Anda di halaman 1dari 29

i

DAFTAR ISI

COVER
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

KATA PENGHANTAR.................................................................................................1
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Tujuan..................................................................................................................2
1.3 Batasan Masalah..................................................................................................2
1.4 Metode Penulisan.................................................................................................2
BAB 2 ILUSTRASI KASUS.......................................................................................3
BAB 3 DISKUSI…………………………………………………………………… 8
BAB 4 KESIMPULAN..............................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................26

ii
KATA PENGHANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga Case yang berjudul “” ini dapat di selesaikan pada waktu yang
ditentukan.

Makalah ini dibuat untuk menabah wawasan dan pengetahuan mengenai


ADHF dan CHF, serta menjadi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik
senior di bagian Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah RSUP Dr.M.Djamil
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.

Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Yose Ramda Ilhami,SpJP sebagai
preceptor dan dokter-dokter residen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah yang
telah bersedia meluangkan waktu, memberi saran, perbaikan dan bimbingan.

Terimakasih kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang turut
berpartisipasi. Dengan demikian, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pembaca terutama dalm meningkatkan pemahaman tentang ADHF dan CHF.

Padang, 24 Mei 2019

Penulis

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia.
Sekitar 17,9 juta orang meninggal disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler pada
tahun 2016 atau sekitar 31% dari seluruh kematian. 1 Gagal jantung merupakan tahap
akhir dari seluruh penyakit jantung seperti penyakit jantung koroner, hipertensi,
penyakit katup jantung yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
penderita penyakit jantung.2
Gagal jantung didefinisikan sebagai kegagalan jantung untuk memenuhi
kebutuhan oksigen tubuh untuk metabolisme jaringan yang disebabkan oleh suatu
kelainan struktur atau fungsi jantung yang memiliki gejala (sesak nafas, pergelangan
kaki bengkak, penurunan toleransi latihan dan kelelahan) dan tanda (peningkatan
tekanan vena jugularis/JVP, pulmonary crackles, bunyi jantung III, hepatojugular
refluks dan cardiac murmur) yang khas karena kelainan fungsi dan struktur jantung.3
Prevalensi jantung terus menerus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Pada tahun 2008, terdapat 5,7 juta orang Amerika berusia > 20 tahun (2,4%)
menderita gagal jantung. Pada tahun 2010, terdapat sekitar 6,6 juta orang Amerika
berusia > 18 tahun (2,8%) yang mengalami gagal jantung dan diperkirakan akan terus
meningkat.4 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyatakan prevalensi
gagal jantung di Indonesia sebesar 0,13% dengan kejadian tertinggi di DI Yogyakarta
(0,25%) dan disusul Jawa Timur (0,19%). Prevalensi gagal jantung terus meningkat
seiring pertambahan umur, yaitu tertinggi pada umur 65-74 tahun (0,5%) dan lebih
banyak terjadi pada perempuan (0,2%) dibandingkan laki-laki (0,1%).5
Salah satu bentuk klinis gagal jantung yang sering dijumpai adalah Acute
Decompensated Heart Failure (ADHF), yaitu terdapatnya gejala dan tanda gagal
jantung yang terjadi secara mendadak, dengan onset baru atau onset lama. Onset lama
lebih sering disebut Acute Decompensated Chronic Heart Failure (ADCHF) yakni
keadaan penderita yang memiliki riwayat gagal jantung kronik yang mengalami

1
perburukan secara progresif. Terdapat bukti adanya kongesti sistemik maupun
pulmonal adalah hal yang sering dijumpai pada ADHF. Prognosis buruk apabila
pasien memiliki tensi rendah saat masuk rumah sakit. 6 Mengingat akibat yang dapat
di timbulkan oleh gagal jantung dengan klinis ADHF, penulis tertarik untuk
membahas mengenai Acute Decompensated Heart Failure (ADHF).

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan Case Report Session ini bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman mengenai Acute Decompesated Heart Failure (ADHF).

1.3 Batasan Masalah


Case Report Session ini membahas mengenai kasus Acute Decompesated
Heart Failure (ADHF).

1.4 Metode Penulisan


Metode yang dipakai dalam penulisan Case Report Session ini adalah hasil
pemeriksaan pasien, rekam medis, dan tinjauan kepustakaan yang merujuk pada
berbagai literatur.

2
3
BAB II
ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien laki-laki, berumur 61 tahun, datang ke IGD RSUP DR. M.


