Pratiwi, Irma Chandra. 2017. Tatalaksana Cairan dan Nutrisi Pada Pasien
Sepsis. Tinjauan Kepustakaan, Program Studi Pendidikan Dokter
Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pembimbing dr.
Susanthy Djajalaksana, SpP(K)
1
ABSTRACT
Agustina, Dwi Rosa Eka. 2017. Management of Fluid and Nutrition in Sepsis.
Literature Review. Medical Program. Faculty of Medicine, Brawijaya
University. Supervisor: dr. Susanthy Djajalaksana, SpP(K)
Sepsis and septic shock are major health problems because they
are life-threatening conditions. Mortality of septic’s patient is increasing. In sepsis
there is a change in the endothelium (including increased leukocyte adhesion,
transfer of status to procoagulation, vasodilation and loss of defense function
causing organ failure), vasodilation of arterial and venous vessels and
microcirculation failure. Immediately fluid resuscitation on sepsis associated with
decreased mortality in emergency cases. The recommended resuscitation based
on SSC 2016 is by using crystalloid liquid with amount up to 30 ml / kg in the first
3 hours. In addition, nutrition in patients with sepsis may also increase the risk of
mortality due to malnutrition. Provision of nutrients recommended by SSC 2016
and ASPEN in the form of enteral nutrition. This is related to some of the benefits
obtained compared with parenteral nutrition. Parenteral nutrition can be
administered when parenteral nutritionally contraindicated.
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sepsis merupakan kondisi yang mengancam nyawa. Sepsis dan syok sepsis
semakin lama semakin meningkat. Sepsis dan syok sepsis menyerang jutaan
orang di dunia setiap tahun dan membunuh sebanyak 1 dari 4 orang (atau lebih).
Seperti trauma pada banyak tempat (polytrauma), infark miokard akut, atau strok,
identifikasi awal dan manajemen yang sesuai pada jam-jam awal setelah sepsis
dicirikan dengan arteri dan vena dilatasi dengan disfungsi mikrosirkulasi dan
miokardial, pasien sepsis memiliki respon yang lebih buruk terhadap pemberian
cairan segera pada sepsis berkaitan dengan penurunan mortalitas pada kasus
gawat darurat (Leisman et al., 2016) dan mortalitas pada kasus prehospital
metabolik, yang mengakibatkan kehilangan massa otot pada pasien sepsis. Oleh
karena itu, saat saluran cerna berfungsi, terapi nutrisi dimulai dalam 48 jam
3
B. TUJUAN PENULISAN
4
BAB II
SEPSIS
A. DEFINISI
Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam nyawa akibat
peningkatan risiko kematian. (Rhodes et al., 2017) Syok sepsis juga didefinisikan
arteri rata-rata menjadi ≥ 65 mmHg dan laktat > 2 mmol/L meskipun telah
mendapat resusitasi cairan yang adekuat. (Gotts and Matthay, 2016) Sepsis dan
sepsis syok merupakan kondisi emergensi dan memerlukan terapi dan resusitasi
B. PATOGENESIS
1. Tingkat jaringan dan organ
Sebagaimana perkembangan sepsis dari infeksi lokal hingga inflamasi
berperan penting dalam pola vasomotor, perpindahan sel dan nutrisi menuju
dan dari jaringan, sistem koagulasi dan keseimbangan sinyal inflamasi dan
5
Perubahan mikrosirkulasi menyebabkan gangguan pada respon terhadap
stimulasi lokal, seperti obstruksi lumen pembuluh darah kecil oleh trombus
kecil dan plak dari sel darah merah dan sel darah putih.(De Backer et al.,
2010, Koh et al., 2010) Ekspresi tissue factor , deposisi fibrin dan kegagalan
koagulasi
Gambar 1. Kegagalan organ pada pasien kritis dengan syok sepsis dari pneumonia
pneumokokus. ARDS = acute respiratory distress syndrome.(Gotts and Matthay, 2016)
6
menyebabkan akumulasi cairan edema kaya protein pada ruang
kolestasis) dan banyak fungsi penting hepar lain seperti transportasi dan
yag sering terjadi pada sepsis berat dan meningkatkan risiko kematian.
perfusi ginjal dan nekrosis tubular yang luas, sedikit bukti yang
atau cukup berat pada sepsis yang menjelaskan tingkat gangguan ginjal
7
yang berat. Sebaliknya, AKI pada sepsis tampaknya melibatkan
mekanisme yang lebih kompleks dan cerdik dari sitokin dan mikrovaskular
sitokin inflamasi melalui sel imun innate di lien, saluran cerna dan lain-
dan kerusakan endotelial pada model hewan sepsis dan syok karena
reperfusi iskemi, luka bakar dan pankreatitis. (Gotts and Matthay, 2016,
secara langsung melalui infeksi sistem saraf pusat, tetapi lebih sering,
8
sistem saraf pusat. Koagulopati dan kegagalan autoregulasi aliran darah
lien yang diambil pada pasien ICU dengan sepsis yang aktif saat mereka
meninggal, sebagian besar kekurangan sel T CD4 dan CD8 dan splenosit
sistemik.
