A. Anamnesis
1. Identifikasi :
Nama : Ny. ATI
Umur : 26 tahun
MR/Reg : 1101658
Alamat : Ilir Barat II Palembang
Poliklinik : 10 Januari 2019
2. Riwayat perkawinan :
Menikah 1x, lamanya 3 tahun
3. Riwayat Persalinan :
-
4. Riwayat reproduksi :
Menarche 13 tahun,Amenorea Sekunder 9 tahun
5. Riwayat penyakit :
-
Riwayat medical care : -
6. Riwayat sosio ekonomi/gizi: sedang
7. Anamnesis khusus (autoanamnesa)
Keluhan utama : Tidak menstuasi sejak 9 tahun yang lalu
Os datang ke poliklinik FER rujukan dari SPOG dengan keluhan tidak menstruasi
sejak 9 tahun yang lalu.Os mengaku sebelumnya pertama kali menstruasi pertama
kali umur 13 tahun banyaknya normal 2-3 kali sehari sampai 3 tahun.Setelah itu
os mengaku tidak perah menstruasi sama sekali sampai dengan saat ini.Pasien
sudh 9 tahun tidak menstruasi.R/Keputihan (-).R/minum obata tau jamu tyidak
ada.R/operasi ginekologi (-).Benjolan dileher (-), riwayat berdebar-debar (-),
riwayat tangan gemetar (-), napsu makan biasa, berat badan menurun (-), mual
dan muntah (-).
2
B. Pemeriksaan Fisik
1. Status present
KU : sakit sedang TD : 110/80 mmHg T :36,8 C
Sens: compos mentis Nadi : 80 x/m RR : 20 x/m
TB : 168 cm BB : 52 kg
2. Status general
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), stomatitis (-
)Leher: JVP (5 - 2) cm H2O, pembesaran KBG (-), pembesaran tiroid (-)
Thoraks : Cor : I : iktus cordis tidak terlihat
P : iktus cordis tidak teraba
P :batas jantung dalam batas normal
A : Hr : 80x/m regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo:I : Statis dinamis kanan -kiri
P : Stem fremitus kanan = kiri
P : Sonor di kedua lapangan paru
A : Ventrikular (+/+) normal. ronkhi (-/-),Wheezing (-/-)
Ekstremitas inferior: edema pretibial (-/-)
3. Status Ginekologi
PemeriksaanLuar:
PL :Abdomen datar,Simetris,NT (-) TCB (-)Fut tak teraba
Pemeriksaan Dalam:
Inspekulo : Portio tak livide ,OUE Tertutup,Fluor (-),Fluxus (-) E/L/P –
VT : Portio Kenyal,OUE Tertutup,AP ka/ki lemas CD tak menonjol
3
C. Diagnosis:
Amenorhea Sekunder
D. Terapi
- Obs. TTV
- Check laboratorium DR,Free T3 T4 TSH,FSH,LH
BSS = 74
Kimia Klinik
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa sewaktu : 74 mg/dL <200 mg/dL
6
I. PERMASALAHAN
1.Bagaimana diagnosa Amenorhea Sekunder pada pasien ini?
2.Bagaimanakah penatalaksanaan Amenorhea Sekunder pada kasus ini?
Permasalaan ini dapat muncul pada berbagai usia, bergantung pada jumlah folikel yang
tersisa. Dalam hal ini penting untuk mengulas berbagai gambaran seperti dengan
menggambarkan sebagai suatu stadium dalam proses perubahan perimenopausal,
berapapun usia kronologis pasien ini. Jika penurunan jumlah folikel terjadi dengan sangat
cepat, maka amenorrhea primer dan terhambatnya perkembangan seksual akan muncul.
Jika penurunan jumlah folikel terjadi setelah pubertas, maka perjalanan perkembangan
fenotip dewasa dan kapan saat terjadinya amenorrhea sekunder, akan sangat bervariasi.
Merujuk pada berbagai laporan kasus yang mencatat kembalinya fungsi normal pada
pasien dengan karyotipe normal, maka kita tidak dapat memastikan bahwa pasien-pasien
ini akan selamanya steril. Di sisi lain, laparotomi dan biopsi ovarium full-thickness
tidaklah diperlukan bagi pasien ini. Kami percaya bahwa pendekatan minimal invasif,
dengan pemeriksaan penyakit autoimun (mengenali bahwa tidak ada metode klinis
8
praktis yang dapat secara akurat menegakkan diagnosis kegagalan ovarium autoimun)
dan pemeriksaan aktivitas ovarium-hipofise, adalah cukup. Seperti halnya pada pasien
gonadal lainnya, kami merekomendasikan pemberian terapi hormon. Namun, karena
terdapat ovulasi spontan, maka kontrasepsi estrogen-progestin merupakan pilihan
regimen terapi yang lebih baik jika memang tidak menginginkan terjadinya kehamilan.