Djamil Padang pada tanggal 21 Mei 2019 pukul 08.50 WIB dengan keluhan utama
sesak napas yang meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas
sudah mulai dirasakan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, DOE (+), PND
(-) , OP (-), kaki sembab disangkal, nyeri dada disangkal, mual (+), muntah (-).
Riwayat nyeri dada sebelumnya (+) 1 tahun yang lalu dan telah dilakukan
pemasangan 1 stent di LAD. Pasien menyangkal adanya berdebar, pusing (-), pingsan
(-). Faktor risiko kardiovaskular yang dimiliki pasien adalah hipertensi tidak
terkontrol dan merokok, riwayat merokok 6 bungkus per hari, berhenti 7 bulan yang
lalu, namun sekarang masih merokok sesekali.
Riwayat penyakit sebelumnya, pasien dirawat di bangsal jantung RSUP DR.
M. Djamil Padang 3 minggu sebelum masuk rumah sakit dengan diagnosis ADHF
dan diberikan terapi furosemide 1x40 mg, spironolakton 1x25 mg, aptor 1x100 mg,
clopidogrel 1x75 mg, atorvastatin 1x20 mg, nitrocaf R 2x2,5 mg, dan ISDN 5 mg.
Pasien telah melakukan Coronary Angiogram (CAG) pada tanggal 2 Mei 2019
dengan hasil stent paten di proximal-mid arteri desenden kiri, Chronic Total
Occlusion (CTO) di arteri koroner kanan. Riwayat asma, gastritis, stroke tidak ada.
Pasien pernah bekerja sebagai supir truk, tidak memiliki hambatan sosial dan
ekonomi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien datang dalam keadaan sakit sedang,
kesadaran komposmentis kooperatif, tekanan darah 135/98 mmHg, frekuensi nadi 80
kali/menit, frekuensi napas 24 kali/menit, suhu 360C, berat badan 60 kg, tinggi badan
160 cm, IMT 25 kg/m2. Turgor kulit normal dan tidak ditemukan adanya lesi. Pada
pemeriksaan kepala dan leher ditemukan wajah tidak pucat, konjungtiva tidak anemis
dan sklera tidak ikterik pada kedua mata, JVP 5+3 cmH 2O. Pada pemeriksaan
jantung, iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis tidak teraba, batas jantung atas pada

4
RIC II linea parasternal sinistra, batas jantung kanan pada linea sternalis dextra, batas
jantung kiri pada 2 jari lateral linea midclavicula sinistra, auskultasi S1-S2 reguler,
murmur (-), gallop (-). Pada pemeriksaan paru ditemukan pergerakan dinding dada
simetris pada paru kanan dan kiri, fremitus sama pada paru kanan dan kiri, pada
perkusi ditemukan sonor, dan pada auskultasi ditemukan suara napas vesikuler,
rhonki +/+ pada basal paru, wheezing -/-. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan
abdomen sedikit membuncit, supel, shifting dullness (+), bising usus (+) normal.
Pada ektremitas ditemukan akral hangat dan edem -/-.

Gambar 2.1 EKG di IGD


Pada pemeriksaan EKG 12 lead di atas menunjukkan irama sinus, deviasi
aksis ke kiri, QRS rate 84 kali/menit, gelombang P normal, PR interval 0,20 detik,
durasi QRS 0,12 detik, segmen ST normal, LVH (-), RVH (-).

5
Gambar 2.2 Foto Rontgen Thoraks
Pada pemeriksaan rontgen thoraks menunjukkan CTR 68%, segmen aorta
normal, segmen pulmonal normal, pinggang jantung mendatar, apeks tertanam ke
diafragma, tidak ada infiltrat di kedua lapangan paru.
Hasil laboratorium menunjukkan Hb 13,1 g/dl, leukosit 5460/mm3, trombosit
278.000/mm3, Ht 40%, gula darah sewaktu 83 mg/dl, ureum 19 mg/dl, kreatinin 0,9
mg/dl, kalsium 8,3 mg/dl, natrium 134 Mmol/L, kalium 2,9 Mmol/L, klorida serum
10 Mmol/L. hasil laboratorium memberikan kesan natrium menurun dan kalium
menurun.
Diagnosis pasien adalah ADHF wet and warm on CHF ec HHD, CAD.
Pasien dirawat di bangsal jantung RSUP DR. M. Djamil Padang dengan hari
rawatan pertama tanggal 21 Mei 2019. Pasien datang dengan keluhan sesak napas
yang meningkat sejak 1 hari yang lalu, sesak mulai dirasakan sejak 2 minggu yang
lalu. Keadaan umum sakit sedang, kesadaran komposmentis kooperatif. Tekanan
darah 121/80 mmHg, frekuensi nadi 87 kali/menit, frekuensi napas 20 kali/menit,
suhu 36,50C. Telah diberikan bolus lasix 40 mg di IGD dan pemberian terapi
selanjutnya adalah IVFD 500cc/24 jam, lasix 3 mg/jam, NTG 10 mcg/menit, ranitidin
2x50 mg, atorvastatin 1x20 mg, aptor 1x100 mg, dan CPG 1x75 mg.

