Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Penilaian preoperative pada pasien dengan kelainan jantung sebelum


dilakukan pembedahan non-kardiak sudah sering dilakukan oleh klinisi dari
bagian anestesi, konsultan medis, dan dokter bedah. Saat ini, sebagian besar
prosedur pembedahan non kardiak melibatkan pasien umur tua, dan jumlah
pembedahan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya populasi usia
lanjut. Pada pasien seperti ini dijumpai peningkatan prevalensi dari penyakit
kardiovaskuler, khususnya penyakit jantung iskemik, yang biasanya menjadi
penyebab utama terjadinya mortalitas dan morbiditas perioperatif yang
berhubungan dengan pembedahan non kardiak.1

Pembedahan skala besar akan menimbulkan respon stress terhadap sistem


kardiovaskuler selama periode perioperatif. Respon stress ini akan mengarah ke
peningkatan curah jantung yang biasanya diatasi dengan mudah pada pasien
normal, namun dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang substansial
pada pasien dengan kelainan jantung. Kejadian post operatif yang mengakibatkan
kematian seperti miokard infark (MI), aritmia, dan gagal organ multiple yang
terjadi sekunder karena rendahnya curah jantung.2

Pasien dengan kelainan jantung selalu ada setiap hari untuk dilakukan
tindakan pembiusan. Mengingat penanganan perioperatifnya berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas yang besar, sangat penting untuk kita menjaga
hemodinamik stabil dalam keadaan teranestesi. Untuk itu diperlukan pengetahuan
patofisiologi penyakit jantung, obat dan prosedur serta efeknya terhadap pasien. 2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Riwayat

Anamnesis preoperatif dilakukan untuk menentukan keparahan,progresi,


dan keterbatasan fungsional yang diakibatkan oleh iskemik penyakit jantung.
Anamnesis harus berfokus untuk menentukan adanya faktor risiko klinis pada
pasien tertentu (Tabel 5.5).Iskemia miokard, disfungsi ventrikel kiri, dan disritmia
jantung biasanya menyebabkan tanda dan gejala dari penyakit jantung iskemik.
Gejala seperti angina dan dispnea mungkin tidak ada saat istirahat, yang
menekankan pentingnya mengevaluasi respons pasien terhadap berbagai aktivitas
fisik seperti berjalan atau menaiki tangga.Keterbatasan toleransi aktivitas tanpa
adanya penyakit paru yang signifikan adalah bukti penurunan cardiac reserve.Jika
seorang pasien bisa menaiki dua atau tiga set tangga tanpa gejala, kemungkinan
cardiac reservenya adekut.Dispnea setelah onset angina pektoris menunjukkan
adanya disfungsi ventrikel kiri akut disebabkan oleh iskemia miokard.Pada
beberapa pasien,iskemia miokard tidak menimbulkan nyeri atau ketidak
nyamanan pada dada.Silent myocardial ischemia biasanya terjadi pada denyut
jantung dan tekanan darah yang jauh lebih rendah dari pada yang ada selama
iskemia akibat aktivitas.Diperkirakan hampir tiga perempat episode iskemik pada
pasien dengan gejala penyakit jantung iskemik tidak berkaitan dengan angina
pektoris,dan 10% –15% AMI bersifat tanpa gejala.Penting untuk mengenali
adanya gagal jantung kongestif yang baru terjadi, karena jika terjadi peningkatan
stres anestesi & operasi, penggantian cairan, dan nyeri dapat menyebabkan gagal
jantung kongestif.

Riwayat MI adalah informasi yang penting.Menggunakan data resume


pulang lebih dari setengah juta pasien, menunjukkan bahwa angka MI pasca
operasi pada pasien dengan riwayat AMI sebelumnya menurun secara substansial
berdasarkan lamanya jarak waktu episode MI sebelumnya hingga waktu operasi:
kurang dari 1bulan = 32.8%, 1-2 bulan = 18.7%, 2-3 bulan = 8.4%, dan3–6 bulan
= 5.9%.Mortalitas 30 hari juga menurun sejalan dengan jarakMI terakhir.
Pentingnya menentukan waktu MI terakhir terkait dengan pengajuan
operasi yang akan dilakukan, akan berubah pada era dimana terdapat terapi
trombolitik, angioplasti/stent, dan stratifikasi resiko.Meskipun banyak pasien
dengan riwayat MI memiliki miokardium yang berisiko, beberapa diantaranya
tidak beresiko.Jika uji stress tidak menunjukkan resiko miokard residual,
kemungkinan reinfark akan rendah.Pedoman American Heart Association
/American College of Cardiology (AHA / ACC)untuk penilaian kardiovaskular
perioperatif menyarankan memberi jarak lebih dari 60 hari setelah serangan MI
sebelum melakukan operasi noncardiacdalam keadaan tanpa intervensi koroner.

