Anda di halaman 1dari 77

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Toksisitas paru yang diinduksi oleh obat antineoplasma belum dapat dijelaskan
lebih lanjut dikarenakan keterkaitan secara simultan atau penggunaan yang sekuensial
terhadap obat dan berbagai modalitas terapi yang diberikan. 1, 2 Untuk mengetahui lebih
jauh, beberapa studi telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh terapi antineoplastic
yang dapat menginduksi toksisitas paru. 1
Terdapat banyak obat anti neoplasma yang diduga berperan dalam timbulnya
pneumonitis sebagai bagian dari toksisitas paru. Beberapa istilah manifestasi toksisitas
paru tersebut yang sering digunakan adalah unspecified dyspnea dan interstitial lung
disease (ILD). 1, 3 Diagnosis eksklusional yang terhadap penyebab lain yang mungkin
sangatlah diperlukan.1,4 Predisposisi genetik, kondisi autoimun, penyakit penyerta
terlibat dalam perkembangan toksisitas paru tersebut. Klinisi seharusnya lebih
waspada terhadap potensi toksisitas paru yang dapat muncul sebagai komplikasi
terhadap pengobatan kanker. 1
Toksisitas paru yang diinduksi akibat obat mempunyai frekuensi yang
meningkat, serta merupakan diagnosis penyebab pada penyakit paru akut maupun
5, 6
kronis yang tersering. Lebih dari 380 pengobatan yang diketahui mempunyai resiko
penyakit saluran nafas, termasuk gangguan airway, parenkim paru, mediastinum,
pleura, vaskuler paru, dan atau sistem neuromuscular. Gambaran yang paling sering
dari toksisitas paru adalah ILD akibat obat. Frekuensinya tidak diekathui secara pasti,
meskipun estimasi 2.5-3% kasus pada ILD akibat obat. 5
Oleh karena itu, diperlukan tinjauan secara sistematis terkait gambaran klinis,
radiologis, maupun penunjang lain agar risiko toksisitas paru interstitial lung disease
(ILD) dapat dikenali secara dini, sehingga mendapat penanganan yang baik dan
mendapatkan hasil luaran (outcome) yang baik pula.

1
BAB 2
INTERSTITIAL LUNG DISEASE

2.1 Definisi
Interstitial Lung Disease (ILD) merupakan kondisi gangguan parenkim paru
yang melibatkan interstitial. Interstitial merupakan jaringan yang terdapat secara luas
pada kedua paru. Interstitial merupakan jaringan yang membentuk saccus alveolus.
MIkro vaskuler juga akan melalui interstitial, dimana terjadi proses pertukaran gas
antara mikrovaskuler dan udara pada alveolus. 2, 7
Paru merupakan target dari berbagai bahan toksik dikarenakan mempunyai
permukaan kontak yang cukup luas. Paru juga dapat mejadi tempat metabolisme
berbagai bahan obat. Obat dapat memicu reaksi spesifik pernafasan atau paru akan
beraksi terhadap suatu respon. Lebih dari 380 obat dapat menyebabkan gangguan
respirasi akibat obat, namun dengan frekuensi yang tidak diketahui. 2

7
Gambar 1. Ilustrasi mekanisme ILD.

2.2 Epidemiologi
Belum ada prevalensi maupun insiden ILD di dunia, beberapa studi
menyebutkan prevalensi dan insiden ILD pada regional tertentu. Studi yang dilakukan
oleh Duchemann et al tahun 2017 di Perancis disebutkan bahwa sepanjang tahun

2
2012 terdapat 1170 laporan kasus terkait ILD (crude overall prevalensi 97.9/105 dan
insiden 19.4/105 tiap tahun).8 Studi yang dilakukan oleh Kreuter et al, tahun 2015
menyebutkan bahwa terdapat berbagai laporan kasus terkait ILD diantaranya di Belgia
tahun 1992-1996 dengan prevalensi sebanyak 362 kasus dan insiden 264 kasus,
Jerman tahun 1995 dengan insiden sebanyak 234 kasus, Italia tahun 1997-1999
dengan prevalensi sebanyak 1138 kasus, Spanyol tahun 1998-2000 dengan inseiden
sebanyak 744 kasus, Spanyol tahun 2000-2001 dengan insiden sebanyak 511 kasus,
dan Yunani tahun 2004 dengan prevalensi sebanyak 967 kasus dan insiden sebanyak
9
254 kasus. (Tabel 1). Studi yang dilakukan oleh Raghu et al, menyebutkan bahwa
estimasi insiden ILD di Amerika mencapai 30 kasus tiap 100.000 penduduk tiap
10
tahunnya. Studi yang dilakukan oleh Hotta et al pada November 2000-oktober 2003
terdapat 365 kasus ILD di Jepang. 11

9
Tabel 1. Perbandingan distribusi ILD pada beberapa studi.

3
Toksisitas pulmonal dapat terjadi akibat komplikasi terhadap pengobatan
kanker. Kejadian tersebut tidaklah dapat dihindari. Diperkirakan frekuensi komplikasi
terhadap penggunaan obat anti neoplasma tersebut berkisar antara 10-30%
tergantung pengobatan yang digunakan. 1 Studi yang dilakukan oleh Azuma et al dan
juga Kubo et al, menunjukkan bahwa jumlah prevalensi ILD akibat obat juga meningkat
dari tahun ke tahun. 12, 13

Gambar 2. Grafik laporan terkait Interstitial Lung Disease (ILD) yang diinduksi obat
di Jepang. 12

13
Gambar 3. Grafik jumlah obat yang dilaporkan dapat menginduksi pneumonia interstitial.

4
2.3 Faktor Risiko
Studi yang dilakukan oleh Santos et al dan Schwaiblmair terkait faktor risiko
terjadinya interstitial lung disease (ILD) yang diinduksi oleh obat. Diantara faktor risiko
tersebut meliputi usia, etnis, dosis obat yang diberikan, oksigeasi, inetraksi obat, dan
adanya radiasi (tabel 2). 2, 5
Penelitian yang dilakukan oleh Zaleska et al, bertujuan untuk mengetahui faktor
risiko interstitial lung disease (ILD) pada pasien dengan rheumatoid arthritis (RA).
Beberapa faktor risiko yang diveluasi diantaranya faktor demografi berupa usia dan
jenis kelamin, status merokok, serta aktivitas dari RA meliputi durasi penyakit,
manifestasi imun penyerta, aktivitas penyakit, hasil leboratorium, serta penanda
serologi rheumatoid factor, ACPA, dan tes ANA. Dari 111 sampel pasien dengan RA,
didapatkan bahwa faktor risiko independen terhadap munculnya ILD diantaranya usia
tua, kadar faktor rheumatoid yang tinggi, serta pengobatan dengan methotrexate
dengan dosis yang rendah. 14

2, 5
Tabel 2. Faktor risiko ILD yang diinduksi oleh obat.

5
Studi yang dilakukan oleh Mori et al, terkait identifikasi klinis dan faktor risiko
genetik pada pasien ILD atau gangguan airway pada pasien dengan RA yang
mendpatkan terapi. 15

2.4 Etiologi
Beberapa skema klasifikasi telah dibuat, diantaranya terkait dengan etiologi,
gambaran histopatologi maupun karakteristik klinis. Adapun klasifikasi American
Thoracic Society (ATS) / European Respiratory Society (ERS) seperti yang
digambarkan pada gambar 4.

Gambar 4. Algoritme ILD berdasarkan etiologi. 16

2
Tabel 3. Obat dengan efek toksik pulmonal.

6
2.5 Patofisiologi
Adanya faktor risiko, ditambah dengan paparan akan menyebabkan terjadinya aktivasi
endotthel, infiltrasi dan inflamasi sel imun, serta adanya kerusakan epithelial. Hal tersebut akan
berkembang menyebabkan proliferasi fibroblast, adanya transisi epithelial dan mesencymal
serta kerusakan epithelial tahap lanjut. Adanya kegagalan tahap resolusi akan menyebabkan
myofibroblast menetap di jaringan, terjadi peningkatan matriks seluler dan gangguan pemulihan
epithelial. 7

Gambar 5. Patomekanisme interstitial lung disease. 7

7
Intertsisial lung disease (ILD) dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Salah
satu yang tersering adalah akibat induksi pemberian obat, antibiotik, antiaritmia,
maupun sitostatika, agen biologik terapi target pada keganasan, maupun radiasi.
Adapun patomekanisme ILD yang diinduksi oleh obat dijelaskan pada gambar 6. 6

Gambar 6. Gambaran skematik gangguan paru induksi obat dan toksisitas termasuk
mekanisme pathogenesis yang terlibat .6

Mekanisme toksisitas paru ILD yang dinduksi oleh obat kemoterapi: 17


 Cedera lagsung akibat kandungan oksidan
 Kerusakan vaskuler melalui peningkatan permeabilitas kapiler
 Deposisi fosfolipid intraseluler
 Cedera yang dimediasi oleh imun melalui aktivasi komplemen
 Depresi sistem saraf pusat melalui neurogenic edema paru
 Toksisitas langsung yang menyebabkan kerusakan DNA

8
5
Gambar 7. Mekanisme ILD yang diinduksi oleh obat.