6
Gambar 2.3 EKG 1
Pada tanggal 21 Mei 2019 pukul 13.25 dilakukan pemeriksaan EKG 12 lead
yang menunjukkan irama sinus, QRS rate 78 kali/menit, aksis deviasi ke kiri,
gelombang P normal, PR interval 0,24 detik, QRS duration 0,08 detik, segmen ST
normal, gelombang T normal, LVH (-), RVH (-).
Pada tanggal 22 Mei 2019, sesak napas sudah berkurang, keadaan umum sakit
sedang, kesadaran komposmentis kooperatif, tekanan darah 105/73 mmHg, frekuensi
nadi 76 kali/menit, frekuensi napas 20 kali/menit. Pada auskultasi jantung ditemukan
S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-), pada auskultasi paru suara napas vesikuler,
rhonki -/-, wheezing -/-. Pada pemeriksaan ekstremitas ditemukan akral hangat dan
edema (-).
Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 22 Mei 2019 adalah gula darah
puasa 85 mg/dl, gula darah 2 jam PP 153 mg/dl, kalsium 8,7 mg/dl, natrium 139
Mmol/L, Kalium 2,4 Mmol/L. Hasil pemeriksaan tersebut memberikan kesan nilai
kalium menurun.
Diagnosis pasien ADHF on CHF ec HHD, CAD dan hipokalemia.
Terapi yang diberikan pada pasien IVFD RL 500 cc/24 jam, lasix 3 mg/jam,
NTG 5 mg/menit, ranitidin 2x50 mg, CPG 1x75 mg, aptor 1x100 mg, atorvastatin
1x20 mg, spironolakton 1x25mg.
Pada tanggal 23 Mei 2019, sesak napas berkurang, keadaan umum sakit
sedang, kesadaran komposmentis kooperatif, tekanan darah 100/63 mmHg, frekuensi
nadi 70 kali/menit, frekuensi napas 20 kali/menit, suhu 360C. Pada pemeriksaan

7
auskultasi jantung ditemukan S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-), pada auskultasi
paru ditemukan suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-. Pada pemeriksaan
ekstremitas ditemukan akral hangat dan edema (-). Diagnosis pasien ADHF wet and
warm on CHF ec HHD, CAD. Rencana discharge.

Gambar 2.4 EKG 2


Pada tanggal 23 Mei 2019 pukul 06.18 WIB dilakukan pemeriksaan EKG 12
lead yang menunjukkan irama sinus, QRS rate 65 kali/menit, aksis deviasi ke kiri,
gelombang P normal, PR interval 0,24 detik, QRS duration 0,08 detik, segmen ST
normal, gelombang T normal, LVH (-), RVH (-).

8
BAB 3
DISKUSI

Seorang pasien laki-laki, 61 tahun, datang ke IGD RSUP M. Djamil Padang


pada tanggal 21 Mei 2019 dengan keluhan utama sesak napas sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pasien didiagnosis dengan Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
wet and warm on Chronic Heart Failure (CHF) et causa Hypertensive Heart Disease
(HHD), Coronary Artery Disease (CAD).
Pasien mengeluhkan sesak napas yang sudah dirasakan sejak 3 minggu yang
lalu, namun semakin sesak sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit dengan ciri sesak
tidak menciut dan tidak dipengaruhi cuaca dan makanan. Sesak napas (dyspnea)
merupakan suatu gejala klinis yang dapat disebabkan oleh kelainan jantung ataupun
paru, namun karena pasien mengeluhkan sesak yang tidak menciut, tak dipengaruhi
cuaca dan makanan maka penyebab asma dapat disingkirkan selain itu, saturasi
oksigen (SaO2) pasien adalah 99% sehingga penyebab sesak karena masalah paru
dapat disingkirkan. Sesak napas karena masalah kardiak/ jantung merupakan salah
satu gejala tipikal dari gagal jantung (Heart Failure/HF).7
Sesak napas merupakan sensasi sulit atau tidak nyaman saat bernafas. Pasien
mengeluhkan dyspnea yang sudah dirasakan sejak 3 minggu yang lalu yang dirasakan
saat melakukan aktivitas normal/ aktivitas yang sebelumnya dapat ditoleransi oleh
pasien (Dyspnea on exertion) dan ini merupakan keadaan patologis. Dyspnea yang
dirasakan pasien harus dibedakan dengan tachypnea, hyperventilation, dan
hyperpnea yang biasanya merupakan masalah sistem respirasi. DOE terjadi karena
kegagalan ventrikel kiri dalam memompakan darah/ Cardiac Output (CO) ke seluruh
tubuh selama aktivitas sehingga terjadi peningkatan tekanan pada atrium kiri
sehingga juga dapat terjadi peningkatan tekanan vena pulmonalis.8 Selain itu, DOE
merupakan hasil dari interaksi beberapa sinyal dengan reseptor sistem saraf pusat
(SSP), kemoreseptor, mekanoreseptor di saluran nafas atas, paru-paru dan dinding
dada.9

9
Pasien juga mengeluhkan sesak napas yang membuat pasien tidak dapat tidur
di malam hari yang merupakan tanda Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND). PND
yang dirasakan saat malam hari/ tidur di karenakan pada saat itu terjadi penurunan
respon dari pusat pernapasan otak dan penurunan aktivitas adrenergik di miokardium
selama tidur.8
Berdasarkan keluhan pasien, terdapat DOE, PND, selain itu dari pemeriksaan
fisik berupa perkusi batas jantung kiri pada 2 jari lateral LMCS dan rontgen thorax di
dapatkan CTR> 50% yang merupakan kondisi kardiomegali yang merupakan bagian
dari kriteria Framingham untuk mendiagnosis gagal jantung yaitu memenuhi 2
kriteria mayor atau 1 mayor dan 2 minor.10
Tabel 3.1
Kriteria Mayor Kriteria Minor
1. Paroxysmal nocturnal dyspnea, 1. Batuk di malam hari
Ortopnea 2. DOE, sesak nafas aktifitas biasa
2. Kehilangan BB > 4,5 kg dalam 5 hari 3. Efusi pleura
sebagai respon terhadap pengobatan 4. Takikardi > 120x/menit
3. Distensi vena leher 5. Udem tungkai bilateral
4. Ronki 6. Penurunan kapasitas vital menjadi 1/3
5. Edem paru akut dari nilai maksimal yang tercatat
6. Kardiomegali pada rontgen
7. S3 gallop
8. Refluks Hepatojugular
9. Tekanan Vena Sentral > 16 cmH2O
10. Waktu sirkulasi > 25 detik

Pada pasien tersebut sudah memenuhi 2 kriteria mayor yaitu kardiomegali dan
PND juga di tambah 1 kriteria minor yaitu DOE sehingga pasien dapat di diagnoss
gagal jantung /Heart Failure.

10
Sistem Klasifikasi The New York Heart Association (NYHA)
mengkategorikan gagal jantung menjadi kelas 1-IV:10
Kelas I : Tak ada pembatasan aktifitas fisik
Kelas II : Pembatasan aktifitas fisik ringan
Kelas III : Aktifitas fisik sangat terbatas
Kelas IV : Gejala saat istirahat, aktifitas fisik apapun tidak nyaman

Sistem tahapan dari The American College of Cardiology/ American Heart


Association (ACC/AHA) dibedakan menjadi 4 tahap:10
Stase A : Resiko tinggi gagal jantung tetapi tidak ada penyakit
structural maupun gejala gagal jantung
Stase B : Penyakit struktural jantung tetapi tanpa gejala gagal jantung
Stase C : Penyakit struktural jantung dengan gejala gagal jantung
Stase D : Gagal jantung refraktori yang membutuhkan intervensi
khusus

Pada pasien memiliki klasifikasi NYHA kelas IV dan AHA stase C.


