Anda di halaman 1dari 54

ABSTRAK

Pratiwi, Irma Chandra. 2017. Tatalaksana Cairan dan Nutrisi Pada Pasien
Sepsis. Tinjauan Kepustakaan, Program Studi Pendidikan Dokter
Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pembimbing dr.
Susanthy Djajalaksana, SpP(K)

Sepsis dan syok sepsis merupakan masalah utama kesehatan


karena merupakan kondisi yang mengancam nyawa. Mortalitas pasien dengan
sepsis semakin lama semakin meningkat. Pada sepsis terjadi terjadi perubahan
pada endotelium (termasuk peningkatan adhesi leukosit, perpindahan status
menjadi prokoagulasi, vasodilatasi dan kehilangan fungsi pertahanan tubuh
sehingga menyebabkan kegagalan fungsi organ), vasodilatasi pembuluh darah
arteri dan vena serta kegagalan mikrosirkulasi. Resusitai cairan segera pada
sepsis berkaitan dengan penurunan mortalitas pada kasus gawat darurat.
Resusitasi yang direkomendasikan berdasarkan SSC 2016 yaitu dengan
menggunakan cairan kristaloid dengan jumlah hingga 30 ml/kg dalam 3 jam
pertama. Selain itu, pemberian nutrisi pada pasien dengan sepsis juga dapat
meningkatkan risiko mortalitas oleh karena malnutrisi. Pemberian nutrisi yang
direkomendasikan oleh SSC 2016 dan ASPEN yaitu berupa nutrisi enteral. Hal
tersebut berkaitan dengan beberapa manfaat yang didapatkan dibandingkan
dengan pemberian nutrisi parenteral. Pemberian nutris parenteral dapat
dilakukan bila didapatkan kontraindikasi pemberian nutrisi parenteral.

Kata kunci : Sepsis, SSC 2016, resusitasi cairan, terapi nutrisi.

1
ABSTRACT

Agustina, Dwi Rosa Eka. 2017. Management of Fluid and Nutrition in Sepsis.
Literature Review. Medical Program. Faculty of Medicine, Brawijaya
University. Supervisor: dr. Susanthy Djajalaksana, SpP(K)

Sepsis and septic shock are major health problems because they
are life-threatening conditions. Mortality of septic’s patient is increasing. In sepsis
there is a change in the endothelium (including increased leukocyte adhesion,
transfer of status to procoagulation, vasodilation and loss of defense function
causing organ failure), vasodilation of arterial and venous vessels and
microcirculation failure. Immediately fluid resuscitation on sepsis associated with
decreased mortality in emergency cases. The recommended resuscitation based
on SSC 2016 is by using crystalloid liquid with amount up to 30 ml / kg in the first
3 hours. In addition, nutrition in patients with sepsis may also increase the risk of
mortality due to malnutrition. Provision of nutrients recommended by SSC 2016
and ASPEN in the form of enteral nutrition. This is related to some of the benefits
obtained compared with parenteral nutrition. Parenteral nutrition can be
administered when parenteral nutritionally contraindicated.

Keyword : Sepsis, SSC 2016, fluid resucitation, nutrition treatment.

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sepsis merupakan kondisi yang mengancam nyawa. Sepsis dan syok sepsis

merupakan masalah utama kesehatan. Mortalitas pasien dengan sepsis

semakin lama semakin meningkat. Sepsis dan syok sepsis menyerang jutaan

orang di dunia setiap tahun dan membunuh sebanyak 1 dari 4 orang (atau lebih).

Seperti trauma pada banyak tempat (polytrauma), infark miokard akut, atau strok,

identifikasi awal dan manajemen yang sesuai pada jam-jam awal setelah sepsis

dapat meningkatkan outcome. (Rhodes et al., 2017)


Sepsis dan syok sepsis, tidak terkait dengan kehilangan volume. Sepsis

dicirikan dengan arteri dan vena dilatasi dengan disfungsi mikrosirkulasi dan

miokardial, pasien sepsis memiliki respon yang lebih buruk terhadap pemberian

cairan.(Marik and Bellomo, 2015) Beberapa studi menunjukkan bahwa resusitasi

cairan segera pada sepsis berkaitan dengan penurunan mortalitas pada kasus

gawat darurat (Leisman et al., 2016) dan mortalitas pada kasus prehospital

(Seymour et al., 2014)

Pasien-pasien kondisi kritis memiliki risiko tinggi terjadinya komplikasi akibat

malnutrisi.(Siobal and Baltz, 2013) Malnutrisi selama perawatan di rumah sakit

berperan langsung pada tingginya morbiditas dan peningkatan angka mortalitas

yang signifikan. Respon inflamasi akibat sepsis menyebabkan perubahan

metabolik, yang mengakibatkan kehilangan massa otot pada pasien sepsis. Oleh

karena itu, saat saluran cerna berfungsi, terapi nutrisi dimulai dalam 48 jam

perawatan intensif untuk mengurangi hilangnya protein. (Machado et al., 2015)

3
B. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan tinjauan kepustakaan ini adalah antara lain :

1. Mengetahui definisi, patogenesis, manifestasi klinis penanganan sepsis.

2. Mengetahui tatalaksana pemberian cairan pada pasien dengan kondisi sepsis.

3. Mengetahui tatalaksana pemberian nutrisi pada pasien dengan kondisi sepsis.

4
BAB II

SEPSIS

A. DEFINISI
Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam nyawa akibat

disregulasi respon penderita terhadap infeksi. Syok sepsis merupakan bagian

dari sepsis dengan disfungsi sirkulasi dan seluler/metabolik berkaitan dengan

peningkatan risiko kematian. (Rhodes et al., 2017) Syok sepsis juga didefinisikan

sebagai kondisi sepsis yang memerlukan terapi untuk meningkatkan tekanan

arteri rata-rata menjadi ≥ 65 mmHg dan laktat > 2 mmol/L meskipun telah

mendapat resusitasi cairan yang adekuat. (Gotts and Matthay, 2016) Sepsis dan

sepsis syok merupakan kondisi emergensi dan memerlukan terapi dan resusitasi

segera. (Rhodes et al., 2017)

B. PATOGENESIS
1. Tingkat jaringan dan organ
Sebagaimana perkembangan sepsis dari infeksi lokal hingga inflamasi

sistemik ringan dan menjadi syok sepsis, sistem kardiovaksular mengalami

gangguan yang besar. Peningkatan laktat pada pasien, memprediksi

mortalitas. Hal tersebut mencerminkan kondisi hipoksia sebagai akibat dari

hipoperfusi. (Gotts and Matthay, 2016)


a. Kerusakan endotel
Endotelium merupakan organ yang menutupi sekitar 1000m 2 area dan

berperan penting dalam pola vasomotor, perpindahan sel dan nutrisi menuju

dan dari jaringan, sistem koagulasi dan keseimbangan sinyal inflamasi dan

antiinflamasi. Pada sepsis, terjadi perubahan pada endotelium, termasuk

peningkatan adhesi leukosit, perpindahan status menjadi prokoagulasi,

vasodilatasi dan kehilangan fungsi barrier, sehingga menyebabkan perluasan

dari edema jaringan.(Gotts and Matthay, 2016)

5
Perubahan mikrosirkulasi menyebabkan gangguan pada respon terhadap

stimulasi lokal, seperti obstruksi lumen pembuluh darah kecil oleh trombus

kecil dan plak dari sel darah merah dan sel darah putih.(De Backer et al.,

2010, Koh et al., 2010) Ekspresi tissue factor , deposisi fibrin dan kegagalan

mekanisme antikoagulan (termasuk aktivasi protein C) dapat menyebabkan

koagulasi

Gambar 1. Kegagalan organ pada pasien kritis dengan syok sepsis dari pneumonia
pneumokokus. ARDS = acute respiratory distress syndrome.(Gotts and Matthay, 2016)

intravaskular disseminata (disseminated intravascular coagulation), suatu

sintrome terkait peningkatan disfungsi organ, perdarahan (konsumsi platelet

dan faktor pembekuan) dan mortalitas.(Levi, 2001)


b. Paru
Perubahan endotelial pada sepsis berat terkait dengan perubahan

fungsi barrier organ lain. Kapiler paru yang lebih permeabel

6
menyebabkan akumulasi cairan edema kaya protein pada ruang

intersisial paru, dan adanya sepsis menginduksi disfungsi barrier epitelial,

cairan edema intersisial membanjiri alveoli. Perubahan ini menyebabkan

mismatch ventilasi-perfusi, hipoksemia arteri dan penurunan komplians

paru : sindrom distress pernafasan akut (acute distress respiratory

syndrome).(Ware and Matthay, 2000) Kombinasi dari kerusakan barrier

epitelial dan endotelial yang meluas pada paru-paru merupakan

mekanisme yang memperluas disfungsi organ yang mematikan.

(Deutschman and Tracey, 2014)


c. Saluran cerna
Epitelium saluran cerna menjadi lebih permeabel pada kondisi

hipersitokemia sehingga meningkatkan permeabilitas dan memudahkan

translokasi bakterial, kerusakan saluran cerna melalui isi lumen termasuk

aktivasi enzim pankreas (autodigestion), dan memperburuk inflamasi

sistemik yang menyebabkan disfungsi organ multipel yang terus menerus.

(Schmid-Schönbein and Chang, 2014, Gotts and Matthay, 2016) Pada

liver, sepsis mengganggu bersihan bilirubin di hepatosit (penyebab

kolestasis) dan banyak fungsi penting hepar lain seperti transportasi dan

pengolahan lipid patogen enterik yang selanjutnya menstimulasi inflamasi

sistemik.(Walley et al., 2015)


d. Ginjal
Gangguan ginjal akut (Acute Kidney Injury = AKI) merupakan kondisi

yag sering terjadi pada sepsis berat dan meningkatkan risiko kematian.

Meskipun sebelumnya sepsis dengan AKI dikaitkan dengan berkurangnya

perfusi ginjal dan nekrosis tubular yang luas, sedikit bukti yang

mendukung bahwa keduanya merupakan mekanisme yang biasa terjadi

atau cukup berat pada sepsis yang menjelaskan tingkat gangguan ginjal

7
yang berat. Sebaliknya, AKI pada sepsis tampaknya melibatkan

mekanisme yang lebih kompleks dan cerdik dari sitokin dan mikrovaskular

yang dimediasi imun dan disfungsi tubular.(Prowle and Bellomo, 2015,

Takasu et al., 2013)


e. Saraf
Kerusakan sistem saraf pada sepsis berat disebabkan oleh

mekanisme yang tidak sederhana tetapi melibatkan partisipasi aktif pada

perkembangan awalnya berperan pada sebagian besar peran anti-

inflamasi. Kemoreseptor badan karotis, vagal afferents dan area otak

dengan blood-barrier yang permeabel terhadap respon sitokin lokal dan

sistemik, pemberian sinyal terhadap nukle batang otak, yang

mengirimkan vagal, kolinergik efferents yang menghambat produksi

sitokin inflamasi melalui sel imun innate di lien, saluran cerna dan lain-

lain. Stimulasi saraf vagal untuk melemahkan pengiriman sinyal sitokin

dan kerusakan endotelial pada model hewan sepsis dan syok karena

reperfusi iskemi, luka bakar dan pankreatitis. (Gotts and Matthay, 2016,

Ortiz-Pomales et al., 2013)


Ensefalopati merupakan kondisi klinis yang sering ditemukan pada

sepsis berat yang bervariasi dari gangguan konsentrasi ringan hingga

koma yang dalam.(Ziaja, 2013) Infeksi dapat menyebabkan ensefalopati

secara langsung melalui infeksi sistem saraf pusat, tetapi lebih sering,

kondisi tersebut menggerakkan kejadian steril yang mengganggu fungsi

neurologis. Disfungsi endotel sistemik membahayakan blood-brain

barrier, memungkinkan masuknya sitokin dan sel-sel inflamasi ke otak,

menyebabkan edema perivaskular, stres oksidatif, leukoensefalopati dan

perubahan neurotransmitter yang luas.(Gotts and Matthay, 2016)

Koinsiden disfungsi liver dan ginjal mengeksaserbasi masuknya toksin ke

8
sistem saraf pusat. Koagulopati dan kegagalan autoregulasi aliran darah

otak dapat bersama-sama menghasilkan area iskemi dan hemoragik.

