Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Konsep Gagal Ginjal Kronis
a. Pengertian
Gagal ginjal kronis adalah ditandai dengan kerusakan fungsi ginjal
secara progresif dan irreversibel dalam berbagai periode waktu, dari
beberapa bulan hingga beberapa dekade. Gagal ginjal kronis terjadi
karena sejumlah keadaan nefron yang tidak berfungsi secara
permanen dan penurunan laju filtrasi glumerulus (GFR) (Esther
Chang et al, 2010).
Penyakit ginjal kronik menurut beberapa ahli adalah:
Penyakit ginjal kronik (CKD) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(glomerular filtration rate/GFR) dengan manifestasi kelainan patologis
atau terdapat tanda-tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi kimia darah, atau urin, atau kelainan radiologis (Wibowo,
2010).
b. Etiologi
Penyebab Gagal ginjal kronik (CKD) menurut (Mutaqqin &
Kumala, 2011) sebagai berikut:
1. Penyakit infeksi: pielonefritis kronik atau refluks,
nefropati,tubulointestinal.
2. Penyakit peradangan:glomerulonefritis
3. Penyakit vaskuler hipertensi: nefrosklerosis maligna,
nefrosklerosis benigna, stenosis arteriarenalis.
4. Gangguan jaringan ikat: lupus eritematos sistemik,
poliarteritisnodosa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan hederiter: penyakit ginjal polikistik
hederiter,asidosis sistemik progresif.
6. Penyakit metabolik: diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis
7. Nefropati toksik: penyalahgunaan analgesik, nefropati timah.
8. Nefropati obstruktif karena obstruksi saluran kemih karena batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal, hipertrofi prostat, striktur
uretra, anomali kongenital leher vesika urinarian dan uretra.

c. Kalsifikasi
Penyakit ginjal kronik didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan
ginjal dan kemampuan ginjal dalam menjalankan fungsinya.
Klasifikasi ini didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar
derajat penyakit dibuat berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG),
yang dihitung dengan menggunakan rumus Cockcroft-gault sebagai
berikut :
LFG mL
Mnt M² = (140 – umur) x BeratBadan
1,73 72 x KreatininPlasma mg
dL
*Pada perempuan dikalikan 85

Klasifikasi penyakit ginjal kronik adalah sebagai berikut (KDIGO,


2012):
LFG
Derajat Penjelasan (ml/mmt/1,73m²)

Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90


G1
atau naik
Kerusakan ginjal dengan LFG turun 60-89
G2
atau ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG turun, 45-59
G3a
ringan-sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG turun, 30-44
G3b
sedang-berat
Kerusakan ginjal dengan LFG turun, 15-29
G4
berat
d. Epidemiologi
Menurut Annual Data Repert United States Renal Data
System yang memperkirakan prevelensi ginjal gagal ginjal kronis
mengalami peningkatan hampir dua kali lipat dalam kurun waktu
tahun 1998 – 2010 yaitu sekitar 20-25% setiap tahunnya
(USRD,2010). Badan kesehatan dunia menyebutkan pertumbuhan
penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari
tahun sebelumnya. Di Amerika Serikat, kejadian dan prevelensi gagal
ginjal meningkat di tahun 2014. Data menunjukan setiap tahun
200.000 orang Amerika menjalani hemodialysis karena gangguan
ginjal kronis artinya 1140 dalam satu juta orang Amerika adalah
pasien dialysis dan yang harus menjalani hidup dengan bergantung
pada cuci darah 1,5 juta orang (Belian, et al. 2017).
Indonesia merupakan negara dengan tingkat penderita gagal
ginjal yang cukup tinggi. Hasil survei yang dilakukan oleh
perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) diperkirakan ada sekitar
12,5 % dari populasi atau sebesar 25 juta penduduk Indonesia
mengalami penurunan fungsi ginjal. Menurut Ismail, Hasanuddin &
dan Bahar (2016) jumlah penderita gagal ginjal di Indonesia sekitar
150 ribu orang dan yang menjalani hemodialysis 10 ribu orang
(Belian, et al. 2017).
RSUD Ulin Banjarmasin merupakan rumah sakit kelas A yang
ditetapkan sebagai rujukan tertinggi atau sebagai rumah sakit pusat,
sehingga cakupan dari rumah sakit ulin sendiri menjadi cukup luas
yaitu Kalimantan Selatan. Prevalensi penderita penyakit gagal ginjal
kronik di RSUD Ulin Banjarmasin menduduki urutan ke enam
(Normaya, 2016).
e. Penatalaksanaan Chronic kidney disease (CKD)
Penatalaksanaan penyakit GGK adalah sebagai berikut ( The Renal
Association, 2013) :
Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1,73m)

