Anda di halaman 1dari 6

Ringkasan Kasus

1. Anamnesis

Seorang anak perempuan dengan inisial N berusia 2 tahun 10 bulan datang ke


Puskesmas Salam Magelang diantar oleh ibunya. Anamnesis dilakukan secara
aloanamnesis terhadap orangtua pasien karena pasien belum bisa berbicara. Pasien
mengeluhkan gatal pada wajah bagian sekitar mulut, pipi kanan, dahi, hidung, dan
telinga. Gatal tersebut digaruk sampai menimbulkan luka pada beberapa bagian
khususnya dibagian telinga hingga mengeluarkan cairan. Keluhan gatal baru dialami
sejak kemarin pagi, dan luka pada beberapa lesi dikeluhkan sejak kemarin malamnya.
Cairan yang keluar dari luka ditelinga berwarna putih dan lengket. Tidak dapat
dipastikan kapan saat keluhan membaik dan memburuk karena pasien belum bisa
berbicara, orang tua pasien hanya melihat kebiasaan pasien menggaruk. Orang tua
pasien memberi tahu bahwa belum memberikan terapi apapun kepada pasien hanya
membersihkan luka di telinga menggunakan cotton bud. Diketahui pasien pernah
periksa ke dokter saat pasien berusia sekitar 1 tahun dan dinyatakan oleh dokter bahwa
pasien memiliki daya tahan tubuh yang rendah, oleh karena itu orangtua mengeluhkan
bahwa pasien sering mengalami demam, tapi saat ini pasien tidak dalam keadaan
demam. Dari anamnesis didapatkan pasien tidak pernah mengalami riwayat serupa.
Tidak ada riwayat penyakit keluarga sebelumnya, tidak ada keluhan yang sama
pada keluarga. Namun pada masa kehamilan ibu pasien mengakui mengalami Ketuban
Pecah Dini, dan pasien dirawat di Rumah Sakit setelah dilahirkan selama 15 hari. Ibu
pasien tindak ingat berat lahir bayi saat itu, ibu pasien hanya mengatakan bahwa berat
lahir bayi normal. Selanjutnya pasien diberkan MPASI pada umur 6 bulan, dan bentuk
makanan disesuaikan dengan usia pasien.
Riwayat imunisasi pasien oleh ibu pasien hanya disebutkan sudah mengikuti
semua sesuai KMS kecuali imunisasi campak.
Keadaan lingkungan pasien diketahui dari anamnesis cukup baik menurut
pasien, dan keadaan sosial ekonomi termasuk pada kelas menengah bawah, ayah pasien
seorang pedagang keliling dan ibu pasien seorang Ibu Rumah Tangga.
Pada anamnesis sistem tidak ditemukan gangguan pada sistem lainnya.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 27 Maret 2018 pukul 09.00 WIB. Keadaan
umum pasien baik, kesadaran compos mentis. Dari pemeriksaan vital sign didapatkan
bahwa nadi 88x/menit, pernapasan 24x/menit, dan suhu 37.80 C. Status gizi yang
didapatkan berat badan 11 kg, panjang badan 83 cm. Pemeriksaan fisik leher, thorak,
abdomen, dan ekstremitas semuanya dalam keadaan normal.
Pada pemeriksaan kulit menggunakan senter dan lup ditemukan UKK pada
wajah bagian dagu, pipi sebelah kanan, hidung, dahi, dan telinga kanan terdapat lesi
makulopapuler eritem multipel dan tersebar. Lesi pada bagian dagu dan telinga
sebagian telah menjadi krusta, di bagian telinga krusta karena garukan mengeluarkan
darah dan cairan berwarna putih yang lengket.
Pada pemeriksaan telinga dimulai dari inspeksi terlihat telinga kanan dan kirri
simetris. Pada telinga kiri tidak ditemukan adanya massa, lesi, sikatrik, maupun
hiperemis, tidak ada sekret yang keluar dari liang telinga. Sedangkan pada telinga kanan
tidak ditemukan adanya masa, telinga tampak hiperemis, terdapat lesi yang berdarah
karena garukan dan ada beberapa sikatrik, selain itu ada sekret yang keluar dari lesi
pada daun telinga. Setelah itu dilanjutkan palpasi pada telinga kanan dan kiri tidak ada
nyeri saat di palpasi baik itu bagian daun telinga, pre auricular, post auricular, maupun
tragus dan antitragus. Dilanjutkan dengan pemeriksaan telinga dalam menggunakan
otoskopi serumen hanya, tampak gambaran membran telinga intak, cone of light
terlihat, tidak hiperemis, dan tidak ada sekret dari bagian telinga dalam.
Tidak dilakuan pemeriksaan hidung, nasofaring, dan laring karena pasien tidak
mau dan menangis. Tetapi pada saat anamnesis pasien mengaku tidak sedang
mengalami rhinitis maupun faringitis.
3. Pemeriksaan penunjang
Dokter di puskesmas tidak mengusulkan untuk dilakukan pemeriksaan
penunjang
4. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Dokter mendiagnosis gejala pasien sebagai impetigo. Diagnosis bandingnya
adalah tinea dan otitis eksterna.
5. Terapi
Dokter memberikan terapi medikamentosa kepada pasien berupa kotrimoksazol
suspensi 2x1 sendok teh, paracetamol 500mg dijadikan 10 bungkus pulveres,
Klorofeniramin Maleat (CTM) dijadikan 10 bungkus pulveres, dan salep Anti Bakteri
Doen dioleskan tipis-tipis 3x1.
Tinjauan Pustaka
 Definisi
Impetigo merupakan suatu infeksi bakteri gram positif yang menyerang lapisan
superfisial epidermis. Impetigo berasal dari Bahasa Latin, Impetere, yang berarti menyerang.

