Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN RETENSIO PLASENTA

DAN ROBEKAN JALAN LAHIR (RUPTUR PERINEUM)

Dalam memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Maternitas


yang di bimbing oleh Ibu Sri Lestari Dwi Astuti, SKp, Ns, M.Kes

Oleh :
Kelompok 18
Elba Habiburrahma
Jannatun Nikmah H.N.

POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI NERS
2018

www.saktyairlangga.wordpress.com Page 1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan
Retensio Plasenta dan Robekan Jalan Lahir ”. Makalah ini merupakan tugas
yang diberikan oleh dosen mata kuliah Keperawatan Maternitas yaitu ibu Sri
Lestari Dwi Astuti, SKp, Ns, M.Kes untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.
Makalah ini disusun agar para pembaca bisa menambah wawasan tentang
asuhan keperawatan tentang retensio plasenta dan robekan jalan lahir dan
diharapkan para pembaca dapat memahaminya. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat.
Dalam makalah ini, penyusun menyadari masih terdapat kekurangan dalam
penulisannya. Oleh karena itu, mohon kiranya kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembimbing dan pembaca guna untuk kesempurnaan pada
pembuatan laporan selanjutnya.

Surakarta, Agustus 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di kawasan ASEAN, Indonesia mempunyai AKI yang paling tinggi (390
per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia
dan juga di negara yang lain adalah perdarahan, infeksi dan pre eklampsia.
Terdapat sebanyak 40% kematian ibu disebabkan oleh perdarahan post
partum (Prawirohardjo,2010).
Dari data tersebut menjadikan Indonesia sebagai pemilik data AKI
terbesar di ASEAN. Penyebab utama kematian ibu sendiri menurut (WHO)
adalah Pendarahan, Retentio Plasenta, Infeksi, pre-eklamsia, dan prolog labour.
Faktor tertinggi kematian ibu adalah perdarahan, salah satu penyebab
perdarahan adalah terlambatnya plasenta keluar melebihi 30 menit setelah bayi
dilahirkan, hal ini biasa disebut dengan Retensio Plasenta.
Perdarahan postpartum dini jarang disebabkan oleh retensi plasenta
yang kecil, tetapi plasenta yang sering menyebabkan perdarahan pada akhir
masa nifas. Inspeksi plasenta setelah pelahiran harus dilakukan secara rutin,
apabila ada bagian plasenta yang hilang uterus harus dieksplorasi dan plasenta
dikeluarkan.
Selain hal itu Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan
pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat
dihindari atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui
oleh kepala janin dengan cepat (Rukiyah, 2012).Robekan jalan lahir
merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan pasca persalinan
(Marmi, 2015). Berbagai dampak yang ditimbulkan bila ruptur perineum
mengakibatkan robekan jaringan pararektal sehingga rektum terlepas dari
jaringan sekitarnya (Sarwono, 2011).Penanganan komplikasi yang lambat
pada ruptur perineum dapat menyebabkan kematian pada ibu post partum
mengingat kondisi ibu post partum masih lemah (Rukiyah, 2010).

1
Oleh karena itu ruptur perineum perlu mendapat perhatian yang serius,
baik dalam hal pengobatan maupun perawatan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat serta mengurangi berbagai komplikasi yang dapat timbul bila tidak
ditangani dengan baik. Keterampilan melahirkan kepala janin sangat
menentukan sampai seberapa jauh dapat terjadi perlukaan pada perineum
(Sarwono, 2011).

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana konsep teori Retensio Plasenta dan Ruptur Perinium?
b. Bagaimana konsep Asuhan Keperawatan Retensio Plasenta dan Ruptur
Perinium

1.3 Tujuan penulisan


a. Untuk mengetahui dan memahami konsep teori Retensio Plasenta dan
Ruptur Perinium
b. Untuk mengetahui dan memahami konsep Asuhan Keperawatan Retensio
Plasenta dan Ruptur Perinium

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat dari penyusunan makalah ini yaitu memberikan informasi kepada
mahasiswa tentang retensio plasenta dan ruptur perinium sampai asuhan
keperawatan pasien sehingga memungkinkan mahasiswa mampu
mengaplikasikannya pada pasien dengan kasus retensio plasenta dan ruptur
perinium.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Retensio Plasenta


A. Pengertian
Retensio Plasenta adalah tertahannya plasenta atau belum lahirnya
plasenta Hingga atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir. (Taufan
Nugroho, 2011:158).
Retensio Plasenta adalah plasenta lahir terlambat lebih dari 30 menit
(Manuaba, 2007).
B. Etiologi
Pada sebagian besar kasus plasenta terlepas secara spontan dari
tempat implantasinya dalam waktu beberapa menit setelah janin lahir.
Penyebab pasti tertundanya pelepasan setelah waktu ini tidak selalu jelas,
tetapi tampaknya cukup sering adalah gangguan pelepasan plasenta
disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus.
Plasenta yang sudah lepas tetapi belum dilahirkan juga merupakan
salah satu penyebab dari retensio plasenta. Keadaan ini dapat terjadi karena
atonia uteri dan dapat menyebabkan perdarahan yang banyak dan adanya lingkaran
konstriksi pada bagian bawah rahim. Hal ini dapat disebabkan karena
penanganan kala III yang keliru/salah dan terjadinya kontraksi pada bagian
bawah uterus yang menghalangi placenta (placenta inkaserata).