2) Penenang diperlukan untuk memaksa komplians dengan ventilasi
9
Kombinasi dari efek tersebut menjelaskan morbiditas yang tinggi pada
(TNF-α) ke dalam tikus. Dalam 3 jam, pada hewan terjadi takipneu, asidosis
laktat dan syok letal dan ditemukan daerah iskemia dan hemoragik pada paru-
paru, usus, ginjal, pankreas dan kelenjar adrenal Efek ini sangat mirip dengan
lingkungan yang cepat dari sitokin pada infeksi serius dan sebagian
granulosit, sel natural killer, sel dendritik, berevolusi untuk mendeteksi pola
dari kerusakan sel penjamu yaitu ATP, DNA mitokondria, dan high mobility
group box 1 atau HMGB1). DAMPs dan PAMPs mengaktivasi imun innate
10
dalam sitosol (NOD-like receptor, RIG-I-like receptors), menginisiasi
dan IL-18 dan dapat memicu tingginya program kematian sel peradangan
menimbulkan :
1) Peningkatan jumlah, masa hidup dan status aktivasi sel-sel imun
innate.
2) Peningkatan molekul adhesi dan ekspresi kemokin oleh sel-sel
endotelial
3) Menginduksi protein hepar fase akut seperti komplemen dan fibrinogen
4) Menyebabkan neutrofil melepaskan jebakan ekstraseluer (Neutrophil
11
Respon sitokin inflamasi dapat mengendalikan infeksi kecil dan lokal
sistemik terjadi :
- Reactive oxygen species (ROS) seperti hydroxyl radical dan nitrite
oxide dapat merusak protein, lipid dan DNA seluler dan merusak fungsi
Matthay, 2016)
12
c. Disfungsi metabolik
Protein mitokondria dan DNA rusak akibat tingginya kadar ROS dan
(Takasu et al., 2013, Gotts and Matthay, 2016) Proses ini berpotensi
turunnya kadar ATP dan untuk mencegah penurunan yang mematikan, sel
tekanan oksigen yang tersisa pada sepsis dan pengurangan ini mungkin
proliferasi sel imun innate yang bergantung pada glukosa. Insulin yang
13
Jalur kompensasi sitokin anti-inflamasi aktif sejak jam-jam pertama
patogen dan organela dan protein yang rusak pada vesikel yang
proses sel yang terkoordinasi dan sinyal molekuler yang baru dikenal.
yang rusak dan infiltrasi leukosit dibersihkan dari jaringan. Jika lingkungan
mendukung jalur sinyalling ini, sel akan mengalami apoptosis dan dimakan
growth factor-β). (Fullerton et al., 2013) Beberapa famili lipid bioaktif baru
mieloid yang berasal dari sel supresor juga memerankan peran penting
14
Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign tahun 2012 kriteria diagnosis sepsis
yaitu adanya infeksi atau dicurigai infeksi diikuti beberapa kriteria(Dellinger et al.,
2013)
1. Variabel umum
a. Demam ( > 38.3 0C)
b. Hipotermia (core temperature < 360C)
c. Denyut jantung > 90 x/menit atau lebih dari 2 kali batas atas normal
berdasarkan usia
d. Takipneu
e. Perubahan status mental (altered mental state)
f. Edema yang signifikan atau cairan positif (> 20 ml /kg dalam 24 jam)
g. Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dL atau 7.7 mmol/L) tanpa ada
atau penurunan tekanan darah sistolik > 40 mmHg pada dewasa atau < 2 kali
Untuk sepsis berat, bila memenuhi kriteria diagnosis yaitu sepsis yang
15
3. Produksi urin < 0.5 mg/kg/jam pada > 2 jam setelah mendapat resusitasi
infeksi
5. Acute lung injury dengan PaO2/FIO2 < 200 dengan pneumonia sebagai
sumber infeksi
6. Kreatinin > 2 mg/dL (176.8 µmol/L)
7. Bilirubin > 2 mg/dL (34.2 µmol/L)
8. Jumlah trombosit < 100.000 µL)
9. Koagulopati (INR > 1.5)
Berdasarkan SSC (Surviving Sepsis Campaign) guidelline tahun 2016
antimikroba pada pasien yang dicurigai sepsis atau syok sepsis jika tidak
mikrobiologis rutin dengan dua set kultur darah (aerobik dan anaerobik).
oleh sepsis (hipotensi yang menetap setelah pemberian fluid challenge atau
sepsis. Resusitasi dengan target kondisi fisiologis dalam 6 jam awal berkaitan
16
Resusitasi pada pasien dengan hipoperfusi akibat sepsis dengan
Resusistasi cairan awal yang efektif penting untuk stabilisasi. Sepsis dengan
klinis dan evaluasi variabel fisiologis yang tersedia (denyut jantung, tekanan
darah, saturasi oksigen arteri, laju respirasi, suhu, produksi urin dan lain-lain).
tipe syok jika pemeriksaan klinis tidak mendukung diagnosis yang jelas.
vasopresor yaitu 65 mmHg Saat pefusi organ penting seperti otak dan ginjal
regional, bawas bawah MAP, perfusi jaringan menjadi tergantung secara linear
17
tekanan vena sentral pada kondisi normal secara relatif (8-12 mmHg)
terbatas.
