pengkajian fisik Dilakukan secara inspeksi, palpasi, auskultasi, dan
perkusi, yaitu :
a. Inspeksi
Perut distensi, dapat ditemukan kontur dan steifung. Benjolan pada
regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia
inkarserata. Pada Intussusepsi dapat terlihat massa abdomen berbentuk
sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi
sebelumnya. Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi,
hernia, rectal toucher. Selain itu, dapat juga melakukan pemeriksaan
inspeksi pada :
1) Sistem Penglihatan Posisi mata simetris atau asimetris, kelopak mata
normal atau tidak, pergerakan bola mata normal atau tidak,
konjungtiva anemis atau tidak, kornea normal atau tidak, sklera
ikterik atau anikterik, pupil isokor atau anisokor, reaksi terhadap
otot cahaya baik atau tidak.
2) Sistem Pendengaran Daun telinga, serumen, cairan dalam telinga
3) Sistem Pernafasan Kedalaman pernafasan dalam atau dangkal, ada
atau tidak batuk dan pernafasan sesak atau tidak.
4) Sistem Hematologi Ada atau tidak perdarahan, warna kulit
5) Sistem Saraf Pusat Tingkat kesadaran, ada atau tidak peningkatan
tekanan intrakranial
6) Sistem Pencernaan Keadaan mulut, gigi, stomatitis, lidah bersih,
saliva, warna dan konsistensi feces.
7) Sistem Urogenital Warna BAK
8) Sistem Integumen Turgor kulit, ptechiae, warna kulit, keadaan kulit,
keadaan rambut.
b. Palpasi
1) Sistem Pcncernaan Abdomen, hepar, nyeri tekan di daerah
epigastrium
2) Sistem Kardiovaskuler : Pengisian kapiler
3) Sistem Integumen : Ptechiae
c . Auskultasi
Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi, borborhygmi. Pada fase
lanjut bising usus dan peristaltik melemah sampai hilang.
d. Perkusi Hipertimpani
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Radiologi Foto polos berisikan peleburan udara halus atau usus besar
dengan gambaran anak tangga dan air – fluid level. Penggunaan kontras
dikontraindikasikan adanya perforasi – peritonitis. Barium enema
diindikasikan untuk invaginasi.
b. Endoscopy, disarankan pada kecurigaan volvulus.
1.3.1 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman nyeri epigastrium berhubungan dengan proses
patologis penyakitnya.
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual, muntah dan anoreksia.
3. Potensial terjadi syok hipovolemik berhubungan dengan kurangnya
volume cairan tubuh.
4. Gangguan pola eliminasi berhubungan dengan konstipasi.
5. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sakit kepala dan pegal - pegal
seluruh tubuh.
6. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, dan perawatan
pasien ileus paralitik berhubungan dengan kurangnya informasi.
7. Kecemasan ringan – sedang berhubungan dengan kondisi pasien yang
memburuk dan perdarahan yang dialami pasien
1.3.2 Intervensi Keperawatan
2 Gangguan rasa nyaman nyeri epigastrium berhubungan dengan proses
patologis penyakitnya
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan rasa nyaman nyeri terpenuhi
Kriteria hasil : Nyeri hilang / berkurang
Rencana tindakan :
a. Kaji tingkat nyeri
Rasional : Untuk mengetahui seberapa berat rasa nyeri yang dirasakan
dan mengetahui pemberian terapi sesuai indikasi.
b. Berikan posisi senyaman mungkin
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri dan memberikan kenyamanan.
c. Berikan lingkungan yang nyaman
Rasional : Untuk mendukung tindakan yang telah diberikan guna
mengurangi rasa nyeri.
d. Kolaborasi dalam pemberian terapi analgetik sesuai indikasi ( Profenid
3 x 1 supp ).
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri
3 Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual, muntah dan anoreksia
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan gangguan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil : Mual, muntah hilang, nafsu makan bertambah, makan habis
satu porsi
Rencana tindakan :
a. Kaji keluhan mual, sakit menelan dan muntah
Rasional : Untuk menilai keluhan yang ada yang dapat menggangu
pemenuhan kebutuhan nutrisi.
b. Beri makan sedikit tapi sering
Rasional : meminimalisir mual dan muntah pada pasien
c. Hindari makanan yang berbau tajam, dan sediakan makanan dalam
hidangan yang dingin
Rasional : mengurangi rangsang mual dan muntah.
d. Kolaborasi pemberian obat anti emetik (Antacid )
Rasional : Membantu mengurangi rasa mual dan muntah.
