Sebuah potret pengorbanan sangat tinggi dan monumental itu disuratkan dalam al
Quran:
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu
dengan seekor sembelihan yang besar” (Al Shaffat: 106-107)
“Sesungguhnya Kami telah memberimu kebaikan yang banyak dan tidak terputus.
Maka shalatlah kepada Rabbmu dan sembelihlah kurban. Sesungguhnya orang
yang tidak menyukaimu adalah orang yang terputus kebaikannya”.
Perintah Allah kepada Rasulullah saw adalah juga perintah kepada kita selaku
ummatnya, meskipun dengan tingkat konotasi yang berbeda. Namun alasannya sama,
yaitu bahwa Allah telah memberi kebaikan/anugerah yang banyak dan sambung-
menyambung.
Alkautsar yang berarti “al khairul katsir” (kebaikan yang banyak) mempunyai 16
ma’na yang meliputi segala kebaikan dan karunia, yaitu: al Quran, kenabian, al Islam,
kemudahan membaca/mempelajari al Quran, ummat yang besar, sebutan yang tinggi,
empati dan solidaritas, cahaya dalam kalbu, mu’jizat yang kekal, kalimah tauhid,
shalat lima waktu, kefahaman tetang agama, syafa’at yang agung, sungai di syurga
dan telaga kautsar. Ke 16 kautsar ini hanya dikaruniakan kepada Nabi akhir zaman
beserta ummatnya. Ditambah lagi dengan nikmat dan karunia ilahi lainnya yang tak
seorangpun mampu menghitungnya.
“.... Dan jika kamu sekalian mau menghitung nikmat Allah, niscaya kamu sekalian
tidak mampu menghitungnya (QS Ibrahim: 34).
Betapa mahalnya nikmat kesehatan, betapa besarnya nikmat punya keluarga yang
tenteram-harmonis; betapa besar nikmat mempunyai ladang penghasilan yang cukup
bahkan lebih dari cukup, sementara jutaan saudara kita kehilangan lapangan
pekerjaannya. Bahkan begitu banyak anak bangsa yang menderita kekurangan gizi.
Tapi yang lebih dari itu semua adalah betapa agungnya nikmat iman dan Islam, dan
betapa berharganya nikmat “taufiq” sehingga hati kita condong dan mau untuk
berbuat baik untuk memajukan agama dan kehidupan kita, membagi kebaikan kepada
sesama sebagi wujud pengorbanan.
Dikaitkannya perintah shalat dengan perintah kurban pasti membawa pesan tertentu.
Di antaranya bahwa kualitas shalat seseorang berpengaruh dan berbanding lurus
dengan kualitas pengorbanannya. Shalat yang utama adalah shalat karena syukur. Dan
orang yang bersyukur dengan berbagai nikmat Allah merasa senang untuk berkurban.
Apalagi jika dilandasi keyakinan bahwa pengorbanan adalah cara untuk melestarikan
nikmat Allah SWT dan mengundang keberkahan di dalamnya. Sedang orang yang
tidak senang dengan ajaran pengorbanan justru merekalah yang terputus kebaikannya.
“INNA SYANIAKA HUWAL ABTAR”
Tetapi kata-kata “aku” tersebut selalu ditempatkan dalam konteks dan perspektif
untuk “kekitaan”. Contohnya ungkapan ikrar setiap muslim dalam shalat “Wa ana
minal Muslimin” (dan aku adalah bagian dari orang-orang yag berserah diri), sebagi
prajurit dari ikrar Rasulullah saw “Wa ana awwalul Muslimin” (dan aku adalah
orang pertama dari kalangan orang-orang yang berserah diri). Makna inilah yang
tersurat dengan kuat dalam ungkapan keprihatinan Rasulullah saw yang menjadikan
ummat sebagai obsesi dalam fikirannya siang malam. “ummati-ummati” (ummatku-
ummatku) bukan “nafsi-nafsi” (diriku-diriku). Demikianlah hendaknya setiap muslim
berfikir “ummati-ummati”.
