Anda di halaman 1dari 19

TUGAS REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN BEDAH

PEYRONIE’S DISEASE

Disusun Oleh:
Natasya Saraswati
1820221102

Pembimbing:
dr. Tri Budi ,Sp.U

SMF ILMU BEDAH


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS REFERAT
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH
PEYRONIE’S DISEASE

Disusun Oleh:
Natasya Saraswati
1820221102

Disusun dan diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan


untuk mengikuti ujian di Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah
Jurusan Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jakarta

Telah diterima dan disahkan pada


Purwokerto, Agustus 2019

Pembimbing

dr. Tri Budi Sp.U

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
nikmat dan karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan tugas referat ini. Referat
yang berjudul “Ureterocutaneostomy” ini merupakan salah satu syarat ujian
kepanitraan klinik dokter muda SMF Ilmu Bedah RSUD. Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Tri Budi, Sp.U
sebagai pembimbing atas bimbingan, saran, dan kritik yang membangun dalam
penyusunan tugas referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih belum
sempurna serta banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis tetap
mengharapkan saran dan kritik membangun dari pembimbing serta seluruh pihak.

Purwokerto, Agustus 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………………..2


KATA PENGANTAR……………………………………………………………3
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...4
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………..5
I.1 Latar belakang………………………………………………………..5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………6
II.1 Anatomi dan Fisiologi Traktus Urinarius………….……………...6
II.2 Peyronie disease......…………………………………………........ 11
II.3.1Definisi………………………………………………………...11
II.3.2 Indikasi dan kontra indikasi....………..……………………....11
II.3.3 Prosedur..….……………………………………………….….11
II.3.4 Komplikasi….........................………………………………...18
II.3.5 Prognosis……………………………………………………...19
BAB III KESIMPULAN………………………………………………………..20
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...21

4
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Penyakit peyronie adalah suatu keadaan pada penis yang memiliki
jaringan fibrotik pada bagian superfisial penis yang mengakibatkan terjadinya
kelainan bentuk pada penis dengan atau pun tanpa adanya rasa nyeri pada penis.
Penyakit peyronie sering mengenai pria pada usai rata-rata 52-57 tahun.
Prevalensi kejadian penyakit ini sebesar 3,2- 8,9% pada pria dewasa, namun
diperkirakan prevalensi dari penyakit tersebut masih dapat lebih tinggi lagi
karena masih kurangnya pencatatan dan pelaporan mengenai penyakit tersebut.
Francois Gigot de peyronie di kenal luas sebagai orang pertama yang menjelaskan
tentang pelengkungan pada penis, yang sekarang dikenal dengnan nama penyakit
peyroni, pada tahun 1743.
Penyakit ini dicirikan dengan adanya lengkungan pada sarung penis yang
dapat disertai dengan rasa sakit pada saat ereksi dan disertai dengan adanya
jaringan fibrotik. Penyebab dari penyakit peyronie masih belum diketahui dengan
pasti, namun hal tersebut di duga diakibatkan oleh karena adanya gangguan dari
proses penyembuhan luka akibat adanya trauma ataupunmikrotrauma pada penis.
Faktor risiki dan komorbiditas yang sering dikaitkan dengan penyakit ini yaitu
diabetes, hipertensi, disfungsi ereksi, rendahnya hormon testosteron, merokok,
dan konsumsi alkohol.
François Gigot de Peyronie dikenal luas sebagai orang pertama yang
mendeskripsikan pelengkungan penis, yang sekarang dikenal dengan nama
penyakit Peyroni, pada tahun 1743.Setelah beberapa tahun, beragam terapi
medikasi dan pembedahan telah digunakan untuk mengatasi kondisi ini. Penyakit
Peyronie selain merupakan suatu kelainan secara organis, juga dapat menjadi
sumber masalah signifikan dalam hubungan seksual, karena penyakit ini dapat
menyebabkan kekhawatiran dan stress pada penderita dan pasangan.
Mengingat tingginya prevalensi PD dan dampaknya yang signifikan pada
pria yang terkena dampak, pemahaman yang lebih baik tentang PD sangat

5
penting. Tujuan dari referat ini adalah untuk memahami tentang etiologi,
diagnosis, dan manajemen PD.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi dan Fisiologi Penis


