Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Fisiologi Ovarium

Gambar 1. Anatomi Organ Reproduksi


1. Ovarium
Adalah gonad wanita, dua struktur kecil yang terletak pada kedua
sisi uterus. Kelenjar yanng berada di bawah pengaruh sikliis hormon
hipofise ini menghasilkan oosit dan hormon ovarium (Syamsuhidayat,
2011)
Ovarium adalah salah satu di antara beberapa organ reproduksi
wanita yang berfungsi untuk menghasilkan sel telur. Setiap wanita
memiliki dua ovarium, terletak pada rongga panggul sebelah kiri dan
kanan.
Ovarium merupakan bagian dari sistem reproduksi wanita. Setiap wanita
memiliki dua ovarium. Mereka oval, sekitar empat sentimeter panjang dan
berbaring di kedua sisi rahim (uterus) terhadap dinding panggul di daerah
yang dikenal sebagai fossa ovarium. Mereka diadakan di tempat oleh
ligamen melekat pada rahim, tetapi tidak secara langsung melekat pada
sisa saluran reproduksi wanita, misalnya saluran telur (Syamsuhidayat,
2011).

5
2. Fungsi ovarium
a. Menyimpan ovum (telur) yang dilepaskan satu setiap bulan, ovum
akan melalui tuba fallopi tempat fertilisasi dengan adanya sperma
kemudian memasuki uterus, jika terjadi proses pembuahan (fertilisasi)
ovum akan melekat (implantasi) dalam uterus dan berkembang
menjadi janin (fetus), ovum yang tidak mengalami proses fertilisasi
akan dikeluarkan dan terjadinya menstruasi dalam waktu 14 hari
setelah ovulasi.
b. Memproduksi hormon estrogen dan progesteron, kedua hormon ini
berperan terhadap pertumbuhan jaringan payudara, gambaran spesifik
wanita dan mengatur siklus menstruasi.
c. Ovarium berfungsi mengeluarkan hormon steroid dan peptida seperti
estrogen dan progesteron. Kedua hormon ini penting dalam proses
pubertas wanita dan ciri-ciri seks sekunder. Estrogen dan progesteron
berperan dalam persiapan dinding rahim untuk implantasi telur yang
telah dibuahi. Selain itu juga berperan dalam memberikan sinyal
kepada hipotalamus dan pituitari dalam mengatur sikuls menstruasi.
(Evelyn, 2011)
3. Letak Ovarium
Ovarium adalah dua organ kecil, seukuran ibu jari Anda, yang
terletak di panggul perempuan. Mereka melekat pada rahim, satu di
setiap sisi, dekat pembukaan tuba fallopi. Ovarium berisi sel gamet
wanita, disebut oosit. Dalam istilah non medis, oosit disebut “telur”.
Ovarium merupakan bagian dari sistem reproduksi wanita. Setiap
wanita memiliki dua indung telur. Mereka oval, sekitar empat
sentimeter panjang dan berbaring di kedua sisi rahim (uterus) dinding
panggul di wilayah yang dikenal sebagai fossa ovarium. Mereka
ditahan oleh ligamen melekat pada rahim tetapi tidak secara langsung
melekat pada sisa saluran reproduksi wanita (Evelyn, 2011).

6
4. Bagian bagian ovarium
Struktur ovarium terdiri atas :
a. Korteks disebelah luar yang diliputi oleh epitelium germinativum
yang berbentuk kubik dan di dalam terdiri dari stroma serta folikel-
folikel primordial.
Medulla di sebelah dalam korteks tempat terdapatnya stroma dengan
pembuluh-pembuluh darah, serabut-serabut saraf dan sedikit otot
polos. Diperkirakan pada wanita terdapat kira-kira 100.000 folikel
primer. Tiap bulan satu folikel akan keluar, kadang-kadang dua
folikel, yang dalam perkembangannya akan menjadi folikel de Graff.
Folikel-folikel ini merupakan badian terpenting dari ovarium dan
dapat dilihat di korteks ovarii dalam letak yang beraneka ragam dan
pula dalam tingkat-tingkat perkembangan dari satu sel telur dikelilingi
oleh satu lapisan sel-sel saja sampai menjadi folikel de Graff (Evelyn,
2011).