ﺠﺮُوا
َ ﻄﻌُﻮا َوَأ َﻣ َﺮ ُه ْﻢ ﺏِﺎ ْﻟ ُﻔﺠُﻮ ِر َﻓ َﻔ
َ ﺢ َأ َﻣ َﺮ ُه ْﻢ ﺏِﺎ ْﻟ َﻘﻄِﻴ َﻌ ِﺔ َﻓ َﻘ
ﺸﱢن َﻗ ْﺒ َﻠ ُﻜ ْﻢ ﺏِﺎﻟ ﱡ
َ ﻦ آَﺎ
ْ ﻚ َﻣ
َ ﺢ َﻓ ِﺈ ﱠﻧﻤَﺎ َه َﻠ
ﺸﱠِإیﱠﺎ ُآ ْﻢ وَاﻟ ﱡ
“Hati-hati dan jauhi kebakhilan yang telah menghancurkan umat sebelum kamu.
Kekikiran telah mendorong mereka untuk memutuskan silaturahim dan
mendorong mereka untuk berbuat jahat” (Riwayat Abu Dawud dan Al Hakim)
Dalam Al Quran tidak kurang dari tiga ayat yang mengaitkan keakuan dan kebakhilan
dengan bencana, sedang kebahagiaan dicapai dengan cara menghindarinya
Masyarakat dan bangsa kita tengah menglami krisis yang lebih besar dari krisis
ekonomi, yaitu krisis komunikasi sosial atau dalam bahasa agamanya krisis hablun
minannas yang cukup parah. Itu akibat wabah egoisme dan kebakhilan yang telah
memangsa banyak kalangan. Sosok egoistik serta angkuh terlihat pada tingkah laku
koruptor yang tak peduli dengan kerugian orang banyak asalkan dirinya mengeruk
uang banyak. Karena egoisme para sindikat narkoba dalam meraup uang, beitu
banyak para pemuda harapan umat dan bangsa yang dihancurkan masa depannya.
Begitu pula dengan para penimbun yang membebani serta membuat susah sejumlah
besar para konsumen karena hanya memikirkan dirinya dan penghasilannya. Karena
egoisme lalu fatatisme jahiliyah dengan mudah dua kelompok remaja, pelajar bahkan
mahasiswa dan penduduk kampung saling menyerang, melukai, membakar bahkan
membunuh, karena soal yang remeh temeh.
Dan manakala keakuan serta keangkuhan menjelma dalam sosok rezim yang berkuasa
di suatu negara maka petaka yang diakibatkannya tak terperikan. Abad dimana kita
hidup dan menjadi saksi sejarah mempertontonkan potret destruksi perdaban suatu
bangsa oleh rezim dari bangsa lain. Dunia tak mungkin menutup mata terhadap
kebiadaban yang masih berlangsung bagaimana Amerika punya prestasi
menghancurkan sisa-sisa peradaban Baghdad dengan dua kota ilmunya Kufah dan
Bashrah. Egoisme AS telah memaksakan defenisinya sendiri mengenai apa itu
terorisme, padahal merekalah yang “the real terroris and agresor”. Sebagaimana
telah memaksakan kesimpulan penelitian atau inspeksi mengenai senjata pemusnah,
yang belakangan diakuinya sendiri bahwa hal itu tidak pernah ada. Demikian juga
tentang isyu nuklir Iran yang lagi-lagi dibantah oleh sumber mereka sendiri. Dan
terakhir bagaimana sang adikuasa (juga adigung adiguna) ini hendak memaksakan
keinginannya dalam KTT tentang perubahan iklim di Bali yang baru berakhir.