Mual dan muntah dikeluhkan oleh pasien merupakan bentuk peningkatan respon saraf
simpatis pada pasien yang merupakan suatu bentuk mekanisme kompensasi segera
pada gagal jantung. Stimulasi dari reseptor adrenergik menyebabkan peningkatan
denyut jantung, kemampuan kontraksi jantung dan vasokonstriksi vena dan arteri.
Namun, peningkatan saraf simpatis pada usus dapat menimbulkan rasa mual, muntah.
Nyeri dada pasien saat ini di sangkal, namun pasien mempunyai riwayat nyeri
dada dan riwayat PCI 7 bulan yang lalu. Hal ini dapat menjadi faktor resiko
terjadinya gagal jantung pada pasien saat ini. Riwayat PCI pada pasien
mengindikasikan bahwa pasien memiliki riwayat CAD (Coronary Artery Disease),
selain itu pada pasien juga memiliki faktor risiko hipertensi yang tidak terkontrol
serta riwayat merokok. Hipertensi dan CAD merupakan faktor risiko mayor
terjadinya insiden dan peningkatan progresivitas pada gagal jantug melalui proses
remodeling ventrikel kiri.11

11
Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol. Penyakit jantung
hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak sekunder pada
jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan. Sampai saat ini
prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%. Sejumlah 85-90% hipertensi
tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi
esensial atau idiopatik). Sejumlah 85-90 % hipertensi tidak diketahui penyebabnya
atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau Idiopatik). Hanya
sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).
12,13

Tidak ada data akurat mengenai prevalensi hipertensi sekunder dan sangat
tergantung di mana angka itu diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6% pasien
hipertensi sekunder sedangkan di pusat rujukan dapat mencapai sekitar 35%. Hampir
semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2 mekanisme yaitu gangguan sekresi
hormon dan gangguan fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal dini karena
komplikasi jantung (yang disebut sebagai penyakit jantung hipertensi). Juga dapat
menyebabkan strok, gagal ginjal, atau gangguan retina mata.12,13
Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung, dan seiring dengan
berjalannya waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot jantung. Karena jantung
memompa darah melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah yang
meningkat, ventrikel kiri membesar dan jumlah darah yang dipompa jantung setiap
menitnya (cardiac output) berkurang. Tanpa terapi, gejala gagal jantung akan makin
terlihat.14
Gagal jantung adalah komplikasi umum dari peningkatan tekanan darah yang
kronik. Hipertensi sebagai penyebab gagal jantung kongestif seringkali tidak
diketahui, sebagian karena saat gagal jantung terjadi, ventrikel kiri yang mengalami
disfungsi tidak mampu menghasilkan tekanan darah yang tinggi, hal ini menaburkan
penyebab gagal jantung tersebut. Prevalensi disfungsi diastolik yang asimtomatik
pada pasien dengan hipertensi dan tanpa HVK (Hipertensi Ventrikel Kiri) adalah
sekitar 33%. Peningkatan afterload yang kronis dan terjadinya HVK dapat memberi

12
pengaruh buruk terhadap fase awal relaksasi dan fase komplaien lambat dari diastolik
ventrikel. 15,16,17
Disfungsi diastolik umumnya terjadi pada seseorang dengan hipertensi.
Disfungsi diastolik biasanya, namun tidak tanpa kecuali, disertai dengan HVK.
Sebagai tambahan, selain peningkatan afterload, faktor-faktor lain yang ikut berperan
dalam proses terjadinya disfungsi diastolik adalah penyakit arteri koroner, penuaan,
disfungsi sistolik, dan abnormalitas struktur seperti fibrosis dan HVK. Disfungsi
sistolik yang asimtomatik biasanya juga terjadi. Pada bagian akhir penyakit, HVK
gagal mengkompensasi dengan meningkatkan cardiac output dalam menghadapi
peningkatan tekanan darah, kemudian ventrikel kiri mulai berdilatasi untuk
mempertahankan cardiac output. Saat penyakit ini memasuki tahap akhir, fungsi
sistolik ventrikel kiri menurun. Hal ini menyebabkan peningkatan lebih jauh pada
aktivasi neurohormonal dan sistem renin-angiotensin, yang menyebabkan
peningkatan retensi garam dan cairan serta meningkatkan vasokontriksi perifer.
Apoptosis, atau program kematian sel, distimulasi oleh hipertrofi miosit dan
ketidakseimbangan antara stimulan dan penghambat, disadari sebagai pemegang
peran pentingdalam transisi dari tahap kompensata menjadi dekompensata. Pasien
menjadi simptomatik selama tahap asimtomatik dari disfungsi sistolik atau diastolik
ventrikel kiri, menerima perubahan pada kondisi afterload atau terhadap kehadiran
gangguan lain bagi miokard (contoh: iskemia, infark). Peningkatan tekanan darah
yang tiba-tiba dapat menyebabkan edema paru akut tanpa perlu perubahan pada fraksi
ejeksi ventrikel kiri. Secara umum, perkembangan dilatasi atau disfungsi ventrikel
kiri yang asimtomatik maupun yang simtomatik melambangkan kemunduran yang
cepat pad status klinis dan menandakan peningkatan risiko kematian. Sebagai
tambahan, selain disfungsi ventrikel kiri, penebalan dan disfungsi diastolik ventrikel
kanan juga terjadi sebagai hasil dari penebalan septum dan disfungsi ventrikel kiri.
15,16,17