Prospek terbaik untuk kehamilan adalah dengan donasi oosit; namun harus diingat bahwa
tingkat keberhasilan kehamilan akan berkurang jika menggunakan oosit dari saudara
sekandung. Terapi kegagalan ovarium dini idiopatik dengan pemberian kortikosteroidosis
farmakologis tidak berguna, karena tidak tercapai responsivitas terhadap pemberian
gonadotropin.
Penjelasan Molekuler Mengenai Kegagalan Ovarium
Sekelompok pasien dengan kegagalan ovarium dan kromosom normal telah
teridentifikasi di Finlandia, menggambarkan pola penurunan resesif. Titik mutasi
dijumpai pada gen reseptor FSH dan dijumpai sebagai penyebab kegagalan ovarium pada
populasi ini. Mutasi ini dijumpai pada 29% dari 75 wanita Finlandia dengan kegagalan
ovarium (prevalensi secara umum 0,96%). Pada wanita ini dijumpai adanya folikel
ovarium, dideteksi dengan pemeriksaan USG, meskipun ovarium berukuran kecil
(volume). Finlandia dikenal sebagai lokasi dengan peningkatan jumlah kelainan turunan
ini. Penelitian untuk mencari mutasi yang sama dilakukan di AS, Brazil, Swiss, Denmark,
Jepang, dan Singapura; hasilnya adalah ditemukan satu kasus (di Swiss) seorang wanita
dengan kegagalan ovarium dini. Mutasi spesifik lain pada gen reseptor FSH dijumpai
pula di Finlandia, namun mutasi ini dinilai sangat jarang menyebabkan kegagalan
ovarium. Dan lagi, harus pula diingat bahwa terkadang pasien dengan amenorrhea primer
mengalami mutasi pada gen reseptor FSH. Pencatatan penyebab genetik pasti
hipogonadisme pada pasien dengan peningkatan kadar gonadotropin tidak mempengaruhi
penatalaksanaan dan pilihan terapi yang tersedia bagi pasien.
Semakin banyaknya wanita dengan kegagalan ovarium dini menjalani penelitian genetik,
kami mengantisipasi identifikasi pada subgrup multipel, masing-masing dengan dasar
biologis berbeda, hasilnya akan konsisten dengan kondisi heterogen dengan berbagai
penyebab. Sebagai contoh, satu kasus amenorrhea primer hipergonadotropik dilaporkan
9
oleh karena terjadinya titik mutasi pada gen reseptor LH; FSH dan LH hanya sedikit
mengalami peningkatan dan dijumpai folikel ovarium multipel disertai dengan
perkembangan dan steroidogenesis hingga stadium antral awal. Kadar gonadotroph yang
mendekati normal mungkin disebabkan inhibisi oleh inhibin, karena sekresi inhibin oleh
sel granulosa bergantung pada FSH dan tidak dipengaruhi oleh LH. Pasien ini memiliki 2
saudara kandung dengan kromosom 46,XY pseudohermaphrodit pria yang disebabkan
oleh hipoplasia sel Leydig karena terjadi mutasi gen reseptor LH yang sama. Pada contoh
lain, translokasi antar region pada kromosom X dan Y, yang berbagai sekuens homolog,
telah dilaporkan pada pasien dengan amenorrhea sekunder dan kegagalan ovarium.
Sekuens pada lengan panjang kromosom X (Xq27-28) homolog dengan sekuens pada
lengan panjang kromosom Y (Yq11.22), sehingga mengakibatkan terjadinya kesalahan
pada proses crossing-over. Selain itu, mutasi yang tidak sempurna (dikenal juga sebagai
premutasi) pada area yang mentransmisikan sindrom fragile-X dilaporkan terjadi dengan
frekuensi yang lebih besar pada wanita dengan kegagalan ovarium dini. Delesi pada
kromosom X jarang dijumpai pada amenorrhea sekunder, namun terkadang delesi dapat
dideteksi pada wanita yang memiliki riwayat kegagalan ovarium dini.