Sejak dahulu banyak orang yang mengaku telah dan sedang berjuang. Tetapi pejuang
yang sejati adalah orang yang mau berkorban. Sebab seperti kata Syekh Hasan Al
Banna rahimahullah: Tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Pejuang sejati kata
“Meraih Barakah Dengan Tadhiyah”
Oleh: DR KH Surahman Hidayat, MA
Ketua Dewan Syariah Pusat Partai Keadilan Sejahtera
Khutbah Iedul Adha,Kamis(20 Desember 2007)
CipinangElok - Jakarta Timur
beliau, adalah yang menyediakan apa saja untuk pengorbanan. Baik harta, tenaga,
fikiran, waktu, kedudukan maupun jiwa raga. Tadlhiyah ini adalah cara alokasi yang
benar serta aman, dan cara investasi yang tinggi profitabilitasnya. Bagi seorang
pejuang, kontribusi adalah investasi diri di dunia dan akhirat. Tadlhiyah atau
pengorbanan adalah “maghnam” yakni perolehan bukan “maghram” loss/kerugian.
Para pejuang belum merasa tenang ketika memperoleh sesuatu sebab masih harus
berusaha menggunakannya di jalan Allah. Tapi pejuang merasa tenang setelah
menyerahkan dan mengerahkan sesuatu sebagai pengorbanan di jalanNya. Hatiya
senang serta lega karena telah memilih jalan investasi yang hasilnya pasti. Para
malaikat mendo’akan setiap pengorbanan di jalan Allah akan diganti. Allahumma
a’thi munfiqan khalafa-Allahumma a’thi mumsikan talafa” ya Allah berilah
orang yang berkorban dengan menginfakan sesuatu pengganti yang lebih baik, dan
berikan kepada orang yang tidak mau berinfak kerusakan hartanya.
Pengorbanan itu laksana biji yang ditanam di atas lahan subur menghadirkan pohon
keberkahan untuk dirinya dan makhluk lain. Keberkahannya sesuai kadar
kesungguhan dan keikhlasan, mampu mengundang kebaikan yang berlipat-lipat dari
satu hingga tujuh ratus atau lebih. Allah melipatgandakan kebaikan/keberkahan bagi
siapa yang dikehendakiNya karena Dia maha luas rahmatNya.
Pribadi pengorban/pejuang tak peduli apakah orang lain berkontribusi atau tidak,
meski dari waktu ke waktu iapun mengajak sesamanya untuk turut bertadhiyah.
Justeru di saat egoisme dan kebakhilan meluas, setiap tadhiyah betapapun kecilnya
menjadi besar makna serta manfaat dan pahalanya. Kalaulah ada yang dilihat, adalah
sosok pengorban yang lebih kuat dan istiqamah. Yang dilihat oleh Umar dan Utsman
adalah Abu Bakar yang berkorban dengan seluruh hartanya, bukan Abu Hurairah
seorang miskin yang kontribusinya bukan dengan harta, apalagi Tsa’labah yang
bakhil sampai zakatnya ditolak karena memilih harta paling jelak.
Fakta berbicara
Sederet fakta dicatat dalam Al Quran dan lembaran sejarah bahwa kemenangan serta
keberkahan hidup adalah buah dari pengorbanan.
Kekuatan iman serta keikhlasan Nabiyullah Ibrahim a.s saat mengorbankan putra
kesayangannya Ismail a.s untuk disembelih dengan tangannya sendiri telah
mengantarkan beliau untuk menerima surat pengangkatan dari Allah sebagai imam
bagi para shalihin.
س ِإﻣَﺎﻣًﺎ
ِ ﻚ ﻟِﻠﻨﱠﺎ
َ ﻋُﻠ
ِ ِإﻧﱢﻲ ﺟَﺎ
Kemenangan Luth bersama tentaranya yang tinggal sedikit akibat terjadi desersi yang
dashyat, dicatat Al Quran sebagai buah pengorbanan ‘fiah qalilah’ unit kecil dari
tentara Luth. Mereka berhasil melakukan tadlhiyan ma’nawiyah, suatu pengorbanan
moril yang besar, mengalahkan nafsu minuman dalam keadaan sangat haus dan
kehabisan air. Demi ketaatan terhadap pemimpin dan memelihara disiplin tentara
mereka tidak tidak minum atau hanya minum setangkup tangan ketika menemukan
sungai yang kebeningan dan kesejukan airnya sangat menggoda. Maka mereka
mampu mengalahkan tentara Jalut yang jauh lebih banyak, tangguh serta perkasa
dengan izin Allah. Dawud pun berhasil membunuh Jalut lalu dikaruniai Allah
kekuasaan yang membawa kesejahteraan bagi kaumnya.