3
Tabel : Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta
Separasi/ Plasenta Plasenta
Gejala
akreta parsial Inkaserata Akreta
Konsistensi
Kenyal Keras Cukup
Uterus
Tinggi 2 jari bawah
Sepusat Sepusat
Fundus pusat
Bentuk Agak
Diskoid Diskoid
Uterus Globuler
Sedikit/tidak
Perdarahan Sedang-Banyak Sedang
ada
Terjulur
Tali Pusat Terjulur Tidak terjulur
sebagian
Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka
Separasi Melekat
Lepas sebagian Sudah lepas
plasenta seluruhnya
Syok Sering Jarang Jarang sekali

C. Klasifikasi
Berikut ini merupakan klasifikasi Retensio Plasenta menurut tingkat
perlekatanya :
1. Plasenta Akreta adalah implantasi plasenta yang perlekatannya ke
dinding uterus terlalu kuat, vilus/ jonjot korion plasenta melekat ke
miometrium.
2. Plasenta inkreta adalah implantasi plasenta yang perlekatannya ke
dinding uterus terlalu kuat, vilus plasenta benar-benar menginvasi
miometrium.
3. Plasenta perkreta adalah implantasi plasenta yang perlekatannya ke
dinding uterus terlalu kuat, vilus plasenta menembus miometrium.
4. Plasenta Adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion
plasenta sehingga mengakibatkan kegagalan mekanisme separasi
fisiologis

4
5. Plasenta Inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan kontriksi ostitum uteri
D. Manifestasi Klinis
1. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta
informasi mengenai episode perdarahan post partum sebelumnya,
paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat
postpartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau
timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
2. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam
kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam
uterus.
E. Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah di dalam
uterus masih terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah
dalam stratum spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat
insersinya plasenta terbuka.
Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka
tersebut akan menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan
darah sehingga perdarahan akan terhenti. Pada kondisi retensio plasenta,
lepasnya plasenta tidak terjadi secara bersamaan dengan janin, karena
melekat pada tempat implantasinya. Menyebabkan terganggunya retraksi
dan kontraksi otot uterus sehingga sebagian pembuluh darah tetap terbuka
serta menimbulkan perdarahan.

5
F. Pemerikaan Diagnostik

1. Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan


hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah
leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya
meningkat.

2. Menentukanadanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin


time (PT) dan activated Partial Tromboplastin Time (APTT) atau yang
sederhana dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini
penting untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor
lain.

G. Penatalaksanaan
1. Retensio plasenta dengan sparasi parsial
a) Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan
tindakan yang akan diambil. Regangkan tali pusat dan minta pasien
untuk mengedan. Bila ekspulsi tidak terjadi, coba traksi terkontrol
tali pusat.
b) Beri drips oksitosin dalam infuse NS/RL. Bila perlu kombinasikan
dengan misoprostol per rectal. (sebaiknya tidak menggunakan
ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan
plasenta terperangkap dalam kavum uteri)
c) Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan
manual plasenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari
terjadinya perforasi dan perdarahan. Lakukan trasnfusi darah
apabila di perlukan.
d) Beri antibiotika profilaksis (ampisilin IV/ oral + metronidazol
supositoria/ oral)
e) Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi syok
neurogenik.

6
2. Plasenta inkaserata
a) Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan
pemeriksaan.
b) Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk
menghilangkan kontriksi serviks dan melahirkan plasenta.
c) Pilih fluethane atau eter untuk kontriksi serviks yang kuat,
siapkan drips oksitosin dalam cairan NS/RL untuk mengatasi
gangguan kontraksi yang diakibatkan bahan anestesi tersebut.
d) Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilakukan
cunam ovum, lakukan maneuver skrup untuk melahirkan plsenta.
e) Pengamatan dan perawatan lanjutan meliputi pemantauan tanda
vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan pasca
tindakan. Tambahan pemantauan yang di perlukan adalah
pemantauan efek samping atau komplikasi dari bahan –bahan
sedative, analgetika atau anastesi umum misalnya mual, muntah,
hipo/ atonia uteri, pusing/ vertigo, halusinasi, mengantuk
3. Plasenta akreta
a) Tanda penting untuk diagnosis pada pemerisaan luar adalah ikutnya
fundus atau korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam
sulit di tentukan tepi plasenta karena imolantasi yang dalam.
b) Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah
menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit
rujukan karena kasus ini memerlukan operatif bagan.
4. Sisa plasenta
a) Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan
pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus
sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian
besar pasien akan kemabali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan
perdarahan setelah beberapa hari pulang ke rumah dan subinvolusi
uterus

7
b) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala
metritis. Antibiotika yang di pilih adalah ampisilin IV dilanjutkan
oral dikombinasikan dengan metronidazol supositoria.
c) Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan
bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh
instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan
kuretase.
d) Bila kadar Hb<8g/dL berikan transfuse darah. Bila kadar Hb> 8g/
dL, berikan ferosus.
Pada kelainan yang luas, perdarahan menjadi berlebihan sewaktu
dilakukan upaya untuk melahirkan plasenta. Pada sebagian kasus plasenta
menginfasi ligamentum latum dan seluruh serviks (Lin dkk., 1998). Pengobatan
yang berhasil bergantung pada pemberian darah pengganti sesegera mungkin
dan hampir selalu dilakukan tindakan histerektomi (operasi pengangkatan
rahim).
Pada plasenta akreta totalis, perdarahan mungkin sangat sedikit atau tidak
ada. Paling tidak sampai di lakukan upaya pengeluaran plasenta secara manual.
Kadang-kadang tarikan tali pusat dapat menyebabkan inversion uteri. Inversion
uteri adalah uterus terputar balik sehingga fundus uteri terapat dalam vagina
dengan selaput lendirnya sebelah luar. Inversion uteri paling sering
menimbulkan perdarahan akut yang mengancam nyawa.

H. Komplikasi
Kompikasi dalam pengeluaran plasenta secara manual selain
infeksi / komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan,
multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan
penurunan perfusi organ dan sepsis, ialah apabila ditemukan plasenta akreta.
Dalam hal ini villi korialis menembus desidua dan memasuki miometrium dan
tergantung dari dalamnya tembusan itu dibedakan antara plasenta inakreta dan
plasenta perkreta. Plasenta dalam hal ini tidak mudah untuk dilepaskan
melainkan sepotong demi sepotong dan disertai dengan perdarahan. Jika
disadari adanya plasenta akreta sebaiknya usaha untuk mengeluarkan plasenta

8
dengan tangan dihentikan dan segera dilakukan histerektomi dan mengangkat
pula sisa-sisa dalam uterus.

2.2. Ruptur Perineum


A. Pengertian
Ruptur perineum adalah luka pada perineum yang diakibatkan oleh
rusaknya jaringan secara alamiah karena proses desakan kepala janin ata
bahu pada saat proses persalinan. Bentuk ruptur biasanya tidak teratur
sehingga jaringan yang robek sulit dilakukan penjahitan (Rukiyah, 2010).
Robekan jalan lahir adalah perdarahan dalam keadaan dimana
plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan
bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir (Rukiyah,
2012).
B. Etiologi
Robekan pada perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana:
1. Kepala janin terlalu cepat keluar
2. Persalinan tidak dipimpin dengan baik
3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut
4. Pada persalinan dengan distorsia bahu
5. Ruptur pada perineum spontan disebabkan oleh perineum kaku, kepala
janin terlalu cepat melewati dasar panggul, bayi besar, lebar perineum
dan paritas
C. Klasifikasi
1. Ruptur Perineum Spontan
Yaitu luka pada perineum yang terjadi karena sebab – sebab tertentu
tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi
pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur.

9
Tabel 2.1 Derajat Ruptur Perineum dan Penatalaksanaanya
Ruptur Derajat Satu Derajat Dua Derajat Tiga Derajat
Perineum Empat
Lokasi · Mukosa · Mukosa · Mukosa · Mukosa
Vagina Vagina Vagina Vagina
· Komisura · Komisura · Komisura · Komisura
Posterior Posterior Posterior Posterior
· Kulit · Kulit · Kulit · Kulit
Perineum Perineum Perineum Perineum
· Otot Perineum · Otot · Otot
Perineum Perineum
· Otot Sfinter Otot Sfinter ani
ani
Tata Tidak perlu Jahit Penolong APN tidak dibekali
Laksana dijahit jika menggunakan keterampilan untuk reparasi
tidak ada teknik yang laserasi perineum derajat tiga
perdarahan sesuai dengan atau deraja empat. Segera
Dan aposisi kondisi pasien rujuk ke fasilitas rujukan
baik
(JNPK-KR,2008)
2. Ruptur Perineum yang Disengaja (Episiotomi)
Yaitu luka perineum yang terjadi karena dilakukan pengguntingan
atau perobekan pada perineum.
Dahulu episiotomi dianjurkan untuk mengurangi ruptur yang
berlebihan pada perineum agar memudahkan dalam penjahitan,
mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi, namun hal itu
tidak didukung oleh bukti ilmiah yang cukup. Episiotomi boleh
dilakukan bila ada indikasi tertentu.
Indikasi dilakukan episiotomy diantaranya indikasi janin seperti
distosia bahu dan persalinan bokong, operasi ekstraksi vakum atau
forsep, dan posisi oksiput posterior.

10
D. Faktor-Faktor Terjadinya Ruptur Perineum
Ruptur perineum dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah
faktor ibu, faktor janin, dan faktor penolong persalinan.
1. Faktor Ibu
Meliputi partus presipitatus, ibu primipara, pasien tidak mampu
berhenti mengejan, edema dan kerapuhan perineum, varikositas vulva
yang melemahkan jaringan perineum, arkus pubis yang sempit dengan
pintu bawah panggul yang sempit pula sehingga menekan kepala bayi
ke arah posterior.
Primipara adalah seorang wanita yang melahirkan bayi hidup untuk
pertama kalinya. Robekan perineum terjadi hampir semua persalinan
pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Pada
primipara atau orang yang baru pertama kali melahirkan factor risikonya
adalah kelenturan perineum. Perineum yang kaku dan tidak elastis akan
menghambat persalinan kala II dan dapat meningkatkan risiko terhadap
janin. Perineum yang belum pernah dilalui oleh kepala bayi tidak dapat
menahan tegangan yang kuat sehingga robek pada pinggir depannya.
Luka biasanya ringan tetapi kadang-kadang juga terjadi luka yang luas
dan berbahaya.
2. Faktor penolong
Diantaranya adalah pimpinan persalinan yang salah, cara menahan
perineum dan cara berkomunikasi penolong dengan ibu bersalin dapat
mempengaruhi terjadinya rupture perineum.
3. Faktor janin
Salah satu penyebabnya adalah berat badan bayi lahir, posisi kepala
yang abnormal, ekstraksi forceps yang sukar, distosia bahu, dan
anomaly congenital seperti hydrocephalus. Hal ini terjadi karena berat
bayi yang besar sehingga sulit melewati panggul dan menyebabkan
terjadinya ruptur perineum pada ibu bersalin. Pada bayi dengan berat
badan lahir cukup besar, ruptur spontan pada perineum dapat terjadi
pada saat kepala dan bahu dilahirkan. Pada saat melewati jalan lahir,
berat badan bayi berpengaruh terhadap besarnya penekanan terhadap

11
otot-otot yang berada di sekitar perineum sehingga perineum menonjol
dan meregang sampai kepala dan seluruh bagian tubuh bayi lahir.
Semakin besar tekanan pada perineum, semakin besar pula risiko
terjadinya ruptur perineum.
E. Manifestasi Klinis
Menurut Mochtar (1998) adalah sebagai berikut :
1. Darah segar yang mengalir setelah bayi lahir
2. Uterus tidak berkontraksi dengan baik
3. Pucat
4. Lemah
5. Pasien dalam keadaan menggigil (hipotermi)
Bila perdarahan masih berlangsung meski kontraksi uterus baik dan
tidak didapatkan adanya retensi plasenta maupun adanya sisa plasenta,
kemungkinan telah terjadi perlukaan jalan lahir.
Tanda dan gejala robekan jalan lahir diantaranya adalah perdarahan,
darah segar yang mengalir setelah bayi lahir, uterus berkontraksi dengan
baik, dan plasenta normal.
Ciri khas robekan jalan lahir; Kontraksi uterus kuat, keras dan
mengecil, perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir, perdarahan ini
terus menerus setelah massase atau pemberian uterotonika langsung
mengeras tapi perdarahan tidak berkurang. Dalam hal apapun, robekan jalan
lahir harus dapat diminimalkan karena tak jarang perdarahan terjadi karena
robekan dan ini menimbulkan akibat yang fatal seperti terjadinya syok.
F. Patofisiologi
Robekan perineum terjadi pada semua persalinan pertama dan tidak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau
dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala
janin dengan cepat, sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan
terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan
pendarahan dalam tengkorok janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia
pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.

12
Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bias
menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih
kecil daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang
daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran
yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau
anak dilahirkan dengan pembedahan vaginial.
G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik ruptur perineum ditegakkan dengan
pemeriksaan langsung pada tempat terjadinya perlukaan dimana akan
timbul perdarahan yang bisa bersifat perdarahan arterial (Sarwono, 2011).

H. Penatalaksanaan
1. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber
perdarahan.
2. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan anti septik
3. Jepit dengan ujung klem sumber perdaraan dan ikat dengan benang yang
dapat diserap.
4. Lakukan penjahita luka mulai dari yang paling distal terhadap operator.
5. Khusus ruptur perineum komplit (hingga anus dan sebagian rektum)
dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum,
sebagai berikut:
a) Setelah prosedur aseptik dan anti septik, pasang busi rektum hingga
ujung robekan.
b) Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul
submukosa, menggunakan benang poliglikolik no.2/0
(Dexon/vicryl) hingga ke sfingter ani. Jepit kedua sfingter ani
dengan klem dan ahit dengan benang no. 2/0.
c) Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa
dengan benang yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur.
d) Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan
subkutikuler.
e) Berikan antibiotika profilaksis (Ampisilin 2 gr dan metronidazol 1
gr per oral). Terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka

13
tampak kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau terdapat tanda-
tanda infeksi yang jelas (Prawirohardjo, 2010).
I. Komplikasi
Resiko komplikasi yang mungkin terjadi jika ruptur perineum tidak segera
diatasi, yaitu :
1. Perdarahan
Perdarahan robekan jalan lahir selalu memberikan
perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya. Perdarahan
yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi , yaitu sumber
dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan
dapat berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus
(ruptur uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan
robekan jalan lahir dengan perdarahan bersifat arteril atau pecahnya
pembuluh darah vena.
Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca
persalinan dalam waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan
penatalaksanaan yang cermat selama kala satu dan kala empat
persalinan sangat penting. Menilai kehilangan darah yaitu dengan
cara memantau tanda vital, mengevaluasi asal perdarahan, serta
memperkirakan jumlah perdarahan lanjutan dan menilai tonus otot.
2. Fistula
Fistula dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena
perlukaan pada vagina menembus kandung kencing atau rektum.
Jika kandung kencing luka, maka air kencing akan segera keluar
melalui vagina. Fistula dapat menekan kandung kencing atau rektum
yang lama antara kepala janin dan panggul, sehingga terjadi iskemia.
3. Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada
persalinan karena adanya penekanan kepala janin serta tindakan
persalinan yang ditandai dengan rasa nyeri pada perineum dan
vulva berwarna biru dan merah. Hematoma dibagian pelvis bisa
terjadi dalam vulva perineum dan fosa iskiorektalis. Biasanya

14
karena trauma perineum tetapi bisa juga dengan varikositas vulva
yang timbul bersamaan dengan gejala peningkatan nyeri.
Kesalahan yang menyebabkan disgnosis tidak diketahui dan
memungkinkan banyak darah yang hilang. Dalam waktu yang
singkat, adanya pembengkakkan biru yang tegang pada salah satu
sisi introitus di daerah ruptur perineum.
4. Infeksi
Infeksi pada masa nifas adalah peradangan di sekitar alat
genital pada kala nifas. Perlukaan pada persalinan merupakan
tempat masuknya kuman ke dalam tubuh sehingga menimbulkan
infeksi. Dengan ketentuan meningkatkan suhu tubuh melebihi 38o
celcius, tanpa menghitung pireksia nifas. Setiap wanita yang
mengalami pireksia nifas harus diperhatikan, diisolasi dan
dilakukan inspeksi pada traktus genitalis untuk mencari laserasi,
robekan atau luka episiotomi.