 Epidemiologi
Penyakit impetigo lebih sering dijumpai pada anak-anak usia 2 hingga 5 tahun
dibandingkan anak-anak usia diatas 5 tahun maupun orang dewasa, terutama yang tinggal di
daerah dengan iklim tropis. Impetigo terjadi pada semua ras dan rasio insidensi antara laki-laki
dan perempuan 1:1, namun pada orang dewasa lebih sering mengenai laki-laki.

 Klasifikasi
Terdapat dua jenis dari impetigo yaitu impetigo primer dan impetigo sekunder.
Impetigo primer biasa disebut dengan impetigo kontagiosa atau pioderma. Impetigo primer
merupakan suatu infeksi yang terjadi pada kulit yang sehat sedangkan impetigo sekunder
merupakan infeksi pada kulit yang sudah luka sebelumnya seperti kulit yang abrasi, terkena
gigitan serangga ataupun eczema. Impetigo sekunder lebih sering terjadi dibandingkan
impetigo primer

 Faktor risiko
Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya penyakit impetigo ialah
tinggal di daerah panas dan lembab, kondisi yang ramai, higenitas yang buruk, lingkungan
dengan sanitasi yang buruk, keadaan immunodefisensi seperti penyakit HIV, diabetes mellitus,
kemoterapi maupun terapi radiasi.H al ini dikarenakan kondisi-kondisi tersebut dapat
meningkatkan kontaminasi bakteri patogen di kulit.

 Etiologi
Impetigo disebabkan oleh infeksi bakteri. Impetigo non bulosa paling sering
disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus (80%) dan Streptococcus beta-hemolytic group
A. (20%). Streptococcus beta-hemolytic group B, C, dan G jarang menyebabkan impetigo.
Streptococcus beta-hemolytic group B bertanggung jawab terhadap penyakit impetigo pada
bayi baru lahir. Pada impetigo bulosa biasanya disebabkan oleh strain S.aureus koagulase
positif yang dapat memproduksi toksin bernama exfoliative toxins A (etaA) dan exfoliative
toxins B (etaB). Eta A dan eta B adalah suatu protease serine yang bekerja untuk memecah
protein struktural desmosom, desmoglein 1. Selain itu pathogen ini dapat menyebabkan
penyakit Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) Sedangkan jenis ektima disebabkan
oleh Streptococcus pyogenes.
Terdapat penelitian di China yang menginvestigasi 984 pasien anak impetigo, setelah
dilakukan uji isolasi bakteri diketahui bahwa 1% jenis strain S.aureus adalah jenis Methicillin
Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). Patogen ini biasa ditularkan melalui komunitas atau
rumah sakit. Bentuk lesi yang paling banyak ditemui adalah bentuk impetigo non bulosa.

 Manifestasi klinis

Terdapat 3 jenis manifestasi klinis impetigo :

1. Impetigo non bulosa


a. Impetigo non bulosa Merupakan jenis impetigo yang paling sering terjadi,
bertanggung jawab atas 70% kasus impetigo serta bersifat asimptomatik. Lesi
terletak pada wajah terutama perioral maupun perinasal dan ekstremitas. Lesi
lebih infeksius dibandingkan impetigo bulosa dan bersifat terlokalisir namun
dapat berkembang menjadi lesi multipel. Impetigo non bulosa seringkali
disertai dengan limfadenitis regional, sekitar 90% namun tanpa gejala sistemik.
Lesi berawal dari papul yang seiring berjalannya waktu berubah menjadi
vesikel dengan dasar eritem, kemudian berubah menjadi pustul yang membesar
dan pecah, cairan yang keluar kemudian mengering dan berubah menjadi krusta
yang tebal dengan eksudat berwarna keemasan atau seperti madu. Perubahan
ini terjadi selama 1 minggu dan berangsur-angsur membaik selama 2 minggu.

