Anda di halaman 1dari 21

REFERAT SEPTEMBER, 2018

ALOPESIA AREATA

OLEH :

WAHYUNI TASLIM

N 111 17 087

PEMBIMBING KLINIK

dr. ASRAWATI SOFYAN, Sp.KK, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Rambut adalah struktur solid yang terdiri atas sel yang mengalami
keratinisasi padat. Berasal dari folikel epidermal yang berbentuk seperti kantong
yang tumbuh ke dalam dermis.
Kerontokan sering merupakan masalah, khususnya bagi mereka yang
mengutamakan penampilan. Pada manusia kerontokan rambut dapat terjadi di
salah satu bagian saja misalnya di kepala atau dapat terjadi pada seluruh bagian
tubuh. Rata-rata pada kulit kepala manusia terdapat ±100.000 helai rambut, secara
normal setiap hari ±100 rambut di kepala akan rontok.
Banyak faktor penyebab kerontokan rambut seperti: pemakaian sampo
yang tidak tepat, rambut sering ditarik-tarik, stres, nutrisi serta umur; juga dapat
disebabkan oleh faktor keturunan. Ada yang disebabkan penyakit yang menyerang
sistem kekebalan tubuh, pada jenis ini sel darah putih akan menyerang sel-sel
folikel rambut, serta akan menghambat pertumbuhan sel-sel tersebut sejalan
dengan proses tumbuh kembang, rambut akan mengalami fase kerontokan.
Alopesia salah satu penyakit kulit yang masih merupakan masalah didalam
menentukan penyebab maupun cara mengobatinya. Alopesia dapat memberikan
dampak negatif terhadap penderita, baik secara fisik, psikologik maupun
kosmetik.
Penyakit ini biasanya bermanifestasi dengan ditemukannya area-area
tertentu yang kehilangan rambut (mengalami kerontokan total) pada kulit kepala
atau bagian tubuh yang berambut lainnya yang biasanya berbentuk bulat atau
lonjong dengan batas yang tegas.
Pengobatan terhadap alopesia areata banyak macamnya, baik pengobatan
topikal, intralesi, sistemik dan foto kemoterapi ataupun kombinasinya.Setiap
peneliti berusaha memberikan pengobatan sesuai dengan teori - teori etiologi yang
dianutnya.
Berikut penjelasan tentang Alopesia areata mengenai definisi, etiologi,
patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Rambut


Rambut merupakan salah satu adneksa kulit yang terdapat pada seluruh
tubuh kecuali telapak tangan, telapak kaki, kuku dan bibir. Rambut pada
manusia digolongkan menjadi 3 jenis yaitu rambut lanugo, rambut velus,
rambut terminal.
Didalam uterus, saat kehamilan 24 minggu, mulai terjadi pembentukan
folikel pada kulit kepala, kemudian bagian tubuh lain. Folikel membentuk
rambut lanugo yang pendek, halus, dan akan rontok pada umur kehamilan 32-
36 minggu, dan selanjutnya membentuk rambut velus. Rambut velus adalah
rambut yang pendek dan halus. Ra,but tipe ini berdiameter 30 µm, panjang
krang dari 2 cm, dan tidak mengandung medula maupun pigmen dan terdapat
diseluruh tubuh. Rambut terminal berdiameter 60 µm dan dapat tumbuh
hingga 100 cm dan mengadung medula. Terdapat pada kepala, bulu mata,
alis, ssat pubertas, folikel rambut velus pada saerah aksila dan genetalia
berubah jadi rambut terminal dibawah pengaruh hormon androgen. Dan pada
laki-laki akan tumbuh pada daerah dagu dan dada.
Secara anatomi folikel rambut dibagi menjadi 4 bagian seperti terlihat pada
yaitu: (1) Bulbus terdiri dari papilla dermal dan matrik dengan melanosit. (2)
Suprabulbar merupakan area dari matrik sampai insersi otot arektor pili. (3)
Isthmus merupakan perluasan area dari insersi otot arektor pili sampai
kelenjar sebasea. (4) Infundibulum merupakan perluasan dari kelenjar sebasea
sampai ke orifisium folikel.
Gambar. Folikel rambut
Penampang rambut dari luar dapat dibagi atas: (1) Kutikula yang terdiri
atas lapisan keratin yang berguna untuk perlindungan terhadapkekeringan dan
pengaruh lain dari luar. (2) Korteks terdiri atas serabut polipeptida yang
memanjang dan saling berdekatan. Lapisan ini yang mengandung pigmen. (3)
Medula terdiri atas 3-4 lapis sel kubus yang berisi keratohialin, badan lemak
dan rongga udara. Pada rambut velus tidak memiliki medula.