Gambar 8. Patofisiologi diffuse alveolar damagae pada ILD. 18

9
Gambar 9. Patofisologi organizing pneumonia pada ILD. 18

Gambar 10. Kondisi matriks ekstraseluler pada ILD. 18

10
Obat diimplikasikan berefek pada cedera paru melalui berbagai mekanisme,
baik efek farmakologis secara langsung, persisten atau metabolisme di jaringan, atau
via produksi metabolit atau metabolit yang reaktif. Hasil cedera paru akibat obat ini
bervariasi, mulai dari disfungsi seluler melalui kematian sel (apoptosis) dan percepatan
mekanisme perbaikan (repair) yang mempunyai peran esensial dalam pergantian
fungsi dan jaringan. Terdapat pengetahuan yang terbatas terkait bagaimana waktu
yang diperlukan oleh obat saat idberikan hingga muncul adanya interaksi atau
mekanisme perbaikan atau modulasi ekspresi toksisitas paru. Obat kemoterapi, terapi
target, seperti epidermal growth factor receptor (EGFR), yang memberikan efek baik
pada sel normal maupun sel kanker. Bagaimanapun juga efek sistemik dan secara
langsung menyebabkan cedera sel dan biotransformasi. Hal ini telah dipostulasikan
bahwa obat target EGFR lebh focus memberikan efek farmokologis pada epitel. Oleh
karena itu, terkait faktor resiko dalam perkembangan toksisitas paru, beberapa marker
biologi perlu diidentifikasi. Dalam suatu studi, dilakukan identifikasi terhadap > 1.000
protein atau peptide melalui sampel darah, diharapkan dapat membantu identifikasi
faktor risiko dalam memahami mekanisme interstitial lung disease (ILD) akibat obat. 19

19
Gambar 11. Jalur sinyal apoptosis yang dimediasi oleh fax atau mitokondria.

11
Secara umum mekanisme cedera sel akibat obat melalui berbagai mekanisme,
diantaranya: (1) biotransformasi, dimana transformasi obat melalui oksidasi dapat
menyebabkan produksi ROS, reactive oxygen species yang dapat menyebabkan
cedera sel. 19
Obat kemoterapi memberikan efek terhadap sel yang normal maupun sel
kanker. Cedera paru akibat obat dapat menyebabkan disfungsi seluler dalam hal
mekanisme apoptosis atau gangguan tahapan dalam perbaikan fungsi sel dan
jaringan. Salah satunya melalui disfungsi apoptosis, dimana aktivitas normal apoptosis
mempunyai peranan penting dalam remodelling jaringan paru setelah kondisi cedera
paru akut, pembersihan sel epitel dan mesenkimal yang berlebihan dalam resolusi dari
lesi. Gangguan perbaikan (repair) sel dipengaruhi oleh peran dari epidermal growth
factor (EGF), serta proses angiogenesis dalam hal penyambuhan luka. Perbaikan sel
terhadap cedera melalui respon angiogenik. Beberapa mediator yang berperan dalam
angiogenesis diantaranya adalah vascular endothelial growth factor (VEGF), TNF-a,
TGF-β, fibroblastic growth factor (FGF) dan platelet-derived growth factor (PDGF). 1

2.6 Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis dari interstitial lung disease (ILD) dapat berupa batuk,
demam, sesak, dan dapat disertai dengan nyeri pleuritik dengan kombinasi gambaran
radiografis, tanpa adanya penyakit gagal jantung kongestif, penyakit infeksi atau
6
malignansi. Tes fungsi paru dapat menunjukkan gambaran abnormal restriktif.
Manifestasi klinis yang dapat muncul berupa batuk, demam, sesak hingga gagal nafas.
Mekanisme dan patofisiologi yang terlibat cukuplah kompleks. 1
Manifestasi klinis pneumonitis yang diinduksi oleh taxane tidaklah spesifik,
diantaranya adalah sesak (saat istirahat atau setelah latihan), batuk kering, malaise,
dan demam ringan. Gejala yang lain meliputi tachypnea, hipoksemia, dan dapat
disertai dengan rhonki. 20

12
Tabel 4. Karakteristik dan perbedaan reaksi terhadap kemoterapi. 20

Selain mengetahui karakteristik dan gambaran klinis, menentukan onset


terjadinya kecurigaan ILD juga cukup membantu diagnosis dan memperkirakan
gambaran / subtipe dari ILD (tabel 4). Onset akut ILD harus dapat dibedakan dengan
infeksi pada sistem, respirasi maupun kondisi edema paru akibat gagal jantung
kongestif. 16
Merupakan hal yang penting untuk menentukan gambaran klinis pada pasien.
sebagai contoh, diagnosis banding untuk sesak dengan gambaran infiltrate yang
diffuse pada gambaran chest X-ray (CXR) akan berbeda pada pasien imunokompeten
dimana menjalani transplantasi organ maupun sumsum tulang, neutropenia akibat
kemoterapi, atau pasien dengan HIV derajat berat. Pada seseorang yang
imunokompeten, biasanya akan memiliki respon yang kurang baik terhadap pemberian
antibiotik maupun diuretik pada kondisi kecurigaan ILD. 16
Pada pasien usia lanjut atau yang mengalami kecacatan, gangguan
muskuloskeletal mungkin akan membatasi mobilitas dan sesak mungkin muncul
sebagai gejala tahap lanjut. Merupakan hal yang penting untuk mengetahui derajat dan

13
spesifikasi sesak, jarak tempuh berjalan yang dapat dilalui, maupun jumlah anak
tangga yang dapat dicapai sebelum istirahat. 16

Tabel 5. Onset terjadinya interstitial lung disease (ILD). 16

2.7 Kriteria Diagnosis


Pasien dengan interstitial lung disease (ILD) yang diinduksi oleh obat biasanya
muncul dengan gejala non spesifik, tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khusus,
gambaran radiologi, maupun temuan patologi yang dapat mendiagnosis. Oleh karena
itu, ILD merupakan diagnosis per eksklusi. Diagnosis kriteria disarankan berdasarkan
pada : (1) riwayat paparan dan penggunaan obat yang dicurigai; (2) klinis, radiologis,
dan temuan histopatologis yang sesuai dengan kejadian sebelumnya, sama dengan
obat yang telah teridentifikasi; (3) penyakit paru lainnya harus dieksklusi; (4) perbaikan
setelah penghentian obat yang dicurigai; dan (5) kejadian ILD kembali setelah uji
pemberian ulang. 21
Tabel 6. Kritria diagnosis ILD. 13

14
Gambar 12. Langkah diagnostic pada drug induced ILD. 13

15
13
Gambar 13. Algoritme diagnosis ILD.

Gambar 14. Algoritme diagnosis pada pasien yang mengalami demam, batuk, dan sesak ketika
13
mendapatkan terapi agen biologik.

16
Gambar 15. Perkembangan dan diagnosis interstitial lung disease (ILD). 19

17
4
Gambar 16. Algoritme ILD yang diinduksi gefitinib pada pasien dengan NSCLC di Jepang.

18
2.8 Klasifikasi

Gambar 17. Klasifikasi Intertsitial Lung Disease. 22

19
Gambar 18. Klasifikasi interstitial lung disease. 23

Tabel 7. Stadium pada pneumonitis 20

20
2.9 Pemeriksaan Penunjang
2.9.1 Chest X-Ray (CXR)
20
Tabel 8. Temuan dan investigasi berbagai pemeriksaan untuk interstitial lung disease (ILD).

2.9.2 High Resolution Computed Tomography (HRCT) scan


HRCT merupakan diagnostik non-invasif terbaik untuk interstitial lung disease
yang diinduksi obat. Gambaran HRCT pada interstitial lung disease induksi obat mirip
dengan gambaran interstitial lung disease pada NSIP, UIP, HP, DAD, OP, EP. HRCT

21
memiliki keterbatasan dalam subtipe histopatologis. HRCT disamping bermilai untuk
24
diagnostik juga berperan dalam monitoring respon pengobatan. Studi yang dilakukan
oleh Bodolay et al, menyebutkan bahwa HRCT merupakan standar baku emas untuk
diagnosis ILD. 25
Studi yang dilakukan oleh Lee HN et al, bertujuan untuk menjelaskan gambaran
computed tomography (CT) pada pasien dengan chemotherapy-induced interstitial
pneumonitis (CIIP) dengan follow up. Dari penelitian tersebutkan didapakan 100 pasien
dengan CIIP antara Mei 2005-Maret 2015 dengan metode restrospektif. Dari jenis
idiophatic interstitial pneumonia, diklasifikasikan menjadi non-spesific interstitial
pneumonia (NSIP), organizing pneumonia (OP), hypersensitivity pneumonitis (HP)
yang menyerupai desquamative interstitial pneumonitis, dan diffuse alveolar damage
(DAD). 26

Gambar 19. (A) Diagram alur proses pemilihan pasien. (B) Kriteria diagnosis untuk
chemotherapy-induced interstitial pneumonitis (CIIP). (C) level dari carina dan vena pulmonalis
bawh sebagai petand CT scan potongan coronal sebagai garis imaginer membedakan paru
26
daerah sentral dan perifer melalui potongan axial.

22
Gambar 20. Grafik menunjukkan onset timbulnya chemotherapy induced interstitial pneumonitis
26
(CIIP) dengan berbagai gambaran.

Tabel 9. Karakteristik CT pada pasien dengan chemotherapy induced interstitial pneumonitis


(CIIP) pada CT awal. 26

Dari studi yng dilakukan oleh Lee et al, gambaran yang paling sering pada
chemotherapy induced interstitial pneumonitis (CIIP) pada CT awal adalah HP (51%),

23
diikuti oleh NSIP (23%), OP (20%), dan DAD (6%). Gambaran diffuse grond glass
opacity merupakan bentuk kelainan yang paling sering. 26

Tabel 10. Perbandingan gambaran CT awal, kedua, dan ketiga pada pasien dengan
chemotherapy induced interstitial pneumonitis (CIIP). 26

24
27
Tabel 11. Gambaran CT pada interstitial lung disease.