B. Kanker Ovarium
1. Definisi
Kanker ovarium adalah kanker yang berkembang disel- sel yang
menunjang ovarium, termasuk sel epitel permukaan, sel germinal, dan
sel setroma. Sel- sel yang bermetastasis dari organ lain menuju
ovarium, tidak dikatakan sebagai kangker ovarium (Smeltzer, 2008).
Kanker ovarium merupakan tumor dengan histiogenesis yang
beraneka ragam, dapat berasal dari ketiga (3) dermoblast (ektodermal,
endodermal, mesodermal) dengan sifat-sifat histiologis maupun
biologis yang beraneka ragam (Prayitno, Sunyoto. 2014).

7
2. Klasifikasi Kanker Ovarium
Stadium kanker ovarium menurut FIGO adalah sebagai berikut:
Staging Keterangan
I Tumor terbatas pada ovarium
IA
Tumor terbatas pada satu ovarium, kapsul tumor utuh, tidak
ada pertumbuhan tumor di permukaan ovarium, tidak ada sel
tumor di cairan asites ataupun pada bilasan cairan di rongga
peritoneum.
IB
Tumor terbatas pada dua ovarium, kapsul tumor utuh, tidak
ada pertumbuhan tumor pada permukaan ovarium, tidak ada
sel tumor di cairan asites ataupun pada bilasan cairan di
rongga peritoneum.
IC
Tumor terbatas pada satu atau dua ovarium dengan salah
satu faktor yaitu kapsul tumor pecah, pertumbuhan tumor
pada permukaan ovarium, ada sel tumor di cairan asites
ataupun pada bilasan cairan di rongga peritoneum.
II Tumor pada satu atau dua ovarium dengan perluasan di
pelvis
IIA
Tumor meluas ke uterus dan/atau ke tuba tanpa sel tumor di
cairan asites ataupun bilasan cairan di rongga peritoneum.
IIB
Tumor meluas ke jaringan/organ pelvis lainnya tanpa sel
tumor di cairan asites ataupun bilasan cairan di rongga
peritoneum.
IIC
Perluasan di pelvis (IIA atu IIB) dengan sel tumor di cairan
asites ataupun bilasan cairan di rongga peritoneum.

8
III Tumor pada satu atau dua ovarium disertai dengan
perluasan tumor pada rongga peritoneum di luar pelvis
dengan/atau metastasis kelenjar getah bening regional.
IIIA
Metastasis mikroskopik di luar pelvis.
IIIB
Metastasis makroskopik di luar pelvis dengan besar lesi < 2
cm.
IIIC
Metastasis makroskopik di luar pelvis dengan besar lesi > 2
cm dan/atau metastasis ke kelenjar getah bening.
IV Metastasis jauh (di luar rongga peritoneum).

3. Etiologi
Menurut Nurcahyo, Jalu (2010) Penyebab kanker ovarium belum
diketahui secara pasti. Akan tetapi banyak teori yang menjelaskan
tentang etiologi kanker ovarium, diantaranya:
a. Hipotesis incessant ovulation
Teori menyatakan bahwa terjadi kerusakan pada sel-sel epitel
ovarium untuk penyembuhan luka pada saat terjadi ovulasi. Proses
penyembuhan sel-sel epitel yang terganggu dapat menimbulkan
proses transformasi menjadi sel-sel tumor.
b. Hipotesis androgen
Androgen mempunyai peran penting dalam terbentuknya kanker
ovarium. Hal ini didasarkan pada hasil percobaan bahwa epitel
ovarium mengandung reseptor androgen. Dalam percobaan in-vitro,
androgen dapat menstimulasi pertumbuhan epitel ovarium normal
dan sel-sel kanker ovarium.
Ada beberapa factor-faktor risiko yang dapat menyebabkan kanker
ovarium, antara lain:
1. Diet tinggi lemak
2. Merokok
3. Alkohol