13
Gambar 3.1 Mekanisme disfungsi kardiovaskuler yang dimediasi kebiasaan
merokok
Pada saat merokok, komponen dari rokok baik yang berasal dari asap ataupun
bagian tar rokok dapat masuk ke dalam paru-paru yang dapat membentuk radikal
bebas baik secara langsung dari komponen rokok atau pun melalui aktivasi radikal
bebas yang bersumber dari dalam tubuh seperti xanthine dll, dan mengaktivasi
monosit, netrofil, platelet, sel T yang dapat meningkatkan sitokin sehingga
megaktivasi faktor inflamasi. Berbagai mekanisme tersebut dapat meningkatkan
stress oksidatif yang dapat menurunkan bioavailibilitas NO, disfungsi vasomotor,
peningkatan faktor prothrombin dan fibrinolitik, aktivasi platelet dan leukosit,
peningkatan lipid peroxidation, peningkatan molekul adhesi dan inflamasi, proliferasi
otot polos sehingga dapat menginisiasi penyakit atherothrombotic diseases.18
Coronary Artery Disease (CAD) atau dikenal juga dengan Coronary Heart
Disease (CHD)/Penyakit Jantung Koroner (PJK) didefinisikan sebagai penyakit

14
jantung dan pembuluh darah yang disebabkan karena penyempitan arteri koroner.
Penyempitan tersebut dapat disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis
arteritis, emboli koronaria, dan spasme. Oleh karena aterosklerosis merupakan
penyebab terbanyak (99%), maka pembahasan tentang PJK pada umumnya terbatas
pada penyebab tersebut.19,20,21,22
Arterosklerosis pada dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri atas
pembentukan fibrolipid dalam bentuk plak-plak yang menonjol atau penebalan yang
disebut ateroma yang terdapat di dalam tunika intima dan pada bagian dalam tunika
media. Proses ini dapat terjadi pada seluruh arteri, tetapi yang paling sering adalah
pada left anterior descendent arteri coronaria, proximal arteri renalis dan bifurcatio
carotis.23
Struktur arteri koroner jantung yang sehat terdiri atas 3 lapisan, yaitu intima,
media dan adventitia. Intima merupakan lapisan monolayer sel-sel endotel yang
menyelimuti lumen arteri bagian dalam. Sel-sel endotel menutupi seluruh bagian
dalam sistem vaskular hampir seluas 700 m2 dan dengan berat 1,5 kg. Sel endotel
memiliki berbagai fungsi, diantaranya menyediakan lapisan nontrombogenik dengan
menutupi permukaannya dengan sulfat heparan dan melalui produksi derivat
prostaglandin seperti prostasiklin yang merupakan suatu vasodilator poten dan
penghambat agregasi platelet. Rusaknya lapisan endotel akan memicu terjadinya
aterosklerosis.24
Ada beberapa hipotesis yang menerangkan tentang proses terbentuknya
aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan response to
injure hypothesis. Namun yang banyak diperbincangkan adalah mengenai response to
injure hypothesis sebagai berikut.23,25
a. Stage A: Endothelial injure
Endotelial yang intak dan licin berfungsi sebagai barrier yang menjamin aliran darah
koroner lancar. Faktor risiko yang dimiliki pasien akan memudahkan masuknya
lipoprotein densitas rendah yang teroksidasi maupun makrofag ke dalam dinding
arteri. Interaksi antara endotelial injure dengan platelet, monosit dan jaringan ikat

15
(collagen), menyebabkan terjadinya penempelan platelet (platelet adherence) dan
agregasi trombosit (trombosit agregation).
b. Stage B: Fatty Streak Formation.
Pembentukan fatty streak merupakan pengendapan kolesterol-kolesterol yang telah
dioksidasi dan makrofag di bawah endothelium arteri. Low Density
Lipoprotein (LDL) dalam darah akan menyerang endotel dan dioksidasi oleh radikal-
radikal bebas pada permukaan endotel. Lesi ini mulai tumbuh pada masa kanak-
kanak, makroskopik berbentuk bercak berwarna kekuningan, yang terdiri dari sel-sel
yang disebut foam cells. Sel-sel ini ialah sel-sel otot polos dan makrofag yang
mengandung lipid, terutama dalam bentuk ester cholesterol.
c. Stage C: Fibrosis Plaque Formation
Formasi plak fibrosis terdiri atas inti atau central cholesterol dan tutup jaringan ikat
(cap fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran tipe yaitu Stable fibrous
plaque dan Unstable fibrous plaque.
Sesak nafas yang sudah pernah dirasakan sejak 3 minggu yang lalu
merupakan sebuah suatu bentuk gagal jantung.