Penting untuk menentukan apakah seorang pasien telah menjalani


revaskularisasi jantung dengan PCI dan pemasangan stent atau
CABG.Pemasangan stent (drug eluting atau bare-metal stent)secara rutin diikuti
oleh terapi antiplatelet ganda pasca prosedur untuk mencegah trombosis koroner
akut dan mempertahankan potensi jangka panjang dari stent. Akan bijaksana
untuk menunda operasi elektif noncardiac selama 4-6 minggu setelah PCI dengan
bare-metalstent dan selama 12 bulan dengan drug eluting stent.Idealnya, operasi
non-kardiak elektif harus ditunda selama 6 minggu setelah operasi CABG.

Adanya stenosis aorta berkaitan dengan peningkatan dua hingga tiga kali
lipat pada morbiditas jantung perioperatif dan mortalitas.Pasien dengan stenosis
aorta kritis memiliki resiko tertinggi mengalami dekompensasi jantung setelah
operasi noncardiac.Penyakit katup mitral berkaitan dengan risiko yang lebih
rendah.Lesi katup regurgitan memiliki risiko lebih kecil daripada lesi
stenotik.Adanya katup jantung prostetik harus diperhatikan, karena pasien dengan
katup ini akan memerlukan profilaksis endokarditis perioperatif dan penyesuaian
rejimen antikoagulasi.

Anamnesis juga harus memperoleh informasi yang relevan untuk penyakit


non-kardiak yang ada (bersamaan).Misalnya, pasien dengan penyakit jantung
iskemik cenderung memiliki peripheral arterial disease.Riwayat sinkop dapat
mencerminkan penyakit serebrovaskular,gangguan kejang, ataupun disritmia
jantung.Batuk sering berasal dari kelainan paru dibandingkan jantung.Mungkin
sulit untuk membedakan dispnea yang disebabkan oleh disfungsi jantung dengan
yang disebabkan oleh penyakit paru kronis, meskipun pasien dengan penyakit
jantung iskemik lebih sering mengeluhkan ortopnea dan paroxysmal nocturnal
dyspneu.Penyakit Paru obstruktif Kronis (PPOK) kemungkinan ada pada pasien
dengan riwayat merokok yang lama.Diabetes mellitus sering berdampingan
dengan penyakit jantung iskemik.Gagal ginjal (kadar kreatinin> 2.0 mg /dL)
meningkatkan risiko terjadinya serangan jantung perioperatif.

Riwayat hipertensi pulmonal juga harus ditentukan.Pasien dengan


hipertensi arteri pulmonal berada pada peningkatan risiko komplikasi
kardiopulmoner setelah nonkardiak operasi.Tingkat kematian 4% -26% dan
kardio respirasi tingkat morbiditas 6% -42% telah dilaporkan.

Terapi medis penyakit jantung iskemik dirancang untuk mengurangi


kebutuhan oksigen miokard, memperbaiki aliran pembuluh darah koroner,
menstabilkan plak, mencegah trombosis, dan remodeling miokardium yang
mengalami cidera.Tujuan ini dicapai dengan penggunaan β-bloker, nitrat, Calcium
channel blocker, statin,obat antiplatelet, dan ACE inhibitor.Β-blocker yang efektif
disarankan hingga denyut jantung istirahat 50-60 kali per menit.Aktivitas fisik
rutin diharapkan dapat meningkatkan denyut jantung sebesar 10% –20%.Tidak
ada bukti bahwa β-blockers meningkatkan efek inotropik negatif dari anestesi
volatil.Terapi β-Blocker harus dilanjutkan sepanjang periode perioperatif.Atropin
atau glikopirrolat dapat digunakan untuk mengobati bradikardia berlebihan yang
disebabkan oleh β-blocker selama periode perioperatif.Isoproterenol adalah obat
antagonis spesifik untuk aktivitas β-blocker yang berlebihan. Pada periode pasca
operasi penghentian β-blocker dapat beresiko dan menyebabkan hipertensi
rebound dan takikardia.