II.1.1 Anatomi Penis
Urologi adalah salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari
penyakit dan kelainan pada traktus urogenitalia pria dan wanita. Organ urinaria
terdiri atas ginjal beserta salurannya, ureter, buli-buli dan uretra, sedangkan organ
reproduksi pria terdiri atas testis, epididimis, vas deferens, vesikula seminalis,
prostat dan penis. Sistem urogenitalia terletak di rongga retroperitoneal dan
terlindung oleh organ lain yang mengelilinginya, kecuali testis, epididimis, vas
deferens, penis dan uretra.
Penis terdiri atas 3 buah korpora berbentuk silindris, yaitu 2 buah korpora
kavernosa yang saling berpasangan dan satu buah korpus spongiosum yang
berada di sebelah ventralnya. korpora kavernosa tersusun atas dua silinder pararel
jaringan erektil. Korpus spongiosum membungkus uretra mulai dari diafragma
urogenitalia dan di sebelah proksimal dilapisi oleh otot bulbo- kavernosus. Pada
setiap korpus di dalamnya terbungkus oleh tunika albuginea yang terdiri atas
jaringan erektil yaitu berupa jaringan kavernus ( berongga) seperti spons. Jaringan
ini terdiri atas sinusoid atau rongga lakuna yang dilapisi oleh endotelium dan otot
polos kavernosus. Rongga lakuna dapat menampung darah yang cukup banyak
sehingga menyebabkan terjadinya ketegangan batang penis.
Penis terletak menggantung di depan skrotum. Bagian ujung pada penis
disebut glan penis. Bagian tengah disebut dengan korpus penis dan pangkalnya di
sebut radix penis. Glan penis tertutup oleh kulit korpus penis yang disebut dengan
prepusium. Penis terdiri atas jaringan seperti busa dan terletak memanjang, tempat
muara uretra dan glan penis adalah frenulum

7
Gambar 1. Penis dan bagian-bagianya

Gambar 2. Potongan melintang batang penis


Sistem perdarahan pada penis diperdarahi oleh aorta abdominalis setinggi
vetebra lumbal 4 yang akan bercabang menjadi arteri iliaka komunis. Pada
artikulasio sakroiliaka pada linea terminalis arteri ini akan bercabang menjadi
arteri iliaka interna yang kan memvaskularisasi regio perinealis dan regio
pudendalis ( area sekitar alat kelamin). Arteri iliaka interna akan bercabang
menjadi:
1. Arteri pudenda interna yang akan melanjutkan ke ventral menjadi
arteri penis
2. Arteri spermatika interna, akan masuk ke dalam testis
3. Arteri spermatika eksterna akan meperdarahi bagian dorsal skrotum
4. Arteri skrotalis inferior,

8
II.1.2 Fisiologis Penis

II.3 Ureterocutaneostomy
II.3.1 Definisi
Ureterocutaneostomy merupakan metode diversi urin yang dilakukan
dengan cara melekatkan ureter ke lubang kulit melalui dinding abdomen. Metode
diversi urin ini mengalirkan urin ke dinding abdomen dengan bentuk diversi kutan
yang paling sederhana. Secara teknis, salah satu ureter, yang satu lagi melekat
pada ujung ke ujung, terhubung ke kulit (transureteroureterokutaneostomi) atau
kedua ureter secara langsung teranastomosis pada kulit.

II.3.2 Indikasi dan kontraindikasi


Ureterocutaneostomy merupakan salah satu metode permanent urinary
diversion inkontinen yang sering digunakan pada pasien-pasien dengan kanker
kandung kemih simptomatik yang beresiko tinggi dan dikombinasikan dengan
sistektomi paliatif. Sedangkan penggunaannya terbatas pada pasien obesitas dan
atau pasien yang terpapar sinar radiasi eksternal. Ureterocutaneostomy
terkontraindikasikan pada pasien yang memiliki ureter dengan tunggul yang
pendek dan vaskularisasi yang buruk, dan pasien yang memiliki torsio yang bebas
dan stoma yang meragukan.

II.3.3 Prosedur
Staging lengkap untuk kanker kandung kemih harus digunakan untuk
mengevaluasi retroperitoneum dan pelvis, bersamaan dengan metastasis paling
umum termasuk paru-paru, hati, dan tulang. Rontgen dada, tes fungsi hati dan
serum basa uji fosfatase harus diperoleh secara rutin; pasien dengan serum tinggi
alkaline phosphatase atau dengan / tanpa keluhan nyeri tulang harus ada pemindai
tulang. CT Thorax digunakan saat memiliki riwayat metastasis paru, atau karena
X-Ray thorax yang tidak normal. CT abdomen dan panggul dipergunakan rutin
untuk mengevaluasi panggul dan retroperitoneum untuk limfadenopati atau
sebaran lokal yang berdekatan.