Gambar. Radiologis interstitial lung disease diinduksi obat: (a) bronkiolitis obliterans pneumonia
terorganisasi, (b) pneumonia interstitial non spesifik, (c) pneumonia interstitial usual. 2

25
Gambar 21. Gambaran CT pada idiopathic pulmonary fibrosis. 27

26
Gambar 22. Gambaran CT pada idiopathic pulmonary fibrosis. 27

Gambar 23. Gambaran CT pada cryptogenic organizing pneumonia. 27

27
Gambar 24. Gambaran CT pada cryptogenic organizing pneumonia. 27

Studi yang dilakukan oleh Umar et al, terkait bagaimana karakteristik, diagnosis
dan membedakan berbagai manifestasi kelainan paru pasien post kemoterapi, melalui
HRCT. Subjek penelitian sebanyak 50 pasien dengan hasil seperti tabel. 28

28
Tabel 12. Gambaran HRCT pada paru pasien post kemoterapi.

28
Gambar 25. Toksisitas cyclophosphamide. Resolusi ground glass opacities setelah pemberian
steroid. 17

29
Gambar 26. Gambaran CT pada diffuse alveolar damage.5

30
Gambar 27. Gambaran CT pada fibrotic NISP. 5

Gambar 28. Gambaran CT pada eosinophilic pneumonitis (EP). 5

31
Gambar 29. Gambaran CT pada pulmonary hemorrage (PH). 5

Gambar 30. Gambaran CT pada eosinophilic pneumonitis. 5

32
Gambaran klinis, radiologis dan histologis pada ILD akibat obat tidaklah spesifik. Oleh
karena itu, mengenali manifestasi radiologis yang umum, dan mengenali obat yang
diduga dapat menyebabkan toksisitas paru merupakan langkah krusial untuk
menentukan diagnosis yang akurat, toleransi untuk melanjutkan terapi atau
menghentikan terapi, dimana masing-masing akan mempunyai luaran /outcome yang
bervariasi. 5

2.9.3 Positron Emission Tomography (PET) scan


Akira et al, menyebutkan bahwa gambaran opasitas groundglass multi fokal
atau difus dengan penebalan interstitial intralobular merpakan gambaran khas
interstitial lung disease induksi obat. Saat ini, penggunaan F-fluorodeoxyglucose
positron emission tomography (F-FDG PET) dalam diagnosis interstitial lung disease
induksi obat juga telah dilaporkan. FDG uptake dapat terdeteksi pada tahap awal,
meskipun tanpa gejala dan gambaran abnormal HRCT mulai muncul. 3, 24

2.9.4 Serologi Jaringan Ikat


KL-6 dilaporkan merupakan penanda yang sensitif untuk interstitial lung
disease. Kadar protein surfaktan SP-A dan SP-D dan KL-6 merupakanan penanda
spesifik untuk fibrosis paru. Inomata et al, menyebutkan bahwa SP-A, SP-D, dan KL-6
meningkat pada serum pasien dengan interstitial lung disease induksi obat akibat
pemberian epidermal growth factor receptor-tyrosine kinase inhibitor, gefitinib. 24, 29

2.9.5 Tes Fungsi Paru


Bagaimanapun juga, beberapa studi dapat dilakukan dengan pemeriksaan
99m
waktu klirens aerosol inhalasi Tc- labelled diethylene-triamine pentaacetate (99mTc-
DTPA). Peningkatan kadar imun kompleks menunjukkan bahwa kerusakan membran
alveoli-kapiler yang dimediasi oleh imun kompleks dan kerusakan jaringan mungkin
berperan dalam pathogenesis ILD pada mixed connective tissue disease (MCTD). 25

2.9.6 Bronkoskopi dan Broncho-Alveolar Lavage


Bronkoskopi dapat membantu mendeteksi adanya pneumonitis dan diagnosis
differensial limfangitik karsinomatosis, vascular, perdarahan alveolar, maupun
pneumonia.

33
Sebagian besar reaksi imunologis diinduksi obat, seperti HP, COP, EP, dapat
dieksklusi jika hasil BAL normal. Gambaran dominan pada interstitial lung disease
induksi obat meliputi limfositik alveolitis, hubungan atau tidak dengan neutrofil maupun
eosinofil. Pada pneumonitis yang diinduksi MTx, ekspresi sel CD4+ akan meningkat. 24,

30

34
Tabel 13. Bronkoalveolar lavage (BAL) sel diferensiasi sebagai penunjang diagnosis. 24,

2.9.7 Histopatologi Biopsi Paru

35
Gambaran histologis reaksi obat pada paru sering tidak spesifik dan mirip
dengan kondisi lainnya, seperti pneumonia interstitial idiopatik dan penyakit vaskuler
kolagen. Beberapa gambaran subtipe histopatologi diantaranya: diffuse alveolar
damage (DAD), chronic interstitial pneumonia (CIP, termasuk non-spesific interstitial
pneumonia (NSIP), usual interstitial pneumonia (UIP), desquamative interstitial
pneumonia (DIP), organizing pneumonia (OP), eosinophilic pneumonia (EO),
hypersensitive pneumonia (HP), dan penyakit paru granulomatous. Beberapa obat
dapat menimbulkan lebih dari 1 subtipe histopatologis. 24
Studi yang dilakukan oleh Andriani et al, juga menyebutkan gambaran klinis
terjadinya interstitial lung disease akibat obat meliputi nonspecific interstitial
pneumonitis (NSIP), diffuse alveolar damage (DAD), bronchiolitis obliterans, orginizing
pneumonia, eosinophilic pneumonia, dan pulmonary hemorrage. 1

27
Tabel 14. Gambaran histopatologis interstitial lung disease.

2
Tabel 15. Manifestasi histopatologi pada reaksi paru diinduksi obat.

36
Gambar 31. Karakteristik histologi (pengecatan Hematoxylin dan Eosin pada pembesaran 100-
2
200x) pada interstitial lung disease diinduksi obat.
Keterangan: (a) pneumonia hipersensitif, inflamasi interstitial kronik sedang, terdiri dari infiltrasi
limfosit, sel plasma, sel giant multinuclear. (b) pneumonia terorganisasi, adanya proliferasi
fibroblast dengan produksi kolagen. (c) pneumonia interstitial non speisifik, fibrosis homogen
septa alveolar dapat terlihat dengan inflamasi kronik ringan, diikuti dengan hyperplasia
pneumosit tipe II. (d) pneumonia interstitial usual, parenkim paru dengan gambaran
honeycomb, dengan karakteristik kistik dengan jaringan fibrosis di sekitarnya. (Schwaiblmair M)

5
Gambar 32. Gambaran histologis pada ILD akibat obat.

37
Gambar 33. Karakteristik histologi NSIP dan UIP pada interstitial lung disease diinduksi obat. 5

38
Gambar 34. Karakteristik histologi OP pada interstitial lung disease diinduksi obat. 5

Gambar 35. Karakteristik histologi OP pada interstitial lung disease diinduksi obat. 5

39
2.10 Tata laksana
Tujuan utama pengobatan ILD adalah menekan respon inflamasi dan
mencegah terjadinya deposisi jaringan fibrosis. Pengobatan meliputi penghentian
terapi yang dicurigai menginduksi ILD, terapi suportif untuk gangguan respirasi,
sepertin inahaler dan terapi oksigen hingga kondisi membaik. 31

2.10.1 Terapi oksigen


Karena hipoksemia umum pada ILD, terapi tambahan oksigen sering
digunakan, meskipun belum diteliti secara meluas seperti pada penyakit paru obstruktif
kronis. Pasien dengan ILD harus memiliki baseline saturasi oksigen arteri saat istirahat
dan selama exercise, karena banyak pasien dengan derajat penyakit ringan
mengalami desaturasi dengan exercise meskipun saturasi normal pada saat istirahat.
Meskipun studi terbatas, oksigen tambahan yang disampaikan melalui nasal canule
dapat mencegah hipoksemia saat istirahat dan memungkinkan tenaga yang lebih
besar sebelum desaturasi. Manfaat oksigen dapat meningkatkan kualitas hidup dan
berpotensi mencegah perkembangan arterial hipertensi pulmonal, meskipun penelitian
lebih lanjut diperlukan. 6

2.10.2 Pengehentian obat yang Diduga Menginduksi ILD


Tidak ada panduan standard khusus terkait terapi ILD yang diinduksi oleh terapi
target dan pengobatan berdasarkan empirik dibandingkan dengan evidenced based.
Terapi utama meliputi penghentian obat, terapi kortikosteroid, dan terapi suportif.
Ketika memutuskan diagnosis ILD dan memutuskan untuk menghentikan obat yang
dicurigai menginduksi ILD, haruslah dengan berhati-hati karena berhubungan dengan
terapi jangka panjang. 6

2.10.3 Steroid
Pemberian steroid sering digunakan untuk mengembalikan dan menekan
respon inflamasi secara cepat. ILD onset akut biasanya memiliki prognosis yang baik
dan resolusi pada 24-48 jam. ILD onset kronis akan membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk resolusi, dan biasanya akan menimbulkan jaringan fibrosis. 31 Apabila
pasien mengalami gejala yang persisten atau gangguan paru yang berat (seperti sesak
saat istirahat, penurunan saturasi oksigen <90%, perburukan gejala, dll), inisiasi terapi
kortikosteroid direkomendasikan. 21

40
Pemberian steroid dosis tinggi dapat memperbaiki kondisi ILD baik secara
32, 33
klinis maupun radiologis. Methylprednisolone 250mg tiap 6 jam diberikan 2-3 hari
dilanjutkan dengan prednisone 0.5mg/kg selama 6 minggu dan dosis diturunkan
secara bertahap.4 Prednisone atau methylprednisolone (0.5-1 mg/kg/hari) dapat
diberikan. Pada pasien yang mengalami perburukan gejala secara progresif dapat
diberikan terapi steroid dosis tinggi (methylprednisolone dengan dosis ≥2 mg/kg/hari).
pada pasien dengan resiko gagal nafas dan membutuhkan ventilasi mekanik, maka
direkomendasikan pemberian methylprednisolone intravena 500-1000 mg/hari selama
21
3 hari. apabila terdapat perbaikan klinis, maka dosis steroid diturunkan secara titrasi.
Namun pasien dengan ILD yang diinduksi oleh obat jarang dilakukan biopsi
paru, terkait dengan derajat berajatnya penyakit, gambaran radiologis high resolution
of computed tomography (HRCT) mungkin berguna untuk evaluasi gambaran ILD. 21

Gambar 36. pengobatan ILD. 13

2.10.4 Uji Kembali Obat (Rechallenge)


Uji kembali (Rechallenge test) terhadap obat yang dicurigai, jarang dilakukan,
31
meskipun kondisi telah membaik. Namun bebrapa studi menjelaskan terkait uji
kembali menjadi salah satu pilihan terkait dengan pertimbangan terapi jangka panjang
terhadap keganasan primer. 33
Studi yang dilakukan oleh Buges et al, terkait pengobatan kembali erlotinib
setalah ILD yang diinduksi erlotinib. Saat ILD yang diinduksi oleh erlotinib didiagnosis,
maka obat harus dihentikan. Setalah pasien pulih, maka dapat diberikan uji ulang
pengobatan dengan regimen lain dalam golongan yang sama, atau tetap
menggunakan erlotinib dengan dosis diturunkan dari 150 mg menjadi 50mg. awalnya

41
pasien diberikan dosis 25mg, dari evaluasi tidak diapatkan episode ulangan ILD,
sehingga dosis dinaikkan titrasi menjadi 50mg. 33
Kortikosteroid juga menjadi terapi plilihan pada ILD sebagai anti inflamasi.
Prednisone tetap diberikan selama uji ulang pengobatan dengan erlotinib untuk
menurunkan risiko kejadian ILD ulang. Dosis kortikosteroid yang tepat pada kondisi
akut memang tidak ada panduan, namun dosis tinggi memang disarankan. Beberapa
studi merekemoendasikan pemberian methylprednisolone 2-3 mg/kg/hari. 33
Pada ILD, menyingkirkan kemungkinan penyebab infeksi sangatlah penting
untuk mencegah efek imunosupresi akibat pemberian kortikosteroid dosis tinggi.
Bagaimanpun juga sambil menunggu data terkait sumber infeksi, biasanya dilakukan
pemberian awal antibiotik spectrum luas. 33
Uji kembali obat juga dilakukan oleh Asai et al. Mereka melakukan studi terkait
pengobatan kembali dengan crizotinib setelah interstitial lung disease akibat crizotinib.
Meskipun perkembangan anaplastic lymphoma kinase tyrosine kinase inhibitor (ALK
TKI), sebagai epidermal growth factor receptor (EGFR) TKIS, mempunyai peranan
yang penting dalam pengobatan non-small cell lung cancer (NSCLC), resiko terjadinya
interstitial lung disease yang diinduksi akibat obat menjadi suatu problematika. 34
Asai et al, menuliskan suatu laporan kasus, wanita 70 tahun yang didiagnosis
adenocarcinoma paru stadium IV dengan metastase liver, tulang pelvis, serta paru
kontralateral. Pasien sebelumnya tidak memeliki riwayat merokok maupun alergi.
Pasien mengalami tetraparesis karena tromboembolisme cerebral. Pasien masih
memiliki peluang untuk kemoterapi. Analisis imunohistokimia terhadap protein
anaplastic lymphoma kinase (ALK) didapatkan adanya susunan gen ALK. Sebagai
kemoterapi lini pertama, crizotinib diberikan secara peroral dengan dosis 200mg dua
kali perhari. Pada hari ke-35, gambaran radiologi dan CTmenujukkan respon parsial
meskipun infiltrat baru ditemukan pada kedua paru lapang atas tanpa gejala. Tanpa
patogen yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan kultur sputum, dan penulis
menyimpulkan bahwa pasien mengalami ILD diakibatkan oleh crizotinib. Crizotinib
dihentikan, pasien asimptomatik, gagal nafas tidak berkembang setelah crizotinib,
pasien tidak diberikan kortikosteroid. ILD membaik tanpa terapi dengan kortikosteroid.
Pada pengobatan hari ke-49, 2 minggu setelah terapi crizotinib dihentikan, crizotinib
250mg perhari diulang kembali karena ukuran tumor semakin membesar, namun tanpa
disertai dengan gambaran ILD. Dua minggu setelah inisiasi pengobatan crizotinib
ditingkakan 400mg dua kali perhari., dan tumor pada paru kiri mengceil kembali. 45

42
hari setelah pengobatan crizotinib, pengobatan tidak dilanjutkan karena mengalami ILD
kembali. Tumor meluas seiring dengan ILD. Pasien mengalami stable disease setelah
crizotinib kedua dengan perbaikan ILD. 34

Gambar 37. (A) CT scan dada menunjukkan interstitial lung disease akibat crizotinib pada lobus
kanan atas (panah biru). (B) Dua minggu setelah crizotinib tidak dilanjutkan, CT scan dada
34
mengalami perbaikan (panah biru) dan tumor kembali tumbuh.

Gambar 38. (A) Setelah pengobatan crizotinib selama 45 hari, CT scan dada menunjukkan
gambaran ILD akibat crizotinib pada lobus kiri atas (panah biru). (B) 4 minggu setelah crizotinib
dihentikan, CT scan dada menunjukkan tumor tumbuh menjadi lebih besar, penyakit teraktivasi,
dan gambaran ILD menetap (panah biru). (C) CT scan dada menunjukkan tidak adanya
eksaserbasi dari ILD akibat crizotinib pada lobus kiri atas (panah biru), meskipun tumor bagian
anterior mengecil (panah kuning) dan tumor bagian posterior tidak tumbuh kembali (panah
merah), sehingga evaluasi tumor padat pada kondisi stable disease. 34

43
2.10.5 Terapi Alternatif / Subtitusi (Salvage therapy)
Studi laporan kasus oleh Takeda et al, terkait dengan suksesnya pengobatan
erlotinib setelah interstitial lung disease berat diinduksi oleh gefitinib. Wanita usia 62
tahun, dengan riwayat merokok lebih dari 18 tahun, didapatkan lesi solid pada lobus
kanan atas paru, dan didapatkan nodul multiple pada CT scan paru. Biopsi jarum
transkutaneus dengan pendampingan CT didapatkan hasil adenocarcinoma. Pasien
mendapatkan 4 siklus kemoterapi menggunakan docetaxel dan cisplatin, hasil CT
evaluasi didapatkan ukuran tumor yang mengecil. Hasil follow up selama 3 bulan,
didapatkan progresi penyakit dengan didapatkannya peningkatan sulcus cortical pada
CT scan kepala. Analisis mutasi spesimen kanker paru didapatkan adanya delesi exon-
19 pada epidermal growth factor receptor (EGFR), dan gefitnib diberikan peroral
dengan dosis 250mg perhari. Setelah 24 hari gefitinib, pasien mengalamisesak nafas
dengan onset akut, disertai dengan demam dan batuk.CT scan dada menunjukkan
gambaran ground glass opacities pada kedua lapang paru. Hasil pemeriksaan kultur
sputum teradap bakteri maupun jamur, serta pemeriksaan darah secara umum
termasuk terhadap antigen jamur dan antigen cytomegalovirus, didapatkan hasil
negatif. Pasien tidak memiliki riwayat ILD sebelumnya maupun gangguan dan penyakit
kolagen-vaskuler. Oleh karena itu, penulis meyimpulkan bahwa gambaran CT scan
menunjang suatu kondisi ILD yang diinduksi gefitinib. Terapi gefitinib dihentikan,
pemberian steroid dosis tinggi, methylprednisolone, dimulai. Setelah evaluasi, terdapat
perbaikan klinis dan gambaran radiologis. Pasien melanjutkan pengobatan rawat jalan
setelah 14 hari penghentian gefitinib. Sebagai hasil progresi dari penyakit, pasien
mengalami metastase otak dan menjalani radioterapi. Setelah 3 bulan tidak
mendapatkan gefitinib, pasien mengalami progresi metastase otak. Setelah
mendapatkan informed consent terkait resiko terjadinya ulangan ILD serta angka
mortalitas yang tinggi setelah onset ILD, penulis memberikan erlotinib dengan dosis
150mg perhari. Setelah 9 minggu pemberianrlotinib, CT scan dada menunjukkan tidak
adanya gambaran ILD, serta berkurangya ukuran nodul metastase pada paru. 35

44
Gambar 39. CT scan dada pada pasien sebelum mendapatkan terapi gefitinib (A), setelah
mendapat terapi gefitinib selama 24 hari (B), setelah penghentian gefitinib akibat interstitial lung
disease akibat gefitinib, dan sebelum erlotinib (C), serta gambaran CT scan setelah 62 hari
pengobatan erlotinib (D). 35

Studi laporan kasus yang disampaikan oleh Chino et al, terkait dengan wanita 46 tahun
dengan adenocarcinoma paru stadium 4 dengan gambaran anaplastic lymphoma
kinase (ALK), yang mendapat terapi ALK inhibitor, crizotinib, sebagai terapi lini kedua.
Pada hari ke-47 setelah terapi inisiasi crizotinib, CT scan dada dilakukan dan
didapatkan gambaran ground glass opacities dengan manifestasi klinis desaturasi,
meskipun pengobatan dengan partial response didapatkan. Diagnosis ILD akibat
crizotinib ditegakkan, dan crizotinib tidak dilanjutkan pengobatannya, diikuti dengan
pegnobatan kortikosteroid. Setelah terjadi perbaikan melalui steroid, alectinib diberikan
sebagai terapi salvage, didapatkan hasil ukuran tumor yang mengecil tanpa disertai
kembali gambaran ILD. 36

45
Gambar 40. (A) gambaran radiologi paru kiri menunjukkan efusi pleura kiri. (B) gambaran
radiologi menunjukkan ground glass opacity pada paru kiri meskipun efusi pleura kanan
berkurang. 36

Gambar 41. CT scan sebelum crizotinib (A) menunjukkan multiple small nodules pada daerah
perihilar dan peribronchovesicular. Gambar CT scan setelah crizotinib (B) diberikan selama 47
hari, didapatkan gambaran ground glass opacities pada kedua paru meskipun terdapat
36
perbaikan dari lymphangitis carcinomatosa.

46
Gambar 42. CT scan sebelum alectinib (A) menunjukkan penebalan interstitial pada perihilar
dan peribronchovesicular. (B) Setelah 44 hari pengobatan alectinib, lympnagitis carcinomatosa
membaik tanpa disertai dengan interstitial lung disease (ILD) ulangan. 36

2.10.6 Imunosupresan
Studi yang dilakukan oleh Kurasawa et al, terkait manajemen optimal ILD yang
terkait dengan dermatomiositis/polimiositis bberdasarkan pengalaman dan studi di
Jepang. ILD merupakan komplikasi yang sering sering dan cukup serius pada pasien
dengan dermatomiositis / polimiositis. Manifestasi ILD dapat terjadi secara akut dan
mengancam jiwa. 37

Gambar 43. Terapi cyclosporine memperbaiki prognosis pada pasien ILD yang terkait dengan
37
dermatomiositis / polimiositis yang resisten terhadap glukokortikoid.

47
37
Gambar 44. Algoritme manajemen ILD yang terkait dengan dermatomiositis / polimiositis.

2.10.7 Extra Corporeal Membrane Oxygenation (ECMO)


Studi yang dilakukan oleh Scherrer dan Bechir terkait dengan oksigenasi via
extracorporeal membrane pada kasus interstitial fibrosis yang diinduksi oleh bleomycin,
etoposide, dan ifosfamide. Prosedur ECMO dilakukan melalui pemasangan suatu
veno-aretero-arterial ECMO. Kanul vena ditempatkan pada vena femoralis kiri. Setelah
oksigenasi melalui extracorporeal membrane, darah dimasukkan kembali melalui 2
kanul arteri, yakni di arteria subclavia kiri dan arteri femoralis kiri. Hal ini merupakan
salah satu bentuk ventilasi dan oksigenasi protektif, sebagai hasilnya kadar FiO2 bisa
diturunkan optimal dan kerusakan lebih lanjut akibat toksisitas oksigen dapat dicegah.38

48
Gambar 45. Sirkuit ECMO. 38

38
Gambar 46. Ilustrasi prinsip kerja ECMO.

49
2.10.8 Transplantasi Paru
Pada pasien usia muda dengan ILD derajat berat yang telah mengalami
refrakter terhadap berbagai terapi, transplantasi organ menjadi pilihan terapi. 13

2.10.9 Rehabilitasi Paru


Untuk meningkatkan dan mengoptimalkan fungsi harian, rehabilitasi paru
difokuskan untuk meningkatan endurance dan latihan fisik, dukungan emosional, dan
konseling nutrisi untuk memastikan pasien mendapatkan kalori dan nutrisi yang cukup.
13

2.10.10 Modifikasi Gaya Hidup dan Vaksinasi


Pasien hednaknya mendapatkan konseling terkait pola hidup sehat, termasuk
program berhenti merokok. Diet dan nutri dengan kecukupan kebutuhan kalori,
mengingat pasien dengan ILD akan cenderung mengalami penurunan berat badan
terkait metabolisme yang meningkat untuk usaha pernafasan. Imunisasi dapat
membantu mencegah infeksi saluran pernafasan yang dapat memperburuk gejala ILD.
Vaksin pneumonia, vaksin influenza, serta kewaspadaan terhadap obat yang dapat
memicu terjadinya ILD akan membantu menghasilkan luaran/outcome yang baik. 13

2.8 Pencegahan
Terjadinya interstitial lung disease akibat obat kemoterapi memang tidak dapat
diketahui. Mengenali faktor risiko, jenis obat kemoterapi yang digunakan, maupun
interaksi obat merupakan hal yang penting dalam upaya menurunkan risiko terjadinya
ILD maupun sebagai bentuk pencegahan. 13

50
BAB 3
INTERTSITIAL LUNG DISEASE (ILD) DIINDUKSI OBAT KEMOTERAPI

Saat ini jenis obat untuk terapi semakin bertambah. Hal tersebut juga
berhubungan dengan insiden terjadinya gangguan pernafasan yang berat akibat obat,
juga semakin bertambah. Beberapa obat dihubungkan dengan beberapa komplikasi
pulmonal dengan berbagai tipe, diantaranya inflamasi, interstitial lung disease, fibrosis,
bronkospasme, edema paru, dan efusi pleura. Interstitial lung disease diinduksi obat
dapat disebabkan oleh obat kemoterapi, antibiotic, antiaritmia, dan obat
imunoseupresan. Tidak ada gambaran yang jelas secara klinis, radiografi, maupun
gambaran patologis dari interstitial lung disease, diagnosis biasanya ditegakkan
melalui adanya manifestasi penyakit paru setelah menggunakan obat tertentu.
Penyebab lain dari interstitial lung disease harus dapat dieksklusi. Pengobatannya
adalah dengan menghindari dari paparan dan kortikosteroid sistemik pada penyakit
yang progressif.
Interstitial Lung Disease (ILD) diinduksi obat, tidak jarang ditemui dan memiliki
banyak gambaran klinis, mulai dari infiltrat, gangguan pernapasan akut hingga kondisi
yang mengancam jiwa. Ada dua mekanisme yang terlibat dalam ILD diinduksi obat,
yang mungkin saling bergantung. Satu adalah toksisitas langsung, tergantung
pengunaan dosis, dan yang lainnya adalah sistem imun. Cedera paru sitotoksik /
cytotoxic lung injury, mungkin hasil dari adanya cedera langsung pada pneumocytes
atau endotelium kapiler alveolar. Obat dapat menginduksi semua jenis reaksi
imunologi. Namun, sebagian besar reaksi ILD diinduksi obat, mayoritas merupakan
reaksi mediasi sel T. 24

51
Tabel 16. Daftar Obat yang Dapat Menginduksi Intertsitial Lung Disease. 24
Box 1: Drugs Associated with the Development of Interstitial Lung
Disease
Antibiotics Chemotherapeutic Agents
 Nitrofurantoin  Azathioprine
 Sulfasalazine  Bleomycin
Anti-inflammatory Agents  Busulfan
 Aspirin  Carmustine
 Etanercept  Chlorambucil
 Gold  Cyclophosphamide
 Infliximab  Cytosine arabinoside
 Methotrexate  Etoposide
 Penicillamine  Flutamide
Cardiovascular Agents  Imatinib
 Amiodarone  Lomustine
 Tocainide  Melphalan
Drugs Inducing  Methotrexate
Systemic Lupus Erythematosus  Methyl-CCNU
 Hydantoin  Mitomycin-C
 Hydralazine  Procarbazine
 Isoniazid  Rituximab
 Penicillamine  Vinblastine
 Procainamide  Zinostatin
Illicit Drugs Miscellaneous agents
 Heroin  Drugs inducing pulmonary
 Methadone infiltrate and eosinophilia
 Propoxyphene  Hydrochlorothiazide
 Talc as an IV  Oxygen
contaminant  Radiation
 l-Tryptophan
Keterangan: CCNU, 1-(2-chloroethyl)-3-(4-methylcyclohexyl)-1-nitrosourea.

52
ILD diinduksi obat sulit untuk didiagnosis. Diagnosis sering mungkin dengan
pengecualian saja / ekslusi penyebab lain. Mengidentifikasi obat penyebab yang
menginduksi alergi atau sitotoksisitas sangat penting untuk mencegah reaksi sekunder.
Salah satu metode untuk mengkonfirmasi diagnosis dari penyakit yang diinduksi obat
adalah re-exposure atau re-test obat. Namun, dokter enggan untuk menempatkan
pasien pada risiko lebih lanjut dari penyakit, terutama dalam kasus-kasus penyakit
akibat obat yang parah. Penilaian imunitas seluler baru-baru ini meningkat, karena
memverifikasi ada atau tidak adanya obat yang men-sensitisasi limfosit, dapat
membantu dalam konfirmasi penyakit yang diinduksi obat. Menggunakan sampel darah
perifer dari pasien yang alergi obat, tes stimulasi limfosit akibat obat (Drug Induced
Lymphocyte Stimulation Test, DLST) dan uji migrasi leukosit (Leucoyte Migration Test,
LMT) dapat mendeteksi keberadaan sel T sensitisasi obat. Namun, tes ini tidak
memiliki peran yang pasti dalam diagnosis ILD diinduksi obat. 24
Beberapa obat yang dapat menimbulkan toksisitas paru tersebut diantaranya
1
docetaxel, gemcitabine, paclitaxel, irinotecan, gefitinib, erlotinib, dan bevacizumab.
39
Toksisitas paru akibat obat anti neoplasma memiliki karakteristk yang tidak spesifik.
Golongan obat anti neoplasma meliputi: antimetabolite (gemcitabine, fuldarabine,
dadribine, pentostatin), taxane (paclitaxel, docetaxel), topoisomerase I inhibitor
(irinotecan, topotecan), platinum analogs (oxaliplatin), tyrosine kinase inhibitor
(gefitinib, imatinib mesylate, erlotinib), antibody monoclonal, thalidomide dan
bortezomib.39 Klinisi sebaiknya tetap waspada terhadap obat sitostaika yang
mempunyai risiko potensial terjadinya ILD.
Perkembangan terapi target molekuler menjadi kuci utama dapam pengobatan
kanker dewasa ini, dan bberapa disebutkan berfungsi sebagai terapi standard untuk
berbagai jenis karsinoma. Toksisitas paru yang ditimbulkan oleh agen target moekuler
berbeda dengan toksisitas paru yang diakibatkan oleh terapi sitostatika anti kanker. ILD
di Jepang memperleh terapi target molekuler telah dilakukan berbagai studi. 40
Kendala yang dihadapi adalah belum ada studi maupun sistematik review yang
memberikan gambaran terkait obat kemoterapi apa saja, serta bagaimana insiden dan
probability (kemungkinan) terjadinya interstitial lung disease. Oleh karena itu berikut
akan dipaparkan beberapa obat kemoterapi yang sering dipakai dan berisiko
menimbulkan interstitial lung disease berdasarkan beberapa studi.

53
3.1. Rituximab
Rituximab (RTX), anti-CD20 IgG1 antibodi monoklonal, telah efektif digunakan
sebagai agen tunggal atau dalam kombinasi dengan regimen kemoterapi untuk
mengobati limfoma sejak tahun 1997. Selain itu, telah digunakan untuk mengobati
idiopatik thrombocytopenic purpura, sistemik lupus eritematosa, rheumatoid arthritis,
dan anemia hemolitik autoimun. Baru-baru ini, RTX juga telah disarankan untuk
pengobatan terkait penyakit-jaringan ikat penyakit tertentu interstitial paru (ILD) dan
hipersensitivitas pneumonitis. Reaksi yang berefek berat pada paru jarang dilaporkan.41

Gambar 47. Mekanisme kerja Rituximab. 41

54
Gambar 48. Event-free survival Rituximab. 42

Laporan lima kasus (lampiran 1) terkait RTX induksi ILD oleh Mautillah
Naqibullan, et al. tahun 2015, mengungkapkan toksisitas paru berat dan berpotensi
mengancam jiwa dari RTX. Perubahan klinis dan radiologis berkembang dalam
hitungan minggu setelah pengobatan RTX. Gejala yang paling umum adalah batuk
kering, dyspnea saat aktivitas, dan demam. Gejala yang kurang umum dan non-
spesifik lainnya termasuk kelelahan, wheezing, hemoptisis, ruam kulit, dan nyeri dada
pleuritik. Dalam 20% kasus, pasien yang menunjukkan gejala pada saat diagnosis
dengan penyakit yang terdeteksi baik oleh Computed tomograophy (CT) atau Liver
Function Test (LFT). 41
CT dari paru-paru biasanya menunjukkan gambaran atau konsolidasi berupa
bercak pada kedua lapang paru. Pada beberapa kasus, adanya nodul centrilobular
mengindikasikan suatu alveolitis. Pada satu kasus, efusi pleura bilateral terlihat jelas
akibat toksisitas RTX atau koinfeksi. Pada kasus tersebut juga dilaporkan adanya
alveolitis, fibrosis, perdarahan alveolar, efusi pleura, dan konsolidasi. 41
Mekanisme patogen RTX-ILD sangat kompleks dan belum dapat dijelaskan
secara terperinci. Beberapa studi menunjukkan bahwa limfosit yang cepat lisis, aktivasi
komplemen, dan pelepasan TNF-α terjadi setelah RTX infus. Secara khusus, TNF-α
merupakan komponen utama dalam patogenesis ILD karena efek proinflamasi yang

55
beragam dengan mengaktifkan sitokin, mediator inflamasi, dan faktor angiogenik.
Biopsi paru biasanya tidak dilakukan pada RTX-ILD, tetapi inflamasi paru adalah
gambaran umum yang sering dijumpai pada kasus-kasus yang dilaporkan. 43
Kontrol rutin fungsi paru-paru termasuk spirometri dan kapasitas difusi dapat
digunakan sebelum memulai terapi RTX dan diulang jika pasien muncul gejala
gangguan pernapasan. Pengobatan RTX-ILD mengikuti prinsip-prinsip umum toksisitas
paru diinduksi obat: 1) penghentian agen ofensif, 2) terapi suportif, dan 3) pengobatan
kortikosteroid. Steroid dapat dipertimbangkan pada pasien dengan dyspnea sedang
sampai berat, kegagalan pernapasan, dan penurunan berat pada fungsi paru-paru,
khususnya kapasitas difusi. Tidak ada rekomendasi tentang dosis, rute pemberian,
atau durasi terapi steroid. 43
Studi yang dilakukan oleh Krishnaswamy et al, terkait studi klinis terhadap
insiden interstitial lung disease (ILD) akibat rituximab. Interstitial lung disease dapat
muncul dengan gejala sesak, demam, batuk dan tidak ada data yang jelas adanya
infeksi. Penulis menggunakan studi prospective longitudinal untuk menjelaskan
presentasi klinis, manajemen, dan respon pada pasien dengan ILD akibat rituximab
periode 1 tahun. Dari 16 pasien non-Hodgkins lymphoma dengan CD20 positif,
didapatkan 6 pasien mengalami interstitial lung disease akibat rituximab. Sebanyak 4
dari pasien tersebut memiliki gambaran diffuse large B cell lymphoma (DLBCL). Waktu
tengah onset terjadinya ILD adalah kemoterapi siklus ketiga. Empat pasien berespon
dengan kortikosteroid dan suplementasi oksigen, serta 1 pasien membutuhkan
ventilator mekanik. 44

Tabel 17. (A), Demografi dan profil histologi pasien yang mendapat terapi rituximab. (B),
gambaran klinis ILD yang berat. 44

56
Rituximab, suatu monoclonal antibody terhadap sel B, dilaporkan dapat
menyebabkan toksisitas paru pada beberapa pasien. penggunaan rituximab sebagai
45
agen biologic cukup meningkat. Studi yang dilakukan oleh Hadjinicolalou et al,
sebanyak 121 kasus terjadinya ILD yang diinduksi oleh rituximab, yang diidentifikasi
dari 21 kasus klinis, terdiri dari 30 laporan kasus dan 10 kasus serial. Indikasi secara
umum rituximab adalah untuk diffuse large B cell lymphoma. ILD terkait dengan
rituximab sering terjadi pada pasien laki-laki dan sering terjadi pada decade ke-4 dan
ke-5. Mayoritas kasus rituximab sebagai terapi kombinasi dengan obat sitostatika yang
lain, namun sekitar 30 kasus (24.7%) digunakan sebagai monoterapi. Nilai rerata dan
nilai tengah jumlah siklus rituximab sebelum timbulnya onset ILD adalah 4 siklus,
namun dilaporkan juga kasus ILD dengan onset yang muncul setelah siklus pertama
maupun siklus yang terakhir, siklus ke-12. Waktu rerata saat jam terakhir pemberian
rituximab, hingga gejala muncul dan relevan dengan gambaran raiologis yakni sekitar
30 hari (rata-rata 0-158 hari). Gambaran radiologis yang muncul mirip antara kasus
satu dengan kasus yang lain, yakni gambaran infiltrate difus bilateral yang tampak
pada CXR maupun CT thorak. Hipoksemia didapatkan pada semua kasus dan tes
fungsi paru didapatkan abnormalitas dengan didapatkannya deficit kaspasitas difus,
dan gambaran ventilasi yang restriktif. Kondisi ILD terkait rituximab yang fatal, terjadi
pada 18 kasus. 45

57
45
Gambar 49. Indikasi terapi rituximab.

45
Gambar 50. Onset ILD dikukur dari dosis terakhir pemberian rituximab.

58
45
Gambar 51. Presentasi klinis ILD.

45
Gambar 52. Outcome pasien ILD.

Pada semua kasus, rituximab tidak dilanjutkan dan pemberian cyclosporine


segera. Mayoritas pasien mendapatkan terapi antibiotic empiric dan anti-fungal.
Outcome / luaran didapatkan 99 kasus, dimana 68 pasien mengalami resolusi total, 5
kasus mengalami resolusi tanpa intervensi. 9 pasien mengalami resolusi sebagian dan
18 kasus berujung fatal. 45

59
Pada pasien yang mengalami perbaikan dengan pengobatan cyclosporine,
resolusi sistomatik didapatkan dalam beberapa hari, dengan perbaikan gambaran
radiologis (minggu-bulan). Infiltrate paru pada CT menghilang dalam waktu 5 bulan
setelah onset awal. 17 kasus membutuhkan ventilator mekanik, penyakit memburuk
secara progresif, dan 9 diantaranya meninggal. 2 dari 10 pasien dengan riwayat ILD,
menjalani ulangan terapi rituximab. 45
3.2 Docetaxel
Docetaxel merupakan derivat taxane yang mempunyai aktivitas pada tumor
padat termasuk tumor mammae, lambung, ovarium, dan NSCLC (non small cell lung
cancer). Docetaxel menyebabkan kerusakan pada jaringan mikrotubular pada sel yang
berperan dalam proses mitosis dan fungsi seluler interfase. Berikatan dengan tubulin
bebas, docetaxel menghasilkan ikatan mikrotubular disfungsional yang menghambat
mitosis. Akumulasi ikatan ini menyebabkan apoptosis. Lebih lanjut lagi, docetaxel
diketahui menghambat protein antiapoptosis Bcl-2, sehingga mendorong terjadinya
apoptosis. 1