Gambar. Penampang rambut dari bagian luar

Setiap folikel rambut akan mengalami siklus aktivitas. Rambut akan


tumbuh mencapai panjang maksimum, kemudian akan rontok serta
digantikan oleh rambut yang baru. Pada suatu waktu tertentu dari keseluruhan
rambut kita, sisanya akan mengalami fase istirahat atau resting stage.
Dalam siklus perkembangannya rambut memiliki 3 fase berbeda yaitu:
1. Fase Anagen merupakan fase awal pertumbuhan rambut. Pada fase ini sel-
sel germinal matrix akan membelah serta membentuk sel-sel rambut baru.
Pada fase ini kecepatan pertumbuhan rambut mencapai inci perbulan. Fase
ini terjadi selama 2-6 tahun, terdapat pada ±85% folikel rambut.
2. Fase Katagen merupakan fase transisional anagen, ditandai dengan
berhentinya fase aktif pertumbuhan rambut. Bulbus rambut akan
menghilang serta mengakibatkan pemendekan folikel. Fase katagen
membutuhkan waktu singkat kira-kira selama 3 minggu, selanjutnya
rambut akan mulai memasuki fase akhir atau fase istirahat yang disebut
telogen.
3. Fase Telogen merupakan fase akhir atau fase istirahat, rambut yang sudah
mencapai tingkat pertumbuhan maksimum akan rontok serta sel-sel
germinal matrix akan bekerja untuk menyusun bulbus rambut baru
sehingga siklus rambut akan kembali lagi ke fase anagen dan seterusnya.
Fase ini terjadi selama 3 bulan pada ±14% folikel yang ada di rambut.

Gambar. Siklus pertumbuhan rambut

2.2 Definisi
Alopesia areata adalah peradangan yang kronis, berulang dari rambut
terminal, yang ditandai oleh timbulnya satu atau lebih bercak kerontokan
rambut pada scalp dan atau kulit yang berambut terminal lainnya. Lesi pada
umumnya berbentuk bulat atau lonjong dengan batas tegas, permukaan licin
tanpa adanya tanda-tanda atropi, skuamasi maupun sikatriks.

2.2 Insiden

Prevalensi pada masyarakat umum di Amerika Serikat 0,1 – 0,2 %. Pada


beberapa laporan perbandingan insidens alopesia areata sama banyak antara
pria dan wanita. Di Unit Penyakit Kulit dan Ketamin RSCM Jakarta, dalam
pengamatan selama 3 tahun (1983 – 1985) penderita rata-rata sebanyak 20
orang pertahun dengan perbandingan pria dan wanita 6 : 4. Umur termuda
yang pernah dicatat adalah 6 tahun, dan yang tertua 59 tahun. Resiko untuk
terkena alopesia areata selama masa hidup adalah 1,7 %.

2.3 Etiopatogenesis
Patofisiologi alopecia areata belum diketahui jelas, diduga disebabkan
oleh kelainan autoimun yang diawali proses mediasi Sel-T. Proses ini diikuti
terbentuknya autoantibodi. Autoantibodi yang terbentuk ini akan
mempengaruhi fase anagen sehingga menjadi memendek, folikel rambut akan
masuk ke fase katagen yang mengakibatkan kerontokan. Autoantibodi ini
dapat menghambat perkembangan rambut pada fase anagen karena infiltrasi
sel-sel limfosit CD4+ dan CD8+, efeknya akan menurunkan jumlah sel T
yang akan mengakibatkan pemendekan fase anagen. Selain mekanisme
autoimun beberapa studi juga menunjukkan pengaruh beberapa gen yang
menginduksi alopesia areata. Antigen leukosit manusia DQ3 (DQB1*03)
ditemukan pada ±80% penderita. Antigen leukosit lainnya seperti DR4
(DRB1*0401) juga ditemukan pada penderita alopecia totalis dan alopecia
universalis. Gen antagonis reseptor interleukin-1 juga salah satu gen yang
ikut mempengaruhi terjadinya alopecia. Dari semua gen-gen yang telah
disebutkan di atas tidak ada satu gen dominan, penyakit ini merupakan jenis
polygenic yang dipengaruhi oleh banyak gen. Lingkungan juga menjadi salah
satu faktor yang mempengaruhi kemunculan fenotip alopecia areata.
2.4 GAMBARAN KLINIS
Lesi alopesia areata stadium awal, paling sering ditandai oleh bercak
kebotakan yang bulat atau lonjong, berbatas tegas. Permukaan lesi tampak
halus, licin, tanpa tanda-tanda sikatriks, atrofi maupun skuamasi. Pada tepi
lesi kadang- kadang tampak exclamation-mark hairs yang mudah
dicabut.Pada awalnya gambaran klinis alopesia areata berupa bercak atipikal,
kemudian menjadi bercak berbentuk bulat atau lonjong yang terbentuk
karena rontoknya rambut, kulit kepala tampak berwarna merah muda
mengkilat, licin dan halus, tanpa tanda-tanda sikatriks, atrofi maupun
skuamasi. Kadang-kadang dapat disertai dengan eritem ringan dan
edema.Bila lesi telah mengenai seluruh atau hampir seluruh scalp disebut
alopesia totatis. Apabila alopesia totalis ditambah pula dengan alopesia
dibagian badan lain yang dalam keadaan normal berambut erminal disebut
alopesia universalis.
Berdasarkan jumlah lesi dan area yang terkena, alopesia areata dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Alopesia areata monokuler: Hanya terdapat satu lesi kebotakan pada kulit
kepala
2. Alopesia areata multikuler: Terdapat banyak lesi pada kulit kepala
3. Alopesia areata total: Pasien mengalami kebotakan pada seluruh kulit
kepala
4. Alopesia areata universalis : Lesi tidak hanya terdapat pada kulit kepala,
tetapi juga bagian tubuh yang lain, termasuk rambut pubis.
5. Alopesia areata barbae: Lesi hanya terdapat pada daerah jambang
6. Alopesia traksi: Kebotakan pada daerah frontal dan temporal, karena
tekanan konstan akibat seringnya mengikat rambut dengan kuat.
Alopesia areata universalis
Klasifikasi alopesia areata menurut Ikeda adalah sebagai berikut:

1. Tipe umum, meliputi 83% kasus diantara umur 20-40 tahun, dengan
gambaran lesi berupa bercak-bercak bulat selama masa perjalanan
penyakit. Penderita tidak mempunyai riwayat stigmata atopi ataupun
penyakit endokrin autonomik, lama penyakit biasanya kurang dari 3 tahun.
2. Tipe atopik, meliputi 10% kasus, umumnya memiliki stigmata atopi, atau
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 10 tahun. Tipe ini dapat menetap
atau mengalami kekambuhan pada musim tertentu.
3. Tipe kombinasi, meliputi 5% kasus, terjadi pada umur di atas 40 tahun
dengan gambaran lesi bulat atau reticular. Penyakit endokrin autonomik
yang terdapat pada penderita antara lain berupa diabetes mellitus dan
kelainan tiroid.
4. Tipe prehipertensif, meliputi 4% kasus, dengan riwayat hipertensi pada
penderita maupun keluarganya. Bentuk lesi biasanya reticular

2.5 Diagnosis

Untuk mendiagnosis penyakit alopesia areata diperlukan anamnesis dan


pemeriksaan fisik yang cermat serta pemeriksaan penunjang bila perlu karena
penyakit ini memiliki kemiripan dengan beberapa penyakit lain pada rambut.