1 Observasi, kontrol tekanan darah ≥ 90

2 Observasi, kontrol tekanan darah 60-89


dan faktor resiko
3a Observasi, kontrol tekanan darah 45-59
dan faktor resiko
3b Observasi, kontrol tekanan darah 30-44
dan faktor resiko
4 Persiapan untuk RRT (Renal 15-29
Replacement Therapy)
5 RRT (Renal Replacement Therapy) <15

Penatalaksanaan gangguan ginjal kronis yaitu :


1) Terapi Nonfarmakologis
Beberapa yang bisa dilakukan untuk mencegah penyakit ini
berkembang parah seperti yang dipublikasikan (Kidney
Internasional Supplements, 2013), antara lain :
a) Pembatasan cairan
b) Pembatasan glukosa
c) Hentikan merokok
d) Diet natrium
e) Menjaga berat badan
2) Terapi Farmakologi
a) Hemodialisa
b) Operasi AV Shunt ( arterio vento shunting)
c) Pemberian diuretik
2. Konsep Teori Self Care
a. Pengertian self care
Self care adalah performance atau praktek kegiatan individu
untuk berinisiatif dan membentuk prilaku mereka dalam memelihara
kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan. Jika self care dibentuk
dengan efektif maka hal tersebut akan membantu membentuk
integritas struktur dan fungsi manusia dan erat kaitannya dengan
perkembangan manusia (Muhlisin, 2010).
Individu akan berusaha berperilaku untuk dirinya sendiri
dalam menemukan dan melaksanakan treatment pengobatan untuk
memelihara kesehatan dan kesejahteraan. Hal tersebut merupakan
bagian yang natural dari manusia. Orem percaya bahwa manusia
memiliki kemampuan dalam merawat dirinya sendiri (self care) dan
perawat harus fokus terhadap dampak kemampuan tersebut
(Alligood, 2014).
Orem dalam hal ini melihat individu sebagai satu kesatuan
utuh yang terdiri dari aspek fisik, psikologis, dan sosial dengan
derajat kemampuan untuk merawat dirinya yang berbeda-beda
sehingga tindakan perawat berupaya untuk memacu kemampuan
tersebut. Individu juga memiliki kemampuan untuk terus berkembang
dan belajar (Alligood, 2014).
Area hemodialisis merupakan salah satu area praktik
keperawatan untuk mengaplikasikan teori self care Orem ini di mana
aplikasi ini akan sesuai karena penting sekali untuk pasien agar
dapat aktif terlibat dalam perawatan dirinya. Tujuan utama praktek
keperawatan adalah untuk membantu pasien menyiapkan diri untuk
berperan serta secara adekuat dalam perawatan dirinya dengan
cara meningkatkan outcome pasien dan kualitas hidup. Sebagai
perawat, kita dapat melakukan hal tersebut dengan membentuk
hubungan saling percaya antara perawat dan pasien, menyediakan
dukungan dan pendidikan kesehatan, memperbolehkan pasien
mengontrol beberapa situasi dengan berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan, dan mendorong pasien untuk aktif
berpartisipasi dalam treatment hemodialisis (Alligood, 2014).
Kemampuan self care pada pengelolaan diet yang baik akan
meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengelolaan diet
(Hermawati, 2016).
Self care dalam pengelolaan diet nutrisi adalah suatu proses
pengambilan keputusan secara aktif yang meliputi pemilihan tingkah
laku untuk mempertahankan stabilitas fisiologis (maintenance) serta
bagaimana keyakinan pasien terhadap keseluruhan upaya self care
yang telah dilakukannya confidence (Hernawati, 2016).
b. Dimensi Self-Care
Ada 3 dimensi self care menurut riegel (2012), yaitu:
1) Self care Maintenance
Aktivitas yang dinilai dalam self maintenance pasien dengan
gagal ginjal kronik meliputi:
a) Terapi pengobatan sesuai indikasi,
b) Mengelola diit nutrisi, yang terdiri protein, kalium, natrium,
fosfat,
c) Memonitor perubahan yang terjadi pada tubuh seperti
hemodinamik & perawatan kulit,
d) Teratur dalam melaksanakan hemodialisa sesuai dengan
yang dianjurkan petugas kesehatan.
2) Self Care Management
Self care management meliputi upaya untuk
mempertahankan kesehatan atau gaya hidup sehat. Aktivitas
yang dapat dilakukan dalam dimensi ini meliputi;