1
Gambar 53. Jalur apoptosis yang diinisiasi olah obat kemoterapi dan radioterapi.

60
Reaksi hipersensitivitas menjadi penyebab tersering. Dalam suatu studi, reaksi
hipersenisitvitas seperti ini dilakukan pada 42% pasien, termasuk sesak, pruritus, ruam
kulit, demam, dan hipotensi berhubungan dengan formulasi docetaxel atau produksi
histamin yang mungkin dapat dihambat dengan pemberian antihistamin. Pneumonitis
hipersensitivitas pada hasil CT scan tampak gambaran ground glass appaearance
pada parenkim paru bilateral. 1
Docetaxel dapat menyebabkan pneumonitis interstitial akut dimana
penggunaan monoterapi atau kombinasi dengan pengoatan yang lain. Koadministrasi
docetaxel dan gemcitabine dapat dihubungkan dengan insiden terjadinya pneumonitis
interstitial sebesar 23%. Pasien yang mendapat docetaxel dikombinasi gemcitabine
atau estramustine memeiliki gambaran berupa diffuse alveolar damage, dimana dapat
berkembang untuk terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS). Beberapa
studi dilaporkan bahwa toksisitas paru tersebut seing muncul pada pasien dengan
pemberian dosis mencapai 500mg/m2. 1
Pneumonitis yang diinduksi oleh docetaxel biasanya memiliki respon baik
dengan steroid, dimana juga merupkan indikasi dalam penanganan reaksi
hipersensitivitas. Bagaimanapun juga beberapa kasus yang berat, penggunaan steroid
dikatakan kurang efektif terutama pada pasien dengan bantuan ventilator jagnka
panjang. 1

3.3 Gemcitabine
Gemcitabine merupakan analog deoxycytidine dimana berhubungan dengan
sintesis DNA melalui hambatan terhadap DNA dan RNA polymerase. Pemberian
analog deoxycytidine terhadap perkembangan DNA, akan berkompetisi dengan
deoxycytidine triphosphate pada lokasi cytidine, gemcitabine menghenatikan
pertumbuhan pada fase-S dan menginduksi apoptosis. 1
Antimetabolit tersebut digunakan pada beberapa tumor padat pancreas,
ovarium, payudara, esophagus, dan paru. Profil toksisitas paru akibat gemcitabine
lebih ringan dibandingkan dengan toksisitas lain seperti myelosupresif. Insiden
neutropenia lebih tinggi terutama pada terapi kombinasi dibandingkan dengan terapi
lini pertama. 1
Meskipun gemcitabine termasuk obat dengan profil keamanan yang cukup,
namun kasus toksisitas paru juga dilaporkan. Studi dilaporkan bahwa toksisitas paru

61
akibat gemcitabine sekitar 4%. Pneumonitis interstitial akut dihubungkan dengan reaksi
hipersensitif yang dimediasi oleh sitokin, dimana berespon baik dengan steroid. 1

3.4 Paclitaxel
Seperti halnya docetaxel, dapat menyebabkan interaksi terhadap fungsi normal
dari pertumbuhan mikrotubuli dan membuat fungsi tersebut berhenti. Paclitaxel
berikatan dengan BCl-2 sehingga fungsi BCl-2 dalam menghambat apoptosis menjadi
terganggu. 1
Paclitaxel digunakan sebagai agen kemoterapi terhadap tumor mamme, paru,
ovarium dan sarcoma Kaposi. Bagaimanapun juga gejala toksisitas paru dapat muncul,
pada 5 menit pertama setelah pemberian obat dosis pertama, berupa sesak, rasa tidak
nyaman di dada, bronkospasme, urtikaria, hipotensi, dan 30% pasien dapat terjadi
reaksi hipersensitivitas tipe I. Hal ini dapat disebabkan karena terbentuknya antibody
IgE terhadap paclitaxel, ataupun pelepasan histamine dan zat vasoaktif lainnya.
Premedikasi diketahui dapat menurunkan resiko terjadainya toksisitas tersebut,
diantaranya melalui pemberian antihistamin, kortikosteroid, histamine 2 blocker (H2
receptor antagonist). 1

62
20
Gambar 54. Gambaran CT scan pada toksisitas paru akibat Placitaxel.

3.5 Crizotinib
Terdapat suatu laporan kasus yag disampaikan Yanagisawa et al, terkait
dengan pengobatan ulang crizotinib yag sukses setelah terjadinya interstitial lung
disease akibat crizotinib. Studi tersebut dilaporkan, seorang wanita 53 tahun dengan
kelemahan sejak 2 bulan, tanpa riwayat merokok sebelumnya. Pemeriksaan skrining
radiologis didapatkan massa pada paru lobus kanan bawah, dan dikatakan suatu
adenoca paru stadium IV, dengan metastase tulang dan otak. Pemeriksaan fluresence
hibridisasi didapatkan suatu anaplastic lymphoma kinase (ALK). Crizotinib (suatu
penghambat ALK, 250mg dua kali sehari) diberikan sebagai inisiasi kempoterapi lini
pertama pada Mei 2012. Gejala didapatkan perbaikan hingga hari ke-10, ketika
mengalami kondisi batuk produktif. Pemberian pengobatan dengan levofloxacin, batuk
kering dan sesak semakin memburuk. Pada hari ke-14 CT scan evaluasi didapatkan
remisi parsial dan tumor paru kanan bawah, meskipun didapatkan gambaran ground
glass opacities bilateral. Karena hipoksemia (saturasi okseigen udara ruangan <90%),
studi diagnostik lebih lanjut tidak dapat diperiksakan. Identifikasi pathogen pada paru

63
tidak ditemukan, penulis mempertimbangkan suatu interstitial lung disease.
Crizotinibtidak dilanjutkan , pemberian methylprednisolone dosis tinggi 1000mg selama
3 hari berturut-turut inisiasi diberikan. Hasil evaluasi didapatkan perbaikan gejala,
meskipun massa paru tetap tumbuh membesar. Selama penyakit tersebut
berkembang, penulis mencoba beberapa kemoterapi regimen konvensional, seperti
carboplatin, docetaxel, dimana obat tersebut tidak efektif. Gangguan nafas pasien
tersebut memburuk dan pasien membutuhkan suplemen oksigen 2 liter permenit.
Pasien dan keluarga berharap untuk memulai kembali pengobatan crizotinib, meskipun
dijelaskan resiko terjadinya interstitial lung disease ulang telah dijelaskan. Pengobatan
crizotinib ulang direkomendasikan pada Januari 2013 (250mg dua kali sehari) dengan
intravena dexamethasone (6.6mg sehari). Kondisi umum pasien secara bertahap
membaik, dan suplemen oksigen akhirnya tidak dibutuhkan kembali. Tidak adanya
kejadian toksisitas paru ulangan dan remisi parsial tumor juga tercapai. Dosis steroid
diturunkan secara bertahap tiap minggu, hingga 2mg perhari. Pasien teersebut dalam
kurun 2 bulan terdapat perbaikan yang progresif dan tidak ada kekambuhan interstitial
lung disease. 46

3.6 Amrubicin
Amrubicin merupakan golongan antracycline yang digunakan dalam
pengobatan small cell lung cancer (SCLC), namun efek samping dan toksisitas paru
akibat amrubicin tidak diketahui. Beberapa kasus dilaporkan insiden interstitial lung
disease pasien dengan SCLC yang mendaatkan pengobatan amrubicin. Studi yang
dilakukan oleh Yoh et al, terhadap 100 pasien SCLC yang mendapat terapi tunggal
dengan amrubicin pada National Cancer Center Hospital East Japan, pada bulan Juni
2003 hingga Maret 2008. Insiden ILD mencapai 33% (4/12) diantara pasien yang
sebelumnya memiliki riwayat pulmonary fibrosis, dan sebesar 3% (3/88) diantara
pasien tanpa memiliki riwayat pulmonary fibrosis sebelumnya. 47

64
Gambar 55. CT scan dada sebelum dan sesudah pengobatan amrubicin. (A), CT scan dada
sebelum pengobatan menunjukkan gambaran bilateral retuicular shadow pada pleura, dan
tumor primer pada lobus kanan bawah. (B), CT scan dada pada hari ke-17 setelah pengobatan
amrubicin, didapatkan gambaran bilateral diffuse ground-glass opacities. 47

3.7 Gefitinib
Studi yang dilakukan oleh Shi et al, gefitinib dan erlotinib merupakan suatu
epidermal growth factor receptor (EGFR) tyrosine kinase inhibitor (TKIs) yang secara
luas digunakan pada advanced non-small cell lung cancer (NSCLC). Penulis
melakukan review sistematik dan meta analisis untuk mengetahui insiden dan relative
risk interstitial lung disease yang dihubungkan dengan penggunnaan gefitinib dan
erlotinib. Kesimpulan studi tersebut, EGFR TKIs gefitinib dan erlotinib terdapat
hubungan yang signifikan dengan peningkatan insiden interstitial lung disease pada
NSCLC yang berat. 48

Tabel 18. Insiden dan relative risk (RR) interstitial lung disease dari gefitinib dan erlotinib. 47

65
Gambar 56. Relative risk dari interstitial lung disease dihubungkan dengan epidermal growth
factor receptor (EGFR) tyrosine kinase inhibitor (TKI) versus control. 47

66
Studi yang dilakukan oleh Takano et al, menyebutkan bahwa insiden tinggi
terjadinya penyakit paru interstitial dilaporkan pada pasien dengan non-small cell lung
cancer yang mendapat terapi gefitinib di Jepang. Insiden interstitial lung disease (ILD)
mencapai 5.4% dan lebih tinggi pada pasien yang sebelumnya mempunyai fibrosis
paru (sebesar 33%, p<0.001). 49
Hasil analisis multivariate menunjukkan bahwa fibrosis paru sebagai faktor
risiko signifikan untuk terjadinya ILD (OR: 177,95% CI: 4.53-6.92, p=0.006). Respon
rate 33% pada 98 pasien yang dievaluasi, dan lebih tinggi pada wanita (53% versus
23%, p=0.003), pasien dengan adenocarcinoma (38% versus 6%, p=0.010), tidak
pernah merokok (63% versus 18%, p<0.001), dan pasien tanpa riwayat radioterapi
thorakal sebelumnya (39% versus 13%, p=0.015). 49

Gambar 57. Kurva Kaplan-Meier terkait Overall Survival (OS) pada pasien yang sebelumnya
49
dengan ILD dibandingkan tanpa ILD sebelumnya.