15
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Retensio Plasenta


A. Pengkajian
Beberapa hal yang perlu dikaji dalam asuhan keperawatan pada ibu dengan
retensio placenta adalah sebagai berikut:
1. Identitas klien
Data biologis/fisiologis meliputi; keluhan utama, riwayat kesehatan
masa lalu, riwayat penyakit keluarga, riwayat obstetrik (Riwayat
kehamilan, persalinan, dan nifas)
2. Keluhan Utama
Klien mengatakan panas
3. Sirkulasi :
a) Perubahan tekanan darah dan nadi (mungkin tidak tejadi sampai
kehilangan darah bermakna)
b) Pelambatan pengisian kapiler
c) Pucat, kulit dingin/lembab
d) Perdarahan vena gelap dari uterus ada secara eksternal (placentaa
tertahan)
e) Dapat mengalami perdarahan vagina berlebihan
f) Haemoragi berat atau gejala syok diluar proporsi jumlah kehilangan
darah.
4. Eliminasi:
Kesulitan berkemih dapat menunjukan haematoma dari porsi atas
vagina.
5. Nyeri/Ketidaknyamanan :
Sensasi nyeri terbakar/robekan (laserasi), nyeri tekan abdominal
(fragmen placenta tertahan) dan nyeri uterus lateral.

16
6. Keamanan :
Laserasi jalan lahir: darah memang terang sedikit menetap (mungkin
tersembunyi) Dengan uterus keras, uterus berkontraksi baik; robekan
terlihat pada labia mayora/labia minora, dari muara vagina ke perineum;
robekan luas dari episiotomie, ekstensi episiotomi kedalam
kubahvagina, atau robekan pada serviks.
7. Seksualitas :
a) Uterus kuat; kontraksi baik atau kontraksi parsial, dan agak
menonjol (fragmen placentayang tertahan)
b) Kehamilan baru dapat mempengaruhi overdistensi uterus (gestasi
multipel, polihidramnion, makrosomia), abrupsio placenta, placenta
previa. Pemeriksaan fisik meliputi; keadaan umum, tanda vital,
pemeriksaan obstetrik (inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi).

B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko tinggi terhadap deficit volume cairan berhubungan dengan
perdarahan
2. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen
seluler yang di butuhkan untuk pengiriman oksigen/ nutrient ke sel.
3. Risiko sepsis berhubungan dengan infeksi pada pengambilan placenta.
4. Gangguan aktifitas berhubungan dengan penurunan sirkulasi,
kelemahan.
5. Kecemasan berhubungan dengan tindakan invasive.

17
C. Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa 1 : Risiko tinggi terhadap deficit volume cairan
berhubungan dengan perdarahan
Tujuan : Agar tidak terjadi deficit volume cairan, seimbang
antara inteks dan output baik jumlah maupun
kualitas.
Intervensi :
a) Kaji kondisi status hemodinamika,
R/ Memberikan pengukuran lebih langsung dari volume sirkulasi
dan kebutuhan penggantian.
b) Pantau pemasukan dan pengeluaran ciran harian
R/ Bermanfaat dalam memperkirakan luas/signifikansi kehilangan
cairan. Volume perfusi/sirkulasi adekuat ditunjukan dengan
keluaran 30-50 ml/jam atau lebih besar.
c) Observasi nadi dan tekanan darah
R/ Hal ini dapat menunjukan hipovolemi dan terjadinya syok.
Perubahan pada tekanan darah tidak dapat dideteksi sampai volume
cairan telah menurun sampai 30 - 50%. Sianosis adalah tanda akhir
dari hipoksia.
d) Berikan diet makanan berstektur halus
R/ mudah untuk diabsorbsi sistem pencernaan sehingga tidak
membutuhkan energi banyak untuk metabolisme.
e) nilai hasil lab HB/HT
R/ Membantu dalam menentukan kehilangan darah. Setiap ml darah
membawa 0,5mgHb.
f) Berikan sejumlah cairan IV sesuai indikasi
R/ untuk meningkatkan volume sirkulasi dan mencegah pembekuan.

18
2. Diagnosa 2 : Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan
penurunan komponen seluler yang di butuhkan
untuk pengiriman oksigen/ nutrient ke sel.
Tujuan : Agar tidak terjadi perubahan perfusi jaringan
selama perawatan perdarahan
Intervensi :
a) kaji tanda vital, warna kulit dan ujung jari.
R/ memastikan bahwa tidak adanya perfusi jaringan
b) Pertahankan suhu lingkungan dan tubuh.
R/ Suhu lingkungan dan tubuh berpengaruh dalam vascular, apabila
suhu tubuh rendah maka akan membuat vascular kontriksi sehingga
dapat menghambat distribusi nutrient dan oksigen
c) Nilai hasil lab hb/ ht dan jumlah sel darah merah.
R/ Anemia sering menyertai infeksi, memperlambat pemulihan dan
merusak system imun
d) Berikan sel darah merah dan tambahan o2 sesuai indikasi.
R/ penggantian sel darah merah yang hilang dan memaksimalkan
ketersediaan oksigen untuk transpor sirkulasi kejaringan.
3. Diagnosa 3 : Risiko sepsis berhubungan dengan infeksi pada
pengambilan placenta.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
dirumah sakit di harapkan tidak terjadi peningkatan
suhu
Intervensi :
a) Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang penyebab panas
R/ Klien dan keluarga mengerti tentang penyebab panas
b) Anjurkan kompres air hangat
R/ Air hangat bias mendilatasi pori – pori
c) Anjurkan klien memakai pakaian yang tipis
R/ Pakaian yang tipis bias meningkatkan evaporasi
d) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotic
R/ Antibiotic akan membunuh bakteri dan kuman