(Schramm et al., 2012)


f. Lien
Kondisi proinflamasi dini pada sepsis berat sering berkembang

menjadi disfungsi sistem imun yang memanjang dan berkelanjutan. Pada

lien yang diambil pada pasien ICU dengan sepsis yang aktif saat mereka

meninggal, sebagian besar kekurangan sel T CD4 dan CD8 dan splenosit

yang tersisa menunjukkan pengurangan produksi stimulasi sitokin.

(Boomer et al., 2011) Hilangnya sel T CD4 tampaknya mengakibatkan

sebagian besar apoptosi dan hal tersebut sangat menghambat

kemampuan pasien untuk meningkatkan respon imun terhadap infeksi

yang ada.(Gotts and Matthay, 2016)


g. Disfungsi organ multipel
Disfungsi organ pada sepsis sering memperpanjang timbulnya

penyakit kritis melalui beberapa jalur(Gotts and Matthay, 2016)


1) Sindrom distres pernafasan akut sering memerlukan ventilasi mekanik,

yang selanjutnya dapat merusak paru dan meningkatkan peradangan

sistemik.
2) Penenang diperlukan untuk memaksa komplians dengan ventilasi

tekanan positif dapat memperburuk sepsis terkait dengan ensefalopati

dan delirium, menyebabkan berkurangnya mobilitas, memperburuk

katabolisme dan kelemahan neuromuskular yang berat.


3) Disfungsi barier usus yang menyebabkan translokasi organisme

patogenik yang terus-menerus dan status gizi terganggu.


4) Disfungsi sistem imun pada pasien yang telah mendapat antibiotik

spektrum luas dan memiliki akses terjadinya infeksi nosokomial

(endotracheal tube, kateter intravena, kateter urin)

9
Kombinasi dari efek tersebut menjelaskan morbiditas yang tinggi pada

sepsis berat. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya penelitian

sehingga memperbaiki outcome pada sepsis.

2. Tingkat seluler dan molekul


Kaskade molekular dilepaskan melalui infeksi berat yang kompleks,

dinamis dan setidaknya sebagian tergantung pada faktor virulensi patogen.

Satu studi membuan dan memasukkan rekombinan tumor necrosis factor- α

(TNF-α) ke dalam tikus. Dalam 3 jam, pada hewan terjadi takipneu, asidosis

laktat dan syok letal dan ditemukan daerah iskemia dan hemoragik pada paru-

paru, usus, ginjal, pankreas dan kelenjar adrenal Efek ini sangat mirip dengan

sekuel pemberian endoktoksin dosis tinggi, sehingga menunjukkan bahwa

sitokin-sitokin yang menghasilkan inflamasi tunggal dapat memberikan

gambaran klinis syok sepsis. Penemuan tersebut menunjukkan pergantian

lingkungan yang cepat dari sitokin pada infeksi serius dan sebagian

menjelaskan kegagalan agen anti-TNF-α pada terapi sepsis di ICU dengan

populasi yang heterogen.(Gotts and Matthay, 2016)


a. Pengiriman sinyal inflamasi
Sistem imun innate, membuat sebagian besar makrofag, monosit,

granulosit, sel natural killer, sel dendritik, berevolusi untuk mendeteksi pola

patogen molekular/pathogen associated molecular pattern (PAMPs;

termasuk komponen patogen dari bakteri, jamur, dan virus seperti

endotoksin dan β-glucan), dan kerusakan terkait pola molekular /damage

associated molecular patterns (DAMPs; molekul endogen yang dilepaskan

dari kerusakan sel penjamu yaitu ATP, DNA mitokondria, dan high mobility

group box 1 atau HMGB1). DAMPs dan PAMPs mengaktivasi imun innate

dan beberapa sel-sel epitel melalui pola pengenalan reseptor pada

permukaan sel (toll-like receptors dan C-type lectin receptors) atau di

10
dalam sitosol (NOD-like receptor, RIG-I-like receptors), menginisiasi

tteranskripsi interferon tipe I dan sitokin-sitokin proinflamasi seperti TNF-

α, interleukin (IL)-1, dan IL-6.(Takeuchi and Akira, 2010, Schulte et al.,

2013) Beberapa pola pengenalan reseptor (terutama NOD-like receptors)

dapan disusun menjadi kompleks molekular yang disebut inflammasome

yang penting dalam pematangan dan sekresi sitokin-sitokin poten IL-1β

dan IL-18 dan dapat memicu tingginya program kematian sel peradangan

oleh kaspase yang memediasi ruptur membran plasma yang disebut

pyroptosis.(Schroder and Tschopp, 2010). Sitokin proinflamasi

menimbulkan :
1) Peningkatan jumlah, masa hidup dan status aktivasi sel-sel imun

innate.
2) Peningkatan molekul adhesi dan ekspresi kemokin oleh sel-sel

endotelial
3) Menginduksi protein hepar fase akut seperti komplemen dan fibrinogen
4) Menyebabkan neutrofil melepaskan jebakan ekstraseluer (Neutrophil

Extracellular Traps = NETs), web-like pro-coagulant collections of DNA,

dan protein-protein dan enzim-enzim antimikroba yang membentuk

susunan untuk aktivasi platelet.(Martinod and Wagner, 2014)


5) Menyebabkan pelepasan vesikel-mikropartikel berbentuk tonjolan dari

membran plasma dan mengandung inflamasi, pro-oksidan dan lipid

pro-koagulan dan protein-protein termasuk tissue factor, angiopoietin-

2, dan von Willebrand factor.(Meziani et al., 2010)


6) Upregulasi ekspresi tissue factor melalui monosit darah. Kombinasi

dengan pelepasan NETs dan mikropartikel yang telah disebutkan

sebelumnya, ekspresi tissue factor intravaksular menimbulkan

immunotrombosis dimana mikroba terjebak oleh trombus yang

kemudian mengaktivasi leukosit.(Engelmann and Massberg, 2013)


b. Jalur kerusakan segera

11
Respon sitokin inflamasi dapat mengendalikan infeksi kecil dan lokal

secara cepat. Namun, saat respon melebihi ambang batas kerusakan

sistemik terjadi :
- Reactive oxygen species (ROS) seperti hydroxyl radical dan nitrite

oxide dapat merusak protein, lipid dan DNA seluler dan merusak fungsi

mitokondria.(Gotts and Matthay, 2016)


- Aktivasi komplemen (terutama C5a) selanjutnya akan meningkatkan

perkembangan ROS, pelepasan enzim granulosit, permeabilitas

endotelial dan ekspresi tissue factor dan dapat menyebabkan

kematian sel medular adrenal.(Gotts and Matthay, 2016)


- Immunotrombosis luas dapat menimbulkan DIC dengan hasil berupa

kegagalan fungsi mikrovaskular dan kerusakan organ, bersama

dengan aktivasi jalur inflamasi selanjutnya.

Gambar 2. Patofisiologi sepsis. Kerusakan endotel menyebabkan aktivasi monosit

dan granulosit, kerusakan barrier endotelial, immunotrombosis dan DIC.(Gotts and

Matthay, 2016)

12
c. Disfungsi metabolik
Protein mitokondria dan DNA rusak akibat tingginya kadar ROS dan

pasien dengan sepsis memiliki kerusakan dan disfungsi mitokondria.

(Takasu et al., 2013, Gotts and Matthay, 2016) Proses ini berpotensi

mengalami eksaserbai oleh efek toksik dari antibiotik pada mitokondria,

turunnya kadar ATP dan untuk mencegah penurunan yang mematikan, sel

ATP masuk ke kondisi yang mirip dengan hibernasi.(Singer, 2014)

Pengurangan pengeluaran energi pada tingkat seluler konsisten dengan

tekanan oksigen yang tersisa pada sepsis dan pengurangan ini mungkin

memperburuk disfungsi organ pada banyak sel sehingga kinerja fungsi

khusus mereka berkurang.(Garcia-Alvarez et al., 2014) Kondisi ini

menyebabkan perburukan gangguan ginjal akut, depresi miokard, dan

disfungsi hepar, ensefalopati, acute lung injury dengan peningkatan

permeabilitas endotelial dan epitelial paru terhadap protein dan

menurunkan fungsi pertahanan dan transpor saluran cerna.(Deutschman

and Tracey, 2014)


Katabolisme merupakan ciri khas sepsis berat lainnya. Pada studi

prospektif pada 63 pasien kondisi kritis di Inggris mencatat hilangnya

massa otot yang cepat, terutama pada pasien dengan kegagalan

multiorgan.(Puthucheary et al., 2013) Nyeri, kortikosteroid, imobilitas dan

sitokin inflamasi berkontribusi terhadap kerusakan jaringan otot yang

cepat, membebaskan asam amino untuk glukoneogenesis untuk memicu

proliferasi sel imun innate yang bergantung pada glukosa. Insulin yang

tidak sensitif dan hiperglikemia yang merupakan karakteristik sepsis dan

penyakit yang berat.(Hartl and Jauch, 2014)


d. Jalur Resolusi

13
Jalur kompensasi sitokin anti-inflamasi aktif sejak jam-jam pertama

sepsis berat. IL-10, memproduksi leukosit, yang menekan produksi IL-6

dan interferon-γ dan merangsang produksi reseptor TNF dan IL-1

antagonis, membantu menetralkan pengiriman sinyal TNF-α dan IL-1 yang

kuat.(Schulte et al., 2013) Pada tingkat subselular, autofag menyediakan

jalur untuk mengeliminasi DAMPs dan PAMPs dengan mengemas

patogen dan organela dan protein yang rusak pada vesikel yang

ditargetkan untuk degradasi lisosom, mengurangi aktivasi inflamasom.

(Deretic et al., 2013)


Resolusi peradangan setelah infeksi berat tidak hanya bersifat pasif

melalui menghilangnya proses peradangan tetapi melalui serangkaian

proses sel yang terkoordinasi dan sinyal molekuler yang baru dikenal.

Segera setelah organisme patogenik dieliminasi dari penderita, sel-sel

yang rusak dan infiltrasi leukosit dibersihkan dari jaringan. Jika lingkungan

mendukung jalur sinyalling ini, sel akan mengalami apoptosis dan dimakan

(terutama oleh makrofag), proses tersebut dinamakan efferositosis,

memacu pelepasan sitokin antiinflamasi IL-10 dan TGF-β (transforming

growth factor-β). (Fullerton et al., 2013) Beberapa famili lipid bioaktif baru

ditemukan : lipoxin, resolvins, protectins dan maresins (juga dilepaskan

selama efferositosis) menunjukkan pengurangan ROS, permeabilitas

endotelial dan rekrutmen leukosit, dan selanjutnya meningkatkan

makrogat efferositosis.(Levy and Serhan, 2014) Sel T-regulator dan

mieloid yang berasal dari sel supresor juga memerankan peran penting

pada pembersihan sel-sel sitotoksik dan produksi sitokin-sitokin anti-

inflamasi. (Fullerton et al., 2013)


C. DIAGNOSIS

14
Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign tahun 2012 kriteria diagnosis sepsis

yaitu adanya infeksi atau dicurigai infeksi diikuti beberapa kriteria(Dellinger et al.,

2013)
1. Variabel umum
a. Demam ( > 38.3 0C)
b. Hipotermia (core temperature < 360C)
c. Denyut jantung > 90 x/menit atau lebih dari 2 kali batas atas normal

berdasarkan usia
d. Takipneu
e. Perubahan status mental (altered mental state)
f. Edema yang signifikan atau cairan positif (> 20 ml /kg dalam 24 jam)
g. Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dL atau 7.7 mmol/L) tanpa ada

riwayat kencing manis sebelumnya


2. Variabel inflamasi
a. Leukositosis (leukosit > 12.000 /µL)
b. Leukopenia (leukosit < 4.000 /µL)
c. Leukosit normal dengan > 10 % gambaran imatur
d. C-reactive protein plasma > 2 kali standar deviasi batas atas normal
e. Procalcitonin plasma > 2 kali standar deviasi batas atas normal
3. Variabel hemodinamik
Hipotensi arterial (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), MAP < 70 mmHg

atau penurunan tekanan darah sistolik > 40 mmHg pada dewasa atau < 2 kali

standar deviasi batas bawah normal berdasarkan usia)


4. Variabel disfungsi organ
a. Hipoksemia arteri (PaO2/FiO2 < 300)
b. Oligouria akut (produksi urin < 0.5 mg/kg/jam dalam 2 jam meskipun telah

mendapat resusitasi cairan yang adekuat)


c. Peningkatan kreatinin > 0.5 mg/dL atau 44.2 µmol/L)
d. Abnormalitas koagulasi (INR > 1.5 atau APTT > 60 detik)
e. Ileus (tidak ada bising usus)
f. Trombositopenia (trombosit < 100.000 /µL)
g. Hiperbilirubinemia (bilirubin total > 4 mg/dL atau 70 µmol/L)
5. Variabel pefusi organ
a. Hiperlaktat (> 1 mmol/L)
b. Penurunan waktu pengisian kapiler

Untuk sepsis berat, bila memenuhi kriteria diagnosis yaitu sepsis yang

mengiduksi hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ yang diikuti

1. Hipotensi yang diinduksi sepsis


2. Laktat lebih dari batas atas nilai normal

15
3. Produksi urin < 0.5 mg/kg/jam pada > 2 jam setelah mendapat resusitasi

cairan yang adekuat


4. Acute lung injury dengan PaO2/FIO2 < 250 tanpa pneumonia sebagai sumber

infeksi
5. Acute lung injury dengan PaO2/FIO2 < 200 dengan pneumonia sebagai

sumber infeksi
6. Kreatinin > 2 mg/dL (176.8 µmol/L)
7. Bilirubin > 2 mg/dL (34.2 µmol/L)
8. Jumlah trombosit < 100.000 µL)
9. Koagulopati (INR > 1.5)
Berdasarkan SSC (Surviving Sepsis Campaign) guidelline tahun 2016

merekomendasikan kultur mikrobiologis sebelum memulai pemberian terapi

antimikroba pada pasien yang dicurigai sepsis atau syok sepsis jika tidak

mengakibatkan penundaan dalam mengawali pemberian antimikroba. Kultur

mikrobiologis rutin dengan dua set kultur darah (aerobik dan anaerobik).

D. MANAJEMEN SEPSIS(Rhodes et al., 2017)


1. Resusitasi awal
Resusitasi awal pada pasein dengan hipoperfusi jaringan yang diinduksi

oleh sepsis (hipotensi yang menetap setelah pemberian fluid challenge atau

konsentrasi laktat darah ≥ 4 mmol/L). Dalam 6 jam pertama resusitasi, target

resusitasi awal yaitu(Dellinger et al., 2013) :


a. Tekanan vena sentral 8-12 mmHg
b. MAP ≥ 65 mmHg
c. Produksi urin ≥ 0.5 cc/kg/jam
d. Saturasi oksigen vena kava superior (Scvo2) 70 %
e. Asam laktat normal pada pasein dengan peningkatan kadar laktat

(rekomendasi lemah, evidens lemah)

Pada studi randomisasi, terkontrol single center resusitasi segera

meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien emergensi dengan syok

sepsis. Resusitasi dengan target kondisi fisiologis dalam 6 jam awal berkaitan

dengan penurunan angka kematian pada hari ke-28 sebanyak 15.9%.

(Dellinger et al., 2013)

16
Resusitasi pada pasien dengan hipoperfusi akibat sepsis dengan

pemberian cairan kristaloid intravena 30 ml/kg dalam 3 jam pertama.

Resusistasi cairan awal yang efektif penting untuk stabilisasi. Sepsis dengan

hipoperfusi dapat bermanifestasi melalui disfungsi organ dan atau penurunan

tekanan darah dan peningkatan laktat. Resusitasi cairan awal dengan

penilaian ulang status hemodinamik. Penilaian ulang dengan pemeriksaan

klinis dan evaluasi variabel fisiologis yang tersedia (denyut jantung, tekanan

darah, saturasi oksigen arteri, laju respirasi, suhu, produksi urin dan lain-lain).

Penilaian hemodinamik lanjutan (seperti fungsi jantung) untuk menentukan

tipe syok jika pemeriksaan klinis tidak mendukung diagnosis yang jelas.

(Rhodes et al., 2017, Dellinger et al., 2013)

Tekanan arteri rata-rata merupakan penggerak perfusi jaringan. Target

tekanan darah arteri pada pasien syok sepsis yang membutuhkakan

vasopresor yaitu 65 mmHg Saat pefusi organ penting seperti otak dan ginjal

masih dapat dilindungi dari hipotensi sistemik melalui autoregulasi perfusi

regional, bawas bawah MAP, perfusi jaringan menjadi tergantung secara linear

dengan tekanan arteri.

Laktat serum bukan merupakan pengukuran perfusi jaringan secara

langsung. Peningkatan kadar laktat serum menunjukkan hipoksia, percepatan

glikolisis aerobik yang didorong oleh stimulasi adrenergik beta yang

berlebihan atau penyebab lainnya. Peningkatan kadar laktat berkaitan dengan

outcome yang buruk.

Pengukuran tekanan vena sentral saja sebagai petunjuk resusitasi cairan

tidak dibenarkan karena kemampuan prediksi respon fluid challenge saat

17
tekanan vena sentral pada kondisi normal secara relatif (8-12 mmHg)

terbatas.

2. Terapi Antimikroba
Rekomendasi pemberian antimikroba pada pasien sepsis berdasarkan

SSC (Surviving Sepsis Campaign 2016) (Rhodes et al., 2017)


a. Merekomendasikan pemberian antimikroba intravena segera setelah

diketahui atau dalam 1 jam pada sepsis dan syok sepsis (rekomendasi

kuat, evidens kualitas sedang)


Pada sepsis dan syok sepsis, pemberian antimikroba intravena segera

setelah diketahui dalam 1 jam. Kecepatan pemberian sangat penting untuk

mendapatkan efek yang menguntungkan dari antimikroba yang sesuai.

Adanya sepsis atau syok sepsis, terlambatnya pemberian antibiotik

berkaitan dengan peningkatan kematian. Dalam memilih regimen antibiotik,

klinisi harus hati-hati pada beberapa agen antimikroba (beta laktam)

mengenai keamanannya jika diberikan secara bolus atau infus cepat,

sementara beberapa dengan pemberian infus dalam waktu lama. Jika

akses vaskular terbatas dan banyak obat yang harus diberikan secara

infus, obat-obatan dapat diberikan secara bolus atau infus cepat

memberikan keuntungan untuk pencapaian terapi yang cepat pada dosis

inisial.
b. Merekomendasikan pemberian terapi antimikroba empiris spektrum luas

dengan satu atau lebih antimikroba pada pasien sepsis atau syok sepsis

untuk mengatasi semua patogen (termasuk bakteri dan jamur atau virus)

(rekomendasi kuat, evidens kualitas sedang). Pemberian terapi antibiotik

direkomendasikan sesuai empiris dengan spektrum luas dengan satu atau

lebih antimikroba pada pasien dengan sepsis atau syok sepsis untuk

melawan seluruh patogen (bakteri, jamur ataupun virus). Pemilihan

18
antibiotik awal untuk terapi antimikroba harus dengan spektrum yang cukup

untuk mengatasi semua patogen. Pemilihan antimikroba empiris tergantung

pada anamnesis, status klinis dan faktor epidemiologis lokal. Faktor-faktor

utama dari pasien termasuk sifat sindrom klinis/tempat infeksi, penyakit

yang menyertai , kegagalan organ kronis, pengobatan, indwelling devices,

adanya immunosupresi atau bentuk immunokompromise lain, infeksi yang

baru diketahui atau kolonisasi dangan patogen sepesifik dan mendapat

antimikroba dalam tiga bulan.


c. Pemberian antimikroba empiris dapat dipersempit jika patogen dan

sensitivitas telah diidentifikasi dan atau terdapat perbaikan klinis yang

adekuat. Beberapa faktor harus dinilai dan digunakan untuk menentukan

regimen antimikroba yang sesuai pada setiap pusat kesehatan dan setiap

pasien, antara lain


1) Lokasi anatomis infeksi yang berhubungan dengan profil patogen khas

dan sifat antimikroba individu untuk menembus lokasi tersebut.


2) Patogen yang diamati di komunitas, rumah sakit dan ruang perawatan
3) Pola resistensi dari patogen yang diamati
4) Kerusakan imun spesifik yang ada : neutropenia, spelenktomi, infeksi

HIV yang tidak terkontrol dan kerusakan fungsi maupun produksi dari

immunoglobulin, komplemen atau leukosit yang didapat ataupun

kongenital
5) Usia dan komorbid pasien termasuk penyakit kronis (diabetes) dan

disfungsi organ kronis (gangguan hati atau ginjal), adanya alat-alat

infasif ( kateter vena sentral atau kateter urin ) yang membahayakan

pertahanan tubuh terhadap infeksi.

Patogen yang biasa menyebabkan syok sepsis adalah bakteri gram

negatif, bakteri gram positif dan campuran. Sebagian pasien sepsis berat

dan syok sepsis memiliki satu atau lebih bentuk immunokompromise,

19
regimen empiris awal harus cukup luas untuk melawan sebagian besar

patogen yang terisolasi terkait dengan infeksi perawatan. Karbapenem

spektrum luas (meropenem, imipenem/cilastatin atau doripenem) atau

kombinasi penisilin extended-range/ penghambat β-laktamase

(piperasilin/tazobaktam atau tikarsilin/klavulanat) juga digunakan. Beberapa

sefalosporin generasi ketiga atau yang lebih tinggi juga dapat digunakan

terutama sebagai regimen terapi multidrug. Regimen spesifik dapat dan

harus dimodifikasi dengan infeksi pada lokasi anatomis jika diketahui

terdapat flora mikrobiologis lokal.Terdapat risiko reisistensi terhadap β-

laktam spektrum luas dan karbapenem pada basil gram negarif pada

beberapa komunitas dan pusat kesehatan. Penambahan agen gram negatif

pada regimen empiris direkomendasikan pada pasien sepsis dengan sakit

yang parah pada risiko tinggi terinfeksi patogen-patogen multri-drug

resisten (Pseudomonas, Acinetobacter, dan lain-lain). Demikian pula dalam

situasi yang lebih dari sekedar risiko sepele terhadap patogen resisten

atau atipikal, diperlukan penambahan agen terhadap patogen spesifik

untuk memperluas cakupan. Vankomisin, teikoplanin atau agen anti MRSA

lainnya dapat digunakan ketika terdapat faktor risiko MRSA. Risiko infeksi

yang signifikan dengan Legionella diperlukan penambahan makrolid atau

fluorokuinolon.

d. Tidak merekomendasikan pemberian antimikroba profilaksis pada pasien

dengan status inflamasi berat yang tidak menular (pankreatitis berat, luka

bakar)
e. Merekomendasikan optimasi dosis antimikropa berdasarkan prinsip

farmakokinetik/farmakodimamik dan sifat obat pada pasien sepsis dan

sepsis dan syok sepsis. Optimasi farmakokinetik antimikroba dapat

20
memperbaiki outcome pasien dengan infeksi berat, sehingga strategi

pemberian antimikroba sebaiknya dioptimalkan berdasarkan prinsip

farmakokinetik/farmakodinamik dan sifat obat yang spesifik pada pasien

sepsis atau syok sepsis. Hal tersebut dikarenakan setiap pasien memiliki

perbedaan berdasarkan tipe infeksi sehingga mempengaruhi strategi

manajemen antimikroba yang optimal. Perbedaan tersebut antara lain

meningkatnya frekuensi disfungsi hati dan ginjal, tingginya prevalensi

disfungsi imun yang tidak dikenali dan predisposisi terinfeksi organisme

relasisten. Antimikroba yang berbeda memiliki target plasma yang berbeda

untuk hasil yang optimal.


f. Terapi empiris kombinasi dengan 2 antibiotik berbeda untuk manajemen

awal syok sepsis (rekomendasi lemah, evidens kualitas rendah).


g. Terapi kombinasi tidak rutin digunakan pada terapi untuk sebagian besar

infeksi yang serius, seperti bakteremia dan sepsis tanpa syok

(rekomendasi lemah, evidens kualitas rendah).