4 Potensial terjadi syok hipovolemik berhubungan dengan kurangnya volume
cairan tubuh
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan syok hipovolemik tidak terjadi
Kriteria hasil : Tanda – tanda vital dalam batas normal, volume cairan
tubuh seimbang, intake cairan terpenuhi.
Rencana tindakan :
a. Monitor keadaan umum
Rasional : Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui
penyimpangan dari keadaan normalnya.
b. Observasi tanda – tanda vital
Rasional : Merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
c. Kaji intake dan output cairan
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan
d. Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena
Rasional : Untuk memenuhi keseimbangan cairan
5 Gangguan pola eliminasi berhubungan dengan konstipasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan gangguan pola eliminasi tidak terjadi
Kriteria hasil : Pola eliminasi BAB normal
Rencana tindakan :
a. Kaji dan catat frekuensi, warna dan konsistensi feces
Rasional : Untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan yang terjadi
pada eliminasi fekal.
b. Auskultasi bising usus
Rasional : Untuk mengetahui normal atau tidaknya pergerakan usus.
c. Anjurkan klien untuk minum banyak
Rasional : Untuk merangsang pengeluaran feces.
d. Kolaborasi dalam pemberian terapi pencahar (Laxatif)
Rasional : Untuk memberi kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan
eliminasi
6 Gangguan pola tidur berhubungan dengan sakit kepala dan pegal - pegal
seluruh tubuh
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan gangguan pola tidur teratasi
Kriteria hasil : Pola tidur terpenuhi
Rencana tindakan :
a. Kaji pola tidur atau istirahat normal pasien
Rasional : Untuk mengetahui pola tidur yang normal pada pasien dan
dapat menentukan kelainan pada pola tidur.
b. Beri lingkungan yang nyaman
Rasional : Untuk mendukung pemenuhan kebutuhan aktivitas dan
tidur.
c. Batasi pengunjung selama periode istirahat
Rasional : Untuk menjaga kualitas dan kuantitas tidur pasien
d. Pertahankan tempat tidur yang hangat, bersih dan nyaman
Rasional : Supaya pasien dapat tidur dengan nyaman
e. Kolaborasi pemberian terapi analgetika
Rasional : Agar nengurangi rasa nyeri yang menggangu pola tidur
pasien
7 Kecemasan ringan – sedang berhubungan dengan kondisi pasien yang
memburuk dan perdarahan yang dialami pasien
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan kecemasan tidak terjadi
Kriteria hasil : Kecemasan berkurang
Rencana tindakan :
a. Kaji rasa cemas klien
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien
b. Bina hubungan saling percaya dengan klien dan keluarga
Rasional : Untuk terbinanya hubungan saling pecaya antara perawat
dan pasien.
c. Berikan penjelasan tentang setiap prosedur yang dilakukan terhadap
klien
Rasional : Agar pasien mengetahui tujuan dari tindakan yang
dilakukan pada dirinya.
8 Kurang pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan
kurangnya informasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam
diharapkan pengetahuan pasien meningkat.
Kriteria Hasil : Tingkat pengetahuan pasien meningkat
Rencana Tindakan :
a. Jelaskan pada pasien tentang penyakitnya
Rasional : Pasien dapat mengetahui mengenai penyakitnya dan
mendapatkan informasi yang akurat.
b. Berikan waktu untuk mendengarkan emosi dan perasaan pasien
Rasional : Agar pasien dapat mengungkapkan perasaannya kepada
perawat
c. Beri penyuluhan mengenai penyakitnya
Rasional : Untuk meningkatkan pengetahuan pasien mengenai
penyakitnya.

DAFTAR PUSTAKA
Price, S.A. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Editor: Price,
S.A., McCarty, L., Wilson. Editor terjemahan: Wijaya, Caroline. Jakarta:
EGC, 2009.
Mansjoer, Arif. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FKUI:
Jakarta
Dongoes, et.al. 2011. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: jakarta
Nanda International. 2014. Nursing Diagnoses : Definition and classification
2014-2015.Wiley-Blackwell:United Kingdom

Anda mungkin juga menyukai