2. Terapi Antimikroba
Rekomendasi pemberian antimikroba pada pasien sepsis berdasarkan
diketahui atau dalam 1 jam pada sepsis dan syok sepsis (rekomendasi
akses vaskular terbatas dan banyak obat yang harus diberikan secara
inisial.
b. Merekomendasikan pemberian terapi antimikroba empiris spektrum luas
dengan satu atau lebih antimikroba pada pasien sepsis atau syok sepsis
untuk mengatasi semua patogen (termasuk bakteri dan jamur atau virus)
lebih antimikroba pada pasien dengan sepsis atau syok sepsis untuk
18
antibiotik awal untuk terapi antimikroba harus dengan spektrum yang cukup
regimen antimikroba yang sesuai pada setiap pusat kesehatan dan setiap
HIV yang tidak terkontrol dan kerusakan fungsi maupun produksi dari
kongenital
5) Usia dan komorbid pasien termasuk penyakit kronis (diabetes) dan
negatif, bakteri gram positif dan campuran. Sebagian pasien sepsis berat
19
regimen empiris awal harus cukup luas untuk melawan sebagian besar
sefalosporin generasi ketiga atau yang lebih tinggi juga dapat digunakan
laktam spektrum luas dan karbapenem pada basil gram negarif pada
situasi yang lebih dari sekedar risiko sepele terhadap patogen resisten
lainnya dapat digunakan ketika terdapat faktor risiko MRSA. Risiko infeksi
fluorokuinolon.
dengan status inflamasi berat yang tidak menular (pankreatitis berat, luka
bakar)
e. Merekomendasikan optimasi dosis antimikropa berdasarkan prinsip
20
memperbaiki outcome pasien dengan infeksi berat, sehingga strategi
sepsis atau syok sepsis. Hal tersebut dikarenakan setiap pasien memiliki
dalam beberapa hari pertama sebagai respon perbaikan klinis dan atau
bukti resolusi infeksi. Hal tersebut berlaku pada terapi kombinasi terapi
pada terapi target (untuk kultur infeksi positif) dan empiris (untuk kultur
infeksi negatif).
j. Kami menyarankan bahwa lamanya terapi antimikroba yaitu 7-10 hari
cukup untuk sebagian besar infeksi serius berkaitan dengan sepsis dan
respon klinis yang lambat, fokus infeksi yang tidak di drainase, bakteremia
21
dengan S. Aureus, beberapa infeksi jamur dan virus atau defisiensi
rendah)
l. Kami menyarankan pemberian yang lebih pendek pada pasien dengan
perbaikan klini syang cepat dengan source control yang efektif pada
kualitas rendah).
o. Menyarankan bahwa kadar procalcitonin dapat digunakan untuk
terbatas
3. Source control
Diagnosis anatomis spesifik dari infeksi yang memerlukan source control
segera diidentifikasi atau dieksklusi segera pada pasien sepsis atau syok
infeksi dan kontrol definitif sumber yang sedang terkontaminasi). Fokus infeksi
22
yang dicurigai menyebabkan syok sepsis harus dikontrol segera setelah
resusitasi awal. Targetnya tidak lebih dari 6-12 jam setelah diagnosis tegak.
Pengalaman klinis menyebutkan, tanpa source control yang adekuat
beberapa kasus tidak akan menjadi stabil atau membaik meskipun setelah
source control yang optimal harus menimbang untung dan rugi dari intervensi,
yang terjadi antara lain perdarahan, fistula, atau kerusakan organ yang tidak
disengaja.
4. Terapi cairan
Pemberian cairan yang direkomendasikan sebagai resusitasi awal pada
pasien sepsis dan syok sepsis yaitu kristaloid. Pemberian albumin pada
penggantian volume intravaskular pada pasien sepsis dan syok sepsis tidak
persisten meskipun telah mendapat terapi cairan dan agen vasopressor yang
23
adekuat. Pasien-pasien yang membutuhkan terapi vasopressor harus memiliki
hemoglobin dibawah < 7 g/dl tanpa adanya iskemia miokard, hipoksemia berat
<10000 /mm3 tanpa perdarahan atau < 20000/mm3 pada pasien risiko
prosedur infasif
8. Ventilasi mkekanik
Target volume tidal yang direkomendasikan yaitu 6 ml/kg pada pasien
disarankan selama ≤ 48 jam pada pasien sepsis yang diindusksi ARDS dan
PaO2/FiO2 < 150 mmHg. Volume tidal yang lebih tinggi pada sepsis dengan
pneumonia).