h. Tidak merekomendasikan terapi kombinasi sebagai terapi rutin pada sepsis

neutropeni/bakteremia (rekomendasi kuat, evidens kualitas sedang)


i. Jika terapi kombinasi awalnya digunakan pada syok sepsis, kami

merekomendasikan de-eskalasi dengan penghentian terapi kombinasi

dalam beberapa hari pertama sebagai respon perbaikan klinis dan atau

bukti resolusi infeksi. Hal tersebut berlaku pada terapi kombinasi terapi

pada terapi target (untuk kultur infeksi positif) dan empiris (untuk kultur

infeksi negatif).
j. Kami menyarankan bahwa lamanya terapi antimikroba yaitu 7-10 hari

cukup untuk sebagian besar infeksi serius berkaitan dengan sepsis dan

syok sepsis (rekomendasi lemah, evidens kualitas rendah)


k. Kami menyarankan pemberian yang lebih lama pada pasien dengan

respon klinis yang lambat, fokus infeksi yang tidak di drainase, bakteremia

21
dengan S. Aureus, beberapa infeksi jamur dan virus atau defisiensi

immunologis termasuk neutropenia (rekomendasi lemah, evidens kualitas

rendah)
l. Kami menyarankan pemberian yang lebih pendek pada pasien dengan

perbaikan klini syang cepat dengan source control yang efektif pada

sepsis intra-abdomen atau saluran kemih tanpa komplikasi anatomis

pielonefritis (rekomendasi lemah, evidens kualitas rendah).


m. Merekomendasikan untuk dilakukan assesmen harian utntuk de-eskalasi

terapi antimikroba pada pasien sepsis dan syok sepsis.


n. Merekomendasikan pemeriksaan kadar procalcitonin untuk memperpendek

durasi terapi antimikroba pada pasien sepsis (rekomendasi lemah, evidens

kualitas rendah).
o. Menyarankan bahwa kadar procalcitonin dapat digunakan untuk

mendukung penghentian antibiotik empiris pada pasien yang awalnya

mengalami sepsis, tetapi kemudian memiliki bukti klinis infeksi yang

terbatas
3. Source control
Diagnosis anatomis spesifik dari infeksi yang memerlukan source control

segera diidentifikasi atau dieksklusi segera pada pasien sepsis atau syok

sepsis dan yang memerlukan beberapa intervensi source control dan

diimplementasikan segera setelah diagnosis tegak. Akses intravaskular yang

memungkinkan sebagai sumber sepsis atau syok sepsis segera dilepas

setelah akses vaskular tersedia.


Prinsip source control pada manajemen sepsis dan syok sepsis termasuk

diagnosis segera lokasi infeksi segera dan apakah infeksi tersebut

mermerlukan source control (seperti drainase pada abses, debridemen

jaringan nekrosis yang terinfeksi, membersihkan daerah yang berpotensi

infeksi dan kontrol definitif sumber yang sedang terkontaminasi). Fokus infeksi

22
yang dicurigai menyebabkan syok sepsis harus dikontrol segera setelah

resusitasi awal. Targetnya tidak lebih dari 6-12 jam setelah diagnosis tegak.
Pengalaman klinis menyebutkan, tanpa source control yang adekuat

beberapa kasus tidak akan menjadi stabil atau membaik meskipun setelah

mendapat resusitasi segera dan antimikroba yang sesuai. Pemilihan metode

source control yang optimal harus menimbang untung dan rugi dari intervensi,

risiko prosedur pemindahan, potensi terlambatnya prosedur yang spesifik, dan

kemungkinan keberhasilan dari prosedur tersebut. Komplikasi source control

yang terjadi antara lain perdarahan, fistula, atau kerusakan organ yang tidak

disengaja.
4. Terapi cairan
Pemberian cairan yang direkomendasikan sebagai resusitasi awal pada

pasien sepsis dan syok sepsis yaitu kristaloid. Pemberian albumin pada

kristaloid untuk resusitasi awal dan penggantian volume intravaskular pada

pasien sepsis dan syok sepsis direkomendasikan ketika pasien memerlukan

kristaloid dalam jumlah besar. Pemberian hydroxyethyl starches (HESs) untuk

penggantian volume intravaskular pada pasien sepsis dan syok sepsis tidak

direkomendasikan. Pemberian kristaloid atau salin untuk cairan resusitasi

pada pasien sepsis dan syok sepsis harus seimbang.


5. Obat-obat vasoaktif
Pemberian norepinefrin merupakan pilihan pertama vasopressor pada syok

sepsis. Disarankan untuk pemberian vasopresin lain atau epinefrin terhadap

norepinefrin untuk meningkatkan tekanan arteri rata-rata atau menambahkan

vasopresin untuk menurunkan dosis norepinefrin. Penggunaan opamin

sebagai agen vasopresor alternatif pada norepinefrin pada beberapa pasien

(pasien risiko rendah takiaritmia dan bradikardia absolut atau relatif).

Pemberian dobutamin disarankan pada pasien yang menunjukkan hipoperfusi

persisten meskipun telah mendapat terapi cairan dan agen vasopressor yang

23
adekuat. Pasien-pasien yang membutuhkan terapi vasopressor harus memiliki

kateter arterial segera jika tersedia.


6. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid tidak disarankan sebagai terapi syok sepsis jika

resusitasi cairan dan terapi vasopresor yang adekuat yang dapat

mengembalikan stabilitas hemodinamik. Jika tidak tercapai, disarankan

pemberian hidrokortison dengan dosis 200 mg per hari.


7. Produk darah
Pemberian tranfusi sel darah merah hanya bila terdapat penurunan

hemoglobin dibawah < 7 g/dl tanpa adanya iskemia miokard, hipoksemia berat

atau perdarahan akut. Profilaksis tranfusi trombosit bila jumlah trombosit

<10000 /mm3 tanpa perdarahan atau < 20000/mm3 pada pasien risiko

perdarahan dan > 50000/mm3 pada perdarahan aktif, pembedahan atau

prosedur infasif
8. Ventilasi mkekanik
Target volume tidal yang direkomendasikan yaitu 6 ml/kg pada pasien

sepsis dengan ARDS (acute respiratory distress syndrome). Penggunaan

PEEP (positive end-expiratory pressure) yang lebih tinggi direkomendasikan

pada pasien sepsis yang diinduksi ARDS sedang-berat. Posisi yang

direkomendasikan yaitu prone position pada pasien dengan sepsis yang

diinduksi AEDS dan PaO2/FiO2 < 150. Agen penghambat neuromuskular

disarankan selama ≤ 48 jam pada pasien sepsis yang diindusksi ARDS dan

PaO2/FiO2 < 150 mmHg. Volume tidal yang lebih tinggi pada sepsis dengan

gagal nafas tanpa ARDS direkomendasikan. Ventilasi mekanis yang

direkomendasikan dengan elevasi kepala 30-450 untuk mengurangi risiko

aspirasi dan mencegah perkembangan VAP (ventilator associated

pneumonia).
9. Sedasi dan analgesik
Pemberian sedasi diminimalkan pada ventilasi mekanik pada pasien sepsis.
10. Kontrol Glukosa

24
Pemberian insulin sebagai manajemen glukosa darah pada pasien ICU

dengan sepsis jika didapatkan dua kali pemeriksaan glukosa darah dengan

kadar > 180 mg/dL dengan target glukosa darah ≤ 180 mg/dL. Monitoring

glukosa darah setiap 1-2 jam hingga kadar glukosa dan kecepatan

pemberian insulin stabil, kemudian setiap 4 jam.


11. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dapat digudakan pada pasien sepsis dan

gangguan ginjal akut. Balans cairan kontinu pada pasien septik dengan

hemodinamik yang tidak stabil. Tidak disarankan penggunaan terapi

pengganti ginjal pada sepsis dan AKI untuk kreatinin yang tinggi atau oligouri

tanpa indikasi definitif lainnya untuk dialisis.


12. Profilaksis stress ulcer
Pemberian profilaksis stress ulcer dapat diberikan pada pasien sepsis atau

syok sepsis dengan faktor risiko perdarahan saluran cerna. Profilaksis yang

disarankan dengan penghambat pompa proton (proton-pump inhibitor) atau

antagonis reseptor histamin-2 jika ada indikasi profiklasis stress ulcer.

13. Nutrisi
Pada pasien yang mampu mendapat nutrisi secara enteral, sebaiknya

dengan pemberian enteral. Pada 7 hari pertama, lebih baik menggunakan

pemberian glukosa intravena dan nutrisi enteral lanjutan yang dapat

ditoleransi jika pemberian nutrisi enteral awal tidak memungkinkan. Nutrisi

enteral hipokalorik/tropik segera atau nutrisi enteral penuh disarankan pada

pasien kondisi kritis dengan sepsis atau syok sepsis. Pemberian asam lemak

omega-3 sebagai suplemen imun tidak disarankan pada pasien sepsis atau

syok sepsis. Pengukuran residu gaster disarankan pada pasien dengan

intoleransi makanan atau dengan risiko tinggi terjadi aspirasi. Pemberian

agen prokinetik disarankan pada pasien kondisi kritis dengan sepsis atau

syok sepsis dan intoleransi makanan. Pada pasien kondisi kritis dengan

25
sepsis atau syok sepsis dengan intoleransi makanan atau risiko tinggi

aspirasi disarankan pemasangan post-pyloric feeding tubes.

BAB III

TATALAKSANA CAIRAN PADA SEPSIS

Kegawatdaruratan medis terkait dengan waktu pada penyakit akut.

Penanganan segera sudah menjadi ciri khas pada Surviving Sepsis Campaign

bundles, dimana dalam jam ke-3 dan ke-6 merupakan waktu yang

direkomendasikan untuk tatalaksana sepsis.(Nugent and Coopersmith, 2017)

Beberapa studi menunjukkan bahwa resusitai cairan segera pada sepsis

berkaitan dengan penurunan mortalitas pada kasus gawat darurat (Leisman et

al., 2016) dan mortalitas pada kasus prehospital (Seymour et al., 2014). Pada

analisis retrospektif pasien ICU, resusitasi cairan dalam 3 jam pertama

26
menunjukkan jumlah orang yang selamat dibandingkan resusitasi yang lambat.

(Nugent and Coopersmith, 2017)

Sepsis berat dan syok sepsis, tidak terkait dengan kehilangan volume. Sepsis

dicirikan dengan arteri dan vena dilatasi dengan disfungsi mikrosirkulasi dan

miokardial, pasien sepsis memiliki respon yang lebih buruk terhadap pemberian

cairan. Namun demikian, resusitasi cairan agresif untuk mencapai tekanan vena

sentral > 8 mmHg dipertimbangkan sebagai pelayanan standar pada tatalaksana

sepsis dan syok sepsis. (Marik and Bellomo, 2015)

A. FISIOLOGI DASAR
1. Lapisan Glikokaliks endotelial dan endotelial permukaan
Endotel dilapisi dengan lapisan seperti gel oleh glikokaliks endotel (EG =

endothelial glycocalyx). EG mengandung molekul endotelial terikat

membran termasuk glikoprotein dan proteoglikan yang membawa

glikosaminoglikan bermuatan negatif ( seperti heparan sulfate, chondroitin

sulfate, dan asam hialuronat). Lapisan EG berperan penting pada

pergerakan cairan dan zat terlarut di kapiler, mekanotransduksi antara

shear stress respon sel endotelilal dan adhesi neutrofil terhadap

permukaan sel endotelial. Ruang subglikokaliks menghasilkan tekanan

onkotik koloid yang penting untuk aliran transkapiler. Lapisan EG pada

keseimbangan dinamis dengan protein plasma, membentuk struktur

fleksibel seperti gel yang dinamakan lapisan endotel permukaan yang

27
berperan sebagai barrier terhadap cairan dan molekul-molekul besar.

Kerusakan lapisan EG berkaitan dengan peradangan, kebocoran kapiler

dan edema intersisial pada pasien dengan pembedahan, sepsis,

gangguan iskemi-reperfusi, trauma, dan hipervolemi.(Tatara, 2016,

Myburgh and Mythen, 2013)

2. Tekanan hidrostatik kapiler

Oleh karena resistensi hidrolik kapiler, tekanan darah turun pada kapiler

dari ujung arteri hingga ujung vena, dengan demikian tekanan hidrostatik

kapiler berada diantara tekanan hidrostatik arteri (PA) dan vena (PV).