2. Impetigo bulosa
a. Impetigo bulosa merupakan bentuk impetigo yang terlihat pada 90 % anak-anak
berusia dibawah 2 tahun. Jumlah lesi lebih sedikit dibandingkan impetigo non
bulosa. Lesi lebih sering mengenai bagian tubuh, ekstremitas, aksila dan bagian
perianal. Lesi ini terjadi apabila vesikel terus membesar hingga membentuk
bula lembek dengan cairan berwarna kuning jernih didalamnya kemudian
berangsur-angsur menjadi berwarna gelap dan lebih keruh. Setelah 1 sampai 3
hari bula akan pecah dan membentuk krusta tipis berwarna kecoklatan. Tidak
seperti impetigo bulosa, impetigo non bulosa jarang disertai dengan limfadenitis
regional namun gejala sistemik seperti demam, malaise, lemas dan diare sering
muncul.
3. Ektima
a. Ektima merupakan bentuk impetigo yang lebih kronis karena dapat menyerang
lapisan dermis. Pada lesi didapatkan ulserasi disertai krusta berwarna
kekuningan dengan peninggian tepi berwarna keunguan. Pada ektima gejala
sering disertai dengan limfadenitis regional.
 Diagnosis

1. Anamnesis
a. Pasien impetigo biasanya memiliki riwayat trauma seperti gigitan serangga,
scabies, herpes simplex, varicella, eczema pada kulit yang terinfeksi.
b. Terdapat riwayat kontak dengan karier patogen S.aureus maupun streptococcus
atau penderita penyakit kulit seperti dermatitis atopik

2. Pemeriksaan fisik
a. Impetigo non bulosa
o Terdapat papul, vesikel, dan pustule yang pecah kemudian membentuk
krusta keemasan. Biasanya terlokalisir pada wajah atau ekstremitas. Lesi
juga dapat menimbulkan pruritus jika terdapat ekskoriasi.
b. Impetigo bulosa
o Terdapat bula lembek yang berisi cairan yang rupture dan meninggalkan
krusta tipis kecoklatan. Biasa terjadi pada regio tubuh.
c. Ektima
o Terdapat ulserasi dengan krusta diatasnya dan peninggian berwarna ungu
pada tepi lesi
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan gram atau kultur
o Pemeriksaan gram atau kultur dari pustul maupun eksudat dapat digunakan
untuk mengetahui apakah penyakit impetigo disebabkan oleh agen infeksi
seperti staphylococcus aureus atau streptococcus beta hemolyticus.
Kesesuaian kasus dengan teori
1) Anamnesis

Dari hasil anamnesis diktahui pasien berusia 2 tahun 10 bulan, dimana sesuai dengan
teori faktor risiko terbesar impetigo terjadi pada usia 2-5 tahun, selain itu pasien mengeluh
gatal pada wajah bagian sekitar mulut, pipi kanan, dahi, hidung, dan telinga. Gatal tersebut
digaruk sampai menimbulkan luka pada beberapa bagian khususnya dibagian telinga
hingga mengeluarkan cairan. Diagnosis dokter sudah sesuai dengan teori yaitu impetigo
khususnya impetigo non bullosa, karena impetigo memiliki bentuk klinis berupa lesi yang
berawal dari papul yang seiring berjalannya waktu berubah menjadi vesikel dengan dasar
eritem, kemudian berubah menjadi pustul yang membesar dan pecah, cairan yang keluar
kemudian mengering dan berubah menjadi krusta yang tebal dengan eksudat berwarna
keemasan atau seperti madu, pada pasien ini bentuk klinis baru muncul satu hari
sebelumnya, oleh karena itu bentuk lesi masi berupa makulopapuler dan tidak terlalu
banyak. Cairan dari telinga kemungkinan berasal dari infeksi berulang (sekunder) karena
adanya luka (pintu masuk bagi bakteri) pada daun telinga.
Dari riwayat keluarga tidak ada yang mengalami sakit yang serupa, hanya saja ibu
pasien mengalami ketuban pecah dini saat mau melahiran dan saat itu dokter mendiagnosis
bahwa pasien memiliki sistem imun yang lemah, sistem imun yang lemah juga menjadi
faktor risiko terjadinya impetigo.
Riwayat lingkungan juga tidak ada yang mengalami hal serupa, menurut pasien higienis
pasien baik, menurut teori etiologi terjadinya impetigo karena bakteri dan kemungkinan
higienitas pasien sangat mempengaruhi.
2) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan dokter di puskesmas sudah sesuai dengan teori yang
ada, yaitu saat pemeriksaan kulit menggunakan senter dan lup dan pemeriksaan telinga
menggunakan otoskopi. Pada pemeriksaan kulit dilakukan inspeksi dan palpasi untuk
memastikan UKK yang muncul. Begitu juga pada pemeriksaan telinga dilakukan inspeksi dan
palpasi untuk menyingkirkan diagnosis banding dari otitis eksterna.

Anda mungkin juga menyukai