9. Sedasi dan analgesik
Pemberian sedasi diminimalkan pada ventilasi mekanik pada pasien sepsis.
10. Kontrol Glukosa
24
Pemberian insulin sebagai manajemen glukosa darah pada pasien ICU
dengan sepsis jika didapatkan dua kali pemeriksaan glukosa darah dengan
kadar > 180 mg/dL dengan target glukosa darah ≤ 180 mg/dL. Monitoring
glukosa darah setiap 1-2 jam hingga kadar glukosa dan kecepatan
gangguan ginjal akut. Balans cairan kontinu pada pasien septik dengan
pengganti ginjal pada sepsis dan AKI untuk kreatinin yang tinggi atau oligouri
syok sepsis dengan faktor risiko perdarahan saluran cerna. Profilaksis yang
13. Nutrisi
Pada pasien yang mampu mendapat nutrisi secara enteral, sebaiknya
pasien kondisi kritis dengan sepsis atau syok sepsis. Pemberian asam lemak
omega-3 sebagai suplemen imun tidak disarankan pada pasien sepsis atau
agen prokinetik disarankan pada pasien kondisi kritis dengan sepsis atau
syok sepsis dan intoleransi makanan. Pada pasien kondisi kritis dengan
25
sepsis atau syok sepsis dengan intoleransi makanan atau risiko tinggi
BAB III
Penanganan segera sudah menjadi ciri khas pada Surviving Sepsis Campaign
bundles, dimana dalam jam ke-3 dan ke-6 merupakan waktu yang
al., 2016) dan mortalitas pada kasus prehospital (Seymour et al., 2014). Pada
26
menunjukkan jumlah orang yang selamat dibandingkan resusitasi yang lambat.
Sepsis berat dan syok sepsis, tidak terkait dengan kehilangan volume. Sepsis
dicirikan dengan arteri dan vena dilatasi dengan disfungsi mikrosirkulasi dan
miokardial, pasien sepsis memiliki respon yang lebih buruk terhadap pemberian
cairan. Namun demikian, resusitasi cairan agresif untuk mencapai tekanan vena
A. FISIOLOGI DASAR
1. Lapisan Glikokaliks endotelial dan endotelial permukaan
Endotel dilapisi dengan lapisan seperti gel oleh glikokaliks endotel (EG =
27
berperan sebagai barrier terhadap cairan dan molekul-molekul besar.
Oleh karena resistensi hidrolik kapiler, tekanan darah turun pada kapiler
dari ujung arteri hingga ujung vena, dengan demikian tekanan hidrostatik
kapiler berada diantara tekanan hidrostatik arteri (PA) dan vena (PV).
kapiler) dapat digambarkan melalui rumus yang meliputi PA, PV, dan
dan lebih mirip dengan PV daripada PA. Peningkatan pada RA/RV akibat
koloid
Berdasarkan rusum starling, perbedaan tekanan teransendotelial dan
28
Osmotic Pressure) penting untuk filtrasi cairan. Protein pada plasma dapat
pada kapiler fenestrata (kapiler ginjal dan mukosa saluran cerna). Kapiler-
difusi hulu dan bersihan hilir. Pada kondisi normal, P C dan kecepatan
protein plasma
B. MEKANISME HIPOVOLEMI PADA SEPSIS
Sepsis merupakan akibat dari aktivasi jalur peradangan sistemik dengan
dengan dilatasi arteri dan vena, akibat kegagalan otot-otot pembuluh darah
ekspresi sintesis nitrite oxide dengan peningkatan produksi nitrite oxide (NO),
29
Gambar 4. Mekanisme syok vasodilator. (Landry and Oliver, 2001)
Sepsis
cardiac output. Pada sepsis terjadi peningkatan ekspresi dan aktivasi molekul
adhesi endotelial dengan adhesi dan aktivasi platelet, leukosit dan sel
30
darah mikrosirkulasi dan peningkatan permeabilitas kapiler (yang
kapiler walaupun terjadi vasodilatasi. (De Backer et al., 2010) Hipovolemi dan
Terjadi pengurangan aliran darah untuk otot dan organ-organ viseral sehingga
mendukung aliran darah terhadap organ vital jantung dan otak dengan
Konstriksi pembuluh darah arteri dan vena menambah venous return. Aktivasi
cairan yang adekuat penting untuk menjaga tekanan perfusi dan aliran darah
31
dipercaya memikliki peran penting dalam induksi peradangan. Hipovolemi
Gambar 5. Prediksi teoritis tekanan hidrostatik kapiler sebagai fungsi pembanding tahanan hidrolik
arteriol terhadap vena selama pembiusan total. (a) pada pembiusan total, (b) status hipovolemi, (c)
pada sepsis. Nilai tekanan hidrostatik kapiler dihitung sebagai fungsi pembanding resistensi hidrolik
〔 RA
Pv + PA
RV 〕
arteriol (RA) terhadap vena (RV) (RA/RV). Pc = . Nilai Tekanan hidrostatik
〔 RA
1+
RV 〕
kapiler disimulasikan selama (a) pembedahan, (b) status hipovolemi, dan (c) sepsis setelah intervensi
mengembalikan mikrosirkulasi melalui terbukanya kembali kapiler-kapiler yang
32
penggunaan vasopressor yang berlebihan dapat menurunkan efek perluasan
33
membran seperti kristaloid dan tetap berada di ruang intravaskular. Saat
diberikan pada pasien sepsis, koloid exert efek osmotik yang meretensi cairan
molekul yang dapat berdifusi melewati membran sel dan dibedakan menjadi
formula yang seimbang dan tidak seimbang. Cairan yang tidak seimbang
Ill), dan ALBIOS (The Albumin Italian Outcome Sepsis) tidak menunjukkan
albumin dan keamanan HES, kristaloid marupakan pilihan cairan pada pasien
ekspansi intravaskuler yang relatif lebih tinggi dengan volume yang lebih
rendah, yaitu tekanan onkotik yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
kristaloid. Koloid tidak mampu melewati membran vaskular semi kedap air
starches).