Tadlhiyah generasi pertama ummat Islam dari kaum Muhajirin dan Anshar yang
menjadi prolog perang badar telah mengantarkan tentara Islam yang jauh lebih kecil
kekuatannya pada kemenangan yang gemilang (nashran ‘aziza). Tapi pengorbanan
ummat ternodai dalam perang uhud, sehingga harus menerima pelajaran pahit tapi
berharga berupa kekalahan sementara.
ن
َ ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻟ ُﻤ ْﻔ ِﻠﺤُﻮ
َ ﺴ ِﻪ َﻓﺄُو َﻟ ِﺌ
ِ ﺷﺢﱠ َﻧ ْﻔ
ُ ق
َ ﻦ یُﻮ
ْ َو َﻣ
“Barangsiapa dilindungi dari kebakhilan dirinya merekalah orang yang menang
serta berbahagia”(Al Hasyr: 9, Attaghabun: 16)
Tapi yang paling berat adalah menyelesaikan akuntabilitas di hadapan Allah SWT,
disaat para pihak yang dizhalimi menuntut keadilan terhadap para pelaku kezhaliman.
Setiap kita harus menjaga tangan dan seluruh anggota tubuhnya supaya menjadi alat
kebajikan bukan alat kejahatan. Tangan hanya boleh digerakkan/diulurkan untuk
meminta maaf, untuk memberi kepada sesama dan untuk memohon kepada ilahi.
اﻟﻠﻬﻢ ارﺡﻤﻨﺎ ﻓﺈﻧﻚ ﺏﻨﺎ راﺡﻢ وﻻ ﺗﻌﺬﺏﻨﺎ وأﻧﺖ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻗﺎدر واﻟﻄﻒ ﺏﻨﺎ یﺎ ﻣﻮﻻﻧﺎ ﻓﻴﻤﺎ ﺟﺮت ﺏﻨﺎ اﻟﻤﻘﺎدیﺮ
اﻟﻠﻬﻢ إﻧﺎ ﻧﻌﻮذ ﺏﻚ ﻣﻦ ﺟﻬﺪ اﻟﺒﻼءودرك اﻟﺸﻘﺎء وﺳﻮء اﻟﻘﻀﺎء وﺷﻤﺎﺗﺔ اﻷﻋﺪاء
اﻟﻠﻬﻢ ﻻ ﺗﻘﺘﻠﻨﺎ ﺏﻐﻀﺒﻚ وﻻ ﺗﻬﻠﻜﻨﺎ ﺏﻌﺬاﺏﻚ وﻋﺎﻓﻨﺎ ﻗﺒﻞ ذﻟﻚ
اﻟﻠﻬﻢ ﻧﻔﺲ ﻋﻦ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ آﺮوﺏﻬﻢ وﻓﺮج ﻋﻨﻬﻢ هﻤﻮﻣﻬﻢ وﺡﺴﻦ أﺡﻮاﻟﻬﻢ وهﻲء ﻟﻬﻢ ﻣﻦ أﻣﻮرهﻢ رﺷﺪا
رﺏﻨﺎ ﻻ ﺗﺆاﺧﺬﻧﺎ إن ﻧﺴﻴﻨﺎ أو أﺧﻄﺄﻧﺎ ...
رﺏﻨﺎ ﺁﺗﻨﺎ ﻓﻲ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﺡﺴﻨﺔ وﻓﻲ اﻵﺧﺮة ﺡﺴﻨﺔ وﻗﻨﺎ ﻋﺬاب اﻟﻨﺎر