Anda di halaman 1dari 4

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN STROKE NON

HEMORAGIK DENGAN MASALAH GANGGUAN


KOMUNIKASI VERBAL
DI RSUD SIDOARJO

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :
NUR AZIZA
P27820417001

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN SURABAYA
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
SIDOARJO
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stroke atau Cerebro Vaskular Accident (CVA) merupakan salah satu penyakit serius
yang mengancam jiwa. CVA (Cerebro Vaskuler Accident) merupakan kerusakan pada otak
yang terjadi ketika aliran darah atau suplai darah ke otak tersumbat, adanya perdarahan atau
pecahnya pembuluh darah. Perdarahan atau pecahnya pembuluh darah pada otak dapat
menimbulkan terhambatnya penyediaan oksigen dan nutrisi ke otak (Fransiska, 2012). Pada
keadaan tersebut suplai oksigen ke otak terganggu sehingga mempengaruhi kinerja saraf di
otak. Hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah diantaranya penurunan kesadaran dan
kelemahan otot. Penurunan kesadaran pada penderita CVA (Cerebro Vaskuler Accident) dapat
menyebabkan ketidakefektifan perfusi jaringan serebral Penanganan dan perawatan yang
tepat pada pasien CVA (Cerebro Vaskuler Accident) diharapkan dapat menekan serendah-
rendahnya dampak negatif yang ditimbulkan (Hartikasari, 2015).

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2015, kasus stroke diseluruh
dunia diperkirakan mencapai 50 juta jiwa, dan 9 juta diantaranya menderita kecacatan berat
yang lebih memprihatinkan lagi 10% diantaranya yang terserang stroke mengalami kematian
(Fitriani, 2017). Di Amerika Serikat hampir 700.000 orang mengalami stroke, dan hampir
150.000 berakhir dengan kematian, di Amerika Serikat tercatat hampir setiap 45 detik terjadi
kasus stroke, dan setiap detik terjadi kematian akibat stroke (Medikastore, 2013).
Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 di Indonesia
stroke menjadi urutan yang paling utama, dengan menunjukkan bahwa prevalansi stroke di
Indonesia sebesar 6% atau per 8,3% per 1000 penduduk dan yang telah di diagnosis oleh
tenaga kesehatan adalah per 1000. Sedangkan di Jawa Timur prevalansi stroke masih cukup
tinggi yaitu sebesar 0,8% (badan penelitian dan pengembangan kesehatan, 2013). Organisasi
stroke dunia mencatat hamper 85% orang yang mempunyai faktor resiko dapat terhindar dari
stroke bila menyadari dan dapat mengatasi faktor resiko tersebut sejak dini. Badan kesehatan
di dunia memprediksi bahwa kematian akibat stroke akan meningkat sering dengan kematian
akibat penyakit jantung dan kanker kurang lebih 6 juta pada tahun 2010 (Nabyl R.A 2012, H
19).
Stroke atau Cerebro Vaskuler Accident (CVA) dapat menyerang siapa saja terutama
penderita penyakit– penyakit kronis, seperti tekanan darah tinggi, kencing manis, jantung,
kadar kolestrol tinggi, penyempitan pembuluh darah, penebalan pembuluh darah, obesitas
dan lain-lain. Tetapi pada umumnya stroke rentan terjadi pada penderita tekanan darah tinggi,
untuk itu penderita penyakit kronis haruslah mewaspadai dan mengantisipasi terjadinya
serangan stroke. Penyakit stroke berkitan dengan tekanan darah tinggi yang mempengaruhi
munculnya kerusakan dinding pembuluh darah sehingga dinding pembuluh darah tidak
merata. Akibatnya, zat-zat yang terlarut seperti, kolestrol, kalium dan lain sebagainya akan
mengendap pada dinding pembuluh darah yang dikenal dengan istilah penyempitan
pembuluh darah . 45 detik terjadi kasus stroke, dan setiap detik terjadi kematian akibat stroke
(Medikastore, 2013).