Tabel 2. Komposisi Cairan Koloid
(Corrêa et al., 2015)
34
a. Hydroxyethyl starch (HES)
Merupakan larutan sintetis yang banyak digunakan karena lebih
murah dibanding albumin. HES memiliki tiga kelompok Saat ini HES
untuk resusitasi pada pasien sepsis berat dan syok sepsis. (Corrêa et
al., 2015).
b. Albumin
Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign tahun 2016, pemberian
35
ketika pasien memerlukan kristaloid dalam jumlah besar.(Rhodes et
ml/kg dalam 3 jam pertama. (Rhodes et al., 2017) Pada sebuah studi
berkaitan dengan angka mortalitas yang lebih rendah. (Corrêa et al., 2015)
Kristaloid terdiri dari larutan glukosa atau sodium chloride dan dapat
36
saline yaitu larutan seimbang yang terdiri dari Ringer’s injection, Ringer
al., 2015)
37
BAB IV
Nutrisi yang cukup penting untuk kesehatan dan proses penyembuhan. Pada
terjadi pada pasien dewasa dan anak-anak. Angka malnutrisi terjadi pada 15 - 60
% pasien yang dirawat di rumah sakit. Pasien-pasien kondisi kritis memiliki risiko
tinggi terjadinya komplikasi akibat malnutrisi. Akibat yang buruk dari malnutrisi
kehilangan massa otot pada pasien sepsis. Oleh karena itu, saat saluran cerna
pembedahan besar, luka bakar dan penyakit berat tanpa sepsis seperti
pankreatitis dan reaksi tranfusi yang serius yaitu terjadi lemahnya efek inhibisi
38
Respon-respon tersebut ditandai dengan jumlah komplomen dan protein-
protien koagulasi yang lebih banyak ditemukan pada proteom plasma pasien
meningkatkan IL-8 yang lebih banyak daripada TNF-α, IL-1, dan IL-6 yang
pasien dengan sepsis. Konsentrasi kortisol dapat berada di atas normal dan
39
B. PERAN NUTRISI PADA SEPSIS
Pada kondisi fisiologis, pemberian nutrisi enteral mungkin bermanfaat pada
lemak, arginin, glutamin, antioksidan dan pre atau probiotik. (Cohen and Chin,
2013)
Pada pasien dengan kondisi kritis, selama saluran cerna intak, pemberian
nutrisi enteral pada syok stadium awal dan rendahnya laporan insiden iskemia
saluran cerna dengan nutrisi enteral. Namun karena perfusi splaniknik masih
total) atau hanya asupan protein / energi yang tidak memadai (nutrisi
pada pasien ICU dengan SIRS, sepsis, atau sindrom distress pernafasan akut
40
sistem imun minyak ikan tidak memberikan keuntungan yang melebihi
pedoman Society of Critical Care Medicine (SCCM) dan American Society for
memiliki risiko berdasarkan NRS—2002 bila skor > 3 dan risiko tinggi dengan
41
Penilaian nutrisi mencakup evaluasi kondisi komorbid, fungsi saluran
cerna dan risiko aspirasi dan tidak menggunakan indikator nutrisi tradisional.