Hipotensi yang signifikan telah diamati pada pasien yang mendapat terapi
ACE inhibitor jangka panjang yang menjalani anestesi umum.Banyak yang
merekomendasikan penghentian ACE inhibitor selama 24 jam sebelum
melakukan operasi yang melibatkan pergeseran cairan atau kehilangan darah yang
signifikan.Hipotensi yang disebabkan oleh ACE inhibitor biasanya responsif
terhadap cairan atau obat simpatomimetik.Jika hipotensi refrakter terhadap terapi
ini, pengobatan dengan vasopresin atau salah satu analognya mungkin diperlukan.
Obat antiplatelet adalah komponen penting dalam farmakoterapi ACS dan
manajemen jangka panjang penyakit jantung iskemik.Penggunaan terapi
antiplatelet ganda menghalangi anestesi neuraxial dan meningkatkan risiko
perdarahan perioperatif, yang mungkin akan memerlukan transfusi trombosit.

2.2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pasien dengan penyakit jantung iskemik sering


mendapatkan temuan normal.Meskipun demikian, tanda-tanda disfungsi ventrikel
kanan dan kiri harus dicari.Bruit karotis dapat mengindikasikan penyakit
serebrovaskular.Hipotensi ortostatik dapat mencerminkan aktivitas sistem saraf
otonom yang dilemahkan karena terapi dengan obat antihipertensi.Distensi vena
jugularis dan edema perifer adalah tanda-tanda disfungsi ventrikel
kanan.Auskultasi dada dapat mengungkapkan adanya bukti disfungsi ventrikel
kiri seperti gallop S3 atau rales.

2.2.1 Pemeriksaan Khusus Preoperatif

Pemeriksaan khusus preoperatif harus dibatasi pada lingkup di mana


hasilnya akan mempengaruhi penatalaksanaan pasien perioperatif dan
outcomenya.Pendekatan konservatif direkomendasikan.Revaskularisasi koroner
sebelum pembedahan nonkardiak untuk memungkinkan pasien untuk “menjalani”
prosedur nonkardiak tidak diperlukan.Namun, dalam subset pasien yang berisiko
tinggi, seperti mereka yang menderita penyakit arteri koroner pada cabang left
main, penyakit arteri koroner multivessel berat, stenosis aorta berat, dan atau
ejeksifraksi kurang dari 20%, revaskularisasi/ penggantian katup koroner mungkin
diindikasikan.Saat ini ada terdapat persetujuan luar biasa bahwa penatalaksanaan
medis agresif menyediakan proteksi miokardial selama periode perioperatif
merupakan elemen penting dalam mengurangi komplikasi kardiovaskular
perioperatif.

Pemeriksaaan jantung khusus preoperatif dapat meliputiEKG aktivitas,


EKG stres, skintigrafi radionuklida, dan kateterisasi jantung.Ventrikulografi
radionuklida jarang dilakukan saat ini, dan CT-berkecepatan tinggi, MRI, dan CT-
Scan emisi positron tidak memiliki peran dalamal goritma stratifikasi risiko
jantung preoperatif.

2.2.2 Elektrokardiografi Aktivitas

Fisiologi aktivitas memberikan perkiraan kapasitas fungsional,tekanan


darah, dan respon detak jantung terhadap stres dan deteksi iskemia miokard
berdasarkan perubahan segmen ST.Pemeriksaan stres aktivitas preoperatif cukup
menarik karena peningkatan konsumsi oksigen miokard preoperatif dan timbulnya
iskemia miokard sering disertai oleh takikardia.Namun, kegunaan EKG aktivitas
bisa bervariasi secara signifikan.Abnormalitas segmen-ST yang sudah ada
sebelumnya menghambat analisis segmen ST yang reliabel, dan tes treadmill
memiliki sensitivitas (74%) dan spesifisitas (69%)yang cukup rendah, sebanding
dengan informasi yang diperoleh dari praktik klinis sehari-hari.Pemeriksaan stress
aktivitas preoperatif tidak diindikasikan pada pasien dengan penyakit arteri
koroner stabil dan toleransi aktivitas yang baik.