19
4. Diagnosa 4 : Gangguan aktifitas berhubungan dengan penurunan
sirkulasi, kelemahan.
Tujuan : Klien dapat melakukan aktifitas tanpa adanya komplikasi

Intervensi :
a) kaji tingkat kemampuan klien untuk beraktifitas
b) kaji pengaruh aktifitas terhadap kondisi uterus
c) bantu klien untuk memenuhi kebutuhan aktifitas sehari-hari
d) bantu klien untuk melakukan tindakan sesuai kondisi klien
e) evaluasi perkembangan kemampuan klien melakukan aktifitas

5. Diagnosa 5 : Kecemasan berhubungan dengan tindakan invasive.


Tujuan : klien mampu beradaptasi dengan tindakan yang dilakukan
Intervensi :
a) Libatkan keluarga dalam melakukan tindakan perawatan
R/ Pendekatan awal pada pasien melalui keluarga
b) Hindari persepsi yang salah pada perawat dan RS
R/ mengurangi rasa takut pasien terhadap perawat dan lingkungan RS
c) Berikan pujian jika klien mau diberikan tindakan perawatan dan
pengobatan
R/ menambah rasa percaya diri pasien akan keberanian dan kemampuannya
d) Lakukan kontak sesering mungkin dan lakukan komunikasi baik verbal
maupun non verbal (sentuhan, belaian dll)
R/ Kasih saying serta pengenalan diri perawat akan menunbuhkan rasa
aman pada klien

20
3.2. Ruptur Perineum
A. Pengkajian
Biodata yang perlu dikaji adalah biodata ibu dan suami yang terdiri dari :
Nama, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, lamanya
menikah, dan alamat sekarang.

Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan fisik umum
a) Pemeriksaan fisik terdiri atas penampilan ibu, kesadaran ibu, TB
/ BB ibu
b) Tanda – tanda vital
Beberapa perubahan tanda – tanda vital bisa terlihat jika wanita
dalam keadaan normal. Peningkatan kecil sementara, baik
peningkatan tekanan darah sistole maupun diastole dapat timbul
dan dapat berlangsung selama sekitar 4 hari setelah wanita
melahirkan

c) Fungsi pernafasan kembali ke fungsinya saat wanita tidak hamil


pada bulan ke – 6 setelah melahirkan. Suhu badan ibu dikaji saat
masuk ke ruang pemulihan dan di ulang 1 jam kemudian.
d) Kulit
Kloasma yang muncul pada masa hamil biasanya menghilang
saat kehamilan berakhir. Hiperpigmentasi diareola dan linea
nigra tidak menghilang seluruhnya setelah bayi lahir. Diaforesis
ialah perubahan yang paling jelas terlihat pada sistem
integumen.

e) Inspeksi Wajah
Wajah pada umumnha tidak ada edema namun ekspresi wajah
akan cemas dan nyeri akan terlihat.

21
f) Inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi daerah perut:
- Payudara
Konsentrasi hormon yang menstimulasi perkembangan
payudara selama hamil (estrogen, progesteron, human
chorionik gonadotropin, prolaktin, kortisol dan insulin)
menurun dengan cepat setelah bayi lahir

Denyut jantung dan curah jantung meningkat sepanjang masa


hamil.

- Perut
Striae masih tampak. Dalam 2 minggu setelah melahirkan,
dinding abdomen wanita itu akan rileks. Kulit memperoleh
elatisitasnya, tetapi sejum menetap. Nyeri after pain biasa
ditemukan pada multipara karena uterus yang teregang
penuh dua kali lipat jauh lebih kendur daripada uterus
primipara dan harus berkontraksi lebih kuat untuk
menghasilkan involusi (Rukiyah,2010)

Panggul / vagina/ serviks/ perineum/ anus :

- Serviks :
Serviks menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan. 18 jam
pasca partum, serviks memendek dan konsistensinya
menjadi lebih padat dan kembali ke bentuk semula

- Topangan otot panggul :


Struktur penopang uterus dan vagina bisa mengalami cedera
sewaktu melahirkan dan masalah ginekologi dapat timbul di
kemudian hari. Jaringan penopang dasar panggul yang
terobek atau teregang saat ibu melahirkan memerlukan
waktu sampai 6 bulan untuk kembali ke tonus otot semula.

22
- Vagina dan perineum :
Vagina yang teregang akan kembali secara bertahap ke
ukuran sebelum hamil, 6 – 8 minggu setelah bayi lahir. Pada
awalnya, introitus mengalami eritematosa dan edematosa,
terutama pada daerah episiotomi atau jahitan laserasi.

- Perineum diperiksa 2 kali sehari dengan penerangan yang


baik. Perawat / bidan melakukan observasi untuk
menemukan eritema, edema, memar, pengeluaran sekret,
atau tarikan pada bekas jahitan di daerah perineum.
- Anus : Hemoroid umumnya terlihat.

g). Inspeksi dan palpasi tungkai bawah

Adaptasi sistem muskuloskeletal ibu yang terjadi selama hamil


berlangsung secara terbalik pada masa pascapartum. Akan tetapi,
walaupun semua sendi lain kembali ke keadaan normal sebelum
hamil, kaki wanita tidak mengalami perubahan setelah melahirkan.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah sebagai berikut:

a. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan, trauma


mekanis, edema/pembesaran jaringan atau distensi, efek–efek
hormonal.
b. Resiko cedera berhubungan dengan biokimia, fungsi regulator (mis :
hipotensi ortostatik, terjadinya eklampsi), anemia .
c. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan dan/atau kerusakan
kulit, penurunan Hb, prosedur invasif, ruptur ketuban lama, malnutrisi.
d. Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan efek–efek hormonal ,
(perpindahan cairan/peningkatan aliran plasma ginjal , trauma mekanis,
edema jaringan, efek–efek anestesia.