Tabel 3.2

Tabel 3.3

16
Teknik Diagnostik
Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi rendah.Uji diagnostik sering kurang sensitf pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna
dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolic.26

Gambar 3.2
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga
gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung. Abnormalitas
EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG
normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (<

17
10%). Selain itu, Foto Toraks Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal
jantung. Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura
dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau
memperberat sesak nafas. Kelainan EKG pada pasien ini memberi kesan LAD, Q
patologis di V5, pada EKG tidak memperlihatkan ciri LVH. Namun, berdasarkan
hasil rontgen thorax didapatkan tanda perbesaran ventrikel kiri.26

Tabel 3.4 Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung

18
Tabel 3.5 Abnormalitas Laboratorium yang umum dijumpai pada gagal jantung

Pada pasien didapatkan


kelainan hiponatremia,
hipokalemia,
hiporalbuminemia dan
hyperglobulinemia.

19
Pada pasien terjadi Accute Decompensated Heart Failure yang merupakan
bagian dari gagal jantung akut. Gagal jantung akut adalah terminologi yang
digunakan untuk mendeskripsikan kejadian atau perubahan yang cepat dari tanda dan
gejala. Kondisi ini mengancam kehidupan dan harus ditangani dengan segera, dan
biasanya berujung pada hospitlisasi. Ada 2 jenis persentasi gagal jantung akut, yaitu
gagal jantung akut yang baru terjadi pertama kali ( de novo ) dan gagal jantung
dekompensasi akut pada gagal jantung kronis yang sebelumnya stabil. Penyebab
tersering dari gagal jantung akut adalah hipervolum atau hipertensi pada pasien
dengan gagal jantung diastolik.26

Tabel 3.6 Faktor pencetus dan penyebab gagal jantung akut

20
Tatalaksana awal pada pasien ini adalah oksigen 4L/menit, IvFD RL 500
cc/24 jam, Lasix 7 mg/jam, NTG 10 mcg/min, ranitifin 2x50 g, Candesartan 1x5 g,
atorvastatin 1x20 g, Aptor 1x100 g, CPG 1x75 g.

Gambar 3.3

Pada pasien
terjadi

21
ADHF tipe wet/warm yang berarti terdapat kongesti paru tanpa kelainan perfusi/tanpa
syok.

Pasien dengan edema/kongesti paru tanpa syok

 Diuretika loop (IV) driekomendasikan untuk mengurangi sesak nafas, dan


kongesti. Gejala , urin, fungsi renal dan elektrolit harus diawasi secara berkala selama
penggunaan diuretika IV
 Pemberian Oksigen dosis tinggi direkomendasikan bagi pasien dengan
saturasi perifer < 90% atau PaO2 < 60 mmHg, untukmemperbaiki hipoksemia
 Profilaksis tromboemboli direkomendasikan pada pasien yang belum
mendapat antikoagulan dan tidak memiliki kontraindikasi terhadap antikoagulan,
untuk menurunkan risiko deep vein thrombosis dan emboli paru
 Pemberian ventilasi non invasive (CPAP, dll) harus dipertimbangkan bagi
pasien dengan edema paru dan pernafasan > 20x/ menit untuk mengurangi sesak
nafas, mengurangi hiperkapnia dan asidosis. Ventilasi non invasive dapat menurunkan
tekanan darah dan tidak dipergunakan pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 85
mmHg
 Opium (IV) harus dipertimbangkan terutama bagi pasien yang gelisah,
cemas atau distress untuk menghilangkan gejala-gejala tersebut dan mengurangi
sesak nafas. Kesadaran dan usaha nafas harus diawasi secara ketat, karena pemberian
obat ini dapat menekan pernafasan
 Pemberian nitrat (IV) harus dipertimbangkan bagi pasien edema/ kongesti
paru dengan tekanan darah sistolik > 110 mmHg, yang tidak memiliki stenosis katup
mitral dan atau aorta, untuk menurunkan tekanan baji kapiler paru dan resistensi
vascular sistemik. Nitrat juga dapat menghilangkan dispnoe dan kongesti. Gejala dan
tekanan darah harus dimonitor secara ketat selama pemberian obat ini.
 Infus sodium nitroprusid dapat dipertimbangkan bagi pasien edema/
kongesti paru dengan tekanan darah sistolik > 110 mmHg, yang tidak memiliki
stenosis katup mitral dan atau aorta, untuk menurunkan tekanan baji kapiler paru dan