2.2.3 Echocardiography Stres dan Pencitraan Nuklir Stres

Uji stres farmakologis dengan dobutamin, dipyridamole, adenosin, atau


regadenoson, dan pencitraan perfusi miokard dengan talium 201 dan/atau
technetium 99m dan rubidium82, dapat digunakan pada pasien yang menjalani
operasi nonkardiak yang tidak dapat melakukan aktivitas yang cukup untuk
mendeteksi stres iskemia miokard. Abnormalitas pergerakan dinding reversibel
pada ekokardiografi atau defek perfusi reversibel pada pencitraan radionuklida
menyarankan iskemia.

Pencitraan perfusi miokard dan ekhokardiografi stres dobutamin sebelum


operasi vaskuler memprediksi PMI atau mortalitas dengan nilai prediksi positif
hanya 12%-14% tetapi nilai prediksi negatif 88%-94%. Sehingga pasien dengan
hasil scan/echo normal memiliki prognosis yang sangat baik.

Pemilihan uji stres noninvasif harus didasarkan pada karakteristik pasien,


ketersediaan lokal, dan pakar dalam interpretasi. Dobutamine stress
echocardiography adalah tes yang disukai jika terdapat kebutuhan informasi
tambahan mengenai fungsi valvular atau fungsi LV.
2.2.4 Komputasi Tomografi dan Pencitraan Resonansi Magnetik

CT berkecepatan tinggi dapat memvisualisasikan kalsifikasi arteri


koroner.Pemberian media kontras radiografi intravena meningkatkan kejelasan
gambar.MRI menyediakan kejelasan gambar yang lebih besar dan dapat
memberikan gambaran bagian proksimal dari sirkulasi arteri koroner.Namun, saat
ini belum ada data mengenai letak modalitas ini dalam menentukan stratifikasi
risiko preoperatif.Terlebih, CT dan MRI lebih mahal dan kurang mobile
dibandingkan modalitas pemeriksaan jantung lainnya.
BAB III
KESIMPULAN

Setiap tahunnya 10% dari populasi dewasa menjalani operasi non kardiak.
Sepertiga dari pembedahan dilakukan pada usia geriatric yang mempunyai factor
resiko tinggi akan kejadian jantung. Tingkat mortalitas dari keseluran operasi
adalah 0.3%. untuk operasi-operasi besar tingkat mortalitas kurang dari 1 % pada
pasien usia di bawah 65 tahu, namun meningkat menjadi 5% pada pasien usia 65
hingga 80 tahun. Kematian pada periode post operatif dalam 48 jam pertama dan
6 minggu selanjutnya sering disebabkan oleh pneumonia, sepsis, emboli paru,
henti jantung, dan gagal ginjal.
Klinisi perlu menilai resiko jantung yang berhubungan dengan
pembedahan, mengidentifikasi profil faktor resikonya, rekomendasi tes
preoperative yang sesuai. Dengan anamnese yang menyeluruh, pemeriksaan fisik
yang tepat, dan menilai resiko jantung sesuai dengan panduan yang berbasis
evidence, pasien dalam keadaan resiko tinggi akan mengalami kelainan jantung
akan teridentifikasi dan membutuhkan tes lain yang diperlukan. Rekomendasi
preoperative yang efektif termasuk yaitu penilaian dari factor resiko (jantung dan
non jantung), tata cara konsumsi obat-obatan, profilaksis tromboemboli dan
penggunaan pre operatif dari beta blocker. Komunikasi yang menyeluruh antara
klinisi jantung, anestesiologis dan dokter bedah sangat diperlukan untuk
meningkatkan kualitas konsultasi medis dan hasil akhir yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Freeman K, Gibbons RJ. Perioperative Cardiovasculer Assestment of


Patients Undergoing Non Cardiac Surgery. Mayo Clinical Proceedings.
2009;184(1):79-90
2. Huangkoh S, Roger J. Anesthesia for Patients With Cardiac Disease
Undergoing Non Cardiac Surgery. Update Anesthesia. 2002
3. Fleisher La, Fleischmann KE, Auerbach AD, et al. 2014 ACC/AHA
guideline on perioperative cardiovascular evaluation and management of
patients undergoing noncardiac surgery: a report of the American College
of Cardiology/American Heart Association Task Force on practice
guidelines. J Am Coll Cardiol. 2014: 64:e77-137

Anda mungkin juga menyukai