67
Studi yang dilakukan oleh Beom SH et al, menunjukkan bahwa insiden ILD
yang diinduksi oleh gefitinib sama dengan yang dilaporkan di dunia, namun jumlah
yang dilaporkan lebih kecil dari poulasi Jepang. ILD yang diinduksi gefitinib merupakan
kondisi yang mengancam jiwa.
Dari 1114 pasien yang dievaluasi, 128 pasien (11.5%) diantaranya berkembang
mengalami efek samping setalah mendapatkan gefitinib, dimana 15 pasien (1.3%)
berkembang menjadi ILD. ILD juga memiliki hubungan yang signifikan dengan kadar
albumin yang rendah. Hasil analisis multivariate, kadar albumin yang rendah (≤3.0 g/dl)
pada kondisi basal dikaitkan memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya ILD
yang diinduksi gefitinib (odds ratio 3.91’ 95% confidence interval 1.20-12.71). 50

Gambar 58. Algoritme subjek penelitian pada pasien yang mengalami reaksi samping terjhadap
fungsi paru. 50

68
Tabel 19. Laporan insiden, mortalitas dan faktor risiko ILD yang diinduksi oleh gefitinib di
Jepang dan Taiwan. 50

Laporan kasus yang disampaikan oleh Waters et al, terkait kasus pneumonitis
interstitial yang diinduksi oleh pemetrexed. Pemetrexed merupakan suatu obat antifolat
generasi baru yang saat ini sering digunakan sebaga iterapi pada non-small cell lung
cancer. 51

Tabel 20. Beberapa laporan kasus terkait pneumonitis yand diinduksi oleh permetrexed. 51

69
Ga
51
mbar 59. Gambaran CT pada ILD yang diinduksi oleh pemetrexed.

70
32
Gambar 60. CXR pada pasien dengan ILD.

Studi yang dilakukan oleh Ernesto et al, terkait ILD yang diinduksi vandetanib.
Vandetanib merupakan vascular endothelial growth factor receptor (VEGFR), dan
tyrosine kinase inhibitor semakin berkembang untuk mengobatan karsinoma paru baik
sebagai monoterapi atau kombinasi dengan kemoterapi lini kedua. Vandetenib sebagai
VEGFR akan mempengaruhi EGFR, dimana EGFR akan mempengaruhi TKI dan
berhubungan dengan ILD. 52
Oxaliplatin merupakan platinum-based generasi ketiga, dimana sering
digunakan bersama capecitabine atau 5 fluorouracil untuk kanker gastrointestinal.
Beberapa efek samping yang sering mnucul sebagai efek samping meliputi manifestasi
neurologis, hematologis, dan gastro intestinal. Gejala lain yang jarang muncul meliputi
dermatologis, toksisitas hati dan paru. Toksisitas paru yang sering muncul adalah
interstitial lung disease (ILD). 32
Suatu laporan kasus oleh Kumaran et al¸ laki-laki usia 58 tahun kanker
gastrointestinal metastase tulang, mendapatkan kemoterapi paliatif dengan CapeOx

71
(Capecitabine dan Oxaliplatin) serta zoledronic acid. Pada hari kedua pemberian
kemterapi pasien dikeluhkan sesak, dan setelah dilakukan berbagai pemeriksaan serta
HRCT, diketahui pasen mengalami ILD akibat oxaliplatin. 32

3.8 Oxaliplatin

53
Gambar 61. Gambaran paru pada pasien yang berhubungan dengan kemoterapi FOLFOX.

Suatu laporan kasus yang disampaikan oleh Lim et al, seorang pria 64 tahun
dengan ca gaster metastase, mengalami sesak yang semakin memberat. Pasien
didiagnosis ca gaster sejak 4 bulan sebelumnya. Pemeriksaan endoskopi
menunjukkan tumor gaster dan dikonfirmasi melalui hasil biopsi yang menunjukkkan
suatu adenocarcinoma. Hasil CXR menunjukkan tidak ada suatu perubahan yang
spesifik, CT abdomen menunjukkan limfadenopati multiple paraaorta, omentum dan
mesenterium. PET scan didapatkan hasil lesi hipermetabolik pada limfadneopati di
supraclavicular kiri, mediasinal dan abdomen. Pasien menjalani kemoterapi FOLFOX.
Setelah siklus ke-8, hasil evaluasi pasien mengalami respon parsial. Pasien
mengeluhkan sesak yang progresif disertai dengan batuk kering. CXR menunjukkan

72
infiltrat interstitial bilateral. BGA menunjukkan hipoksemia ringan dan diberikan
suplementasi oksigen. Antibiotic spectrum luas diberikan. Hasil kultur darah, sputum,
dan urine tidak didapatkan sumber infeksi. Dikarenakan tidak ada respon terhadap
antibiotik, klinisi melakukan pemeriksaan bronkoskopi termasuk bronchoalveolar
lavage, namun tidak dapatkan agen infeksius. Meskipun antibiotik empiris seperti
vancomycin, cefepime dan ciprofloxacin telah diberikan, keluhan sesak pasien semakin
memburuk. Pasien menjalani pemeriksaan CT scan thorak, didapatkan hasil
keterlibatan interstitial reticular dan gambaran ground glass disertai penebalan septa
interlobular yang mengesankan gambaran fibrosis paru. Pasien juga didapatkan efusi
pleura bilateral. Karena kecurigaan interstitial lung disease cukup kuat, pasien
diberikan kortikosteroid dsis tinggi 2mg/kg. bagaimanapun juga evaluasi klinis cukup
beragam. Saturasi oksigen semakin turun sehingga pasien dilakukan intubasi dan
ventilasi mekanik. Pasien mengalami gagal nafas yang refrakter setelah 10 hari
penanganan dengan ventilasi mekanik. Keluarga menolak untuk dilakukan autopsy. 53
Studi yang dilakukan oleh Wilcox et al, menyebutkan bahwa pengobatan
dengan oxaliplatin pada kondisi pasien dengan latar belakang riwayat penyakit ILD,
dapat menyebabkan perburukan kondisi fungsi respirasi. Hal ini belum diketahui
secara pasti, apakah terkait dengan perburukan kondisi parenkim yang mendasari
ataukah superimposed dengan cedera paru akut yang diinduksi oleh oxaliplatin. 54
ILD ya ng diinduksi oleh kemoterapi membutuhkan kecurigaan dengan indeks
tinggi dan pengetahuan terkait kemungknian regimen obat yang dapat menimbulkan
toksisitas paru. Oxaliplatin merupakan salah satu yang berisiko terjadinya toksisitas
paru. 55
Suatu studi kasus oleh Soon WC et al melaporkan wanita 54 tahun dengan
sesak dan demam yang memberat sejak 2 minggu. Pasien memiliki riwayat
adenocarcinoma sigmoid differensiasi baik, telah menjalani reseksi 6 bulan sebelum
rujukan, diikuti dengan kemoterapi FOLFOX sebanyak 12 siklus. Pasien menjalani
terapi pneumonia yang berat, dan tetap mengalami hipoksia. CT thorak menunjukkan
gambaran fibrosis hemithorak kanan yang cukup luas, dengan densitas ground glass,
yang lebih berat dibandnigkan dengan pemeriksaan CT thorak 2 bulan sebelumnya.
Meskipun keluhan membaik dengan terapi steroid, pemeriksaan ulang menunjukkan
hydropneumothorak sehingga membutuhkan insersi thorak drain. Dalam follow up
lanjutan pasien mengalami perbaikan kondisi baik secara klinis maupun radiologis.

73
Klinisi memberikan terapi steroid methylprednisolone intravena sebanyak 1 g selama 3
hari. 56

Gambar 62. CXR pada adenocarcinoma sigmoid yang mengalami ILD diinduksi oleh
FOLFOX.56

Gambar 63. Gambaran CT pada extensive fibrosis. 56

74
Togashi et al, melakukan investigasi secara restrospektif terhadap pasien small
cell lung cancer dengan atau tanpa interstitial lung disease (ILD). Response rates dan
median progression-free survival kemoterapi lini pertama dengan atau atanpa pre-
eksistansi ILD, hasilnya tidak begitu signifikan. Bagaimanapun juga pneumonitis yang
berhubungan dengan kemoterapi meningkat secara signifika pada pasien dengan pre-
eksistansi ILD sebelumnya, dan dilaporkan memiliki survival dan faktor prognosis yang
buruk. Dari studi yang dilakukan tersebut, didapatkan 28 pasien (23%) mengalami ILD.
Pneumonitis. 57

75
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Adapun beberapa kesimpulan yang dapat diambil terkait dengan Interstitial Lung
Disease (ILD) yang diinduksi oleh kemoterapi adalah sebagai berikut:
 Terapi target banyak dikembangkan untuk terapi kanker, dan telah idbuktikan
secara klinis memiliki hasil luaran outcome yang baik.
 Bagaimana pun juga terapi target dan sitostaika berhubungan dengan
terjadinya toksisitas paru berupa interstitial lung disease (ILD) dan berpotensi
megnancam jiwa.
 Klinisi harus memiliki kecurigaan dan investigasi terhadap gejala respirasi baru
yang muncul maupun perubahan gambaran radiologis, pada pasien yang
mendapatkan terapi sitostatika.
 Terapi utama ILD yang diinduksi oleh obat sitostatika adalah dengan
penghentian obat dan pemberian steroid.
 Keputusan untuk pemberian ulang obat sitostaika tergantung dari masing-
masing individu dan bergantung pada variasi obat, derajat beratnya ILD, serta
obat yang tersedia.

76
77

Anda mungkin juga menyukai