1. Anamesis
Selama anamnesis pasien biasanya mengeluhkan kebotakan rambut
pada area tertentu yang terjadi secara mendadak, pada area kulit kepala,
alis, bulu mata, atau jambang. Lesi kebotakan bisa satu atau multipel.
Terasa gatal, tidak nyaman, atau seperti terbakar pada area kebotakan.
Selain itu, beberapa faktor lain juga harus dipertimbangkan untuk
mendukung diagnosis, antara lain umur pasien, pola dan penyebaran lesi,
tingkat kerontokan rambut, riwayat kebotakan atau kerontokan rambut
sebelumnya, riwayat keluarga, riwayat penyakit atopi atau autoimun,
riwayat penyakit sebelumnya (termasuk infeksi atau penyakit lain dalam
kurun waktu 6 bulan), riwayat pengobatan (penyakit lain dan penyakit ini),
perawatan rambut, diet, dan dari segi psikologi berupa pandangan dan
ekspektasi pasien terhadap kondisi yang dialami, serta apakah ada tanda-
tanda depresi atau gangguan psikologis lainnya.
2. Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik biasanya ditemukan tanda-tanda sebagai
berikut.
a) Gambaran klinis alopesia areata yang berbentuk khas, bulat berbatas
tegas, pada kulit kepala atau rambut pada wajah, biasanya tidak
memberikan kesulitan untuk menegakkan diagnosisnya
b) Kulit kepala pada lesi berwarna kemerahan atau normal, tanpa
jaringan parut (pori folikel masih terlihat)
c) Exclamation mark hairs (rambut dengan bagian pangkal rambut
yang lebih kecil dari ujung rambut serta mudah dicabut) dapat
ditemukan di sekitar tepi lesi saat fase aktif penyakit.
d) Dapat pula terjadi perubahan pada kuku, misalnya pitting (burik),
onikilosis (pelonggaran), splitting (terbelah), garis Beau (cekungan-
cekungan transversal), koilonikia (cekung), atau leukonikia (bercak
putih di bawah kuku)
e) Bisa terdapat skuama, akan tetapi harus dipikirkan juga
kemungkinan diagnosis lain, misalnya infeksi jamur pada Tinea
kapitis.
f) Inspeksi juga area lesinya untuk mengetahui adanya trauma fisik
seperti luka, terbakar, jaringan parut. Jika terdapat tanda tersebut,
kebotakan dicurigai tidak disebabkan oleh alopesia areata.
g) Perhatikan lokasi lesi dan penyebarannya.

Selain itu, pemeriksaan pull test dapat dilakukan pada tepi lesi untuk
mengetahui adanya kerontokan rambut yang aktif. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan cara menarik sekitar 60 rambut dengan lembut tapi
mantap. Tes ini positif jika terdapat kerontokan 2-10 rambut atau lebih.
Perkiraan jumlah kerontokan rambut juga harus diperhitungkan.