status nutrisi yang nyata atau terapi nutrisi yang adekuat. Kadar kalsitonin, C-
reactive protein (CRP) IL-1, TNF, IL-6 dan sitrulin masih dalam tahap
guideline ASPEN dan dimulai dalam 24-48 jam pada pasien kritis. Alasan
dalam 24-48 jam resusitasi atau saat kondisi hemodinamik stabil tercapai
dengan dosis yang stabil. Kadar laktat dan asidosis metabolik yang stabil
integritas usus, modulasi stres dan respon sistem imun, dan mengurangi
42
tingkat keparahan penyakit. Endpoint tambahan terapi nutrisi enteral yaitu
imunosit (sel B dan sel plasma) yang terdiri dari gut-associated lymphoid
(MALT) pada tempat yang jauh seperti paru-paru, hati dan ginjal. (McClave
et al., 2016)
43
meinta toleransi respon imun
(Cohen and Chin, 2013)
2. Parenteral
Nutrisi parenteral menyediakan nutrisi pada pasien-pasien yang tidak
jika nutrisi enteral tidak dapat diberikan pada 7-14 hari pertama perawatan
44
relatif terhadap pemberian nutrisi enteral tidak mengubah angka kematian.
Selain itu tidak ada data yang konsisten pada pasien kritis dengan
penggunaan ventilator atau lamanya rawat inap di ICU atau rumah sakit.
kritis dengan kondisi gizi baik, tidak mengurangi angka kematian dan
2014)
E. MANAJEMEN NUTRISI PADA SEPSIS(Wischmeyer, 2017)
1. Fase Katabolik Akut
Pada fase akut sepsis terjadi mobilisasi besar-besaran dari cadangan
kalori tubuh seperti otot, glikogen dan lemak yang disimpan dipecah
selama sakit 2 dan tidak ditekan dengan pemberian makanan atau infus
pada fase awal sepsis. Faktanya, semakin berat syok sepsis, REE
45
(Wi sch
me yer,
2017)
kalori non protein pada awal fase akut (24-96 jam pertama) pada penyakit
kkal/jam hingga 500 kkal/hari) pada fase awal sepsis. Pemberian protein
hingga 70 % dari target yang harus dicapai. Namun, untuk pasien dengan
46
pemberian trofik / hypocaloric lebih disukai, dengan makanan dititrasi dari
waktu ke waktu sesuai dengan toleransi pasien. Tidak cukup bukti untuk
aman pada pasien yang kekurangan gizi (indeks massa tubuh <18,5)
karena pasien ini dikeluarkan atau jarang diwakili dalam uji klinis.(Rhodes
et al., 2017)
Akan tetapi untuk rekomendasi terapi nutrisi berdasarkan Paul E.
47
Tabel 7 . Pemberian nutrisi pada fase akut sepsis (24-96 jam pertama)
(Wischmeyer, 2017)
2.
48
(LBM) selanjutnya, memungkinkan mobilisasi dini dan mendorong pemulihan
kira-kiran 1.7 kali lebih besar dibanding REE. Pada minggu kedua sepsis,
49
mirip dengan kebutuhan manusia yang sehat berdasarkan WHO.
(Wischmeyer, 2017)
Tabel 9. Pemberian nutrisi setelah pulang dari rumah sakit
(Wischmeyer, 2017)
selenium intravena sebagai antioksida, arginin, glutamin dan karnitin untuk terapi
BAB V
KESIMPULAN
50
1. Sepsis dan syok sepsis merupakan masalah utama kesehatan karena
pertama.
5. Pemberian nutrisi yang direkomendasikan oleh SSC 2016 dan ASPEN yaitu
51
DAFTAR PUSTAKA
AVILA, A. A., KINBERG, E. C., SHERWIN, N. K. & TAYLOR, R. D. 2016. The use of fluids in
sepsis. Cureus, 8.
BOOMER, J. S., TO, K., CHANG, K. C., TAKASU, O., OSBORNE, D. F., WALTON, A. H.,
BRICKER, T. L., JARMAN, S. D., KREISEL, D. & KRUPNICK, A. S. 2011.
Immunosuppression in patients who die of sepsis and multiple organ failure.
Jama, 306, 2594-2605.
COHEN, J. & CHIN, D. N. 2013. Nutrition and sepsis. Nutrition in Intensive Care Medicine:
Beyond Physiology. Karger Publishers.
CORRÊA, T. D., ROCHA, L. L., PESSOA, C. M. S., SILVA, E. & ASSUNCAO, M. S. C. D. 2015.
Fluid therapy for septic shock resuscitation: which fluid should be used? Einstein
(São Paulo), 13, 462-468.
DE BACKER, D., ORTIZ, J. A. & SALGADO, D. 2010. Coupling microcirculation to systemic
hemodynamics. Current opinion in critical care, 16, 250-254.
DELLINGER, R. P., LEVY, M. M., RHODES, A., ANNANE, D., GERLACH, H., OPAL, S. M.,
SEVRANSKY, J. E., SPRUNG, C. L., DOUGLAS, I. S. & JAESCHKE, R. 2013. Surviving
Sepsis Campaign: international guidelines for management of severe sepsis and
septic shock, 2012. Intensive care medicine, 39, 165-228.