23
C. Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa 1 : Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas
jaringan, trauma mekanis, edema/pembesaran
jaringan atau distensi, efek–efek hormonal.
Tujuan : Klien dapat mengungkapkan berkurangnya nyeri

Intervensi Rasional

1. Tentukan adanya nyeri, lokasi, 1. Mengidentifikasi kebutuhan –


sifat nyeri. Tinjau ulang kebutuhan khusus dan
persalinan dan catat kelahiran intervensi yang tepat
2. Inspeksi perbaikan perineum 2. Dapat menunjukkan perlekatan
dan episiotomi. Perhatikan berlebihan pada jaringan
edema , nyeri tekan likal, perineal dan / atau terjadinya
eksudat purulen, atau kompikasi yang memerlukan
kehilangan perlekatan jaringan evaluasi / intervensi lanjut.
3. Menghilangkan rasa nyeri,
meningkatkan vasokonstriksi,
3. Berikan kompres es pada
mengurangi edema dan
perineum, khususnya selama 24
vasodilatasi.
jam pertama setelah kelahiran
4. Membantu untuk mengurangi
hemoroid dan varises vulva
4. Inspeksi hemoroid pada dengan meningkatkan vasokon-
perineum , Anjurkan striksi lokal.
penggunaan kommpres es 5. Selama 12 jam pertama pasca
selama 20 menit setiap 4 jam partum, kontraksi uterus kuat
dan reguler dan ini berlanjut 2 -
3 hari selanjutnya, meskipun
5. Kaji nyeri tekan uterus, tentukan
frekuensi dan intensitasnya
adanya dan frekuensi / intensitas
berkurang. Faktor – faktor yang
afterpain. Perhatikan faktor –
memperberat afterpain meliputi
faktor yang memperberat.
overdistensi uterus, pemberian

24
6. Anjurkan klien berbaring preparat oksitosin dan
tengkurap dengan bantal di ergometrin.
bawah abdomen, dan ia 6. Meningkatkan kenyamanan,
melakukan tehnik visualisasi meningkatkan rasa kontrol dan
atau aktivitas pengalihan kembali memfokuskan
7. Inspeksi payudara dan jaringan perhatian.
puting, kaji adanya pembesaran
dan / atau puting pecah – pecah 7. Pada 24 jam pasca partum,
payudara harus lunak dan tidak
8. Anjurkan klien memulai perih, dan puting harus bebas
menyusui pada puting yang dari pecah – pecah atau area
tidak nyeri tekan untuk beberapa kemerahan.
kali pemberian susu secara 8. Mengangkat payudara ke dalam
berurutan, bila hanya satui dan kedepan, menyebabkan
puting yang sakit atau luka posisi lebih nyaman.

9. Respon mengisap awal kuat dan


9. Berikan kompres es pada derah
mungkin menimbulkan nyeri
aksilla bila klien tidak
dengan mulai memberi susu
merencanakan menyusui
pada payudara yang tidak sakit
dan kemudian melanjutkan
10. Kaji klien terhadap kepenuhan
untuk menggunakan payudara
kandung kemih,
yang mungkin kurang
implementasikan tindakan untuk
menimbulkan nyeri dan dapat
memudahkan berkemih.
meningkatkan penyembuhan

11. Berikan analgesik sesuai


10. Kompres es menekan laktasi
ketentuan
11. Ovar distensi kandung kemih
dapat menciptakan perasaan
dorongan dan
ketidaknyamanan.

25
2. Diagnosa 2 : Resiko cedera berhubungan dengan biokimia, fungsi
regulator (mis : hipotensi ortostatik, terjadinya
eklampsi ), anemia
Tujuan :Klien dapat mendemonstrasikan perilaku untuk
menurunkan faktor – faktor resiko / melindungi diri

Intervensi Rasional

1. Tinjau ulang kadar hemoglobin 1. Anemia atau kehilangan darah


(Hb ) darah dan kehilangan mempredisposisikan pada
darah pada waktu melahirkan. sinkope klien karena
Catat tanda – tanda anemia ketidakadekuatan pengiriman
( mis : Kelelahan, pusing dan oksigen ke otak .
pucat )
2. Anjurkan ambulasi dan latihan
2. Meningkatkan sirkulasi dan
dini kecuali pada klien yang
aliran darah vena .
mendapatkan anestesi
subaraknoid
3. Biarkan klien duduk dilantai
atau kursi atau berbaring pada
3. Membantu mempertahankan
posisi datar, bila ia merasa
atau meningkatkan sirkulasi dan
pusing
pengiriman oksigen ke otak.

4. Berikan kompres hangat ;


4. Merangsang sirkulasi dan
tingkatkan tirah baring dengan
menurunkan penumpukan pada
meninggikan tungkai
vena ekstremitas bawah ,
menurunkan edema sehingga
cedera dapat dicegah

26
3. Diagnosa 3 : Resiko infeksi berhubungan dengan trauma
jaringan dan/atau kerusakan kulit, penurunan Hb,
prosedur invasif, ruptur ketuban lama, malnutrisi.

Tujuan :Klien menunjukkn tidak adanya tanda – tanda

infeksi yang ditandai dengan luka yang bebas dari


drainase purulent, bebas infeksi, tidak febris, dan
mempunyai aliran lokhia dengan karakter normal.

Intervensi Rasional

1. Kaji catatan prenatal dan 1. Membantu mengidentifikasi


intrapartal , perhatikan faktor – faktor resiko yang
frekuensi pemeriksaan vagina dapat menganggu
dan komplikasi seperti ketuban penyembuhan dini dan atau
pecah dini, persalinan lama, kemunduran pertmbuhan
laserasi, hemoragi dan epitel jaringan endometrium
tertahannya plasenta dan memberi kecenderungan
klien terkena infeksi.
2. Kegagalan miometrium untuk
2. Kaji lokasi dan kontraktilitas
involusi atau terjadinya nyeri
uterus; perhatikan perubahan
tekan yang berlebihan
involusional atau adanya nyeri
menandakan tertahannya
tekan uterus yang berlebihan
jaringan plasenta atau infeksi.
3. Lokhia secara normal
3. Catat jumlah dan bau rabas mempunyai bau amis , namun
lokhial atau perubahan pada pada endometritus, rabas
kemajuan normal dari rubra mungkin purulent dan bau
menjadi serosa busuk, mungkin gagal untuk
menunjukkan kemajuan
normal dari rubra menjadi
serosa sampai alba.

27
4. Terjadinya puting yang pecah
– pecah menimbulkan resiko
mastitis.
4. Evaluasi kondisi puting,
perhatikan adanya pecah –
5. Gejala ISK dapat nampak
pecah, kemerahan atau nyeri
pada hari ke -2 sampai hari ke
tekan
-3 pascapartum karena
5. Kaji tanda – tanda infeksi
naiknya infeksi kandung
saluran kemih
kemih.
6. membantu mencegah
kontaminasi rektal memasuki
vagina dan uretra dan
meningkatkan pemulihan.
6. Anjurkan perawatan perineal
setelah berkemih dan defekasi ,
dan anjurkan klien mandi setiap
hari dan ganti pembalut
perineal sedikitnya setiap 4 jam
7. Membantu mencegah atau
dengan tehnik pembersihan
menghalani penyebaran
dari depan ke belakang
infeksi.
7. Anjurkan dan gunakan teknik
mencuci tangan cermat dan
membuang pembalut yang
kotor. Diskusikan dengan klien
petingnya dilakukan tindakan
ini juga setelah pulang 8. Nutrisi yang adekuat
8. Kaji status nutrisi klien mencegah klien rentan
terhadap infeksi.

28
4. Diagnosa 4 : Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan efek
– efek hormonal , (perpindahan cairan/peningkatan
aliran plasma ginjal , trauma mekanis, edema
jaringan, efek – efek anestesia.
Tujuan : Klien dapat berkemih tanpa bantuan dalam 6 – 8
jam setelah kelahiran dan mengosongkan kandung
kemih setiap berkemih
Intervensi Rasional

1. Kaji masukan cairan dan 1. Persalinan yang lama dan


haluaran urine terakhir. Catat penggantian cairan yang
masukan cairan intrapartal dan tidak efektif dapat
haluaran urin dan lamanya mengakibatkan dehidrasi dan
persalinan menurunkan haluaran urine
2. Aliran plasma ginjal yang
meningkat selama periode
2. Palpasi kandung kemih, pantau
prenatal, tetap tinggi pada
tinggi fundus uteri dan lokasi,
minggu pertama pasca
serta jumlah cairan lokhia
partum yang mengakibatkan
pengisian kandung kemih.
Distensi kandung kemih,
yang dapat dikji dengan
derajat perubahan posisi
uetrus menyebabkan
peningkatan relaksasi uterus
dan aliran lokhia.
3. Trauma kandung kemih atau
uretra, atau edema dapat
menganggu berkemih.
4. Variasi intervensi
keperawatan mungkin perlu
3. Perhatikan adanya edema atau
laserasi / episiotomi

29
untuk merangsang atau
memudahkan berkemih
4. Anjurkan klien berkemih dalam
6 – 8 jam pasca partum dan
setiap 4 jam setelahnya, bila
kondisi memungkinkan ,
biarkan klien berjalan ke kamar
mandi dan stimulasi berkemih
dengan mengalirkan air kran,
alirkan air hangat di atas
perineum, gunakan shower air
hangatsesuai indikasi
5. Membantu mencegah
5. Anjurkan minum 6 – 8 gelas
dehidrasi dan mengganti
cairan perhari
cairan yang hilang waktu
melahirkan
6. Kaji tanda – tanda ISK ( mis : 6. Higiene yang bruk dan
rasa terbakar pada saat masuknya bakteri dapat
berkemih, peningkatan memberi kecenderungan
frekuensi, urine keruh ) klien terkena ISK
7. Kolaborasi untuk pemasangan 7. Diperlukan untuk
kateter mengurangi distensi kandung
kemih.

30
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Retensio Plasenta adalah tertahannya plasenta atau belum lahirnya


plasenta Hingga atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir. Robekan jalan lahir
adalah perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan
kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari
perlukaan jalan lahir. Kedua diagnosis ini dapat menyebabkan perdarahan post
partum. Pentingya asuhan keperawatan yang baik, berkualitas, dan
komphrehensif untuk mencegah serta mengatasi perdarahan post partum agat
tidak terjadi kematian

4.2 Saran

Hemoragi pasca partum biasanya didefenisikan sebagai kehilangan darah


lebih dari 500 ml selama dan/atau setelah kelahiran. Ini adalah salah satu
penyebab tersering kematian pada ibu. Makalah ini memberikan wawasan
kepada mahasiswa tentang retensio plasenta dan ruptur perinium sebagai salah
satu penyebab perdarahan post partum serta asuhan keperawatannya.

31

Anda mungkin juga menyukai