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak begitu diperlukan pada mayoritas kasus
alopesia areata. Jika gejala dan tanda klinis mengarah pada suatu penyakit
autoimun (misalnya kerontokan pada hipotiroidisme), maka pemeriksaan
lanjutan dapat digunakan untuk menentukan penyebabnya. Jika terdapat
keraguan dalam menegakkan diagnosis.
Biopsi kulit (histopatologi), Potongan horizontal lebih dipilih karena
dapat menganalisa lebih banyak folikel rambut di level berbeda. Biopsi
pada tempat yang terserang menunjukkan infiltrat limfosit peribulbar pada
sekitar folikel anagen atau katagen yang terlihat seperti gerombolan lebah.
Infiltrat tersebar dan hanya terdapat pada beberapa rambut yang
berpenyakit. Penurunan jumlah rambut terminal yang signifikan
berhubungan dengan peningkatan jumlah rambut vellus dengan
perbandingan 1,1:1 (normalnya 7:1). Penampakan lainnya adalah terlihat
inkontinensia pigmen di bulbus rambut dan folikel. Perubahan juga terjadi
pada rasio anagen-telogen. Pada keadaan normal, rasionya sekitar 90%
anagen dan 10% telogen. Pada alopesia areata, ditemukan 73% rambut
pada fase anagen dan 27% pada fase telogen. Pada kasus yang sudah
berlangsung lama persentase rambut telogen dapat mencapai 100%.
Perubahan degeneratif pada matriks rambut dapat ditemukan tetapi jarang.
Dapat ditemukan eosinofil pada jalur fibrosa dan dekat bulbus rambut.
Terdapat rambut distrofi dan exclamation mark hairs.
Pada stadium akut ditemukan distrofi rambut anagen yang disertai
dengan exclamation mark hair pada bagian proksimal. Sedangkan pada
stadium kronis akan ditemukan peningkatan jumlah rambut telogen,
perubahan lain meliputi berkurangnya diameter serabut rambut,
miniaturisasi, serta pigmentasi rambut yang tidak teratur. Sikatriks pada
lesi alopesia areata yang kronis dapat pula terjadi oleh karena berbagai
manipulasi sehingga perlu dilakukan pemeriksaan biopsy kulit. Alopesia
areata episode berat dapat menyebabkan perhentian siklus anagen disertai
formasi exclamation mark hair. Rambut yang terserang bisa diganti oleh
rambut normal atau rambut kecil. Alopesia areata episode sedang
menyebabkan inhibisi fase anagen, menimbulkan rambut distrofi, yang
dapat digantikan oleh rambut normal, kecil, atau nanogen.
Gambar. Siklus Rambut pada Alopesia Areata yang Terlihat pada Pemeriksaan Histopatologi

Gambar. Akar rambut yang bentuknya seperti tanda seru (exclamation mark hair)

2.6 Diagnosis Banding


1. Tinea kapitis : biasanya terjadi terutama pada anak – anak. Penyebabnya
adalah jamur (mikrosporum dan tricophyton). Diagnose ditegakkan karena
adanya eritema, skuama, dan pengerasan kulit secara local pada kulit
kepala. Pada pemeriksaan histopatologis didapatkan rambut dikelilingi
oleh spora yang susunannya tidak teratur.

Gambar 3. Tinea Capitis


2. Trikotilomania : Gangguan kontrol implus yang ditandai oleh dorongan
berulang – ulang untuk menarik rambut kepala, bulu mata, rambut wajah,
rambut hidung, rambut kemaluan, alis atau rambut tubuh lainnya, sehingga
kadang – kadang terlihat botak berpola.

Gambar 4. Trikotilomania

Gambar 3. Trikotilomania

3. Alopesia androgenic adalah sebuah bentuk umum kehilangan rambut pada


perempuan dan laki – laki. Pada manusia laki – laki pada khususnya,
kondisi ini juga umum dikenal sebagai pola kebotakan laki – laki. Rambut
hilang dimulai dari kedua tonjolan di atas. Rambut juga menipis di puncak
kepala. Seringkali sebuah lingkaran rambut di sekeliling sisi dan belakang
kepala kiri, atau kondisi lengkap dapat berlanjut ke kebotakan. Pola
kerontokan rambut pada wanita berbeda dari pola kebotakan laki- laki.
Pada wanita, rambut menjadi lebih tipis di seluruh kepala, dan garis
rambut tidak surut. Alopesia androgenic pada wanita jarang menyebabkan
kebotakan total. Dalam alopesia androgenic, kebotakan biasanya secara
perlahan progresif dari pada akut.

Gambar. Alopesia androgenik

2.7 Penatalaksanaan

Sangat sedikit data berbasis bukti tersedia untuk pengobatan alopecia


areata rekomendasi terutama didasarkan pada seri kasus dan pengalaman
klinis. Pemberian terapi pada Alopesia areata sampai saat ini tidak bisa
menyembuhkan, namun bersifat paliatif untuk mengurangi beratnya penyakit.
Berikut algoritma untuk mengobati alopecia areata berdasarkan usia dan
gambaran klinis :
Berikut ini akan dibahas beberapa modalitas terapi pada alopesia areata.
1. Kortikosteroid topikal. Terapi kortikosteroid dapat berupa injeksi intralesi
atau topikal. Untuk steroid topikal, diberikan triamsinolon acetonid
(kenalog) 2,5 – 10 mg/ml namun hanya sebagian kecil saja yang
menyatakan efektifitasnya. Untuk steroid topikalnya diberikan flousinolon
krim 0,2% atau bisa juga diberikan betametason dipropionat 0,05%.

2. Kortikosteroid intralesi, injeksi adalah terapi lini pertama untuk pasien


dewasa dengan keterlibatan kulit kepala kurang dari 50%. Triamcinolon
acetonid digunakan dosis dari 2,5–10 mg / mL. Pengobatan diulang setiap
4 hingga 6 minggu, dosis yang disuntikkan per sesi bervariasi dari 15–40
mg. suntikan kortikosteroid intralesi biasanya digunakan pada kulit
kepala, alis mata dan area jenggot dan dapat dikombinasikan dengan
pengobatan topikal.
3. Kortikosteroid sistemik, Kortikosteroid sistemik efektif dalam pengobatan
alopecia areata. Namun rambut akan rontok kembali jika terapi dihentikan.
Dosis bervariasi dari awal 20-40 mg prednisone harian dan dosis
diturunkan bertahap 5 mg setiap hari dalam beberapa minggu. Dosis tinggi
oral jangka pendek prednisolone (100–300 mg) atau i.v.
methylprednisolone (250 mg) .efek penggunaan jangka panjang dan dapat
menyebabkan striae, jerawat, kegemukan, katarak dan hipertensi.
4. Minoxidil topikal, Ada beberapa bukti klinis pertumbuhan rambut
menggunakan minoxidil topikal 5% solusi. Hasil yang lebih baik dapat
dicapai dengan kombinasi minoxidil dengan kortikosteroid topikal kelas
II atau anthralin.
5. Antralin adalah bahan iritan yang dapat menimbulkan pertumbuhan pada
alopesia areata. Anthralin 0,2% -1,0 % krim atau salep. Dioleskan setiap
hari dan dibiarkan selama 20-30 menit selama 2 minggu pertama.
Kemudaian 45 menit selama 2 minggu, hingga 1 jam setiap hari dan
dibilas. Antralin aman digunakan pada anak-anak. Efek samping anthralin
adalah iritasi, scaling, folikulitis dan limfadenopati regional. Anthralin
tidak cocok untuk perawatan area alis mata dan jenggot. Pasien harus hati-
hati jangan sampai terkena mata. untuk melindungi area kulit yang
dirawat dari radiasi UV.
6. Imunoterapi kontak , Alergen kontak yang dapat dipakai pada terapi AA,
antara lain DNCB (1-chloro- 2,4-dinitrobenzene), squaric acid dibutylester
(SADBE) dan 2,3 diphenylciclopropenone (DPCP). Penelitian Summer
dan Guggelmann menunjukkan DNCB bersifat mutagenik terhadap S.
typhimurium, sehingga sekarang tidak digunakan lagi. SADBE dan DPCP
tidak bersifat mutagenik dan DPCP menjadi pilihan terapi imunoterapi
kontak. Bahan contact sensitizer atau imunoterapi kontak ini diduga
menghambat interaksi spesifik antara CD8/CD4 dengan dendritic cell dan
MHC I/ II pada keratinosit folikel rambut. Cara penggunaan DPCP,
pertama kali dilakukan sensitisasi dengan cairan DPCP 2% yang
diaplikasikan pada kepala. Dua minggu kemudian pada daerah kepala
dioleskan DPCP dengan konsentrasi mulai 0,001%. Pengulangan aplikasi
dilakukan setiap minggu dengan konsentrasi ditingkatkan sedikit demi
sedikit sampai terjadi reaksi dermatitis ringan berupa rasa gatal dan eritem
tanpa disertai vesikel atau oozing.5 Aplikasi DPCP diteruskan sampai
terlihat pertumbuhan rambut, biasanya dalam waktu 8-12 minggu.5 Jika
respon pengobatan sudah memuaskan frekuensi pengobatan dapat
diturunkan, dan terapi dihentikan bila pertumbuhan rambut sudah
maksimal. Apabila dalam waktu 6 bulan tidak ada respon yang
memuaskan, terapi sebaiknya dihentikan. SADBE digunakan pada
penderita yang toleran terhadap DPCP.
Efek samping yang sering ditemukan pada imunoterapi kontak adalah
reaksi dermatitis berat, namun efek ini dapat dicegah atau dikurangi
dengan menurunkan konsentrasi bahan kontaktan. Efek samping lain
adalah relaps selama atau setelah terapi dihentikan, ditemukan pada 62%
penderita dengan respon terapi memuaskan,18 serta pembesaran limfonodi
servikal atau oksipital selama terapi. Limfadenopati ini dapat bersifat
sementara atau permanen selama terapi. Efek samping yang jarang
ditemukan adalah urtikaria, perluasan dermatitis kontak alergi (DKA) atau
erythema multiforme-like reaction dan vitiligo. Pada ras kulit berpigmen
banyak ditemukan reaksi hiper/hipopigmentasi (vitiligo), tetapi sebagian
besar kasus akan membaik dalam waktu 1 tahun setelah penghentian
terapi. Efek samping jangka panjang pada aplikasi SADBE selama tahun
dan DPCP 18 tahun pada 10000 penderita termasuk anak-anak belum
ditemukan.1,5 sehingga imunoterapi kontak menjadi salah satu terapi yang
efektif untuk
AA.
7. Foto (kemo) Terapi. Sinar ultraviolet B, telah dilaporkan bermanfaat pada
beberapa pasien dengan alopecia areata. Pilihan terapeutik termasuk
pemberian oral dan topikal psoralen diikuti oleh radiasi UVA (PUVA-
terapi). PUVA dapat mempengaruhi fungsi sel T dan antigen presentasi,
dan menghambat imunologi lokal pada folikel rambut.
8. Siklosporin, Siklosporin sistemik pada dosis 4-6 mg / kg / hari telah
terbukti memiliki efek yang menguntungkan pada beberapa pasien dengan
alopecia areata. Efek samping siklosporin sakit kepala, diare, sakit otot,
diare, hiperplasia gingiva. Siklosporin dapat dikombinasikan dengan
prednison oral dosis rendah dan dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan dermatitis atopik berat dan alopecia areata. Namun, karena profil
efek sampingnya dan tingkat kekambuhan tinggi, obat ini tidak dipakai.