a) Aspek Fisik
1) Pembatasan Cairan
Ukuran pembatasan cairan dapat diukur dengan
Interdialytic Weight Gain (IDWG) atau berat yang
diperoleh selama dialisis. IDWG dipengaruhi oleh ukuran
tubuh, volume urin output, apa yang pasien minum,
intake natrium, adanya riwayat diabetes melitus (DM
mempengaruhi intake cairan karena hiperglikemia
menstimulasi haus), kontrol gula darah, cuaca, dan self
efficacy (kepercayaan diri pasien dalam mengatur
pembatasan cairan).
2) Pengaturan Diet
Self-care management pada diet pasien GGK penting
untuk mempertahankan status nutrisi dan keseimbangan
elekrolit. Yang penting diperhatikan dalam hal ini adalah
kepatuhan terhadap program diet yang telah ditentukan
karena program tersebut telah disusun dengan tepat
sesuai dengan kondisi ginjal serta kecukupan kalori dan
nutrisi yang diperlukan tubuh pasien yang menderita
GGK.
3) Pengobatan
Pasien GGK yang menjalani hemodialisis selain
menjalani treatmen tersebut mereka biasanya
mengkonsumsi banyak macam obat. Banyak hal terkait
dengan obat yang perlu diketahui oleh pasien mengingat
banyaknya jumlah obat seperti tentang waktu minum
masing-masing obat, jumlah obat yang diminum,
dosisnya, jenisnya, untuk apa saja obat-obatan tersebut,
dan efek dalam tubuh pasien.
4) Aktivitas Latihan
Olahraga tidak hanya berpengaruh terhadap fisik namun
juga berpengaruh positif terhadap kesehatan mental dan
emosional. Penelitian Painter, Ward, & Nelson (2011)
melaporkan bahwa manfaat berolagraga secara rutin
menurut respondennya adalah meningkatkan level
energi, meningkatnya kekuatan otot, meningkatkan
kemampuan melakukan hal- hal yang diperlukan dalam
hidupnya, meningkatkan tidur, meningkatkan mood,
mengurangi kram, dan lebih stabilnya tekanan darah
selama dialisis. Olahraga juga sepertinya memiliki efek
yang positif terhadap gambaran diri dan harga diri pasien
GGK. Pasien GGK dianjurkan untuk melakukan olahraga
secara rutin semisal jalan kaki selama kurang dari 30
menit setiap hari.
b) Aspek Kondisi Psikologis dari Self-Care Management
Kecemasan dan depresi merupakan masalah psikologis
yang umum terjadi pada pasien dengan penyakit kronis.
Masalah psikologi pada pasien hemodialisis adalah bentuk
adaptasi yang muncul pada diri pasien terhadap stresor
baru. Kecemasan bukan sebagai faktor penentu terhadap
pelaksanan SM, tetapi kecemasan adalah hasil akhir dari
kemampuan adaptasi pasien terhadap proses hemodialisis
yang berlangsung untuk jangka waktu lama. Penerimaan
terhadap penyakit akan memberikan pemahaman dan
pemaknaan diri yang lebih baik terhadap proses
pelaksaanan SM pasien. Tingkat kecemasan rendah
akan mempunyai kemampuan perawatan diri yang tinggi.
Hemodialisis memberikan dampak psikologis yang akan
mempengaruhi tingkat ketergantungan pasien dalam
menjalani pengobatan sehingga secara negatif akan
mempengaruhi kontrol diri dan akan berdampak secara tidak
langsung terhadap pelaksanaan perawatan diri pasien
hemodialisis
c) Aspek Spiritual Self Care Management
Aspek ini tidak dapat dipisahkan dari self-care management
pasien GGK yang menjalani hemodialisis karena merupakan
aspek penting dalam elemen kehidupan. Religiusitas atau
spiritual memiliki efek positif secara subjektif terhadap
kualitas hidup pasien GGK. Hal tersebut sudah banyak
dibuktikan dalam penelitian antara spiritual dengan kualitas
hidup. Sebagai tambahan pengalaman ibadah responden
menunjukkan efek yang signifikan pada kepuasan hidup dan
kebahagiaan
d) Kemampuan mengenal dan mengevaluasi perubahan status
nutrisi yang terjadi,
e) Meningkatnya pengetahuan dengan dapat mengambil
keputusan untuk penanganan dan mengevaluasi respon
tindakan serta mampu mendapatkan akses informasi secara
mandiri,
f) Mempunyai rasa percaya diri pada kemampuan untuk
menggunakan support services.

