Anda di halaman 1dari 3

MEDIA ASSESMENT

1. Apa yang selalu muncul dimedia? 2.Pesan apa yang belum muncul maksimal di Media ?
 Masalah obesitas sering muncul dimedia terkait beberapa
faktor yang mempengaruhinya yakni Peningkatan dalam  Pesan yang belum muncul maksimal di media yaitu ketika
pendapatan per kapita, sector kemasan makanan diAsia banyak Media berlomba-lomba membahas tentang penyebab
yang mengalami kemajuan, Peningkatan urbanisasi dan dari Obesitas dan hal apa yang mempengaruhinya. Pesan media
pendapatan berimbas terhadap belanja konsumen, dan mengenai cara mengatasi Obesitas itu sendiri jarang sekali
Media social & periklanan turut memengaruhi tren disinggung sehingga masyarakat hanya mengetahui masalah
makanan. apa yang kerap terjadi dan tidak mengetahui cara untuk
 Beberapa faktor tersebut menyebabkan terciptnya gerai mencegah obesitas itu sendiri.
makanan cepat saji dan supermarket yang kerap
dimunculkan dan diperkenalkan lewat berbagai media
social.

3.Apa yang harus kita perbaiki atau tingkatkan ?


3. Apa yang menjadi kendala kita dalam menghadapi media?
 Kita harus memberikan pesan media terkait masalah yang
 Bidang sosial “cenderung” mudah ditunggangi oleh
dipaparkan yakni cara mengatasi atau mencegah sehingga
kepentingan, seperti bidang industry. Bila media yang
pembaca dapat mengetahui dan mengantisipasi apabila
digunakan “terselip” informasi dari pesan sponsor, maka
masalah tersebut terjadi dilingkungannya.
informasi cenderung agak bias dan tidak murni. Artinya, media
 Kita sebaiknya ricek ulang informasi yang akan
pembelajaran itu sudah terkontaminasi “virus”
disampaikan. Apakah informasi tersebut sudah sesuai dengan
kepentingan. Virus kepentingan bisa ditimbulkan dari aspek
target yang diinginkan dan apakah berita berupa fakta dan
bisnis, terutama dalam bisnis makanan dan minuman yang
dapat dipertanggungjawabkan bukan sekedar hoax atau berita
kerap terjadi.
palsu.
JAKARTA - Perkembangan gizi di Asia khususnya yang terkait dengan diet dan obesitas, mendapat
penilaian dari Cargill. Dalam penilaiannya, terjadi enam megatren perkembangan gizi di Asia. Khususnya
terkait perubahan diet. Enam megatren itu, dalam laporan "Food for Thought-Eating Better" yang dirilis
bersama Economist Intelligence Unit (EIU), mencakup kualitas bukan kuantitas (quality not quantity) serta
urbanisasi dan pendapatan (urbanisation and income).

Kemudian obesitas dan nutrisi mikro (obesity and micro nutrients), hasil yang menimpang (diverging
outcomes), kesadaran gizi yang rendah (low nutritional awareness), serta iklan dan media sosial (advertising
and social media).

"Peningkatan dalam pendapatan per kapita dan grafik asupan kalori menunjukkan, pertumbuhan signifikan
dalam jumlah makanan yang dikonsumsi. Dengan sebagian besar negara mengonsumsi lebih dari 2.500
kalori per kapita setiap hari," demikian bunyi laporan tersebut, Senin (10/6/2019).

Akibatnya, pertumbuhan asupan kalori cenderung moderat. Komposisi diet mengalami perubahan cepat
dengan meningkatnya konsumsi protein. Khususnya daging dan ikan.

"Di sisi lain, sektor makanan kemasan Asia juga telah mengalami pertumbuhan empat persen pada 2017,
sekaligus menyoroti peningkatan konsumsi makanan olahan dan tidak meninggalkan persyaratan kebutuhan
gizi konsumen," menurut data Cargill.