2.8 Prognosis
Progresivitas alopesia areata tidak dapat diprediksi.Beberapa pasien
hanya menderita kehilangan rambut sedikit, tetapi ada juga yang banyak.
Umumnya pertumbuhan akan normal kembali dalam 1 tahun tanpa
pengobatan, tetapi bila tidak terjadi perbaikan dapat terjadi kebotakan yang
lebih luas.
BAB III

KESIMPULAN

Alopesia areata adalah peradangan yang kronis, berulang dari rambut


terminal, yang ditandai oleh timbulnya satu atau lebih bercak kerontokan rambut
pada scalp dan atau kulit yang berambut terminal lainnya. Lesi pada umumnya
berbentuk bulat atau lonjong dengan batas tegas, permukaan licin tanpa adanya
tanda-tanda atropi, skuamasi maupun sikatriks.
Ciri khas alopesia areata dapat dijumpai, misalnya berupa batang rambut
tidak berpigmen dengan diameter bervariasi, dan kadang-kadang tumbuh lebih
menonjol ke atas disebut exclamation-mark. Bentuk lain berupa rambut kurus,
pendek dan berpigmen yang disebut black dots.Lesi alopesia areata stadium awal,
paling sering ditandai oleh bercak kebotakan yang bulat atau lonjong, berbatas
tegas.
Sangat sedikit data berbasis bukti tersedia untuk pengobatan alopecia areata
rekomendasi terutama didasarkan pada seri kasus dan pengalaman klinis.
Pemberian terapi pada Alopesia areata sampai saat ini tidak bisa menyembuhkan,
namun bersifat paliatif untuk mengurangi beratnya penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Abramovits W et al. 2017. Treating Alopecia Areata: Current Practices


Versus New Directions. Dikutip 26 Agustus 2018 dari
https://www.medscape.com/viewarticle/879624_print.

2. Alison R. 2017. Hair Loss Common Causes and Treatment. Dikutip 26


Agustus 2018 dari https://www.medscape.com/viewarticle/886852_print

3. Artikel . 2015. Suplemen untuk Alopesia. CDK-229/ vol. 42 no. 6, th.


4. Beals J .2010. New Study Implicates Autoimmune Mechanisms in Alopecia
Areata. Dikutip 26 Agustus 2018 dari
https://www.medscape.com/viewarticle/724565_print

5. Djuanda, A, 2015. Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 7. Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

6. Elston D. 2018. Alopecia Areata. Dikutip 26 Agustus 2018 dari


https://emedicine.medscape.com/article/1069931-overview#showall

7. Harries m et al. 2010. Management Alopesia Areata. Professor of


dermatology. BMU, vol314.

8. Jusuf K et al.2017. Pengobatan alopesia areata berbasis bukti. Depertemen


fungsional ilmu kesehatan kulit dan kelamin FK Universitas Sumatera
Utara.

9. Liu N et al. 2012. Psychiatric Comorbidities in Patients With Alopecia


Areata inTaiwan. Dikutip 26 Agustus 2018 dari
https://www.medscape.com/viewarticle/759114_print

10. MacDonal Hull et al. 2003. Guidelines for the managemen of alopecia
areata. British Journsl of Dermstology 149(4), 692-99 dikutip 26 Agustus
2018 dari www.medscape.com

11. Pullen L. 2013. Alopecia Areata Associated With Autoimmune


Comorbidity. Dikutip 26 Agustus 2018 dari
https://www.medscape.com/viewarticle/804646_print

12. Robert Allison, 2017. Hair Loss: Common Causes and Treatment. Dikutip
26 Agustus 2018 dari Dikutip 26 Agustus 2018 dari
https://www.medscape.com/viewarticle/756101_print
13. Sladden M et al.2012. British Association of Dermatologists' Guidelines
for the Management of Alopecia Areata. Dikutip 26 Agustus 2018 dari
https://www.medscape.com/viewarticle/762854_print

14. Sumapta M et al. 2014. Managemen alopesia pada anak. CKD-


218/Vol.41 n07.2014. Bgaian Histology, FK Universitas Udayana.

15. Tseng W et al. 2011. Alopesia Areata Comorbidities, and Age of onset.
Dikutip 26 Agustus 2018 dari www.medscape.com/viewartcle/756101-
print.

Anda mungkin juga menyukai