3) Self Care Confidence


Dimensi self care confidence ini menentukan bagaimana
kepercayaan diri pasien dalam mengikuti semua petunjuk
tentang self care, yang meliputi;
a) Kepercayaan diri terhadap perasaan bebas dari gejala
penyakit,
b) Kepercayaan diri mengikuti petunjuk pengobatan,
c) Kepercayaan diri mengenal secara dini perubahan
kesehatan yang dialami,
d) Kepercayaan diri melakukan sesuatu untuk mengatasi gejala
penyakit,
e) Kepercayaan diri mengevaluasi keberhasilan tindakan yang
telah dilakukan.
4) Self Care Requisite, yaitu
a) Kebutuhan perawatan diri universal (Universal self care
requisite) Hal yang umum bagi seluruh manusia meliputi
pemenuhan kebutuhan yaitu :
(1) Pemenuhan kebutuhan udara, pemenuhan kebutuhan
udara menurut Orem yaitu bernapas tanpa menggunakan
peralatan oksigen.
(2) Pemenuhan kebutuhan air atau minum tanpa adanya
gangguan, menurut Orem kebutuhan air sesuai
kebutuhan individu masing-masing atau 6-8 gelas air/hari.
(3) Pemenuhan kebutuhan makanan tanpa gangguan,
seperti dapat mengambil makanan atau peralatan
makanan tanpa bantuan.
(4) Pemenuhan kebutuhan eliminasi dan kebersihan
permukaan tubuh atau bagian bagian tubuh. Penyediaan
perawatan yang terkait dengan proses eliminasi, seperti
kemampuan individu dalam eliminasi membutuhkan
bantuan atau melakukan secara mandiri seperti BAK dan
BAB. Menyediakan peralatan kebersihan diri dan dapat
melakukan tanpa gangguan.
(5) Pemenuhan kebutuhan akifitas dan istrahat. Kebutuhan
aktivitas untuk menjaga keseimbangan gerakan fisik
seperti berolah raga dan menjaga pola tidur atau istirahat,
memahami gejala-gejala yang mengganggu intensitas
tidur. Menggunakan kemampuan diri sendiri dan nilai
serta norma saat istirahat maupun beraktivitas.
(6) Pemenuhan kebutuhan menyendiri dan interaksi sosial.
(7) Pemenuhan pencegahan dari bahaya pada kehidupan
manusia. Bahaya yang dimaksud berdasarkan Orem
adalah mengerti jenis bahaya yang mebahayakan diri
sendiri, mengambil tindakan untuk mencegah bahaya dan
melindungi diri sendiri dari situasi yang berbahaya.
(8) Peningkatan perkembangan dalam kelompok sosial
sesuai dengan potensi, keterbatasan dan keinginan
manusia pada umumnya. Hal-hal ini dapat mempengaruhi
kondisi tubuh yang dapat mempertahankan fungsi dan
struktur tubuh manusia.

c. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Self Care Management


Pasin Gagal Ginjal Kronik
Menurut Hermawati, et al (2016) , faktor yang mempengaruhi self
care pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis,
yaitu:
1) Usia
Usia merupakan faktor prediktor penting pada self care.
Bertambahnaya usia sering dihubungkan dengan berbagai
keterbatasan maupun kerusakan fungsi sensori. Kondisi seperti
ini ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh De Geest et.
al. (2004) dalam Anita (2012) yaitu terjadi penurunan
kemampuan belajar dan mendemonstrasikan aktivitas self care
pada pasien yang mengalami gangguan kronik sebagai akibat
penurunan fungsi sensori. Selain itu bertambahnya usia
berpengaruh terhadap perkembangan disfungsi organ sebagai
akibat upaya tubuh untuk mempertahankan homeostasis.
2) Jenis Kelamin
Laki-laki dan perempuan memperlihatkan budaya sosial yang
berbeda satu sama lain. Mereka menggunakan simbol, sistem
kepercayaan, dan cara-cara yang berbeda untuk
mengekspresikan dirinya. Johnson (2000) dalam Rohman
(2007) misalnya mencontohkan bahwa perempuan cenderung
mampu untuk menjadi pendengar yang baik dan dapat langsung
menangkap fokus permasalahan dalam diskusi dan tidak
terfokus pada diri sendiri. Mereka cenderung lebih banyak
menjawab, dan lebih peka terhadap orang lain. Sementara laki-
laki disisi lain lebih pandai memimpin diskusi. Sikap inipun baik
untuk digunakan dalam mengambil keputusan terhadap dirinya
termasuk permasalah kesehatan untuk dirinya. Riset
menunjukkan jenis kelamin perempuan memiliki prediktor yang
kuat untuk ketidakpatuhan terutama untuk IDWG berlebihan
(Saran et. al. 2003 dalam Kamerrer, 2007).
3) Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan pengalaman yang berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan dan kualitas pribadi seseorang.
Semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin besar
kemampuannya untuk memanfaatkan pengetahuan dan
keterampilannya (Siagian, 2001 dalam Rohman, 2007).
Beberapa bukti menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pasien
berperan dalam kepatuhan.
4) Lamanya HD
Periode sakit dapat mempengaruhi kepatuhan. Beberapa
penyakit yang tergolong penyakit kronik, banyak mengalami
masalah kepatuhan. Pengaruh sakit yang lama, belum lagi
perubahan pola hidup yang kompleks serta komplikasi-
komplikasi yang sering muncul sebagai dampak sakit yang lama
mempengaruhi bukan hanya pada fisik pasien, namun lebih jauh
emosional, psikologis dan sosial pasien.
5) Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan faktor yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang sebab dari hasil
dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan
akan lebih langgeng dari pada prilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk
mengatasi kebutuhan kelangsungan hidupnya.
6) Motivasi
Motif seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan
atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk
berbuat. Jadi motif tersebut merupakan suatu driving force yang
menggerakkan manusia untuk bertingkah-laku, dan di dalam
perbuatanya itu mempunyai tujuan tertentu. Beberapa
Pengertian motivasi yaitu menurut Wexley & Yukl (1987) dalam
Syamsiah (2011) motivasi adalah pemberian atau penimbulan
motif, dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif.
7) Dukungan Keluarga
Keluarga merupakan faktor eksternal yang memiliki hubungan
paling kuat dengan pasien. Keberadaan keluarga mampu
memberikan motivasi yang sangat bermakna pada pasien disaat
pasien memiliki berbagai permasalahan perubahan pola
kehidupan yang demikian rumit, menjenuhkan dengan segala
macam program kesehatan.

3. Konsep Hemodialisa
Ada 3 jenis terapi pengganti ginjal untuk pasien dengan End-Stage
Renal Disease yaitu, Hemodialisis (HD), peritoneal dialisis, dan
transplantasi ginjal. Lamanya pasien menjalani terapi hemodialisis dapat
mempengaruhi keberhasilan terapi (Campbell Walsh, 2012).
a. Definisi Hemodialisa
Hemodialisis dapat didefinisikan sebagai suatu proses
pengubahan komposisi solute darah oleh larutan lain (cairan dialisat)
melalui membran semi permeabel (membran dialisis). Tetapi pada
prinsipnya, hemodialisis adalah suatu proses pemisahan atau
penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu membran
semipermeabel yang dilakukan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal baik akut maupun kronik (Suhardjono, 2014).
Hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal untuk pasien
penyakit ginjal kronik. Terapi ini dilakukan untuk menggantikan
fungsi ginjal yang rusak (Brunner & Suddarth, 2013).
b. Tujuan
Menurut Black & Hawks (2014) dan Lewis et al. (2011)
tujuan hemodialisis adalah membuang produk sisa metabolisme
protein seperti ureum dan kreatinin, mempertahankan kadar serum
elektrolit dalam darah, mengoreksi asidosis, mempertahankan kadar
bikarbonat dalam darah, mengeluarkan kelebihan cairan dari darah
dan menghilangkan overdosis obat dari darah.Tujuan utama
tindakan hemodialisis adalah mengembalikan keseimbangan cairan
intraseluler dan ekstraseluler yang terganggu akibat dari fungsi ginjal
yang rusak (Himmelfarb & Ikizler, 2010).
c. Prinsip
Terdapat 3 komponen utama yang terlibat dalam proses
hemodialisis yaitu alat dialiser, cairan dialisat dan sistem
penghantaran darah. Dialiser adalah alat dalam proses dialysis yang
mampu mengalirkan darah dan dialisat dalam kompartemen-
kompartemen di dalamnya, dengan dibatasi membran semi
permeabel. Hemodialisis merupakan gabungan dari proses difusi
dan ultrafiltrasi. Difusi adalah perpindahan zat terlarut melalui
membran semipermeabel. Laju difusi terbesar terjadi pada
perbedaan konsentrasi molekul terbesar. Ini adalah mekanisme
utama untuk mengeluarkan molekul kecil seperti urea, kreatinin,
elektrolit, dan untuk menambahkan serum bikarbonat. Zat terlarut
yang terikat dengan protein tidak dapat dibuang melalui difusi karena
protein yang terikat ridak dapat menembus membran (Suhardjono,
2014).
Sedangkan ultrafiltrasi adalah aliran konveksi (air dan zat
terlarut) yang terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik
maupun tekanan osmotik. Ultrafiltrasi terjadi karena perbedaan
positif pada kompartemen darah dengan tekanan negatif yang
terbentuk pada kompartemen dialisat yang dihasilkan oleh pompa
dialisat. (Transmembran Pressure). Pada proses hemodialisis,
proses difusi dan filtrasi berjalan secara bersamaan serta dapat
diprogram sesuai dengan keadaan klinis pasien. Dalam proses
hemodialisis, cairan dialisat mengalir berlawanan arah dengan
darah, sehingga tetap mempertahankan kecepatan difusi yang
optimal (Suhardjono, 2014).
Hemofiltrasi serupa dengan filtrasi glomerulus. Jika darah
dipompa pada tekanan hidrostatik yang lebih tinggi daripada cairan
disisi lain membran, maka air dalam darah akan dipaksa bergerak
melewati membran dengan cara ultrafiltrasi, dengan membawa serta
elektrolit dan zat terlarut lainnya (O’Callaghan, 2009). Berbeda
dengan HD, Hemofiltrasi (HF) memakai prinsip konveksi dengan
tekanan hidrostatik dan membran high flux, sehingga ultrafiltrat yang
berupa larutan (air dan zat terlarut) dapat banyak keluar melalui
membran dialiser. Plasma ultrafiltrat digantikan dengan elektrolit
atau cairan yang diproduksi oleh mesin dialisis sendiri secara on-line
(Suhardjono, 2014).
Hemodiafiltrasi (HDF) menggabungkan manfaat dari
hemodialisis dan hemofiltrasi. Pada pasien Penyakit Ginjal Kronik
tahap akhir, hemodiafiltrasi digunakan sebagai terapi pengganti
intermiten untuk keadaan-keadaan khusus. HDF memberikan
beberpa manfaat dalam optimalisasi koreksi anemia, mengurangi
atau mengatasi inflamasi, stress oksidatif, profil lipid, dan produk
kalsium-fosfat pasien penyakit ginjal kronik tahap akhir. Tetapi saat
ini terapi HDF ini masih mahal, sehingga masih terbatas digunakan
(Suhardjono, 2014).
d. Indikasi dan Kontraindikasi
Kidney Disease Outcome Quality(KDOQI) tahun 2015
merekomendasikan untuk mempertimbangkan manfaat serta resiko
memulai terapi pengganti ginjal pada pasien dengan LFG <30
mL/menit/1.73m 2 (Tahap 4). Edukasi mengenai Penyakit Ginjal
Kronik dan pilihan terapi dialisis mulai diberikan kepada pasien
dengan Penyakit Ginjal Kronik tahap 4, termasuk pasien yang
memiliki kebutuhan segera untuk dialisis. Keputusan untuk memulai
perawatan dialisis pada pasien harus didasarkan pada penilaian
tanda atau gejala uremia pada pasien, tanda kekurangan energi-
protein, bukan pada pasien dengan stadium tertentu tanpa adanya
tanda tanda atau gejala tersebut (Rocco et al., 2015).
Pada pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik tahap 5 inisiasi
HD dimulai dengan indikasi sebagai berikut :
1) Kelebihan (Overload) cairan ekstraseluler yang sulit dikendalikan
dan/ hipertensi.
2) Hiperkalemia yang refrakter terhadap restriksi diit dan terapi
farmakologis.
3) Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi
bikarbonat.
4) Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi
pengikat fosfat.
5) Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoetin dan besi.
6) Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup
tanpa sebab yang jelas.
7) Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai
gejala mual, muntah, atau adanya bukti lain gastroduodenitis.
8) Adanya gangguan neurologis (neuropati ensefalopati, gangguan
psikiatri), pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh
penyebab lain, serta diatesis hemoragik dengan pemanjangan
waktu perdarahan.
Kontraindikasi dilakukannya hemodialisis dibedakan
menjadi 2 yaitu, kontraindikasi absolut dan kontraindikasi relatif.
Kontraindikasi absolut adalah apabila tidak didapatkannya akses
vascular. Sedangkan untuk kontraindikasi relatif adalah apabila
ditemukannya kesulitan akses vaskular, fobia terhadap jarum,
gagal jantung, dan koagulopati (Suhardjono, 2014).
e. Komplikasi
Komplikasi akut yang sering paling sering terjadi adalah
hipotensi terutama pada pasien diabetes. Hipotensi pada HD dapat
dicegah dengan melakukan evaluasi berat badan kering dan
modifikasi dari ultrafiltrasi, sehingga diharapkan jumlah cairan yang
dikeluarkan lebih banyak pada awal dibandingkan di akhir dialisis.
Kram otot juga sering terjadi selama proses hemodialisis.
Beberapa faktor pencetus yang dihubungkan dengan
kejadian kram otot ini adalah adanya gangguan perfusi otot karena
pengambilan cairan yang agresif dan pemakaian dialisat rendah
sodium. Reaksi anafilaktoid juga merupakan salah satu komplikasi
dari hemodialisis. Reaksi anafilaktoid terhadap dialiser sering
dijumpai pada pemakaian pertama (Suhardjono, 2014).