Peningkatan urbanisasi dan pendapatan berimbas terhadap belanja konsumen. Salah satunya makanan.
Seperti mendorong pertumbuhan gerai makanan cepat saji dan supermarket.

"Ini juga diyakini mendorong gaya hidup masyarakat menjadi kurang bergerak dan mengonsumsi makanan
yang lebih enak," ucapnya.

Kemudian terjadi peningkatan kasus obesitas pada masyarakat di sejumlah negara Asia. Seperti di Indonesia,
Malaysia, Thailand, dan Pakistan. Disebabkan meningkatnya konsumsi minuman manis dan makanan
olahan.

"Di sisi lain, urbanisasi ternyata memiliki korelasi langsung dengan obesitas. Pasalnya, selama migrasi ke
kota, diet cenderung tidak lagi dilakukan sekaligus mengonfirmasikan terjadinya perubahan nutrisi, ketika
pindah ke daerah perkotaan," jelasnya.

Masyarakat di negara kurang berkembang dengan pendapatan nasional (Gross National Income/GNI) per
kapita yang lebih rendah, malah lebih rentan terhadap konsekuensi kesehatan negatif dari urbanisasi.

Sementara asupan kalori meningkat, kualitas makanan tidak. Hal tersebut menyebabkan defisiensi
mikronutrien atau "kelaparan tersembunyi". Orang-orang kelebihan berat badan atau terlihat sehat, tetapi
kehilangan nutrisi penting. Menciptakan salah satu tren yang lebih mengkhawatirkan di wilayah ini.

Meningkatnya ketidaksetaraan di Asia berdampak terhadap perkembangan gizi yang tidak merata di Asia
berasal, meski terdapat pertumbuhan PDB yang signifikan. Kekurangan gizi menjadi keprihatinan yang
signifikan. Bahkan, ketika obesitas tumbuh.

Tingkat pendidikan dan melek huruf yang lebih rendah di kalangan ibu, juga memengaruhi status gizi.
Demikian pula dengan tingkat kemiskinan. Tecermin dari kelebihan berat badan dan obesitas yang
meningkat di antara segmen masyarakat miskin dan tinggal di perkotaan.

Kesadaran tentang kekurangan gizi dan kelebihan gizi pada sejumlah negara dan tingkat pendapatan ternyata
relatif rendah di wilayah tersebut. Karenanya, ada kebutuhan meningkatkan kesadaran konsumen secara
menyeluruh. Khususnya di kalangan ibu.

"Karena ibu adalah sumber nutrisi pertama untuk anak selama 'seribu hari pertama' kehidupan. Orang dewasa
juga perlu dididik lebih baik tentang bahayanya obesogenic food dan pentingnya berolahraga," ujarnya.

Media sosial dan periklanan turut memengaruhi tren makanan. Keduanya menjadi komunikasi utama antara
konsumen dan pemangku kepentingan dalam industri makanan. Media sosial memberikan peluang industri
makanan sekaligus memacu upaya memantau dan mengatur konsumen.

Untuk itu, sejumlah negara di Asia menghambat intensitas iklan makanan dengan regulasi baru. Seperti yang
dilakukan Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan. Beberapa jenis iklan dilarang dan dibatasi.

"Singapura dan Filipina mengalami peningkatkan terbesar dalam mengadopsi pelabelan GDA sejak 2012.
Sementara Malaysia dan Thailand, di empat besar untuk tingkat adopsi," ujarnya.

Laporan ini berdasarkan hasil penelitian sistem pangan Asia yang digelar EIU pada Oktober 2017.
Berdasarkan penugasan Cargill. Penelitian dilengkapi riset utama. Termasuk wawancara dengan empat pakar
regional.

Sebanyak 400 orang menjadi responden. Mereka adalah pemimpin bisnis di industri makanan Asia. Berasal
dari China, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.

Anda mungkin juga menyukai