Ketika aliran darah dari arteriol ke mid-

capillaries sebanding dengan aliran darah

dari mid-capillaries ke vena, pada kondisi stabil, Pc (tekanan hidrostatik

kapiler) dapat digambarkan melalui rumus yang meliputi PA, PV, dan

perbandingan resistensi arteriolar prekapiler terhadap resistensi venular

kapiler (RA/RV). Peningkatan PA atau PV meningkatkan PC, tetapi sebagai

RA/RV besar pada kondisi normal. PC lebih sensitif terhadap PV daripada PA

dan lebih mirip dengan PV daripada PA. Peningkatan pada RA/RV akibat

vasodilatasim meningkatkan PC. MAP (Mean Arterial Pressure) dan

volume intravaskular memodulasi PA dan PV dan keseimbangan tekanan

pembuluh darah pada arteriol dan venula menentukan RA/RV, PC bervariasi

pada keadaan klinis yang rumit. (Tatara, 2016)


3. Efek tekanan hidrostatik pada filtrasi cairan kapiler dan peresapan

koloid
Berdasarkan rusum starling, perbedaan tekanan teransendotelial dan

perbedaan tekanan osmotik koloid subglikokaliks plasma (COP = Colloid

28
Osmotic Pressure) penting untuk filtrasi cairan. Protein pada plasma dapat

berdifusi kedalam intersisial melalui pori-pori besar (diameter 50 – 60 nm)

pada kapiler fenestrata (kapiler ginjal dan mukosa saluran cerna). Kapiler-

kapiler fenestrata setidaknya lebih permeabel terhadap air dan larutan

hidrofilik kecil dibandingkan kapiler-kapiler di otot rangka, kulit dan paru-

paru. Konsentrasi protein subglikokaliks yang menentukan tekanan

osmotik koloid (COP) di ruang subglikokaliks ditentukan oleh kecepatan

difusi hulu dan bersihan hilir. Pada kondisi normal, P C dan kecepatan

filtrasi, COP di ruang subglikokaliks dapat mencapai 70 – 90 % di

interstisium. Bagaimanapun, pada saat rendahnya kecepatan filtrasi,

protein plasma masuk ke interstisium melalui pori besar yang

terakumulasi, meningkatkan kkonsentrasi protein interstisial. Akumulasi

protein plasma
B. MEKANISME HIPOVOLEMI PADA SEPSIS
Sepsis merupakan akibat dari aktivasi jalur peradangan sistemik dengan

disertai adanya mikroorganisme. Syok sepsis merupakan kondisis vasoplegi

dengan dilatasi arteri dan vena, akibat kegagalan otot-otot pembuluh darah

untuk berkonstriksi. Syok vasoplegi diyakini sebagai akibat peningkatan

ekspresi sintesis nitrite oxide dengan peningkatan produksi nitrite oxide (NO),

aktivasi kanal ATP (Adenosine Tri Phospate) yang menghasilkan

hiperpolarisasi membran sel otot, peningkatan produksi peptida natriuretik

(bekerja secara bersama dengan NO) dan kekurangan vasopresin relatif.

(Landry and Oliver, 2001, Marik and Bellomo, 2015)

29
Gambar 4. Mekanisme syok vasodilator. (Landry and Oliver, 2001)

Sepsis

awal ditandai dengan kondisi vasodilator hiperdinamik. (Tatara, 2016). Dilatasi

arterial menyebabkan hipotensi sistemik. Namun yang lebih penting,

venodilatasi yang berat pada pembuluh darah splanknik dan kutaneus

meningkatkan volume unstressed darah, menurunkan venous return dan

cardiac output. Pada sepsis terjadi peningkatan ekspresi dan aktivasi molekul

adhesi endotelial dengan adhesi dan aktivasi platelet, leukosit dan sel

mononuklear dan aktivasi kaskade koagulasi. Hal ini menyebabkan kerusakan

endotelial yang luas, trombosis mikrovaskular, celah antara sel-sel endotelial

(kebocoran paraselular) dan lepasnya endothelial-glycocalyx (yang melapisi

endotelium dan membentuk sistem penghalang dan tranduksi yang penting).

Kombinasi dari mekanisme-mekanisme tersebut berkontribusi untuk

mengurangi densitas kapiler fungsional, abnormalitas heterogen pada aliran

30
darah mikrosirkulasi dan peningkatan permeabilitas kapiler (yang

menyebabkan ekstravasasi cairan ke intersisial).(Marik and Bellomo, 2015,

Jaehne and Rivers, 2016)


Cairan yang bergesar dari intravaskular ke intersisial akibat kebocoran

kapiler menyebabkan hipovolemi dan dapat menurunkan tekanan hidrostatik

kapiler walaupun terjadi vasodilatasi. (De Backer et al., 2010) Hipovolemi dan

vasodilatasi menyebabkan penurunan volume intravaskular yang mengurangi

preload ventrikel (tekanan vena sentral), tekanan diastol ventrikel, stroke

volume, curah jantung, pengiriman oksigenasi sistemik dan meningkatakan

kebutuhan oksigen sistemik. Respon kompensasi sebagai reaksi untuk

menurunkan volume darah sirkulasi melalui aktivasi sistem neuroendokrin.

Terjadi pengurangan aliran darah untuk otot dan organ-organ viseral sehingga

mendukung aliran darah terhadap organ vital jantung dan otak dengan

tambahan kontraktilitas miokard sehingga meningkatkan stroke volume.

Konstriksi pembuluh darah arteri dan vena menambah venous return. Aktivasi

jalur renin-angiotensin melepaskan aldosteron pada korteks adrenal, merubah

osmolaritas serim sehingga mencetuskan pelepasan arginin-vasopresin dan

meretensi cairan. (Jaehne and Rivers, 2016)


C. PEMBERIAN CAIRAN PADA SEPSIS
Alasan pemberian cairan berdasarkan perubahan pada pembuluh darah.

Mediator-mediator inflamasi bekerja pada sel-sel endotelial yang

menyebabkan vasodilatasi yang menimbulkan hipovolemi relatif. Penggantian

cairan yang adekuat penting untuk menjaga tekanan perfusi dan aliran darah

ke jaringan.(Corrêa et al., 2015)


Cairan dapat meningkatkan perfusi mikrovaskular melalui peningkatan

tekanan penggerak atau melalui penurunan viskositas darah (hemodilusi) dan

memodilasi interaksi antara endotelium dan sel-sel sirkulasi. Angiotensin-II

31
dipercaya memikliki peran penting dalam induksi peradangan. Hipovolemi

ringan meningkatkan sistem saraf simpatik yang menyebabkan peningkatan

konsentrasi katekolamin sehingga mengaktivasi sel-sel yang memproduksi

sitokin yang mengandung α dan β adrenoreseptor.(Rivers et al., 2010)


Pada tahap awal sepsis, pemberian cairan yang agresif diperkirakan dapat

Gambar 5. Prediksi teoritis tekanan hidrostatik kapiler sebagai fungsi pembanding tahanan hidrolik
arteriol terhadap vena selama pembiusan total. (a) pada pembiusan total, (b) status hipovolemi, (c)
pada sepsis. Nilai tekanan hidrostatik kapiler dihitung sebagai fungsi pembanding resistensi hidrolik

〔 RA
Pv + PA
RV 〕
arteriol (RA) terhadap vena (RV) (RA/RV). Pc = . Nilai Tekanan hidrostatik
〔 RA
1+
RV 〕
kapiler disimulasikan selama (a) pembedahan, (b) status hipovolemi, dan (c) sepsis setelah intervensi
mengembalikan mikrosirkulasi melalui terbukanya kembali kapiler-kapiler yang

kolaps.(Tatara, 2016, De Backer et al., 2010) Peningkatan curah jantung

dapat memperbaiki mikrosirkulasi. Namun, perfusi mikrosirkulasi tetap stabil

setelah curah jantung meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan

membaiknya mikrosirkulasi dan meningkatnya curah jantung tidak linear.

Penggunaan vasopresor dapat menjaga kestabilan mikrosirkulasi melalui

peningkatan tekanan hidrostatik kapiler oleh karena peningkatan MAP, tetapi

32
penggunaan vasopressor yang berlebihan dapat menurunkan efek perluasan

volume dari larutan cairan dan yang menimbulkan edema intersisial.(Tatara,

2016, Waechter et al., 2014)


Begitu tekanan hidrostatik kapiler menjadi normal dengan pemberian

cairan, pemberian cairan infus selanjutnya dapat menyebabkan hipervolemi.

Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler meningkatkan kebocoran cairan dari

intravaskular ke intersisisal karena degradasi lapisan glikokaliks endotelial dan

permukaan endotelial. Pemberian cairan yang agresif harus dibatasi selama

stadium awal sepsis (dalam 24 jam).(Myburgh and Mythen, 2013)

Kondisi Pc Loading cairan Vasopressor Keterangan


Pembiusan ↑ (-) (+) Rendahnya
Tabel 1. Terapi cairan yang dianjurkan untuk terapi hipotensi pada kondisi kritis berdasarkan
↓ (+) (+) MAP dapat
dasar teori tekanan hidrostatik kapiler. (+) : direkomendasikan, (-) tidak direkomendasikan,
menurunkan PC
MAP (mean arterial pressure)
Pembedahan
 Hemoragik ↓ (+)  Digunakan hanya MAP
sangat rendah untuk
menjaga perfusi jaringan
 Durasi lama ↓ Pembatasan Infus  Digunakan bila
kristaloid (3 vasodilatasi dicurigai
mg/kg/jam). Jika akibat inflamasi
dicurigai
hipovolemi, ulangi
pemberian bolus
kristaloid dan koloid
(4 mg/kg dalam 10-
15 menit)
Trauma
 Perdarahan ↓ (+) Digunakan bila MAP terlalu Hindari restorasi
tidak rendah untuk menjaga MAP (≥ 60
terkontrol perfusi jaringan mmHg) karena
risiko
perdarahan
Sepsis
 Awal ↓ (+) Digunakan bila MAP terlalu
rendah untuk menjaga
perfusi jaringan
 Setelah ↑ (-) (+)
loading
cairan
(Tatara, 2016)

D. PEMILIHAN CAIRAN PADA SEPSIS


Secara umum, cairan dibagi berdasarkan komposisinya yaitu kristaloid dan

koloid. Koloid merupakan substansi yang tidak dapat berdifusi melalui

33
membran seperti kristaloid dan tetap berada di ruang intravaskular. Saat

diberikan pada pasien sepsis, koloid exert efek osmotik yang meretensi cairan

di kompartemen intravaskular.. Larutan kristaloid tersusun dari molekul-

molekul yang dapat berdifusi melewati membran sel dan dibedakan menjadi

formula yang seimbang dan tidak seimbang. Cairan yang tidak seimbang

seperti Normal Saline, merupakan isotonik pada plasma tetapi tidak

mengandung komposisi cairan yang seimbang. Kristaloid seimbang seperti

Ringer’s Lactate, Ringer’s Acetate dan PlamaLyte dikembangkan menyerupai

komposisi plasma. (Avila et al., 2016)


Pemilihan cairan pada sepsis masih menjadi topik yang hangat.

Berdasarkan trial dari SAFE (Saline versus Albumin Fluid Evaluation),

CRISTAL (Colloids Versus Crystalloids for the Resuscitation of the Critically

Ill), dan ALBIOS (The Albumin Italian Outcome Sepsis) tidak menunjukkan

keuntungan yang jelas mengenai pemberian albumin, peningkatan biaya

albumin dan keamanan HES, kristaloid marupakan pilihan cairan pada pasien

dengan diagnosis sepsis. Penelitan terbaru menunjukkan hasil yang

menjanjikan pada penggunaan kristaloid yang seimbang. (Avila et al., 2016)


1. Koloid
Koloid merupakan substansi homogen nonkristaloid yang terdiri dari

molekul-molekul besar. Cairan tersebut memiliki durasi dan kapasitas

ekspansi intravaskuler yang relatif lebih tinggi dengan volume yang lebih

rendah, yaitu tekanan onkotik yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan

kristaloid. Koloid tidak mampu melewati membran vaskular semi kedap air

karena berat molekulnya yang tinggi. Terdapat 2 macam cairan koloid :

koloid alami (human albumin) dan semisintetis (gelatins, dextrans dan

starches).
Tabel 2. Komposisi Cairan Koloid
(Corrêa et al., 2015)

34
a. Hydroxyethyl starch (HES)
Merupakan larutan sintetis yang banyak digunakan karena lebih

murah dibanding albumin. HES memiliki tiga kelompok Saat ini HES

dihindari untuk terapi pasien kritis terutama dengan sepsis. Data

terbaru menunjukkan bahwa koloid tidak memperbaik outcome pasien

dan bahkan dapat membahayakan. (Corrêa et al., 2015)


HES memiliki sejumlah residu hidroksietil yang bervariasi yang

melekat pada partikel glukosa anhidrat dalam polimer. Substitusi ini

meningkatkan kelarutan pati dalam air dan, sampai tingkat yang

bervariasi, menghambat laju degradasi polimer pati dengan amilase.

(Westphal et al., 2009) Waktu paruh larutan pati bergantung pada

berat molekul, tingkat substitusi, dan proporsi gugus hidroksietil dalam

karbon C2 bila dibandingkan dengan karbon C6 dari monomer

glukosa. Secara umum, HES digunakan untuk strategi restriktif

cairuan oleh karena kapasitas ekspansi plasma yang tinggi dengan

volume pemberian yang lebih rendah dan tidak direkomendasian

untuk resusitasi pada pasien sepsis berat dan syok sepsis. (Corrêa et

al., 2015).
b. Albumin
Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign tahun 2016, pemberian

albumin pada kristaloid untuk resusitasi awal dan penggantian volume

intravaskular pada pasien sepsis dan syok sepsis direkomendasikan

35
ketika pasien memerlukan kristaloid dalam jumlah besar.(Rhodes et

al., 2017) Pada studi SAFE, larutan albumin tidak meningkatkan

mortalitas dibandingkan kristaloid. Analisis subgrup studi SAFE pada

pasien syok sepsis menunjukkan berkurangnya mortalitas pada

pasien dengan pemberian albumin dibandingkan normal saline, akan

tetapi tidak berbeda secara signifikan (adjusted OR=0.71; 95%CI:

0.52-0.97; p=0.03). Pada studi ALBIOS, target MAP tercapai dala, 6

jam pertama pada kelompok pasien dengan pemberian albumin 20 %

dengan kristaloid dibandingkan kelompok pasien dengan pemberian

kristaloid saja.(Corrêa et al., 2015)


2. Kristaloid
Larutan kristaloid direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk

resusitasi pada pasien syok sepsis. Pemberian cairan kristaloid intravena

sebagai resusitasi pada pasien dengan hipoperfusi akibat sepsis yaitu 30

ml/kg dalam 3 jam pertama. (Rhodes et al., 2017) Pada sebuah studi

metaanalisis menyarankan resusitasi dengan kristaloid yang seimbang

berkaitan dengan angka mortalitas yang lebih rendah. (Corrêa et al., 2015)
Kristaloid terdiri dari larutan glukosa atau sodium chloride dan dapat

berupa hipotoik, isotonik atau hipertonik. Beberapa diantaranya memiliki

kandungan potasium atau kalsium. Normal saline (NaCl 0.9%) memiliki

osmolaritas yang mendekati osmolaritas plasma (287 mOsm/kg),

mengandung konsentrasi sodium 154 mEq/L, konsentrasi klorida 154

mEq/L. Konsentrasi klorida tersebut 1.5 kali lebih tinggi dibandingkan

konsentrasi klorida di serum fisiologis, sehingga normal saline dikatakan

sebagai larutan tidak seimbang (dapat meningkatkan konsentrasi klorida

dan menyebabkan asidosis hiperkloremi). Sebagai alternatif dari normal

36
saline yaitu larutan seimbang yang terdiri dari Ringer’s injection, Ringer

Lactate, Ringer Acetate dan Plasma-Lyte. (Corrêa et al., 2015)


Tabel 3. Komposisi Cairan kristaloid
(Corrêa et al., 2015)
Ringer’s lactate memiliki konsentrasi klorida yang lebih rendah

dibanding Ringer’s injection dan merupakan larutan hipotonis sedang

(osmolaritas 273 mOsm/kg) serta memiliki potasium dan kalsium. Plasma-

Lyte merupakan larutan seimbang lainnya dengan osmolaritas 295

mOsm/L, konsentrasi sodium 140 mEq/L dan klorida 98 mEq/L.(Corrêa et

al., 2015)

37
BAB IV

TATALAKSANA NUTRISI PADA SEPSIS

Nutrisi yang cukup penting untuk kesehatan dan proses penyembuhan. Pada

pasien-pasien yang dirawat, malnutrisi merupakan masalah penting yang sering

terjadi pada pasien dewasa dan anak-anak. Angka malnutrisi terjadi pada 15 - 60

% pasien yang dirawat di rumah sakit. Pasien-pasien kondisi kritis memiliki risiko

tinggi terjadinya komplikasi akibat malnutrisi. Akibat yang buruk dari malnutrisi

yaitu peningkatan morbiditas dan mortalitas, penurunan kualitas hidup, lamanya

penggunaan ventilasi mekanink dan peningkatan lama rawat inap, sehingga

menimbulkan tingginya biaya perawatan. (Siobal and Baltz, 2013)

Malnutrisi selama perawatan di rumah sakit berperan langsung pada tingginya

morbiditas dan peningkatan angka mortalitas yang signifikan. Respon inflamasi

akibat sepsis menyebabkan perubahan metabolik, yang mengakibatkan

kehilangan massa otot pada pasien sepsis. Oleh karena itu, saat saluran cerna

berfungsi, terapi nutrisi dimulai dalam 48 jam perawatan intensif untuk

mengurangi hilangnya protein. (Machado et al., 2015)

A. PERUBAHAN METABOLIK PADA SEPSIS

Pada sepsis terjadi stimulasi stres yang berlangsung terus-menerus

dengan efek sistemik yang menyebabkan disfungsi sisterm organ multipel.

Respon metabolik selama sepsis yang diamati mirip dengan post

pembedahan besar, luka bakar dan penyakit berat tanpa sepsis seperti

pankreatitis dan reaksi tranfusi yang serius yaitu terjadi lemahnya efek inhibisi

insulin pada lipolisis dan glukoneogenesis. Adanya bakteri dan komponennya

menimbulkan respon metabolik, inflamasi, imunologi dan koagulasi tambahan.

38
Respon-respon tersebut ditandai dengan jumlah komplomen dan protein-

protien koagulasi yang lebih banyak ditemukan pada proteom plasma pasien

dengan infeksi. (Miller et al., 2014)

Sebagai bagian dari sistem pertahanan imunitas innate pejamu, Toll-like

receptors mengenali sinyal ektrasel dan fagosom, termasuk PAMPs, yang

merupakan produk bakteri, virus, jamur dan protozoa atau protein-protein

intraselular (DAMPs) yang dilepaskan oleh sel-sel yang mengalami

kerusakan. Terdapat NOD-like receptors yang mengenali PAMPs dan RIG-I-

like receptors intraselular yang mengenali RNA virus. Rangsangan Toll-like

receptors mengaktivasi faktor transkripsi NF-κB dan c-Jun N-terminal kinase

(JNK) pada sel-sel imun, yang menginisiasi transkripsi gen-gen yang

mengkode sitokin-sitokin proinflamasi. (Miller et al., 2014)

Tipe infeksi mempengaruhi respon inflamasi alami. Endotoksin

(lipopolisakarida) dari bakteri gram negatif menginduksi produksi TNF-α, IL-1,

dan IL-6, akan tetapi eksotoksin dari organisme-organisme gram positfif

meningkatkan IL-8 yang lebih banyak daripada TNF-α, IL-1, dan IL-6 yang

signifikan. (Miller et al., 2014)

Penyakit berat-terkait insufisiensi kortikosteroid, dilaporkan tejadi pada

pasien dengan sepsis. Konsentrasi kortisol dapat berada di atas normal dan

dapat bertambah sebagai respon terhadap stimulasi ACTH tambahan.

Manifestasi klilnis panyakit berat terkait insufisiensi kortikosteroid biasanya

terdapat pengurangan respon terhadap terapi cairan dan vasopresor yang

dapat meningkatkan mortalitas. (Miller et al., 2014)

39
B. PERAN NUTRISI PADA SEPSIS
Pada kondisi fisiologis, pemberian nutrisi enteral mungkin bermanfaat pada

pasien kondisi kritis. Pertimbangan diberikan standar efek nutrisi enteral

sebagain nutrisi imun enteral, istilah untuk mengidentifikasi formula yang

diperkaya dengan berbagai substrat untuk meningkatkan atau memodulasi

respon imunologis. Diet untuk memodulasi respon imun mengandung asam

lemak, arginin, glutamin, antioksidan dan pre atau probiotik. (Cohen and Chin,

2013)
Pada pasien dengan kondisi kritis, selama saluran cerna intak, pemberian

nutrisi enteral lebih diutamakan. Tidak terdapat kontraindikasi pemberian

nutrisi enteral pada syok stadium awal dan rendahnya laporan insiden iskemia

saluran cerna dengan nutrisi enteral. Namun karena perfusi splaniknik masih

bisa dikompromomikan pada pasien hipotensi, nutrisi enteral mungkin harus

diberikan setelah resusitasi awal dilakukan dan tekanan perfusi yang

memadai tercapai. Nutrisi parenteral dapat diberikan dengan aman dimana

pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan sama sekali (nutrisi parenteral

total) atau hanya asupan protein / energi yang tidak memadai (nutrisi

parenteral komplementer). (Cohen and Chin, 2013)


Pada penelitian meta analisis, pemberian nutrisi enteral standar pada

pasien kritis dalam 24 jam perawatan ICU menunjukkan penurunan angka

kejadian pneumonia yang signifikan secara statistik dibandingkan kelompok

kontrol yang mendapat perawatan standar, termasuk pemberian nutrisi enteral

setelah 24 jam. Angka infeksi terutama infeksi sekunder menurun signifikan

pada pasien ICU dengan SIRS, sepsis, atau sindrom distress pernafasan akut

yang mendapatkan suplementasi minyak ikan. Diet modulasi sistem imun

tidak mempengaruhi mortalitas atau lamanya perawatan. Diet modulasi

40
sistem imun minyak ikan tidak memberikan keuntungan yang melebihi

formula enteral standar. (Cohen and Chin, 2013)


C. PENILAIAN KEBUTUHAN NUTRISI
Outcome yang buruk berkaitan dengan inflamasi luas pada pasien kritis

yang menyebabkan penurunan status gizi dan malnutrisi. Berdasarkan

pedoman Society of Critical Care Medicine (SCCM) dan American Society for

Parenteral and Enteral Nutrition (A.S.P.E.N.) penilaian status nutris yang

disarankan menggunakan NRS-2002 atau NUTRIC score karena keduanya

menentukan status nutrisi dan derajat keparahan penyakit. Pasien dikatakan

memiliki risiko berdasarkan NRS—2002 bila skor > 3 dan risiko tinggi dengan

skor ≥ 5 sedangkan berdasarkan NUTRIC score dengan skor ≥ 5 (jika tidak

memasukkan nilai IL-6), atau skor ≥ 6 (bila memasukkan kadar IL-6).

(McClave et al., 2016)


Tabel 4. Variabel NUTRIC score

Variabel Kisaran Nilai


Usia (tahun) < 50 0
50 – 74 1
≥ 75 2
APACHE II < 15 0
15 – 19 1
20 – 27 2
≥ 28 3
SOFA <6 0
6–9 1
≥ 10 2
Jumlah 0–1 0
komorbiditas ≥2 1
lama perawatan 0-<1 0
ICU ≥1 1 : IL-6 (+)
IL-6 0 – < 400 0 : IL-6 (-)
≥ 400 1

Jumlah nilai Kategori Penjelasan


6 – 10 Risiko - Berkaitan dengan outcome klinis yang
5–9 Tinggi lebih buruk (mortalitas, ventilasi)
- Pasien memerlukan terapi nutrisi agresif
0–5 Risiko Risiko malnutrisi rendah
0–4 rendah

41
Penilaian nutrisi mencakup evaluasi kondisi komorbid, fungsi saluran

cerna dan risiko aspirasi dan tidak menggunakan indikator nutrisi tradisional.