9
Radiografi ini juga harus digunakan pada pasien dengan diduga
metastasis, peningkatan tes fungsi hati, tumor kandung kemih yang terkait dengan
hidronefrosis, atau pada pasien dengan kandung kemih primer dengan tumor luas
yang tidak mobile atau tidak tetap, hasil yang dapat mungkin dapat
mempengaruhi keputusan untuk dilakukannya terapi neoajuvan. Namun, CT dari
kandung kemih primer juga tidak sensitif cukup spesifik untuk mengevaluasi
tingkat invasi tumor dinding kandung kemih, atau untuk secara akurat
menentukan keterlibatan kelenjar getah bening pelvis dengan tumor.
Persyaratan yang lain yaitu :
 Hasil laboratorium dan kimia darah yang lengkap
 Penandaan stoma diletakkan secara bilateral pada hari sebelum operasi
 Persediaan antitrombotik yang tinggi
 Profilaksis subkutan untuk deep vain trombosisi dimulai pada malam
sebelum operasi
 Pembersihan osmotik usus
 Pengobatan antibiotik yang dimulai pada saat hari operasi (cephalosporin)
 Konseling pasien dan inform consent (bila suatu saat merubah keputusan
untuk mengubah tindakan menjadi ileal conduit jika ureter terlalu pendek,
risiko stenosis stoma, dll). Anestesi dengan menggunakan general dan
blok epidural untuk pengobatan nyeri.
Instrumen dan alat yang digunakan :
 Ring retractor
 Instrumen untuk sistektomi
 Instrumen untuk microsurgery
 Loop x2,5
 Benang jahit 5-0 dan 6-0 glycocide
 Bipolar coagulation
Setelah dilakukan sistektomi komplit, pasien diberikan landmarks yang diletakkan
pada xiphoid, rusuk 12, umbilicus, spina iliaka superior dan pubis. Stoma ditandai
antara umbilikus dan xiphoid, dan sebaiknya di pararectal kiri.

10
Gambar 4. Penandaan landmarks stoma pada pasien

Kemudian bagian atas dan bawah peritoneum di insisi sepanjang avaskular


atau garis yang dibuat sepanjang sistektomi sebelumnya jika dilakukan sistektomi.
Sebuah persiapan ureter bilateral dipersiapkan untuk mempertahankan bagian
meso-ureter dan arteri testikuler dilakukan sampai di pelvic-ureter junction untuk
mencegah adanya angulasi ureter.
Setelah kedua ureter telah di mobilisasi, ureter sebelah kanan di silangkan
ke arah sebelah kiri. Posisi bagian kanan terdapat pada ligamen Treitz dan arteri
mesenterika inferior, mencari jendela pembuluh darah yang lebar ke bagian
mesenterika dibelakang kolon descendent.

11
Gambar 5. Pencitraan lateral bagian peritoneum ascenden dan descenden

Selanjutnya dilakukan insisi kulit untuk membuat stoma secara sirkuler


dan diameternya berhubungan dengan kedua ureter, biasanya 4,5-5 cm. Lemak
subkutan di potong dan tempatnya diambil kemudian oleh jaringan omentum yang
lebih besar. Setelah dibersihkan dari jaringan lemak, selubung rektus anterior di
insisi melintang untuk mendapatkan kemungkinan minimal obstruksi ureter pada
bagian fascia.

12
Gambar 6. Insisi untuk membuat stoma

Selanjutnya otot rektus dipisahkan secara jelas, insisi melintang dibuat


untuk selubung rektus dorsal dan peritoneum pada bagian ujung dasar jari. Setelah
itu kedua ureter ditarik setidaknya 1,5 cm diatas permukaan kulit. Observasi
perdarahan kapiler dari kedua tunggul ureter dan penyemburan urin yang spontan.
Kedua ureter dipisah secara medial, satu pada posisi jam 3 dan yang lain jam 9
untuk kurang lebih 1,5 cm. Sebuah benang glycolide 6-0 diletakkan untuk
menghubungkan kedua ureter secara medial, dan membuat sebuah stoma ‘fish-
mouth’.

13
Gambar 7. A. Otot rektus yang dipisahkan, B. ‘Fish mouth’ stoma

Bagian tertipis dari ujung omentum yang lebih besar kemudian di


mobilisasi, lalu membungkus sekeliling kedua ureter seperti selubung (tanpa
konstriksi), diletakkan dan difiksasi secara subkutan. Kemudian diobservasi
kembali perdarah kapiler dari kedua tunggul ureter dan penyemburan urin
spontan. Selanjutnya ‘fish mouth’ difiksasi menggunakan benang glycolide 5-0
hingga ke epidermis. Dua kateter 6 atau 8 kateter J dimasukkan dan difiksasi di
kulit dan sebuah kantung stoma diletakkan.

14
Gambar 8. A. Ureter yang terbungkus omentum, B. ‘Fish mouth’ stoma
diberi kateter J

Setelah kantong stoma diletakkan, jika terdapat stenosis stoma pada scar
tissue yang mengelilingi orifisium ureter dapat dipotong dan diganti dengan graft
mukosa buccal yang diambil dari permukaan dalam bibir.

15
Gambar 9. Penjahitan kantong stoma

Sehari setelah operasi, untuk perawatan pasca operasi pasien dimobilisasi dan
diberikan nutrisi oral, selanjutnya :
 Balance cairan dan kontrol kreatinin rutin perhari
 Pengobatan antibiotik hingga pelepasan stent
 Pada hari ke 6 pasien diajarkan untuk merawat kantung stoma
 Pelepasan kateter J pada hari ke 21
 Setelah pelepasan kateter J, dilakukan intravenous urogram untuk
mendokumentasikan keadaan traktus urinarius bagian atas
 Monitor perminggu keadaan traktus urinarius bagian atas dengan USG
untuk 3 bulan
 Pengecekan berkala kreatinin satu bulan sekali untuk 6 bulan pertama

II.3.4 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien jika terdapat adanya demam
tinggi karena adanya dilatasi pada saluran bagian atas. Dilakukan nefrostomi
perkutan sebagai gantinya daripada manipulasi retrograde. Jika diperlukan revisi

16
stoma lokal, mukosa buccal mungkin berguna untuk mengganti formasi skin-scar
lokal. Jika terdapat obstruksi ureter, diubah menjadi colon conduit dari insisi yang
mengapit (supracostal XII).
Komplikasi yang lain dapat berupa stenosis atau kegagalan mekanisme
antirefluks ureter, kebocoran pouch, delayed rupture pouch, kesulitan dalam
kateterisasi dan stenosis stoma kutan.

II.3.5 Prognosis
Dalam tiga studi jangka panjang, dan satu studi kohort berbasis populasi,
mortalitas perioperatif dilaporkan sebagai 1.2-3.2% pada 30 hari dan 2.3-8.0%
pada 90 hari. Komplikasi awal (dalam tiga bulan operasi) terlihat pada 58%
pasien. Morbiditasnya juga terkait dengan jenis pengalihan urin. Dimana
ureterocutaneostomy merupakan jenis pembedahan dan jenis pengalihan urin yang
paling tidak memberatkan, terutama pada pasien yang hanya memiliki satu ginjal,
selain ileal orthotopic nobladders dan ileal conduit. Secara umum, morbiditas
yang lebih rendah dan mortalitas (perioperatif) telah diamati oleh ahli bedah dan
di rumah sakit dengan beban kasus yang lebih tinggi dan lebih banyak
pengalaman.

17
BAB III
KESIMPULAN

III.1 Kesimpulan
Ureterocutaneostomy merupakan salah satu metode diversi urin ke
dinding abdomen dengan diversi kutan yang paling sederhana. Waktu operasi,
tingkat komplikasi, tinggal di tempat perawatan intensif dan lama tinggal di
rumah sakit lebih rendah pada pasien yang didiversi dengan ureterocutaneostomy
dibandingkan dengan ileal konduit. Oleh karena itu, pada pasien yang lebih tua
atau yang compromised, pasien yang membutuhkan diversi supravesika, prosedur
ureterokutaneostomi merupakan prosedur yang yang diminati.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, A.C., Hall, J.E. 2014 Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12. EGC:
Jakarta.
2. J.A. Witjes (Chair), E. Compérat NCC, G. Gakis, V. Hernández, T. Lebret
AL, A.G. van der Heijden MJR. EAU Guidelines on Muscle-invasive and
Metastatic Bladder Cancer. In: European Association of Urology Guidelines.
2017th ed. The Netherlands: EAU; 2017. p. 25–7.
3. Clark PE. Urinary Diversion After Radical Cystectomy. Curr Treat Options
Oncol. 2002;389–402.
4. Purnomo, Basuki B. 2014. Dasar-dasar Urologi, edisi 3, Jakarta: Sagung
Seto.
5. Tanagho, E.A, Lue, T.F. 2013. Smith & Tanagho General Urology, 18th ed.
McGraw-Hill, USA.
6. Winter CC. Cutaneous omento-ureterostomy. J urol 1967; 98: 342
7. Roth A. Transabdominal transperitoneal bilateral omento-uretostomy.
Exhibit and motion picture. Annual meeting of North Central Section, AUA,
Cleveland Ohio September 27-30, 1967
8. Lukas L, Michelle Lodde, Armin P. Surgery illustrated cutaneous
ureterostomy. Departement of Urology, General Hospital, Balzano, Italy 2005
9. Zafer K. Ureterocutanoestomy : for whom and when?. Clinic of Urology
Izmir Boyzaka Training and Research Hospital, Turkey, 2012
10. Saika T, Arata R, Tsushima T, et al; Okayama Urological Research Group.
Health-related quality of like after radical cystectomy for bladder cancer in
elderly patients with an ileal conduit, ureterocutaneostomy, or orthopic
urinary reservoir: a comparative quiestionnaire survey. Acta Med Okayama
2007 Aug 61(4): 1999-2003

19

Anda mungkin juga menyukai