Masalah kesehatan yang muncul akibat stroke sangat bervariasi, tergantung dengan
luas daerah otak yang mengalami infark atau kematian jaringan dan lokasi yang terkena
(Lyna, 2007). Apabila stroke menyerang otak kiri dan mengenai pusat bicara, kemungkinan
pasien akan mengalami gangguan bicara atau afasia, karena otak kiri berfungsi untuk
mengnalisis, pikiran logis, konsep, dan memahami bahasa (Sofwan, 2010). Menurut
(Mulyasih, 2008) secara umum afasia dibagi dalam tiga jenis afasia motorik, afasia sensorik,
afasia global. Pasien stroke dapat mengalami gangguan bicara, sangat perlu dilakukan latihan
bicara disartia maupun afasia. Speech Therapy sangat dibutuhkan mengingat bicara dan
komunikasi merupakan faktor yang berpengaruh dalam interaksi sosial. Kesulitan dalam
berkomunikasi akan menimbulkan isolasi diri dan perasaan frustasi (Sunardi, 2006).
Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan pada sistem saraf pusat dapat
diprioritaskan sebagai diagnosa dengan alasan apabila tidak diatasi maka akan berakibat
ketidakmampuan individu untuk mengekspresikan keadaan dirinya dan dapat berakibat lanjut
pada penurunan harga diri pasien (Batticaca, 2008).

Menurut (Wardhana, 2011) penderita stroke yang mengalami kesulitan bicara akan
diberikan terapi AIUEO yang bertujuan untuk memperbaiki ucapan supaya dapat dipahami
oleh orang lain. Orang yang mengalami gangguan bicara atau afasia akan mengalami
kegagalan dalam berartikulasi. Artikulasi merupakan proses penyesuain ruangan supraglottal.
Penyesuaian ruangan didaerah laring terjadi dengan menaikkan dan menurunkan laring, yang
akan mengatur jumlah transmisi udara melalui rongga mulut dan rongga hidung melalui
katup valofaringeal dan merubah posisi mandibula (rahang bawah) dan lidah. Proses diatas
yang akan menghasilkan bunyi dasar dalam berbicara ( yanti, 2008) Berdasarkan pemaparan
latar belakang maka penulis memandang bahwa pemenuhan kebutuhan komunikasi pada
pasien stroke sangat penting. Sehingga penulis tertarik untuk memberikan “Asuhan
keperawatan pada klien stroke non hemoragik dengan masalah gangguan komunikasi verbal”.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana gambaran asuhan keperawatan pada klien Stroke Non Hemoragik
dengan masalah gangguan komunikasi verbal ?
1.3 Tujuan Studi Kasus
1.3.1 Tujuan umum
Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien Stroke Non Hemoragik dengan
masalah gangguan komunikasi verbal.
1.3.2 Tujuan khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada klien Stroke Non Hemoragik
dengan masalah gangguan komunikasi verbal .
b. Penulis mampu merumuskan masalah diagnosa keperawatan pada klien
Stroke Non Hemoragik dengan masalah gangguan komunikasi verbal.
c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada klien Stroke
Non Hemoragik dengan masalah gangguan komunikasi verbal.
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada klien Stroke Non Hemoragik
dengan masalah gangguan komunikasi verbal.
e. Penulis mampu mengevaluasi kondisi klien Stroke Non Hemoragik dengan
masalah gangguan komunikasi verbal.
1.4 Manfaat Studi Kasus
Manfaat studi kasus memuat uraian tentang implikasi temuan studi kasus yang
bersifat praktis terutama bagi:
1.4.1 Masyarakat dan keluarga mampu merawat klien Stroke Non Hemoragik dengan
masalah gangguan komunikasi verbal.
1.4.2 Menambah keluasan ilmu dan tekhnologi terapan bidang keperawatan dalam
pemenuhan kebutuhan komunikasi pada klien Stroke Non Hemoragik dengan
masalah gangguan komunikasi verbal.
1.4.3 Memperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan,
khususnya studi kasus tentang pelaksanaan pemenuhan kebutuhan komunikasi
pada klien Stroke Non Hemoragik dengan masalah gangguan komunikasi
verbal.

Anda mungkin juga menyukai