Petanda protein serum tradisional (albumin, prealbumin, transferin, retinol-

binding protein) merupakan cerminan respon fase akut (peningkatan

permeabilitas vaskular dan reprioritasi sinteisi protein hepar) dan tidak

mencerminkan status nutrisi secara akurat. Antropometri bukan penilaian

status nutrisi yang nyata atau terapi nutrisi yang adekuat. Kadar kalsitonin, C-

reactive protein (CRP) IL-1, TNF, IL-6 dan sitrulin masih dalam tahap

penelitian sebagai marker. (McClave et al., 2016)


D. CARA PEMBERIAN NUTRISI
1. Enteral
Pemberian terapi nutrisi secara enteral direkomendasikan oleh

guideline ASPEN dan dimulai dalam 24-48 jam pada pasien kritis. Alasan

spesifik pemberian nutrisi enteral yaitu menjaga integritas usus, modulasi

respon stres dan sistem imun serta mengurangi tingkat keparahan

penyakit. (McClave et al., 2016)


Nutrisi enteral dapat menurunkan insiden infeksi pada pasien kondisi

kritis jika dilakukan segera.(Seres et al., 2014) Pemberian Nutrisi enteral

dalam 24-48 jam resusitasi atau saat kondisi hemodinamik stabil tercapai

(didefinisikan dengan tekanan perfusi yang adekuat, obat vasoaktif

dengan dosis yang stabil. Kadar laktat dan asidosis metabolik yang stabil

atau menurun, dan tekanan arteri rerata (MAP) ≥ 60 mmHg) berhubungan

dengan perbaikan outcome. Keuntungan pemberian terapi enteral segera

yaitu mendukung distribusi aliran darah splanknik, menjaga pertahanan

saluran cerna, modulasi respon neuroendokrin, pengaturan stres

metabolik dan mencegah translokasi bakteri. (Machado et al., 2015).


Alasan spesifik penyediaan nutrisi enteral yaitu untuk menjaga

integritas usus, modulasi stres dan respon sistem imun, dan mengurangi

42
tingkat keparahan penyakit. Endpoint tambahan terapi nutrisi enteral yaitu

memanfaatkan usus sebagai saluran untuk mengirimkan agen-agen

modulasi imun dan menggunakan formula enteral untuk profilaksis stress

ulcer.(McClave et al., 2016)


Nutrisi enteral mendukung integritas fungsional usus dengan menjaga

tight junction antara sel-sel intra-epitelial, menstimulasi aliran darah, dan

menginduksi pelepasan agen-agen endogen tropik (kolesistokinin, gastrin,

bombesin dan asam empedu). Nutrisi enteral menjaga integritas struktural

dengan menjaga ketebalan vili dan mendukung IgA sekretori memproduksi

imunosit (sel B dan sel plasma) yang terdiri dari gut-associated lymphoid

tissue (GALT) dan berkontribusi pada mucosal-associated lymphoid tissue

(MALT) pada tempat yang jauh seperti paru-paru, hati dan ginjal. (McClave

et al., 2016)

Tabel 5. Perbedaan konsekuensi fisiologis tubuh dengan dan tanpa pemberian


nutrisi enteral
Pemberian Nutrisi Enteral Tanpa Nutrisi Enteral
Menjaga integritas fungsional dan Hlangnya integritas fungsional dan
struktural dari epitel saluran cerna struktural dari epitel saluran cerna
sehingga membuka saluran
paraseluler diantara sel-sel epitel
Menstimulasi kontraktilitas saluran Mengurangi kontraktilitas dan
cerna sehingga membersihkan mencetuskan pertumbuhan bekteri
bakteri
Mencetuskan peran bakteri Pertumbuhan bakteri patogen
komensal yang menghancurkan yang berlebihan seperti
racun-racun bakteri dan Pseudomonas aeroginosa
mencegah kolonisasi organisme
patogen
Menstimulasi pelepasan IgA
Barier mekanisme pertahanan
sekretori yang melapisi bakteri dan
yang berbahaya melalui pelepasan
mencegan penempelan pada sel- sitokin dan apoptosis yang
sel epitel diinduksi penempelan bakteri pada
epitel saluran cerna
Menstimulasi aliran darah Penurunan aliran dearah akibat
iskemi/kerusakan reperfusi
Sebagai alat bantu CD4 naive CD4 naive membantu proliferasi
yang membantu limfosit melalui limfosit sepanjang jalur Th1
paparan terhadap antigen bakteri, menghasilkan efek proinflamasi

43
meinta toleransi respon imun
(Cohen and Chin, 2013)
2. Parenteral
Nutrisi parenteral menyediakan nutrisi pada pasien-pasien yang tidak

dapat mencerna atau menyerap nutrisi yang cukup melalui saluran

pencernaan. Kondisi tersebut antara lain pada obstruksi, malabsorbsi

berat, hipomotilitas usus (ileus), atau iskemia usus. Pemberian nutritis

parenteral memerlukan pemasangan kateter vena sentral atau perifer

sehingga meningkatkan komplikasi dan infeksi terkait kateter.

Rekomendasi terbaru menyarankan nutrisi parenteral hanya digunakan

jika nutrisi enteral tidak dapat diberikan pada 7-14 hari pertama perawatan

ICU. Beberapa penelitaian menyatakan pemberian nutrisi parenteral

bukan untuk inisiasi awal, dapat memperpendek hari perawatan ICU,

infeksi yang lebih sedikit, dan komplikasi-komplikasi lainnya. Pasien

dengan malnutrisi sedang-berat dimana nutrisi enteral bukan merupakan

pilihan, harus mendapat nutrisi parenteral beberapa hari pertama

perawatan. (Siobal and Baltz, 2013)


Tabel 6. Kontraindikasi pemberian nutrisi enteral

Kontraindikasi pemberian nutrisi enteral


- Obstruksi saluran cerna mekanis non-operatif
- Muntah/diare refrakter terhadap manajemen medis
- Sindrom usus-pendek berat (<100 cm usus kecil yang tersisa)
- Ileus paralitik
- Fistul distal high-output
- Perdarahan saluran cerna yang berat
- Malabsorbsi saluran cerna berat (pemberian nutrisi enteral yang gagal
ditandai dengan penurunan status gizi)
- Ketidakmampuan untuk mendapatkan akses ke saluran pencernaan
- Diperlukan untuk <5-7 hari untuk pasien dewasa yang kekurangan gizi atau
7-9 hari jika diberi gizi cukup
- Intervensi agresif tidak dibenarkan atau tidak diinginkan
(Siobal and Baltz, 2013)
Pemberian nutrisi parenteral awal (hingga 48 jam sejak awal penyakit

kritis atau pemedahan) pada pasien dengan kontraindikasi absolut atau

44
relatif terhadap pemberian nutrisi enteral tidak mengubah angka kematian.

Selain itu tidak ada data yang konsisten pada pasien kritis dengan

pemberian nutrisi parenteral dini dapat memperbaiki lamanya bebas dari

penggunaan ventilator atau lamanya rawat inap di ICU atau rumah sakit.

Penelitian lain menyarankan pemberian nutrisi parenteral dini pada pasien

kritis dengan kondisi gizi baik, tidak mengurangi angka kematian dan

berkaitan dengan peningkatan risiko infeksi nosokomial.(Seres et al.,

2014)
E. MANAJEMEN NUTRISI PADA SEPSIS(Wischmeyer, 2017)
1. Fase Katabolik Akut
Pada fase akut sepsis terjadi mobilisasi besar-besaran dari cadangan

kalori tubuh seperti otot, glikogen dan lemak yang disimpan dipecah

menjadi glukosa untuk membantu produksi ATP. Respon metabolik

terhadap stres tersebut dapat menghasilkan 50-75 % kebutuhan glukosa

selama sakit 2 dan tidak ditekan dengan pemberian makanan atau infus

glukosa intravena.16. Fase akut sepsis awal dan trauma bukan

merupakan keadaan hipermetabolik. Sebaliknya pasien sepsis memiliki

rasio pengeluaran energi total (TEE= Total Energy Expenditure) terhadap

pengeluaran energi saat istirahat (REE = Resting Energy Expenditure)

yaitu 1.0. 20 Sehingga, kebutuhan kalori tidak meningkat secara konsisten

pada fase awal sepsis. Faktanya, semakin berat syok sepsis, REE

semakin rendah, seperti kondis tubuh yang hibernasi dan berkurangnya

metabolisme sebagai respon sepsis berat. 21.


Gambar 6. Respon katabolik fase akut awal pasien sepsis

45
(Wi sch

me yer,

2017)

Berdasarkan data dari beberapa uji coba menyarankan agar

mempertimbangkan untuk memberikan makananan dengan lebih sedikit

kalori non protein pada awal fase akut (24-96 jam pertama) pada penyakit

kritis. (Wischmeyer, 2017) Berdasarkan rekomendasi ASPEN tahun 2016,

beberapa konsensus menyarankan pemberian makanan trofik (10-20

kkal/jam hingga 500 kkal/hari) pada fase awal sepsis. Pemberian protein

yang disarankan yaitu 1.2 – 2 gram/kg/hari.(McClave et al., 2016) Alasan

biologis pemberian makanan trofik/hypokalori yaitu dengan pembatasan

asupan kalori dapat menstimulasi autofagi, yang dipertimbangkan

merupakan mekanisme pertahanan melawan organisme intraseluler

sehingga mengurangi risiko infeksi. Makanan trofik/hipokalori didefinisikan

jika target pemberian makanan ≤ 70 % dari target kalori standar

setidaknya selama periode 48 jam sebelum dititrasi mencapai target.

Target dari pemberian makanan trofik/hipokalori yaitu 10 – 20 kkal/jam

hingga 70 % dari target yang harus dicapai. Namun, untuk pasien dengan

sepsis atau syok septik yang tidak mentoleransi makanan enteral,

46
pemberian trofik / hypocaloric lebih disukai, dengan makanan dititrasi dari

waktu ke waktu sesuai dengan toleransi pasien. Tidak cukup bukti untuk

memastikan bahwa strategi pemberian makan trofik / hipokalori efektif dan

aman pada pasien yang kekurangan gizi (indeks massa tubuh <18,5)

karena pasien ini dikeluarkan atau jarang diwakili dalam uji klinis.(Rhodes

et al., 2017)
Akan tetapi untuk rekomendasi terapi nutrisi berdasarkan Paul E.

Wischmeyer menyatakan, nutrisi enteral segara berupa pemberian protein

(≈ 1 g/kg/hari) dan kalori non protein (≈15 kkal/kg/hari), pada pasien

dengan kondisi gizi baik, dapat menghasilkan energi endogen yang

signifikan pada waktu tertentu. Setelah resusistasi, peningkatan protein

(1.5-2 g/kg/hari) dan kalori dibutuhkan untuk mengurangi hilangnya massa

lemak tubuh dan mempercepat penyembuhan dan mobilisasi.

(Wischmeyer, 2017) World Health Organization in health dan studi the

landmark Minnesota Starvation menyarankan intervensi nutrisi yang

ditunjukkan pada tabel 7.

47
Tabel 7 . Pemberian nutrisi pada fase akut sepsis (24-96 jam pertama)
(Wischmeyer, 2017)
2.

Fase Kronik dan Penyembuhan


Saat resusitasi berhasil pada kondisi akut sepsis dan pasien stabil,

peningkatan jumlah protein (1.2 – 2.0 g/kg/hari) dan kalori (25 – 30

kkal/kg/hari) perlu diberikan untuk mengurangi hilangnya Lean Body Mass

48
(LBM) selanjutnya, memungkinkan mobilisasi dini dan mendorong pemulihan

fungsional. (Wischmeyer, 2017)


Tabel 8. Pemberian nutrisi fase kronis & pemulihan (post resusitasi hingga pulang)
(Wischmeyer, 2017)
3. Fase Penyembuhan

Saat pasien membaik dan masuk ke fase pemulihan, asupan kalori

semakin meningkat, dengan implementasi intervensi ;rehabilitasi dan

latihan yang agresif. Selama fase pemulihan pasien kondisi kritis,

terjadipeningkatan kebutuhan metabolik masif, dengan TEE meningkat,

kira-kiran 1.7 kali lebih besar dibanding REE. Pada minggu kedua sepsis,

peningkatan TEE diperkirakan 3250 kkal/hari atau 47 kkal/kg/hari, hampir

49
mirip dengan kebutuhan manusia yang sehat berdasarkan WHO.

(Wischmeyer, 2017)
Tabel 9. Pemberian nutrisi setelah pulang dari rumah sakit
(Wischmeyer, 2017)

Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign 2016, tidak merekomendasikan

penggunaan asam lemak omega-3 sebagai suplementasi imun, pemberian

selenium intravena sebagai antioksida, arginin, glutamin dan karnitin untuk terapi

sepsis dan syok sepsis.(Rhodes et al., 2017) ASPEN tidak merekomendasikan

pemberian suplementasi selenium, zic dan antioksidan (asam askorbat, vitamin E

dan betakaroten) pada pasien-pasien sepsis.(McClave et al., 2016)

BAB V
KESIMPULAN

50
1. Sepsis dan syok sepsis merupakan masalah utama kesehatan karena

merupakan kondisi yang mengancam nyawa.

2. Sepsis didiagnosis berdasarkan beberapa variabel (umum, inflamasi,

hemodinamik, disfungsi organ dan perfusi organ)

3. Pada sepsis terjadi terjadi perubahan pada endotelium, vasodilatasi pembuluh

darah arteri dan vena serta disfungsi metabolik

4. Resusitasi yang direkomendasikan berdasarkan SSC 2016 yaitu dengan

menggunakan cairan kristaloid dengan jumlah hingga 30 ml/kg dalam 3 jam

pertama.

5. Pemberian nutrisi yang direkomendasikan oleh SSC 2016 dan ASPEN yaitu

berupa nutrisi enteral. Pemberian nutris parenteral dapat dilakukan bila

didapatkan kontraindikasi pemberian nutrisi parenteral

51
DAFTAR PUSTAKA

AVILA, A. A., KINBERG, E. C., SHERWIN, N. K. & TAYLOR, R. D. 2016. The use of fluids in
sepsis. Cureus, 8.
BOOMER, J. S., TO, K., CHANG, K. C., TAKASU, O., OSBORNE, D. F., WALTON, A. H.,
BRICKER, T. L., JARMAN, S. D., KREISEL, D. & KRUPNICK, A. S. 2011.
Immunosuppression in patients who die of sepsis and multiple organ failure.
Jama, 306, 2594-2605.
COHEN, J. & CHIN, D. N. 2013. Nutrition and sepsis. Nutrition in Intensive Care Medicine:
Beyond Physiology. Karger Publishers.
CORRÊA, T. D., ROCHA, L. L., PESSOA, C. M. S., SILVA, E. & ASSUNCAO, M. S. C. D. 2015.
Fluid therapy for septic shock resuscitation: which fluid should be used? Einstein
(São Paulo), 13, 462-468.
DE BACKER, D., ORTIZ, J. A. & SALGADO, D. 2010. Coupling microcirculation to systemic
hemodynamics. Current opinion in critical care, 16, 250-254.
DELLINGER, R. P., LEVY, M. M., RHODES, A., ANNANE, D., GERLACH, H., OPAL, S. M.,
SEVRANSKY, J. E., SPRUNG, C. L., DOUGLAS, I. S. & JAESCHKE, R. 2013. Surviving
Sepsis Campaign: international guidelines for management of severe sepsis and
septic shock, 2012. Intensive care medicine, 39, 165-228.
DERETIC, V., SAITOH, T. & AKIRA, S. 2013. Autophagy in infection, inflammation and
immunity. Nature Reviews Immunology, 13, 722-737.
DEUTSCHMAN, C. S. & TRACEY, K. J. 2014. Sepsis: current dogma and new perspectives.
Immunity, 40, 463-475.
ENGELMANN, B. & MASSBERG, S. 2013. Thrombosis as an intravascular effector of innate
immunity. Nature Reviews Immunology, 13, 34-45.
FULLERTON, J. N., O'BRIEN, A. J. & GILROY, D. W. 2013. Pathways mediating resolution of
inflammation: when enough is too much. The Journal of pathology, 231, 8-20.
GARCIA-ALVAREZ, M., MARIK, P. & BELLOMO, R. 2014. Sepsis-associated
hyperlactatemia. Critical Care, 18, 503.
GOTTS, J. E. & MATTHAY, M. A. 2016. Sepsis: pathophysiology and clinical management.
bmj, 353, i1585.
HARTL, W. H. & JAUCH, K.-W. 2014. Metabolic self-destruction in critically ill patients:
origins, mechanisms and therapeutic principles. Nutrition, 30, 261-267.
JAEHNE, A. K. & RIVERS, E. P. 2016. Early liberal fluid therapy for sepsis patients is not
harmful: hydrophobia is unwarranted but drink responsibly. Critical care
medicine, 44, 2263.
KOH, I. H., MENCHACA-DIAZ, J. L., KOH, T. H., SOUZA, R. L., SHU, C. M., ROGERIO, V. E. &
LIBERATORE, A. M. 2010. Microcirculatory evaluation in sepsis: a difficult task.
Shock, 34, 27-33.
LANDRY, D. W. & OLIVER, J. A. 2001. The pathogenesis of vasodilatory shock. New
England Journal of Medicine, 345, 588-595.
LEISMAN, D., WIE, B., DOERFLER, M., BIANCULLI, A., WARD, M. F., AKERMAN, M.,
D’ANGELO, J. K. & D’AMORE, J. A. Z. 2016. Association of fluid resuscitation
initiation within 30 minutes of severe sepsis and septic shock recognition with
reduced mortality and length of stay. Annals of emergency medicine, 68, 298-
311.

52
LEVI, M. 2001. Pathogenesis and treatment of disseminated intravascular coagulation in
the septic patient. Journal of critical care, 16, 167-177.
LEVY, B. D. & SERHAN, C. N. 2014. Resolution of acute inflammation in the lung. Annual
review of physiology, 76, 467-492.
MACHADO, R. R. C., CARUSO, L., DE AZEVEDO LIMA, P., DAMASCENO, N. R. T. &
SORIANO, F. G. 2015. Nutrition therapy in sepsis: characterization and
implications for clinical prognosis. Nutrición Hospitalaria, 32, 1281-1288.
MARIK, P. & BELLOMO, R. 2015. A rational approach to fluid therapy in sepsis. BJA:
British Journal of Anaesthesia, 116, 339-349.
MARTINOD, K. & WAGNER, D. D. 2014. Thrombosis: tangled up in NETs. Blood, 123,
2768-2776.
MCCLAVE, S. A., TAYLOR, B. E., MARTINDALE, R. G., WARREN, M. M., JOHNSON, D. R.,
BRAUNSCHWEIG, C., MCCARTHY, M. S., DAVANOS, E., RICE, T. W. & CRESCI, G. A.
2016. Guidelines for the provision and assessment of nutrition support therapy
in the adult critically ill patient: Society of Critical Care Medicine (SCCM) and
American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN). Journal of
Parenteral and Enteral Nutrition, 40, 159-211.
MEZIANI, F., DELABRANCHE, X., ASFAR, P. & TOTI, F. 2010. Bench-to-bedside review:
Circulating microparticles-a new player in sepsis? Critical Care, 14, 236.
MILLER, R. D., ERIKSSON, L. I., FLEISHER, L. A., WIENER-KRONISH, J. P., COHEN, N. H. &
YOUNG, W. L. 2014. Miller's Anesthesia E-Book, Elsevier Health Sciences.
MYBURGH, J. A. & MYTHEN, M. G. 2013. Resuscitation fluids. New England Journal of
Medicine, 369, 1243-1251.
NUGENT, K. L. & COOPERSMITH, C. M. 2017. Fluid Management in Sepsis—Is There a
Golden Hour (or Two)? Critical Care Medicine, 45, 1773-1775.
ORTIZ-POMALES, Y. T., KRZYZANIAK, M., COIMBRA, R., BAIRD, A. & ELICEIRI, B. P. 2013.
Vagus nerve stimulation blocks vascular permeability following burn in both local
and distal sites. Burns, 39, 68-75.
PROWLE, J. R. & BELLOMO, R. Sepsis-associated acute kidney injury: macrohemodynamic
and microhemodynamic alterations in the renal circulation. Seminars in
nephrology, 2015. Elsevier, 64-74.
PUTHUCHEARY, Z. A., RAWAL, J., MCPHAIL, M., CONNOLLY, B., RATNAYAKE, G., CHAN, P.,
HOPKINSON, N. S., PHADKE, R., DEW, T. & SIDHU, P. S. 2013. Acute skeletal
muscle wasting in critical illness. Jama, 310, 1591-1600.
RHODES, A., EVANS, L. E., ALHAZZANI, W., LEVY, M. M., ANTONELLI, M., FERRER, R.,
KUMAR, A., SEVRANSKY, J. E., SPRUNG, C. L. & NUNNALLY, M. E. 2017. Surviving
sepsis campaign: international guidelines for management of sepsis and septic
shock: 2016. Intensive care medicine, 43, 304-377.
RIVERS, E. P., JAEHNE, A. K., EICHHORN-WHARRY, L., BROWN, S. & AMPONSAH, D. 2010.
Fluid therapy in septic shock. Current opinion in critical care, 16, 297-308.
SCHMID-SCHÖNBEIN, G. W. & CHANG, M. 2014. The autodigestion hypothesis for shock
and multi-organ failure. Annals of biomedical engineering, 42, 405-414.
SCHRAMM, P., KLEIN, K. U., FALKENBERG, L., BERRES, M., CLOSHEN, D., WERHAHN, K. J.,
DAVID, M., WERNER, C. & ENGELHARD, K. 2012. Impaired cerebrovascular
autoregulation in patients with severe sepsis and sepsis-associated delirium.
Critical Care, 16, R181.
SCHRODER, K. & TSCHOPP, J. 2010. The inflammasomes. Cell, 140, 821-832.

53
SCHULTE, W., BERNHAGEN, J. & BUCALA, R. 2013. Cytokines in sepsis: potent
immunoregulators and potential therapeutic targets—an updated view.
Mediators of inflammation, 2013.
SERES, D., PARSONS, P. E., LIPMAN, T. O. & FINLAY, G. 2014. Nutrition support in critically
ill patients: An overview. Nutrition.
SEYMOUR, C. W., COOKE, C. R., HECKBERT, S. R., SPERTUS, J. A., CALLAWAY, C. W.,
MARTIN-GILL, C., YEALY, D. M., REA, T. D. & ANGUS, D. C. 2014. Prehospital
intravenous access and fluid resuscitation in severe sepsis: an observational
cohort study. Critical Care, 18, 533.
SINGER, M. 2014. The role of mitochondrial dysfunction in sepsis-induced multi-organ
failure. Virulence, 5, 66-72.
SIOBAL, M. & BALTZ, J. 2013. A guide to the nutritional assessment and treatment of the
critically ill patient. Irving, Texas: American Association for Respiratory Care, 27-
36.
TAKASU, O., GAUT, J. P., WATANABE, E., TO, K., FAGLEY, R. E., SATO, B., JARMAN, S.,
EFIMOV, I. R., JANKS, D. L. & SRIVASTAVA, A. 2013. Mechanisms of cardiac and
renal dysfunction in patients dying of sepsis. American journal of respiratory and
critical care medicine, 187, 509-517.
TAKEUCHI, O. & AKIRA, S. 2010. Pattern recognition receptors and inflammation. Cell,
140, 805-820.
TATARA, T. 2016. Context-sensitive fluid therapy in critical illness. Journal of intensive
care, 4, 20.
WAECHTER, J., KUMAR, A., LAPINSKY, S. E., MARSHALL, J., DODEK, P., ARABI, Y., PARRILLO,
J. E., DELLINGER, R. P., GARLAND, A. & GROUP, C. A. T. O. S. S. D. R. 2014.
Interaction between fluids and vasoactive agents on mortality in septic shock: a
multicenter, observational study. Critical care medicine, 42, 2158-2168.
WALLEY, K. R., FRANCIS, G. A., OPAL, S. M., STEIN, E. A., RUSSELL, J. A. & BOYD, J. H. 2015.
The central role of proprotein convertase subtilisin/kexin type 9 in septic
pathogen lipid transport and clearance. American journal of respiratory and
critical care medicine, 192, 1275-1286.
WARE, L. B. & MATTHAY, M. A. 2000. The acute respiratory distress syndrome. New
England Journal of Medicine, 342, 1334-1349.
WESTPHAL, M., JAMES, M. F., KOZEK-LANGENECKER, S., STOCKER, R., GUIDET, B. & VAN
AKEN, H. 2009. Hydroxyethyl StarchesDifferent Products–Different Effects.
Anesthesiology: The Journal of the American Society of Anesthesiologists, 111,
187-202.
WISCHMEYER, P. E. 2017. Nutrition Therapy in Sepsis. Critical care clinics.
ZIAJA, M. 2013. Septic encephalopathy. Current neurology and neuroscience reports, 13,
383.

54

Anda mungkin juga menyukai