9
4. Riwayat kanker payudara, kolon, atau endometrium
5. Riwayat keluarga dengan kanker payudara atau ovarium
6. Nulipara atau tidak mempunyai anak
7. Menstruasi dini

4. Patofisiologi
Kista ovari yang berasal dari proses ovulasi normal disebut
kista fungsional dan selalu jinak. Kista dapat berupa folikular dan
luteal yang kadang-kadang disebut kista theca-lutein. Kista tersebut
dapat distimulasi oleh gonadotropin, termasuk FSH dan HCG. Kista
fungsional multiple dapat terbentuk karena stimulasi gonadotropin
atau sensitivitas terhadap gonadotropin yang berlebih (Manuaba,
2009).
Pada neoplasia tropoblastik gestasional (hydatidiform mole dan
choriocarcinoma) dan kadang-kadang pada kehamilan multiple
dengan diabetes, HCg menyebabkan kondisi yang disebut
hiperreaktif lutein. Kista neoplasia dapat tumbuh dari proliferasi sel
yang berlebih dan tidak terkontrol dalam ovarium serta dapat bersifat
ganas atau jinak. Neoplasia yang ganas dapat berasal dari semua
jenis sel dan jaringan ovarium. Sejauh ini, keganasan paling sering
berasal dari epitel permukaan (mesotelium) dan sebagian besar lesi
kistik parsial. Jenis kista jinak yang serupa dengan keganasan ini
adalah kistadenoma serosa dan mucinous. Tumor ovari ganas yang
lain dapat terdiri dari area kistik, termasuk jenis ini adalah tumor sel
granulosa dari sex cord sel dan germ cel tumor dari germ sel
primordial. Teratoma berasal dari tumor germ sel yang berisi elemen
dari 3 lapisan germinal embrional; ektodermal, endodermal, dan
mesodermal. Endometrioma adalah kista berisi darah dari
endometrium ektopik (Lilyani, 2012).

5. Manifestasi Klinis

10
Manifestasi klinis kanker ovarium menurut Rahmi (2012) tidak
menimbulkan gejala pada waktu yang lama. Gejala umumnya sangat
bervariasi dan tidak spesifik.
a. Stadium Awal
1) Gangguan haid (siklus tidak teratur, peningkatan
ketegangan premenstuasi, menoragi)
2) Nyeri tekan payudara
3) Konstipasi (pembesaran tumor ovarium menekan rectum)
4) Sering berkemih (tumor menekan vesika urinaria)
5) Nyeri spontan panggul (pembesaran ovarium)
6) Nyeri saat bersenggama (penekanan / peradangan daerah
panggul)
7) Melepaskan hormon yang menyebabkan pertumbuhan
berlebihan pada lapisan rahim, pembesaran payudara atau
peningkatan pertumbuhan rambut)
b. Stadium Lanjut
1) Asites
2) Penyebaran ke omentum (lemak perut)
3) Perut membuncit
4) Kembung dan mual (rasa begah saat makan dalam jumlah
sedikit)
5) Gangguan nafsu makan
6) Gangguan BAB dan BAK
7) Sesak nafas
8) Dyspepsia

6. Komplikasi

11
Menurut Prawirohardjo (2008) komplikasi yang dapat terjadi
yaitu:
a. Asites
Kanker ovarium dapat bermetastasis dengan invasi langsung ke
struktur yang berdekatan pada abdomen dan panggul dan
melalui penyebaran benih tumor melalui cairan peritoneal ke
rongga abdomen dan rongga panggul.
b. Efusi Pleura
Dari abdomen, cairan yang mengandung sel-sel ganas melalui
saluran limfe menuju pleura.
Komplikasi lain yang dapat disebabkan pengobatan adalah :
a. Infertilitas adalah akibat dari pembedahan pada pasien
menopause
b. Mual, muntah dan supresi sumsum tulang akibat kemoterapi.
Dapat juga muncul masalah potensial ototoksik, nefroktoksik,
neurotoksis
c. Penyakit berulang yang tidak terkontrol dikaitkan dengan
obstruksi usus, asites fistula dan edema ekstremitas bawah

7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Prayitno (2014) Pemeriksaan penunjang untuk
menentukan diagnosis kanker ovarium adalah sebagai berikut:
a. Tes Darah CA 125
CA 125 merupakan protein yang terdapat pada permukaan sel
kanker ovarium dan beberapa jaringan sehat. Kandungan CA-
125 meningkat sekitar 80% pada pasien yang terkena kanker
ovarium epithelial. Akan tetapi metode ini tidak terlalu akurat
untuk mendiagnosa kanker ovarium karena protein CA-125
juga dapat meningkat dalam kondisi non-kanker, seperti saat
terjadi endometriosis dan radang usus buntu.

12
b. Scan Ultrasound
Ada kemungkinan perlu dilakukan pemeriksaan dengan
transvaginal ultrasound, dengan memasukkan alat ultrasound
ke dalam vagina.
c. Pemeriksaan Pelvik
Dokter memeriksa permukaan vulva, uterus serta ovarium
untuk mencari perubahan abnormal.
d. Scan CT atau Scan MRI
e. Pemindaian visual pada bagian perut, dada dan pelvik ini dapat
membantu untuk mendeteksi tanda-tanda terjadinya kanker
pada bagian tubuh yang lain.
f. X-Ray dada
Diagnosa ini membantu untuk mendeteksi apakah bagian tubuh
yang lain seperti paru-paru, juga telah terkena kanker..

8. Penatalaksanaan Medis
Menurut Prayitno (2014) penatalaksanaan medis kanker ovarium
adalah sebagai berikut:
1. Pengobatan
Pada umumnya, pengobatan kanker ovarium dilakukan dengan
tindakan operasi, lalu dilanjutkan dengan pengobatan tambahan
seperti kemoterapi, radioterapi, dan imunoterapi.
2. Operasi
Pada umumnya operasi pada Ca Ovarium adalah operasi
pengangkatan Rahim (histerektomi). Ada beberapa jenis-jenis
histerektomi yang dilakukan oleh wanita yaitu:
a. Histerektomi Radikal
b. Histerektomi Abdominal
1) Histerektomi Total
2) Histerektomi Subtotal

c. Histerektomi Eksenterasi Pelvik

13
Histerektomi eksenterasi Pelvik yaitu pengangkatan semua
jaringan dalam rongga panggul. Tindakan ini dilakukan pada
kasus metastase daerah panggul.
3. Radioterapi
Teleterapi pelvis dan abdomen dan penetesan isotop radioaktif
pada rongga peritoneal digunakan pada wanita dengan kanker
ovarium tahap awal (stadium I dan II). Isotop radioaktik (P32)
digunakan sebagai terapi residual kanker pada rongga
peritoneum. Pasien yang memiliki residu penyakit yang terbatas,
kurang dari 2cm, merupakan kandidat utama terapi P32 ini.
4. Kemoterapi
Sebagian besar kanker ovarium memerlukan pengobatan dengan
kemoterapi. Hanya kanker ovarium stadium awal saja (stadium
1a dan 1b dengan derajat diferensiasi sel yang baik/sedang)
yang tidak memerlukan kombinasi pengobatan. Kemoterapi
diberikan sebanyak 6 seri dengan interval 3 – 4 minggu sekali
dengan melakukan pemantauan terhadap efek samping
kemoterapi secara berkala terhadap sumsum tulang, fungsi hati,
fungsi ginjal, sistem saluran cerna, sistem saluran cerna, sistem
saraf dan sistem kardiovaskuler.

C. Teori Anestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa
sakit ketika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang
menimbulkan rasa sakit, dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan
untuk menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan pembedahan
(Sabiston, 2011).
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit
secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali
(reversibel).Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari analgesia,
hipnotik, dan relaksasi otot.

14
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi
kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat
anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak,
sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan
sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui
stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu
dan mencegah terjadinya kelebihan dosis (Carl L Gwinnut, 2017).
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal.Pemilihan ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat
anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang
tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah,
tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran
pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat
dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran
cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan (Carl L Gwinnut,
2017).
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain
pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang
cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak
mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut
harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan
yang luas.
2. Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan
(elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada
bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien
yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun
tujuan kunjungan pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.

15
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American
Society Anesthesiology):
ASA I :Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir,
tanpa kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris.
Angka mortalitas 2%.
ASA II :Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai
dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau
proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III :Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga
aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan
operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V :Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan
hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi.
Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri
dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak (Carl L
Gwinnut, 2017).

3. Pemeriksaan praoperasi anestesi


Menurut Mangku, et al (2017) Pemeriksaan praoperasi anestesi
adalah sebagai berikut:
a. Anamnesis
1) Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat,
tindakan operasi dll.

16
2) Keluhan saat ini
3) Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat
menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus,
penyakit paru kronis (asma bronkhial, pneumonia,
bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
4) Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi
obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat
menimbulkan interaksi dengan obat anestetik seperti
kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik,
golongan aminoglikosid, dan lain lain.
5) Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari
tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan
perawatan intensif pasca bedah.
6) Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi
tindakan anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat
penenang, narkotik
7) Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti
hipertermi maligna.
8) Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan
umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal,
hematologi, neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan
dermatologi.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
2) Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
3) Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat,
terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan
sesudah pembedahan.
4) Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi
pernafasan, serta suhu tubuh.
5) Pergerakan leher (bisa tidaknya ektensi, fleksi leher),
pemeriksaan leher pendek ( jarak tiromental)

17
6) Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk
mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi
palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan
dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai
dari visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi
protusi lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk
menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan
intubasi. Penilaiannya yaitu:
a) Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding
posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla pharingeal
b) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula,
dinding posterior uvula
c) Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
d) Mallampati IV : palatum durum saja
7) Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
8) Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
9) Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites,
hernia, atau tanda regurgitasi.
10) Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal,
sianosis, adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di
tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok saraf regional
c. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain

4. Premedikasi Anestesi
Menurut Latief, et al (2009)Premedikasi anestesi adalah pemberian
obat sebelum anestesi.Adapun tujuan dari premedikasi antara lain:
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin, morfin,
e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron

18
f. memperlancar induksi, misal : fentanyl, pethidin, propofol,
midazolam, diazepam,
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : atracurium,
sulfas atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin
dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah.
Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan
digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien,
berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian
obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya,
riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap
jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan
rencana anestesi yang akan digunakan.

5. Metode Pemberian Anestesi


Obat-obat anestesi umum bisa diberikan melalui Perenteral
(intravena, intramuscular), perektal (melalui anus) biasanya
digunakan pada bayi atau anak-anak dalam bentuk suppositoria,
tablet, semprotan yang dimasukan ke anus.Perinhalasimelalui
isapan, pasien disuruh tarik nafas dalam kemudian berikan anestesi
perinhalasi secara perlahan.

6. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan
dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau
memperdalam stadium anestesi setelah induksi.
Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:

19
S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope
T = Tubes, pipa trakea, usia >5 tahun dengan balon(cuffed)
A= Airway, pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring
(nasofaring) yang digunakanuntuk menahan lidah saat pasien
tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
T = Tape, plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau
tercabut.
I = Introductor, stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea
mudah dimasukkan
C = Connector, penyambung pipa dan perlatan anestesia.
S = Suction, penyedot lendir dan ludah.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka.
Obat-obatan untuk induksi pada anestesi yaitu:
Induksi anesthesia ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
anesthesia dan pembedahan.
1. Induksi Intravena
Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60
detik. Selama induksi anesthesia, pernapasan, nadi dan tekanan
darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen.
Obat-obatan induksi intravena yaitu:
a. Fentanyl
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik
opioid dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan
dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5
mcg/kgBB).
b. Propofol

20
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2%
phosphatide telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan
2-3 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.
c. Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular
sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka.
Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2
golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten,
misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif
atau nondepolarisasi, misal kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan
mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi
trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali.
1) Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang
relatif baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin
yang berasal dari tanaman Leontice leontopetaltum.
Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan
obat terdahulu antara lain adalah:
a) Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama
melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut reaksi
kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada
fungsi hati dan ginjal.
b) Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian
berulang.
c) Tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskuler yang bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis
yang dipakai. Pada umumnya mulai kerja atracurium

21
pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama kerja
atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan
(sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan
pemberian antikolinesterase. Nampaknya atracurium
dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau
pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang berat.
Dosis intubasi : 0,25 – 0,5 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv
(Carl L Gwinnut, 2017).
2. Induksi inhalasi
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime
absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang
kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan
cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak
mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat
relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang
berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini
terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam
ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah
dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70%
: 30% atau 50% : 50%. (Mangku, et al. 2017)
b. Halotan (fluotan)

22
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan
diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar
faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya
tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi
perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi
refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi
kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga
mininggikan kadar gula darah (Mangku, et al. 2017)
c. Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap
sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang
menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik
lebih baik disbanding halotan (Mangku, et al. 2017)
d. Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner
(Mangku, et al. 2017)
e. Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan
hipertensi. Efek depresi napasnya seperti isofluran dan
etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak
digunakan untuk induksi anestesi (Mangku, et al. 2017)
f. Sevofluran (ultane)

23
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang
jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi disamping halotan. Induksi dengan sevofluran
lebih disenangi karena jarang batuk walaupun langsung
diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran)
atau desfluran jarang dilakukan, karena pasien batuk dan
induksi menjadi lama. (Mangku, et al. 2017).

7. Stadium Anestesi
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu pertama berupa
analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi
teratur, stadium 3 dan stadium 4 sampai henti napas dan henti
jantung
a. Stadium 1
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat
pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran.Pada
stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat
analgesi (hilangnya rasa sakit).Tindakan pembedahan ringan,
seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan
pada stadium ini.Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh
hilangnya refleks bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut
bisa kita raba bulu mata).
b. Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) mulai dari akhir stadium
I dan ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar
dengan reflekss cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur,
lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan
hilangnya reflekss menelan dan kelopak

c. Stadium III

24
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan
hingga hilangnya pernapasan spontan.Stadium ini ditandai oleh
hilangnya pernapasan spontan, hilangnya refleks kelopak mata
dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan
mudah.
d. Stadium 4
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian
akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan
akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai
stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang
berlebihan.

8. Pemeliharaan
Rumatan atau maintenance dapat dikerjakan dengan cara intravena
atau inhalasi atau campuran intravena inhalasi. Rumatan anesthesia
biasanya mengacu pada trias anesthesia yaitu tidur ringan
(hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar
pasien selama di bedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot
lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis
tinggi, fentanyl 10-50µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan
pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan
relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infus propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anesthesia
total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator.
Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2
atau N2O+ O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2
3:1 ditambah halotan 0.5-2 vol% atau enfluran 22-4 vol% atau
isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah
pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendlaikan.

25
9. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang.Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk.
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang
hilang selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena
terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1) Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan
pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan,
luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa
dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan
suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
2) Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
a) Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
b) Sedang = 6 ml/kgBB/jam
c) Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan
kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan
cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka
dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
3) Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan
defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari
pasien (Latief, et al, 2009)
10. Pemulihan