Komplikasi kronik pasien hemodialisis dapat dibagi
menjadi dua kategori yaitu :
1) Komplikasi yang terjadi karena terapi hemodialisis seperti,
hipotensi; anemia; endocarditis, dan lain-lain
2) Komplikasi yang terjadi karena penyakit ginjal primer seperti
nefropati, kronik gromeluropati, glomerulonefritis, dll (Checheita
et al., 2010).
Komplikasi kronik atau komplikasi jangka panjang yang dapat
terjadi pada pasien yang menjalani terapi hemodialisisantara
lain, penyakit kardiovaskular (Suhardjono, 2014). Salah satu
kesulitan utama pada pasien dialisis jangka panjang adalah
mortalitas yang berhubungan dengan infark miokard dan
penyakit serebrovaskuler.
Hal ini mungkin diakibatkan oleh faktor risiko yang umum
pada pasien uremik, seperti, hipertensi, hiperlipidemi, kalsifikasi
vaskuler akibat hipertiroidisme dan curah jantung yang tinggi
akibat anemia atau faktor lain (Harrison, 2014).
f. Proses hemodialysis
Efektifitas hemodialisisdilakukan 2 –3 kali dalam seminggu
selama 4 –5 jam atau paling sedikit 10 –12 jam). Sebelum dilakukan
hemodilisa maka perawat harus melakukan pengkajian pradialisa,
dilanjutkan dengan menghubungankan klien dengan mesin
hemodialisisdengan memasang blood line dan jarum ke akses
vaskuler klien, yaitu akses untuk jalan keluar darah ke dialiser dan
akses masuk darah ke dalam tubuh. Arterio Venous(AV) fistula
adalah akses yang direkomendasikan karena kecendrungan lebih
aman dan juga nyaman bagi pasien (Brunner & Suddart, 2014).
Setelah blood line dan akses vaskuler terpasang, proses
hemodialisisdimulai, saat dialysis darah dialirkan keluar tubuh dan
disaring didalam dialiser. Darah mulai mengalir dibantu pompa
darah. Cairan normal salin diletakkan sebelum pompa darah untuk
mengantisipasi adanya hipotensi intradialisis. Infuse heparin
diletakkan sebelum atau sesudah pompa tergantung peralatan yang
digunakan. Darah mengalir dari tubuh melalui akses arterial menuju
ke dialiser sehingga terjadi pertukaran darah dan sisa zat. Darah
harus dapat keluar masuk tubuh klien dengan kecepatan 200-400
ml/menit (Brunner & Suddart, 2014).
Proses selanjutnya darah akan meninggalkan dialiser,
Darah meninggalkan dialiser akan melewati detector udara. Darah
yang sudah disaring kemudian dialirkan kembali kedalam tubuh
melalui akses venosa. Dialysis diakhiri dengan menghentikan darah
dari klien, membuka selang normal salin dan membilas selang
untuk mengembalikan darah pasien. Pada akhir dialysis, sisa akhir
metabolism dikeluarkan, keseimbangan elektrolit tercapai dan buffer
system telah diperbaharui (Brunner & Suddart, 2014).
Daftar Pustaka

Arif Mutaqqin & Kumala. 2011. Asuhan keperawatan pada pasien gangguan

sistem perkemihan. Jakarta : Salemba Medika.

Alfians R Belian Ali, et all. 2017. Perbandingan Kualitas Hidup Pasien Gagal

Ginjal Kronik Dengan Faktor Diabetes Melitus dan Hipertensi Diruangan

HD RSUP. DR. R Kandou Manado. E-Joural Keperawatan (e-Kp) Volume

5 Nomor 2.

Esther chang, John Daly, Doug Elliott. 2010. Patofisiologi: Aplikasi pada praktek

keperawatan Ahli Bahasa:Andry Hartono, Jakarta: EGC 2010.

KDIGO,2012.Clinical Pratice Guideline the Evaluation & Management of Chronic

Kidney Disease. Kid Int Supplements (3): 18-27.

USRDS: The United States Renal Data System: Overall hospitalization and

mortality. Am J Kidney Dis 2010; 1(Suppl 1):S1

Wibowo, Daniel S. dan Paryana, Widjaja, 2010, Anatomi Tubuh Manusia, Graha

Ilmu, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai