Anda di halaman 1dari 12

I.

Definisi

Tifus Abdominalis (demam tifoid enteric fever) adalah penyakit infeksi

akut yang besarnya tedapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang

lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan

kesadaran. (FKUI, 1985)

Tifus abdominalis adalah infeksi yang mengenai usus halus, disebarkan

dari kotoran ke mulut melalui makanan dan air minum yang tercemar dan sering

timbul dalam wabah. (Markum, 1991).

I. Etiologi

Tyfus abdominalis disebabkan oleh salmonella typhosa, basil gram negatif,

bergerak dengan bulu getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurngnya 3

macam antigen yaitu antigen O (somatic terdiri dari zat komplek

lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen Vi. Dalam serum penderita

terdapat zat anti (glutanin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.

II. Patofisiologi

Kuman salmonella typhosa masuk kedalam saluran cerna, bersama

makanan dan minuman, sabagian besar akan mati oleh asam lambung HCL dan

sebagian ada yang lolos (hidup), kemudian kuman masuk kedalam usus (plag

payer) dan mengeluarkan endotoksin sehingga menyebabkan bakterimia primer


dan mengakibatkan perdangan setempat, kemudian kuman melalui pembuluh

darah limfe akan menuju ke organ RES terutama pada organ hati dan limfe.

Di organ RES ini sebagian kuman akan difagosif dan sebagian yang tidak

difagosif akan berkembang biak dan akan masuk pembuluh darah sehingga

menyebar ke organ lain, terutama usus halus sehingga menyebabkan peradangan

yang mengakibatkan malabsorbsi nutrien dan hiperperistaltik usus sehingga

terjadi diare. Pada hipotalamus akan menekan termoregulasi yang mengakibatkan

demam remiten dan terjadi hipermetabolisme tubuh akibatnya tubuh menjadi

mudah lelah.

Selain itu endotoksin yang masuk kepembuluh darah kapiler menyebabkan

roseola pada kulit dan lidah hipermi. Pada hati dan limpa akan terjadi

hepatospleno megali. Konstipasi bisa terjadi menyebabkan komplikasi intestinal

(perdarahan usus, perfarasi, peritonitis) dan ekstra intestinal (pnemonia,

meningitis, kolesistitis, neuropsikratrik).

III. Manifestasi Klinis

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika

dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari. Yang

tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama 30

hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan

gejala prodomal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan

tidak bersamangat kemudian menyusul gejala klinis sbb:

 Demam
Berlangsung selama 3 minggu, bersifat febris remiten dan suhu

tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama duhu berangsur-angsur

meningkat, biasanya turun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore

dan malam hari. Pada minggu ke-2 penderita terus demam dan minggu ke-

3 penderita demamnya berangsur-angsur normal.

 Gangguan pada saluran pencernaan

Nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, lidah putih

kotor (coated tongue) ujung dan tepi kemerahan, perut kembung, hati dan

limpa membesar. disertai nyeri pada perabaan

 Gangguan kesadaran

Kesadaran menurun walaupun tidak berapa dalam yaitu apatis

sampai samnolen.

Disamping gejala-gejala tersebut ditemukan juga pada penungggungdan anggota

gerak dapat ditemukan roseola yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil

dalam kapiler kulit.

IV. Pathways
Makanan terkontaminasi salmonella

Mulut

HCL (lambung)
Hidup
Tidak hidup
usus terutama plag peyer

kuman mengeluarkan endotoksin

Bakteiema primer
Difogosit Tak difogosit

mati bakteriema sekunder

Pembuluh darah kapiler Usus halus Hipotalamus Hepar

Procesia Tidak peradangan menekan hipotasplenom


pada kulit hiperemi termoreguler
Malababsorbsi nutrien
Hipertermi
Endotoksin
merusak hepar

Hiperperistaltik usus
cepat lelah
SGOT/SGPT
intoleransi aktifitas
diare

reinterkasi usus
bedrest

Komplikasi
konstipasi

V. Diagnosa
IntestinalKeperawatan Ekstraintestinal
- perdarahan usus - Pneumonia
1. -Perubahan
Revolusi
nutrisi kurang dari kebutuhan -tubuh b/d
Meningitis
arbsorpsi nutrisi
- Peritonitis - kolesistitis
- Neuropsikiatrik
2. Hipertermi b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada

hipotalamus

3. Resiko tinggi kurang volume cairan b/d kehilangan cairan sekunder

terhadap diare

4. Intoleransi aktivitas b/d peningkatan kebutuhan metabolisme

sekunder terhadap infeksi akut


5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi b/d kesalahan interpretasi

informasi, kurang mengingat

VI. Focus Intervensi

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d arbsorpsi nutrisi

Tujuan:

Kebutuhan nutrisi terpenuhi

Intervensi:

a. Dorong tirah baring

Rasional:

Menurunkan kebutuhan metabolic untuk meningkatkan penurunan kalori

dan simpanan energi

b. Anjurkan istirahat sebelum makan

Rasional:

Menenangkan peristaltic dan meningkatkan energi makan

c. Berikan kebersihan oral

Rasional :

Mulut bersih dapat meningkatkan nafsu makan

d. Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan

menyenangkan

Rasional:
Lingkungan menyenangkan menurunkan stress dan konduktif untuk

makan

e. Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat

Rasional:

Nutrisi yang adekuat akan membantu proses

f. Kolaborasi pemberian nutrisi, terapi IV sesuai indikasi

Rasional:

Program ini mengistirahatkan saluran gastrointestinal, sementara

memberikan nutrisi penting.