26
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau
recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau
anestesi.Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU.Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat
terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau
pengaruh anestesinya.
Gangguan Pasca Operasi Potter dan Perry (2010) yaitu:
1) Pernapasan
Gangguan pernapasan cepat menyebabkan kematian karena
hipoksia sehingga harus diketahui sedini mungkin dan segera
di atasi. Penyebab yang sering dijumpai sebagai penyulit
pernapasan adalah sisa anastesi (penderita tidak sadar kembali)
dan sisa pelemas otot yang belum dimetabolisme dengan
sempurna, selain itu lidah jatuh kebelakang menyebabkan
obstruksi hipofaring. Kedua hal ini menyebabkan
hipoventilasi, dan dalam derajat yang lebih berat menyebabkan
apnea.
2) Sirkulasi
Penyulit yang sering di jumpai adalah hipotensi syok dan
aritmia, hal ini disebabkan oleh kekurangan cairan karena
perdarahan yang tidak cukup diganti. Sebab lain adalah sisa
anastesi yang masih tertinggal dalam sirkulasi, terutama jika
tahapan anastesi masih dalam akhir pembedahan.
3) Regurgitasi atau muntah
Regurgitasi dan MuntahRegurgitasi dan muntah disebabkan
oleh hipoksia selama anastesi. Pencegahan muntah penting
karena dapat menyebabkan aspirasi.
4) Hipotermi
Gangguan metabolisme mempengaruhi kejadian hipotermi,
selain itu juga karena efek obat-obatan yang dipakai. General

27
anestesi juga memengaruhi ketiga elemen termoregulasi yang
terdiri atas elemen input aferen, pengaturan sinyal di daerah pusat
dan juga respons eferen, selain itu dapat juga menghilangkan
proses adaptasi serta mengganggu mekanisme fisiologi pada
fungsi termoregulasi yaitu menggeser batas ambang untuk respons
proses vasokonstriksi, menggigil, vasodilatasi, dan juga
berkeringat.
5) Gangguan Faal Lain
Diantaranya gangguan pemulihan kesadaran yang
disebabkan oleh kerja anestesi yang memanjang karena dosis
berlebih relatif karena penderita syok, hipotermi, usia lanjut
dan malnutrisi sehingga sediaan anestesi lambat dikeluarkan
dari dalam darah.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah
anestesi dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa
dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,
dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-
anak, tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk
orang dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor
Bromage.
Tabel 1. Aldrete Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 2
motorik ekstremitas atas perintah atau
secara sadar. 1
 Mampu menggerakkan 2
ekstremitas atas perintah atau 0
secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan
ekstremitas atas perintah atau
secara sadar.
2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2
 Nafas kurang 1
adekuat/distress/hipoventilasi 0

28
 Apneu/tidak bernafas
3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari 2
semula 1
 Tekanan darah berbeda ± 20-50% 0
dari semula
 Tekanan darah berbeda >50% dari
semula
4 Kesadaran  Sadar penuh 2
 Bangun jika dipanggil 1
 Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna  Kemerahan atau seperti semula 2
kulit  Pucat 1
 Sianosis 0
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang
perawatan.
D. Anestesi Umum Pada Histerektomi
1. Persiapan
a. Penilaian pra operasi harus mengikuti prinsip umum, memberikan
perhatian khusus pada faktor risiko umum (obesitas, peningkatan
usia, dan merokok) dan kuantifikasi penyebaran kanker jauh. 
b. Penilaian fungsi kardiovaskular dan komplikasi paru dipandu oleh
anamnesis dan temuan pemeriksaan. Dispnea preoperatif sulit
diselidiki karena bisa juga merupakan akibat asites. Delapan puluh
sembilan persen pasien kanker ovarium stadium III-IV akan
menderita asites. Hal ini menyebabkan distribusi sel kanker yang
lebih luas, yang dapat ditanamkan dalam relung seperti ruang
subdiaphragmatik abdominal atas, daripada permukaan yang
mengalami peristaltik. Asites yang terakumulasi dengan cepat,
obstruksi usus tinggi atau beberapa tingkat obstruksi usus adalah
kontraindikasi untuk pembedahan.
c. Pemeriksaan hasil laboraturium seperti hb, hematocrit, elektrolit,
ureum, kreatinin, fungsi hati hati dan ginjal
2. Pemantauan Intra Operasi
a. Monitor hemodinamik pasien (TD, N, RR, Suhu).

29
b. Analgesia intraoperatif termasuk pemberian dosis pethidine,
paracetamol / golongan obat NSID yang sesuai dan, jika tidak ada
kontraindikasi terhadap pengobatan non-steroid.
c. Terapi cairan dan transfusi darah
Persiapan untuk kehilangan darah yang signifikan harus dipandu
oleh kasus individu dan jumlah invasi tumor. Ini juga akan
menentukan kebutuhan untuk pemantauan invasif.
Terapi cairan dan transfusi darah Terapi cairan intraoperatif
meliputi kebutuhan cairan dasar dan penggantian deficit cairan
preoperative intravenae seperti halnya kehilangan cairan
intraoperatif (darah, redistribusi dari cairan, dan penguapan).
Pemilihan jenis cairan intravena tergantung dari prosedur
pembedahan dan perkiraan kehilangan darah. Pada kasus
kehilangan darah minimal dan adanya pergeseran cairan, maka
maintenance solution dapat digunakan. Untuk semua prosedur
yang lain ringer lactate biasa digunakan untuk pemeliharaan cairan.
Idealnya, kehilangan darah harus digantikan dengan cairan
kristaloid atau koloid untuk memelihara volume cairan
intravascular (normovolemia) sampai bahaya anemia berberat lebih
(dibanding) resiko transfusi. Pada kehilangan darah dapat diganti
dengan transfusi sel darah merah. Transfusi dapat diberikan pada
Hb 7-8 g/dL (hematocrit 21 - 24%). Pada perdarahan yang terjadi
20% dari perkiraan volume darah pasien, berikan transfusi darah
Perbandingan terapi cairan yang diberikan ringer laktat kira-kira 3-
4 kali dari banyaknya darah yang hilang, dan cairan koloid dengan
perbandingan 1:1 sampai dicapai Hb yang diharapkan
3. Pemulihan Post Operasi
Pada pasien dengan anastesi umum maka posisi kepala harus agak
ditinggikan untuk mencegah depresi otot-otot pernafasan oleh obat-
obatan anastesi.
a. Pemantauan yang seksama ditujukan pada parameter:
1) Kesadaran, diawasi sampai sadar baik

30
2) Pernapasan, diupayakan agar segera bernapas spontan dan
adekuat, bebas dari pengaruh efek sisa obat pelumpuh otot
3) Denyut nadi, tekanan darah d. Suhu tubuh
b. Komplikasi dari histerektomi adalah bisa terjadinya infeksi, nyeri
dan pendarahan diarea bedah. Histerektomi abdominal memiliki
tingkat lebih tinggi untuk terjadinya infeksi pasca operasi dan nyeri
daripada histerektomi vaginal. Namun tetap harus mendapatkan
perhatian terhadap terjadinya infeksi maupun nyeri pasca operasi
histerektomi trans-vaginal.
c. Pasien kembali ke ruangan setelah memenuhi kriteria pemulihan
Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus dirawat
sementara di ruang pulih sadar/recovery room sampai kondisi
pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi dan memenuhi
syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan).
Pasien boleh kembali keruangan apabila nilai aldretenya sudah
mencapai 10 dan tidak ada faktor penyulit lain. Obyek yang dinilai
dalam Skor aldrete adalah aktivitas, respirasi, tekanan darah,
kesadaran dan warna kulit. Penilaian dilakukan pada saat masuk,
dan penilaian dilanjutkan setiap saat dan dicatat setiap 5 menit
sampai tercapai skor 10
Komplikasi bedah dapat timbul setelah operasi dengan cedera pada
pembuluh darah, ureter, kandung kemih, dan dubur. Tergantung
pada tingkat keparahannya, mereka mungkin mengarah pada
penerimaan ketergantungan tinggi yang tidak direncanakan.
mbedahan dengan exenterasi panggul menghadirkan peningkatan
risiko komplikasi septik dan obstruksi usus halus

31

Anda mungkin juga menyukai