10
hipothyroidisme. Hal ini akan mengakibatkan tidak adanya umpan balik terhadap efek
stimulasi thyrotropin-releasing hormone (TRH) terhadap sel-sel hipofise yang
mensekresi prolaktin. Menurut pengalaman kami, kadar prolaktin yang diakibatkan oleh
adanya hipothyrodisme selalu kurang dari 100 ng/mL.
Tujuan dari dilakukannya tes progesteron adalah untuk mengukur kadar estrogen
endogen dan kompetensi traktus outflow. Pada pasien diberikan serangkaian agen
progetasional yang akan secara total menghambat aktivitas estrogenik. Terdapat 3 macam
pilihan pemberian: secara parenteral yaitu progesteron dalam minyak (200mg);
pemberian micronized progesterone per oral, 300 mg per hari; atau pemberian preparat
aktif medroxyprogesterone acetat per oral 10 mg per hari selama 5 hari. Pemberian
preparat aktif secara per oral dapat menghindari ketidaknyamanan pemberian melalui
injeksi IM (meskipun hal ini mungkin diperlukan jika mempertimbangkan faktor
kepatuhan pasien). Dosis micronized progesterone relatif tinggi dan sebaiknya diberikan
menjelang tidur untuk menghindari efek samping. Preparat hormonal lainnya seperti
misalnya alat kontrasepsi oral, dalam hal ini bukanlah preparat yang tepat karena tidak
memberikan efek progestasional yang murni.
Amenorrhea sekunder yang diakibatkan oleh kegagalan ovarium dini dapat
disebabkan oleh penyakit autoimun. Ovarium yang mengandung folikel primordial
dengan gambaran normal, namun folikel yang berkembang tadi dikelilingi oleh sejumlah
sel limfosit dan sel plasma disertai dengan infiltrasi limfositik pada lapisan sel theca.
Mekanisme pasti terjadinya resistesi gonadotropin belum diketahui. Antibodi yang
12
menghambat reseptor FSH dan LH tidak dijumpai pada immunoglobin G wanita dengan
kegagalan ovarium dini. Sering kali, dapat dideteksi bukti adanya abnormalitas fungsi
thyroid, dan oleh sebab itu, diperlukan sidik thyroid lengkap (dengan antibodi) pada
seluruh pasien dengan kegagalan ovarium dini. Sindroma poliglandular yang ekstensif
(sindroma poliglandular autoimun) yang meliputi hipoparathyroidisme, insufisiensi
adrenal, thyroiditis, dan moniliasis, kasus ini jarang dijumpai; paling tidak satu mutasi
gen telah teridentifikasi pada kelainan yang sifatnya autosomal resesif ini. Pada pasien
dengan insufisiensi adrenal dan kegagalan ovarium berhasil dideteksi antibodi terhadap
P450scc, enzim untuk pemotongan rantai samping kolesterol yang berperan penting
dalam steroidogenesis. Dipercaya bahwa antibodi dapat ditujukan pada enzim penting
apapun yang terlibat dalam steroidogenesis. Insidens kasus lain yang jarang kaitannya
dengan kegagalan ovarium dini meliputi miastenia gravis, ITP, rheumatoid arthritis,
vitiligo, dan anemia hemolitik autoimun. Secara klasik, kegagalan ovarium dini terjadi
sebelum terjadi kegagalan adrenal, sehingga dapat dilakukan tindakan untuk
mempertahankan fungsi adrenal. Sering kali, didapatkan berbagai gangguan endokrin
dijumpai di antara anggota keluarga. Meskipun insidens-nya jarang, namun telah
dilaporkan kasus-kasus kehamilan dengan kegagalan ovarium dan penyakit autoimun.
Ovulasi dapat sementara dicapai dengan pemberian terapi kortikosteroid, dan paling tidak
satu pasien untuk sementara mengalami kembalinya aktivitas menstrual ovarium secara
spontan. Karena kehamilan sendiri sangatlah tidak mungkin, maka dapat
dipertimbangkan mengenai pemberian donor oosit. Meskipun demikian, dilaporkan
tingkat kehamilan yang sangat mengesankan pada satu kompartemen penelitian yang
memberikan kombinasi terapi agonis GnRH, kortikosteroid, dan induksi ovulasi dengan
pemberian gonadotropin eksogen dosis tinggi.
13
RUJUKAN