22
resistensi vascular sistemik. Nitrat juga dapat menghilangkan dispnoe dan kongesti.
Gejala dan tekanan darah harus dimonitor secara ketat selama pemberian obat ini.
 Obat inotropic TIDAK direkomendasikan kecuali pasien mengalami
hipotensi ( tekanan darah sistolik < 85 mmHg ), hipoperfusi atau syok, dikarenakan
faktor keamanannya (bias menyebabkan aritmia atrial/ventricular, iskemia miokard
dan kematian).26

Pada pasien juga diberikan antihipertensi gagal jantung pada grade NYHA fc
II-IV berupa ARB yaitu Candesartan 1x5 g dimana sesuai dengan rekomendasi
sebagai berikut:26
Langkah 1
Satu atau lebih dari ACE/ ARB, penyekat β, dan MRA direkomndasikan
sebagai terapi lini pertama, kedua dan ketiga, secara berurutan, karena memiliki
keuntungan yang saling berhubungan dengan gagal jantung
Langkah 2
Diuretik tiazid ( atau bila pasien dalam pengobatan diuretik tiazid, diganti
dengan diuretik loop) direkomendasikan bila hipertensi persisten walaupun sudah
mendapat terapi kombinasi ACE/ ARB, penyekat β dan MRA
Langkah 3
 Amlodipin, direkomendasikan bila hipertensi persisten waaupun sudah
mendapat terapi kombinasi ACE/ ARB, penyekat β, MRA dan diuretic
 Hidralazin, direkomandasikan bila hipertensi persisten waaupun sudah
mendapat terapi kombinasi ACE/ ARB, penyekat β, MRA dan diuretik
 Antagonis adrenoreseptor alfa TIDAK direkomendasikan, karena masalah
keselamatan (retensi cairan, aktifasi neurohormonal, perburukan gagal jantung)
Tabel 3.7 Dosis obat yang umum dipakai pada gagal jantung

23
Sebelum pasien dipulangkan, harus dipastikan bahwa episode gagal jantung
sudah teratasi dengan baik, terutama tanda dan gejala kongesti sudah harus hilang,
dan dosis diuretic oral yang stabil sudah tercapai selama minimal 48 jam. Selain itu
regimen obat gagal jantung (ACEI/ ARB, penyekat β dengan atau tanpa MRA sudah
dioptimalkan dosisnya dengan baik, dan yang tidak kalah pentingnya adalah edukasi
kepada pasien dan keluarga. Edukasi pada pasien ini berupa diet rendah garam dan
caira, minum obat teratur dan berhenti merokok.

24
BAB 4
KESIMPULAN

Pasien laki-laki 61 tahun datang dengan keluhan sesak yang meningkat sejak
1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak diperberat dengan aktivitas, tidak
dipengaruhi cuaca dan makanan. Sesak napas sudah mulai dirasakan sejak 2 minggu
sebelum masuk rumah sakit, DOE (+), PND (-) , OP (-), kaki sembab disangkal, nyeri
dada disangkal, mual (+), muntah (-). Hal tersebut merupakan tanda-tanda gagal
jantung. Tanda-tanda nyeri dada khas infark dan kelainan irama jantung pada pasien
ini disangkal. Pasien memiliki resiko penyakit kardiovaskuler yaitu hipertensi tidak
terkontrol dan merokok.

Pada pemeriksaan didapatkan tensi tinggi normal, peningkatan JVP, rhonki


pada basal paru dan asites. Gambaran EKG tidak menunjukkan kelainan. Rontgen
thoraks didapatkan kardiomegali dan apeks tertanam ke diafragma. Pemeriksaan
laboratorium didapatkan hiponatremia dan hipokalemia. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, EKG, rontgen thoraks dan laboratorium pasien didiagnosis dengan
AHDH on CHF.

Pasien diberikan terapi bolus lasix 40 mg di IGD dan pemberian terapi


selanjutnya adalah IVFD 500cc/24 jam, lasix 3 mg/jam, NTG 10 mcg/menit, ranitidin
2x50 mg, atorvastatin 1x20 mg, aptor 1x100 mg, dan CPG 1x75 mg.

25
DAFTAR PUSTAKA

26

Anda mungkin juga menyukai