DERETIC, V., SAITOH, T. & AKIRA, S. 2013. Autophagy in infection, inflammation and
immunity. Nature Reviews Immunology, 13, 722-737.
DEUTSCHMAN, C. S. & TRACEY, K. J. 2014. Sepsis: current dogma and new perspectives.
Immunity, 40, 463-475.
ENGELMANN, B. & MASSBERG, S. 2013. Thrombosis as an intravascular effector of innate
immunity. Nature Reviews Immunology, 13, 34-45.
FULLERTON, J. N., O'BRIEN, A. J. & GILROY, D. W. 2013. Pathways mediating resolution of
inflammation: when enough is too much. The Journal of pathology, 231, 8-20.
GARCIA-ALVAREZ, M., MARIK, P. & BELLOMO, R. 2014. Sepsis-associated
hyperlactatemia. Critical Care, 18, 503.
GOTTS, J. E. & MATTHAY, M. A. 2016. Sepsis: pathophysiology and clinical management.
bmj, 353, i1585.
HARTL, W. H. & JAUCH, K.-W. 2014. Metabolic self-destruction in critically ill patients:
origins, mechanisms and therapeutic principles. Nutrition, 30, 261-267.
JAEHNE, A. K. & RIVERS, E. P. 2016. Early liberal fluid therapy for sepsis patients is not
harmful: hydrophobia is unwarranted but drink responsibly. Critical care
medicine, 44, 2263.
KOH, I. H., MENCHACA-DIAZ, J. L., KOH, T. H., SOUZA, R. L., SHU, C. M., ROGERIO, V. E. &
LIBERATORE, A. M. 2010. Microcirculatory evaluation in sepsis: a difficult task.
Shock, 34, 27-33.
LANDRY, D. W. & OLIVER, J. A. 2001. The pathogenesis of vasodilatory shock. New
England Journal of Medicine, 345, 588-595.
LEISMAN, D., WIE, B., DOERFLER, M., BIANCULLI, A., WARD, M. F., AKERMAN, M.,
D’ANGELO, J. K. & D’AMORE, J. A. Z. 2016. Association of fluid resuscitation
initiation within 30 minutes of severe sepsis and septic shock recognition with
reduced mortality and length of stay. Annals of emergency medicine, 68, 298-
311.
52
LEVI, M. 2001. Pathogenesis and treatment of disseminated intravascular coagulation in
the septic patient. Journal of critical care, 16, 167-177.
LEVY, B. D. & SERHAN, C. N. 2014. Resolution of acute inflammation in the lung. Annual
review of physiology, 76, 467-492.
MACHADO, R. R. C., CARUSO, L., DE AZEVEDO LIMA, P., DAMASCENO, N. R. T. &
SORIANO, F. G. 2015. Nutrition therapy in sepsis: characterization and
implications for clinical prognosis. Nutrición Hospitalaria, 32, 1281-1288.
MARIK, P. & BELLOMO, R. 2015. A rational approach to fluid therapy in sepsis. BJA:
British Journal of Anaesthesia, 116, 339-349.
MARTINOD, K. & WAGNER, D. D. 2014. Thrombosis: tangled up in NETs. Blood, 123,
2768-2776.
MCCLAVE, S. A., TAYLOR, B. E., MARTINDALE, R. G., WARREN, M. M., JOHNSON, D. R.,
BRAUNSCHWEIG, C., MCCARTHY, M. S., DAVANOS, E., RICE, T. W. & CRESCI, G. A.
2016. Guidelines for the provision and assessment of nutrition support therapy
in the adult critically ill patient: Society of Critical Care Medicine (SCCM) and
American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN). Journal of
Parenteral and Enteral Nutrition, 40, 159-211.
MEZIANI, F., DELABRANCHE, X., ASFAR, P. & TOTI, F. 2010. Bench-to-bedside review:
Circulating microparticles-a new player in sepsis? Critical Care, 14, 236.
MILLER, R. D., ERIKSSON, L. I., FLEISHER, L. A., WIENER-KRONISH, J. P., COHEN, N. H. &
YOUNG, W. L. 2014. Miller's Anesthesia E-Book, Elsevier Health Sciences.
MYBURGH, J. A. & MYTHEN, M. G. 2013. Resuscitation fluids. New England Journal of
Medicine, 369, 1243-1251.
NUGENT, K. L. & COOPERSMITH, C. M. 2017. Fluid Management in Sepsis—Is There a
Golden Hour (or Two)? Critical Care Medicine, 45, 1773-1775.
ORTIZ-POMALES, Y. T., KRZYZANIAK, M., COIMBRA, R., BAIRD, A. & ELICEIRI, B. P. 2013.
Vagus nerve stimulation blocks vascular permeability following burn in both local
and distal sites. Burns, 39, 68-75.
PROWLE, J. R. & BELLOMO, R. Sepsis-associated acute kidney injury: macrohemodynamic
and microhemodynamic alterations in the renal circulation. Seminars in
nephrology, 2015. Elsevier, 64-74.
PUTHUCHEARY, Z. A., RAWAL, J., MCPHAIL, M., CONNOLLY, B., RATNAYAKE, G., CHAN, P.,
HOPKINSON, N. S., PHADKE, R., DEW, T. & SIDHU, P. S. 2013. Acute skeletal
muscle wasting in critical illness. Jama, 310, 1591-1600.
RHODES, A., EVANS, L. E., ALHAZZANI, W., LEVY, M. M., ANTONELLI, M., FERRER, R.,
KUMAR, A., SEVRANSKY, J. E., SPRUNG, C. L. & NUNNALLY, M. E. 2017. Surviving
sepsis campaign: international guidelines for management of sepsis and septic
shock: 2016. Intensive care medicine, 43, 304-377.
RIVERS, E. P., JAEHNE, A. K., EICHHORN-WHARRY, L., BROWN, S. & AMPONSAH, D. 2010.
Fluid therapy in septic shock. Current opinion in critical care, 16, 297-308.
SCHMID-SCHÖNBEIN, G. W. & CHANG, M. 2014. The autodigestion hypothesis for shock
and multi-organ failure. Annals of biomedical engineering, 42, 405-414.
SCHRAMM, P., KLEIN, K. U., FALKENBERG, L., BERRES, M., CLOSHEN, D., WERHAHN, K. J.,
DAVID, M., WERNER, C. & ENGELHARD, K. 2012. Impaired cerebrovascular
autoregulation in patients with severe sepsis and sepsis-associated delirium.
Critical Care, 16, R181.
SCHRODER, K. & TSCHOPP, J. 2010. The inflammasomes. Cell, 140, 821-832.
53
SCHULTE, W., BERNHAGEN, J. & BUCALA, R. 2013. Cytokines in sepsis: potent
immunoregulators and potential therapeutic targets—an updated view.
Mediators of inflammation, 2013.
SERES, D., PARSONS, P. E., LIPMAN, T. O. & FINLAY, G. 2014. Nutrition support in critically
ill patients: An overview. Nutrition.
SEYMOUR, C. W., COOKE, C. R., HECKBERT, S. R., SPERTUS, J. A., CALLAWAY, C. W.,
MARTIN-GILL, C., YEALY, D. M., REA, T. D. & ANGUS, D. C. 2014. Prehospital
intravenous access and fluid resuscitation in severe sepsis: an observational
cohort study. Critical Care, 18, 533.
SINGER, M. 2014. The role of mitochondrial dysfunction in sepsis-induced multi-organ
failure. Virulence, 5, 66-72.
SIOBAL, M. & BALTZ, J. 2013. A guide to the nutritional assessment and treatment of the
critically ill patient. Irving, Texas: American Association for Respiratory Care, 27-
36.
TAKASU, O., GAUT, J. P., WATANABE, E., TO, K., FAGLEY, R. E., SATO, B., JARMAN, S.,
EFIMOV, I. R., JANKS, D. L. & SRIVASTAVA, A. 2013. Mechanisms of cardiac and
renal dysfunction in patients dying of sepsis. American journal of respiratory and
critical care medicine, 187, 509-517.
TAKEUCHI, O. & AKIRA, S. 2010. Pattern recognition receptors and inflammation. Cell,
140, 805-820.
TATARA, T. 2016. Context-sensitive fluid therapy in critical illness. Journal of intensive
care, 4, 20.
WAECHTER, J., KUMAR, A., LAPINSKY, S. E., MARSHALL, J., DODEK, P., ARABI, Y., PARRILLO,
J. E., DELLINGER, R. P., GARLAND, A. & GROUP, C. A. T. O. S. S. D. R. 2014.
Interaction between fluids and vasoactive agents on mortality in septic shock: a
multicenter, observational study. Critical care medicine, 42, 2158-2168.
WALLEY, K. R., FRANCIS, G. A., OPAL, S. M., STEIN, E. A., RUSSELL, J. A. & BOYD, J. H. 2015.
The central role of proprotein convertase subtilisin/kexin type 9 in septic
pathogen lipid transport and clearance. American journal of respiratory and
critical care medicine, 192, 1275-1286.
WARE, L. B. & MATTHAY, M. A. 2000. The acute respiratory distress syndrome. New
England Journal of Medicine, 342, 1334-1349.
WESTPHAL, M., JAMES, M. F., KOZEK-LANGENECKER, S., STOCKER, R., GUIDET, B. & VAN
AKEN, H. 2009. Hydroxyethyl StarchesDifferent Products–Different Effects.
Anesthesiology: The Journal of the American Society of Anesthesiologists, 111,
187-202.
WISCHMEYER, P. E. 2017. Nutrition Therapy in Sepsis. Critical care clinics.
ZIAJA, M. 2013. Septic encephalopathy. Current neurology and neuroscience reports, 13,
383.
54