2. Hipertermi b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada

hipotalamus

Tujuan:

Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal

Intervensi:

a. Pantau suhu klien

Rasional:

Suhu 380 C sampai 41,10 C menunjukkan proses peningkatan infeksius

akut

b. pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai

dengan indikasi

Rasional:

Suhu ruangan atau jumlah selimut harus dirubah, mempertahankan suhu

mendekati normal
c. Berikan kompres mandi hangat

Rasional :

Dapat membantu mengurangi demam

d. Kolaborasi pemberian antipiretik

Rasional:

Untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya hipotalamus

3. Resiko tinggi kurang volume cairan b/d kehilangan cairan sekunder

terhadap diare

Tujuan:

Mempertahankan volume cairan adekuat dengan membran mukosa, turgor

kulit baik, kapiler baik, tanda vital stabil, keseimbangan dan kebutuhan urin

normal

Intervensi:

a. Awasi masukan dan keluaran perkiraan kehilangan cairan yang tidak

terlihat

Rasional:

Memberikan informasi tentang keseimbangan cairan dan elektrolit

penyakit usus yang merupakan pedoman untuk penggantian cairan

b. Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa turgor kulit dan

pengisian kapiler

Rasional:

Menunjukkan kehilangan cairan berlebih atau dehidrasi

c. Kaji tanda vital


Rasional :

Dengan menunjukkan respon terhadap efek kehilangan cairan

d. Pertahankan pembatasan peroral, tirah baring

Rasional:

Kalau diistirahkan utnuk penyembuhan dan untuk penurunan kehilangan

cairan usus

e. Kolaborasi utnuk pemberian cairan parenteral

Rasional:

Mempertahankan istirahat usus akan memerlukan cairan untuk

mempertahankan kehilangan

4. Intoleransi aktivitas b/d peningkatan kebutuhan metabolisme

sekunder terhadap infeksi akut

Tujuan:

Melaporkan kemampuan melakukan peningkatan toleransi aktivitas

Intervensi:

a. Tingkatkan tirah baring dan berikan lingkungan tenang dan batasi

pengunjung

Rasional:

Menyediakan energi yang digunakan untuk penyembuhan

b. Ubah posisi dengan sering, berikan perawatan kulit yang baik

Rasional:

Meningkatkan fungsi pernafasan dan meminimalkan tekanan pada area

tertentu untuk menurunkan resiko kerusakan jaringan


c. Tingkatkan aktifitas sesuai toleransi

Rasional :

Tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan karena keterbatasan

aktifitas yang menganggu periode istirahat

d. Berikan aktifitas hiburan yang tepat (nonton TV, radio)

Rasional:

Meningkatkan relaksasi dan hambatan energi

5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi b/d kesalahan interpretasi

informasi, kurang mengingat

Tujuan:

Dapat menyatakan pemahaman proses penyakit

Intervensi:

a. berikan nformasi tentang cara mempertahankan pemasukan makanan

yang memuaskan dilingkungan yang jauh dari rumah

Rasional:

Membantu individu untuk mengatur berat badan

b. Tentukan persepsi tentang proses penyakit

Rasional:

Membuat pengetahuan dasar dan memberikan kesadaran kebutuhan

belajar individu

c. Kaji ulang proses penyakit, penyebab/efek hubungan faktor yang

menimbulkan gejala dan mengidentifikasi cara menurunkan faktor

pendukung
Rasional :

Faktor pencetus/pemberat individu, sehingga kebutuhan pasien untuk

waspada terhadap makanan, cairan dan faktor pola hidup dapat

mencetuskan gejala

VII. Komplikasi

Dapat terjadi pada:

1. Usus halus

Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal yaitu:

a. Perdarahan usus bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan

pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi

melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyari perut dengan tanda-

tanda rejatan

b. Perforasi usus

c. Peritonitis ditemukan gejala abdomen akut yaitu: nyeri perut yang hebat,

diding abdomen dan nyeri pada tekanan

2. Diluar anus

Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakterimia) yaitu

meningitis, kolesistitis, ensefelopati. Terjadi karena infeksi sekunder yaitu

bronkopneumonia
VIII. Pemeriksaan Penunjang

Untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium antara

lain sebagai berikut:

a. Pemeriksaan darah tepi

b. Pemeriksaan sumsum tulang

c. Biakan empedu untuk menemukan salmonella thyposa

d. Pemeriksaan widal digunakan untuk membuat diagnosis

tifus abdominalis yang pasti

IX. Penatalaksanaan

Pengobatan/penatalaksaan pada penderita typus abdominalis adalah sebagai

berikut:

1. Isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan ekskreta

2. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi

3. Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu

4. Diet makanan harus mengandung cukup cairan dan tinggi protein

5. Obat Kloramfenikol

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L. J (1997). Buku Saku Keperawatan. Edisi VI.EGC: Jakarta

Doengoes M.E (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi III. EGC : Jakarta

Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi XII. EGC : Jakarta


Staf Pengajar IKA (1995). Ilmu Kesehatan Anak. EGC : Jakarta

mansjoer. A (2000). Kapikta Selekta kedokteran. edisi IV. EGC: Jakarta

Sarwana (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. FKUI: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai