Anda di halaman 1dari 9

GAGASAN PEMBAHARUAN ISLAM MENURUT TOKOH

ISLAM KH. HASYIM ASY’ARI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah PAI-6 Sejarah Peradban Islam
Semester VI Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik
Universitas Islam Bandung Tahun Akademik 2017/2018

Disusun oleh :
Muhammad Fauzan K. (10070115079)

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1439 H / 2018 M
GAGASAN PEMBAHARUAN ISLAM MENURUT TOKOH
ISLAM KH. HASYIM ASY’ARI

Kyai Haji Mohammad Hasjim Asy'arie bagian belakangnya juga sering


dieja Asy'ari atau Ashari (lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14 Februari
1871 – meninggal di Jombang, Jawa Timur, 21 Juli 1947 pada umur 76 tahun; 24
Dzul Qo'dah 1287 H- 3 Ramadhan 1366 H; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang)
adalah salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri
Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. Di
kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren ia dijuluki dengan sebutan Hadratus
Syeikh yang berarti maha guru.

Gambar 1
KH. Hasyim Asy’ari
Ketika proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan
tanggal 17 Agustus 1945, KH. Hasyim Asy’ari merupakan tokoh Islam pertama
yang menyatakan bahwa NKRI syah secara Fiqh Islam. Sehingga pada tanggal
14 September 1945, KH. Hasyim Asyari mengumpulkan para ulama dalam rapat
terbatas di pesantren Tebuireng demi membahas Fatwa Jihad yang menjadi
dasar dari Resolusi Jihad yang berisi dukungan terhadap proklamasi dan wajib
berjihad demi mempertahankannya.
Berkorelasi dengan pandangan KH. Hasyim Asy’ari tentang nasionalisme
religius. Beliau berpijak kepada pandangan politik Ahlussunnah wal jama’ah dari
Syekh Nawawi al-Bantani, bahwa Dar al-Islam yang dijajah non-muslim, tetap
menjadi negara Islam jika syariat Islam masih dijalankan. Namun, jika umat Islam
dihalang-halangi dalam menjalankan syariat Islam, maka wajib hukumnya untuk
berjihad dan status negara yang dijajah tersebut menjadi Dar al-Harb.
Pandangan KH. Hasyim Asy’ari tentang nasionalisme religius sudah
diamalkan jauh sebelum proklamasi dikumandangkan. Beliau tidak pernah
tunduk kepada penjajah yang menghalangi syariat Islam. Termasuk kepada
bangsa sendiri yang berkhianat dan menjadi kaki tangan penjajah.
Pada tahun 1899, KH. Hasyim Asy’ari mulai merintis pesantren Tebuireng
di Jombang. Desa Tebuireng merupakan daerah hitam karena dihuni oleh para
penjahat; perampok, penjudi, pencuri, dan preman. Berbagai ancaman dan
kekerasan dari preman mengganggu santri dan kegiatan pesantren yang
didukung polisi Belanda. Sehingga KH. Hasyim Asyari mengirimkan para
santrinya untuk belajar pencak silat sampai ke Cirebon, Jawa Barat.
Pada tahun 1913 ketika polisi Belanda bersama preman memfitnah para
santri di pesantren Tebuireng, KH. Hasyim Asy’ari menolak untuk menyerahkan
diri. Akibatnya berujung kepada pembakaran pesantren. Namun, KH. Hasyim
Asy’ari tidak gentar dan tidak pernah menyerah.
Usaha KH. Hasyim Asy’ari untuk meneguhkan Islam di negara jajahan
Belanda pada tahun 1937, dibuktikan dengan ikut dalam organisasi Majelis Islam
A’la Indonesia (MIAI). Demi menentang Undang-Undang Perkawinan dari
Belanda yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Akibat berbagai pertentangan
tersebut, pemerintah Hindia Belanda melancarkan berbagai strategi lain
termasuk memfitnah dan merayu. Pada tahun 1937, KH. Hasyim Asy’ari ditawari
Bintang Kehormatan oleh Ratu Wilhemina berbentuk emas dan perak, namun
beliau menolaknya.
Ketika penjajahan Jepang tahun 1942-1945. KH. Hasyim Asy’ari
mengeluarkan fatwa haram hukumnya melakukan seikeirei (membungkuk ke
arah Istana kaisar Jepang), juga menolak berbagai propaganda Jepang melalui
lagu Kimigayo yang diajarkan di sekolah-sekolah. Akibatnya, KH. Hasyim Asy’ari
ditangkap dan disiksa dalam penjara Jepang selama empat bulan. Namun, tidak
menyurutkan tekadnya. Justru beliau menyiapkan strategi lain.
Pada tahun 1943, TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang merupakan
cikal bakal TNI, masih memiliki kemampuan serba terbatas. Senjata-senjata yang
digunakan hasil rampasan dari senjata Belanda, Inggris atau Jepang. Maka KH.
Hasyim Asy’ari mengirim para santri-santrinya untuk berlatih militer dalam barisan
PETA (Pembela Tanah Air) bentukan Jepang. Bahkan beliau mengkader
putranya, Abdul Kholiq, untuk terlibat dalam pembentukan PETA di daerah
Jombang. Sehingga pada tahun 1944, terbentuklah laskar Hizbullah (laskar
santri) dan Sabilillah (laskar Kiai). Sehingga Jepang pun menyadari bahwa
kekuatan para santri dan ulama tidak bisa diremehkan sehingga membentuk
partai Islam Masyumi.
Hubungan KH. Hasyim Asy’ari dengan para santrinya juga bukan seperti
guru dan murid, namun seperti satu keluarga besar. Beliau tidak mengekang para
santrinya agar mengikuti jalan pemikirannya. Misalnya, ketika KH. Hasyim Asy’ari
mengizinkan santri beliau H. Wahab Chasbullah ikut bergabung dalam
forum Indische Studi Clubyang dipimpin Dr. Sutomo.
Ketika Jepang membentuk tentara PETA (Pembela Tanah Air), beliau
mengirim santri dan putranya, Abdul Kholiq untuk membentuk PETA di Jombang.
Himahnya, lahirlah laskar Hizbullah dan Sabilillah. Sehingga pesantren Tebuireng
di Jombang menjadi basis perjuangan laskar Hizbullah-Sabilillah demi
memperjuangkan kemerdekaan NKRI.
Pendirian Nahdatul Ulama juga tidak terlepas dari kebutuhan akan
organisasi Islam yang menyatukan pemikiran dan ikatan persaudaraan dan rasa
kekeluargaan yang kuat di antara umat Islam. Awalnya KH. Hasyim Asy’ari
khawatir nantinya NU menjadi sebab perpecahan umat dan tidak ingin jabatan
apapun agar tidak menodai ibadahnya. Sehingga beliau mendapat petunjuk
pendirian NU melalui ulama lain yaitu KH. Kholil Bangkalan yang mengutus santri
beliau yang bernama KH. As’ad Syamsul Arifin untuk membawa tongkat dengan
pesan surat Thahaa ayat 17-23 kemudian kedua kalinya membawa tasbih dan
bacaan ya Jabbar ya Qohhar.
Gambar 2
Nahdatul Ulama
Hasyim Asy’ari sering berpesan. “Wahai ulama, jika engkau melihat orang
lain berbuat kebajikan berdasarkan pendapat para imam atau taklid (mengikuti)
meskipun pendapat tersebut tidak marjuh (beralasan) sedangkan engkau tidak
setuju, jangan lantas mencaci maki mereka, tapi bimbinglah mereka dengan cara
yang baik. Jika mereka tidak mau mengikutimu, jangan bertengkar dengan
mereka. Sebab jika engkau bertengkar dengan sesama ulama, itu sama saja
dengan membangun istana dengan menghancurkan kotanya.”
Kesimpulannya terdapat dari tulisan KH. Hasyim As’yari Al-Qannuun al-
Asaasii li Jami’iyyat Nahdatul Ulama pada muktamar NU tahun 1930 yang
menjelaskan ada tiga hal yang dibutuhkan demi mempersatukan umat yaitu:
1. Kemauan ingin bersatu
2. Saling Mengenal
3. Saling tenggang rasa, bersimpati dan toleransi
Sebagaimana pemikiran Aswaja. Mengutamakan kepentingan umat
dengan memperkuat Ukhuwah Islamiyah di antara organisasi Islam sebagai
saudara kandung, saudara seperguruan dan satu keluarga, yang tidak kaku,
toleransi, dengan meniadakan fanatisme sempit dan menolak paham radikal dan
ekstrem yang memecah belah bangsa, agama dan negara.
Perjuangan nasionalisme religius KH. Hasyim Asy’ari dalam menegakkan
syariat Islam dan mempertahankan kemerdekaan di NKRI ditandai dengan
Resolusi Jihad. Ketika Belanda dan sekutu mendarat di Surabaya demi
merongrong kembali kedaulatan NKRI.
Fatwa Jihad yang dikeluarkan KH. Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng
pada tanggal 14 September 1945 menjadi dasar Resolusi Jihad tanggal 21-22
Oktober 1945 demi mempertahankan kedaulatan NKRI. Ada tiga poin penting
dalam Resolusi Jihad yaitu:
1. Hukum membela negara demi melawan penjajah menjadi Fardlu
‘ain (Wajib) bagi umat muslim baik laki-laki ataupun perempuan
dalam radius 90 kilometer.
2. Jihad melawan penjajah merupakan Jihad Fi Sabilillah. Para
pejuang gugur akan mati syahid.
3. Bangsa sendiri yang berkhianat dan ikut memecah belah dan
menjadi kaki tangan penjajah (mata-mata dan pengkhianat) wajib
hukumnya dibunuh.
Setelah dikumandangkan Resolusi Jihad, maka bergeraklah laskar
Sabilillah dan Hizbullah dari berbagai pelosok daerah di Jawa demi
mempertahankan kota Surabaya yang dikuasai pasukan sekutu sehingga terjadi
perang besar dalam sejarah Perang Dunia II pada 10 November 1945. Dari
Jombang laskar Hizbullah dikomando Kiai Yusuf Hasyim, putra KH. Hasyim
Asyari. Dari Pasuruan, datang laskar Hizbullah kompi II divisi timur yang dipimpin
Kiai Sa’dullah dari Pondok Pesantren Sidogiri. Dari Kediri, komando datang dari
KH. Mahrus Aly pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo.
Dari Jember, komando datang dari laskar Hizbullah pimpinan KH.
Abdullah Shiddiq yang juga perintis laskar santri Sabilillah. Dari Lumajang,
dikomando Kiai Faqih. Dari Mojokerto datang laskar Hizbullah pimpinan KH.
Moenasir Ali, mantan TNI. Dari kota Malang, laskar Kiai Mukti Harun. Dari barat
Kota Surabaya datang Kiai Bisri Mustofa, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin, Rembang. Dari Jawa Barat, Cirebon, datang pasukan yang dipimpin
Kiai Abbas Buntet. Dari Situbondo, komando datang dari KHR. As’ad Syamsul
Arifin, yang memimpin kompi II laskar Hizbullah Jawa Timur, pengasuh pondok
pesantren Salafiyah Safi’iyah Sukorejo.
Resolusi Jihad merupakan kontribusi pemikiran dan perjuangan KH.
Hasyim Asy’ari demi menegakkan syariat Islam dan mempertahankan kedaulatan
NKRI. Karena peristiwa 10 November 1945 memiliki poin penting demi
kemerdekaan Indonesia, yaitu:
1. Peristiwa 10 November menunjukkan bahwa rakyat Indonesia
masih memiliki kekuatan tempur (militaire strijdkracht). Termasuk
peran para santri dan Kiai dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah
yang bersatu demi kemerdekaan NKRI.
2. Peristiwa 10 November telah membuka mata dunia internasional
termasuk PBB dalam mendukung kemerdekaan Indonesia.
Sehingga menghasilkan beberapa perundingan menuju Indonesia
merdeka.
3. Peristiwa 10 November membangkitkan semangat juang rakyat
Indonesia di daerah-daerah lain dalam mempertahankan
kedaulatan NKRI.
Dalam Muktamar NU ke-XVI tahun 1946 di Purwokerto, KH. Hasyim
Asy’ari menyatakan bahwa syariat Islam tidak akan dapat dijalankan dengan baik
di negara yang terjajah.
Kesimpulan dari pandangan nasionalisme religus KH. Hasyim Asy’ari
adalah:
1. Para santri dan para Kiai wajib terlibat dalam mempertahankan
kedaulatan NKRI.
2. Peran pesantren sangat penting dalam membentengi bangsa dan
negara dari paham dan gerakan radikal yang memecah belah
kedaulatan NKRI.
3. Hukum berperang dalam Islam sebagai agama rahmatan lil
‘alamin adalah bersifat defensif, tidak berperang jika tidak
diperangi. Sebagaimana Rasulullah yang menerapkan Piagam
Madinah.
4. Fatwa Resolusi Jihad bukan untuk memerangi kafir non muslim
atau bangsa yang beragama lain. Namun, untuk memerangi
penjajah dan kaki tangannya yang menghalangi syariat Islam dan
memecah belah kedaulatan NKRI.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wibowo, Susatyo Budi. 2011. Dahlan Asy’ari: Kisah Perjalanan Wisata


Hati. Jogjakarta: Divapress.

2. Hasan, Syamsul A. 2003. Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat. Jogjakarta:


LKIS.

3. As-Shiba’I, Dr. Mustafa. 1983. Sari Sejarah Perjuangan Rasulullah.


Jakarta: Media Dakwah.

Anda mungkin juga menyukai