Anda di halaman 1dari 31

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. HIV

2.1.1 Definisi

Acquired Immune Defficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau

penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi Human

Immunodeficiency Virus (HIV) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.1

Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya tidak bersifat

invasif namun dapat menyerang tubuh saat kekebalan tubuh menurun, seperti pada

orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Infeksi ini dapat ditimbulkan oleh patogen yang

berasal dari luar tubuh (seperti bakteri, jamur, virus atau protozoa), maupun oleh

mikrobiota sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal

terkendali oleh sistem imun (seperti flora normal usus).5

2.1.2 Etiologi

Human Immunodeficiency virus (HIV) adalah golongan retrovirus yang

biasanya menyerang organ vital sistem kekebalan manusia seperti sel T CD4,

makrofag, dan sel dendritik. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang

termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa

lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat

pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap

molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag.

Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh
7

protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase

reverse (reverse transcriptase enzyme).7

Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global

terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas

penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa

negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat. 7

Gambar 2.1 Struktur virus HIV

2.1.3. Epidemiologi

HIV/ AIDS telah menjadi masalah darurat global. Di seluruh dunia, 35 juta

orang hidup dengan HIV dan 19 juta orang tidak mengetahui status HIV positif

mereka. Di Kawasan Asia, sebagian besar prevalensi HIV pada masyarakat umum

masih rendah yaitu <1%, kecuali di Thailand dan India Utara. Pada tahun 2012, di

Asia Pasifik diperkirakan terdapat 350.000 orang yang baru terinfeksi HIV dan

sekitar 64% dari orang yang terinfeksi HIV adalah laki-laki.3

HIV/AIDS juga menjadi masalah di Indonesia yang merupakan negara urutan

ke-5 paling berisiko HIV/AIDS di Asia. Laporan kasus baru HIV meningkat setiap
8

tahunnya sejak pertama kali dilaporkan. Peningkatan paling banyak pada tahun

2016 dibandingkan 2015. Kasus HIV pada tahun 2015 yaitu 30.935 dan pada 2016

yaitu 41.250 kasus. Sedangkan berdasarkan sumber dari Ditjen Pencegahan dan

Penanggulangan Penyakit (P2P), kasus HIV pada tahun 2017 mencapai 48.300 dan

9.280 kasus merupakan AIDS.3

Persentase HIV/AIDS yang dilaporkan berdasarkan jenis kelamin pada

Oktober-Desember tahun 2017 yaitu 38% diderita perempuan dan 62% diderita

laki-laki. Sedangkan persentase AIDS berdasarkan jenis kelamin yaitu, 36% pada

perempuan dan 64% pada laki-laki.3

2.1.4 Patogenesis

Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV

karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit

CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting

sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan

gangguan imun yang progresif. 4

Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in

vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik,

folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia,

astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.10

Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama

HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui

kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal

sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing


9

nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan

ko-reseptor kemokin, terdapat integrin yang berperan sebagai reseptor penting

lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan

berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan

mediasi antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel

CD4, sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA

dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan

berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang

terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan

melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi mRNA

untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur sampai

terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik RNA

dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang nantinya akan menempel

pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion

akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi

HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. 4


10

Gambar 2.2 Patogenesis HIV

Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat

defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio

CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus

HIV dibentuk terhada berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul

virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah

infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan

setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan

bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk

antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut


11

tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek.

Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T

sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel

T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV.4

Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan

kerusakan progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel

T CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi

CD4 jarang terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan

antiretrovirus.4

2.1.5 Manifestasi klinis

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I

(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV

(sakit berat atau AIDS). Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4,

stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis

infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.11

2.1 Tabel stadium HIV menurut WHO11

Stadium 1 Asimptomatik
- Tidak ada penurunan berat badan
- Tidak ada gejala atau hanya: Limfadenopati generalisata persisten
(pembesaran kelenjar limfe > 1 cm pada 2 atau lebih lokasi yang tidak
berdekatan, sebabnya tidak diketahui, bertahan selama 3 bulan atau lebih)
12

Stadium 2 Sakit ringan


- Penurunan berat badan derajat sedang yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya (<10%)
- Infeksi saluran nafas atas berulang (episode saat ini, ditambah 1 episode atau
lebih dalam 6 bulan seperti sinusitis, otitis media, tonsilofaringitis, dan lain-
lain)
- Herpes zoster
- Keilitis angularis (sariawan atau robekan pada sudut mulut bukan karena
difisiensi vitamin atau besi, membaik dengan terapi antifungal)
- Sariawan berulang (2 episode atau lebih dalam 6 bulan)
- Erupsi papular pruritik (lesi papular pruritik sering kali dengan pigmentasi
pasca inflamasi)
- Dermatitis seboroik (kondisi kulit bersisik dan gatal, umumnya didaerah
berambut)
- Infeksi jamur pada kuku (paronikia, onikolisis, dan onikomikosis)
- Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
- Eritema linea gingiva (garis/ pita eritem yang mengikuti kontur garis gingiva
yang bebas dan sering dihubungkan dengan perdarahan spontan gusi)
- Infeksi virus wart yang luas
- Moluskum kontagiosum luas
- Pembesaran kelenjar parotis yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
Stadium 3 Sakit sedang
- Penurunan berat badan derajat sedang yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya (<10%)
- Diare kronik selama > 1 bulan yang tidak dapat dijelaskan
- Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (>37,5oC intermiten atau
konstan, >1 bulan)
- Kandidiasis oral (di luar masa 6-8 minggu pertama kehidupan)
- Oral hairy leukoplakia (lesi putih tipis kecil linear atau berkerut pada tepi
lateral lidah, tidak mudah diangkat)
13

- TB paru
- Infeksi bakterial berat (pneumonia, meningitis, empiema, piomiositis, infeksi
tulang atau sendi, bakterimia, dan radang panggul berat)
- Anemia yang tidak dapat dijelaskan (Hb <8g/dL), neutropenia (<1000/mm3),
dan atau trombositopenia kronik (<50.000/mm3, > 1 bulan)
- Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan
- TB kelenjar (limfadenopati tanpa rasa nyeri, tidak akut, lokasi terbatas satu
regio, dan membaik dengan terapi TB standar dalam 1 bulan)
- Pneumonitis interstisial limfoid (PIL) simtomatik
- Penyakit paru berhubungan dengan HIV, termasuk bronkiektasis
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
- HIV wasting syndrome (penurunan berat badan > 10% dengan wasting yang
jelas atau IMT <18,5)
- Pneumonia pnemosistis (PCP)
- Pneumonia bacterial berulang (episode saat ini bertambah satu episode atau
lebih dalam 6 bulan terakhir)
- Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, genital, atau anorektal selama > 1
bulan, atau visceral tanpa melihat lokasi ataupun durasi)
- Kandidiasis esophageal
- TB ekstraparu
- Sarkoma Kaposi (gambaran khas di kulit atau orofaring berupa bercak datar,
persisten, berwarna merah muda atau merah lebam, lesi kulit biasanya
berkembang menjadi plak atau nodul)
- Infeksi sitomegalovirus (retinitis atau infeksi CMV pada organ lain kecuali
hepar, lien, dan KGB)
- Toksoplasmosis otak
- Ensefalopati HIV
- Kriptokokosis ekstrapulmoner (termasuk meningitis)
- Infeksi mikobakteria non-tuberkulosa diseminata
- Progressive multi focal leukoencephalopathy (PML)
14

- Kriptosporidiosis kronik
- Isosporidiosis kronik
- Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
- Septisemia berulang (termasuk Salmonella non-tifoid)
- Limfoma (sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral atau tumor solid terkait
HIV lainnya)
- Karsinoma serniks invasif
- Nefropati terkait HIV (HIVAN)
- Kardiomiopati terkait HIV
- Malnutrisi, wasting, dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak
berespon terhadap terapi standar
- Infeksi bakterial berat yang berulang (empyema, piomiositis, infeksi tulang
dan sendi, meningitis)
- Kandidiasis esophagus (bisa pada trakea, bronkus, atau paru)

2.1.6 Diagnosis

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat

kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk

menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan

laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk

menentukan tata laksana selanjutnya. Dari anamnesis, perlu digali faktor resiko

HIV AIDS. Berikut ini mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan

tersangaka ODHA12
15

Tabel 2.2 Faktor risiko infeksi HIV12

- Penjaja seks laki-laki atau perempuan


- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan
transgender (waria)
- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Gambar 2.4 Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV13

Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan

nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu
16

didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat

menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama

(A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk

pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi

(>99%). Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3

bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang

dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu dilakukan

tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.13

Gambar 2.3 Alur diagnosis HIV pada anak ≥18 bulan, remaja, dan dewasa11
17

Keterangan: Yang dimaksud berisiko dalam bagan adalah kelompok populasi

kunci (pekerja seks, pengguna napza suntik, lelaki seks dengan lelaku, waria),

pasien hepatitis, ibu hamil, pasangan diskordan, pasien TB, pasien IMS, warga

binaan pemasyaraktan.14

Tabel 2.2 Kriteria interpretasi tes anti-HIV dan tindak lanjutnya11

Hasil tes Kriteria Tindak lanjut


Bila hasil A1, A2, dan A3
Rujuk untuk pengobatan
Positif
reaktif HIV
- Bila hasil A1 non - Bila tidak memiliki
reaktif perilaku berisiko,
- Bila hasil A1 reaktif dianjurkan perilaku
tapi pada pengulangan hidup sehat
A1 dan A2 non-reaktif - Bila berisiko,
Negatif - Bila salah satu reaktif dianjurkan pemeriksaan
tapi tidak berisiko ulang minimum 3
bulan, 6 bulan, dan 12
bulan dari pemeriksaan
pertama sampai satu
tahun
- Bila dua hasil tes - Tes perlu diulang
reaktif dengan spesimen baru
- Bila hanya 1 tes minimal setelah dua
reaktif tapi minggu dari
mempunyai risiko atau pemeriksaan yang
pasangan berisiko pertama
- Bila hasil tetap
indeterminate
Indeterminate dilanjutkan dengan
pemeriksaan PCR
- Bila sarana
pemeriksaan PCR tidak
memungkinkan, rapid
tes diulang 3 bulan, 6
bulan, dan 12 bulan dari
pemeriksaan yang
pertama. Bila sampai
18

satu tahun hasil tetap


indeterminate dan
faktor risiko rendah,
hasil dapat dinyatakan
sebagai negatif

2.1.7 Tatalaksana15

Prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan 3 jenis obat yang

ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal

dengan highly active antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering

disingkat menjadi ART (antiretroviral therapy) atau terapi ARV. Pemerintah

menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV dengan berdasarkan

pada 5 aspek yaitu efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan,

dan harga obat. Konseling terapi yang memadai sangat penting untuk terapi seumur

hidup dan keberhasilan terapi jangka panjang. Isi dari konseling terapi ini termasuk:

kepatuhan minum obat, potensi/kemungkinan risiko efek samping atau efek yang

tidak diharapkan atau terjadinya sindrom pulih imun (Immune Reconstitution

Inflammatory Syndrome/IRIS) setelah memulai terapi ARV, terutama pada ODHA

dengan stadium klinis lanjut atau jumlah CD4 <100 sel/mm3, dan komplikasi yang

berhubungan dengan terapi ARV jangka panjang.

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:4

 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:

zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir

 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti

evafirens dan nevirapin


19

 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,

amprenavir.

Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk melihat kondisi

ODHA sebelum inisiasi ARV dan membantu penentuan paduan yang akan

digunakan. Berikut dalam tabel 5 adalah tes laboratorium yang direkomendasikan.

Tabel 2.3 Rekomendasi tes laboratorium untuk persiapan inisiasi ART

Fase manajemen HIV Rekomendasi Utama Rekomendasi lain


Setelah diagnosis HIV - Jumlah CD4 - HBsAg
- Skrining TB - Anti-HCV
-
Antigen kriptokokus jika
jumlah CD4≤100 sel/mm3
- Skrining infeksi menular
seksual
- Pemeriksaan penyakit non
komunikabel kronik dan
komorbid
Follow-up sebelum Jumlah sel CD4
ARV
Inisiasi ARV Jumlah sel CD4 - Serum kreatinin dan atau
eGFR, dipstik urin untuk
penggunaan TDF
- Hemoglobin
- SGPT untuk penggunaan
NVP
20

Keterangan:

- Jika tidak tersedia CD4, gunakan stadium klinis WHO

- Jika memungkinkan, tes HbsAg harus dilakukan untuk mengidentifikasi orang

dengan HIV dan koinfeksi hepatitis B dan siapa ODHA yang perlu inisiasi ARV

dengan TDF.

- Direkomendasikan pada ODHA yang mempunyai riwayat perilaku terpapar

hepatitis C, atau pada populasi dengan prevalensi tinggi hepatitis C. Populasi

risiko tinggi yang dimaksud adalah penasun, LSL, anak dengan ibu yang

terinfeksi hepatitis C, pasangan dari orang yang terinfeksi hepatitis C, pengguna

narkoba intranasal, tato dan tindik, serta kelompok yang mendapat transfusi

berulang, seperti ODHA talasemia dan yang menjalani hemodialisis.

- Dapat dipertimbangkan jika tersedia fasilitas pemeriksaan antigen kriptokokus

(LFA) mengingat prevalensi antigenemia pada ODHA asimtomatik di beberapa

tempat di Indonesia mencapai 6,8-7,2%.

- Pertimbangkan penilaian ada tidaknya penyakit kronis lain terkait

penatalaksanaan HIV seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan diabetes.

- Terapi ARV dapat dimulai sambil menunggu hasil CD4. Pemeriksaan CD4 awal

tetap diperlukan untuk menilai respons terapi.

- Untuk ODHA dengan risiko tinggi mengalami efek samping TDF: penyakit

ginjal, usia lanjut, IMT rendah, diabetes, hipertensi, penggunaan PI atau obat

nefrotoksik lainnya. Dipstik urin digunakan untuk mendeteksi glikosuria pada

ODHA non diabetes.


21

- Untuk anak dan dewasa yang berisiko tinggi mengalami efek samping terkait

AZT (CD4 rendah atau Indeks Massa Tubuh rendah)

- Untuk ODHA dengan risiko tinggi efek samping NVP, misalnya ARV naif,

wanita dengan CD4 > 250 sel/mm3 dan koinfeksi HCV. Namun enzim hati awal

memiliki nilai prediktif yang rendah untuk memonitor toksisitas NVP.

Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna untuk

pencegahan, meningkatkan harapan hidup dan menurunkan insiden infeksi terkait

HIV dalam populasi. Rekomendasi inisiasi ART pada dewasa dan anak dapat

dilihat dalam tabel 2.4

Tabel 2.4 Rekomendasi iniasi ART pada dewasa dan anak

Populasi Rekomendasi
Dewasa dan anak Inisiasi ART pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan
≥ 5 tahun 4, atau jika jumlah CD4 ≤350 sel/mm3
- Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan
berapapun jumlah CD4
- Koinfeksi TB
- Koinfeksi Hepatitis B
- Ibu hamil dan menyusui terinfeksi HIV
- Orang terinfeksi HV yang pasangannya HIV negative
(pasangan serodiskordan), untuk mengurangi risiko
penularan
- LSL, PS, Waria, atau Penasun
Populasi umum pada daerah dengan endemi HIV meluas
Anak < 5 tahun Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan
berapapun jumlah CD4
22

- Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan

dalam 2-8 minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada

ODHA dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai dalam 2

minggu setelah mulai pengobatan TB. Untuk ODHA dengan meningitis

kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan kriptokokus.

- Bayi umur <18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif,

maka harus segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera dilakukan diagnosis

konfirmasi (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18

bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan

antibodi HIV ulang), maka perlu dilakukan penilaian ulang apakah anak pasti

terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif, maka pemberian ARV

dihentikan.

Pilihan paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang

belum pernah mendapatkan ARV sebelumnya (naive ARV). Untuk ODHA yang

akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka

dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol (1x960mg sebagai pencegahan IO) 2

minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kepatuhan

pasien untuk minum obat dan menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang

tindih antara kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV

mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.


23

Tabel 2.5 ART lini pertama untuk anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa, termasuk

ibu hamil dan menyusui, ODHA koinfeksi hepatitis B, dan ODHA dengan TB.

ARV lini pertama untuk dewasa

Panduan pilihan TDF + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDT

Panduan alternatif - AZT + 3TC + EFV (atau NVP)

- TDF + 3TC (atau FTC) + NVP

Keterangan:
TDF : Tenofovir FTC : Emtricitabin
EFV : Efavirenz AZT : Zidovudin
TC : Lamivudin NVP : Nevirapin

- Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50 ml/menit,

atau pada kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal

- Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi

- Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV


Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria virologis,

imunologis, dan klinis, seperti dalam gambar 2.6. Kriteria terbaik adalah kriteria

virologis, namun bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan maka digunakan kriteria

imunologis. Sebaiknya tidak menunggu kriteria klinis terpenuhi agar dapat

melakukan switch ke lini selanjutnya lebih dini. ODHA harus menggunakan ARV

minimal 6 bulan sebelum dinyatakan gagal terapi dalam keadaan kepatuhan yang

baik. Kalau ODHA kepatuhan tidak baik atau berhenti minum obat, penilaian

kegagalan dilakukan setelah minum obat kembali secara teratur minimal 3-6 bulan

seperti pada gambar 2.5.


24

Gambar 2.5 Alur pemeriksaan HIV RNA untuk evaluasi terapi ARV

Gambar 2.6 Definisi kegagalan terapi dan keputusan untuk ubah panduan ARV
25

Prinsip pemilihan paduan ARV lini kedua adalah pilih kelas obat ARV

sebanyak mungkin, dan bila kelas obat yang sama akan dipilih maka pilihlah obat

yang sama sekali belum dipakai sebelumnya.

Tabel 2.6 Panduan ARV lini kedua pada remaja dan dewasa

Populasi target Panduan ARV yang Panduan lini kedua


digunakan pada lini pilihan
pertama
Dewasa dan remaja (≥ 10 Berbasis AZT atau d4T TDF + 3TC (atau FTC) +
tahun) LPV/r
Berbasis TDF AZT + 3TC + LVP/r
HIV dan koinfeksi Berbasis AZT atau d4T TDF + 3TC (atau FTC) +
LPV/r dosis ganda
Berbasis TDF AZT + 3TC + LVP/r
dosis ganda
HIV dan HBV koinfeksi Berbasis TDF AZT + TDF + 3TC (atau
FTC) + LPV/r
Keterangan:
d4T : Stavudin
LVP : Lovinapir

Rifampisin sebaiknya tidak digunakan pada pemakaian LPV/r. Paduan OAT

yang dianjurkan adalah 2SHZE, selanjutnya diteruskan dengan 4HE dengan

evaluasi rutin kelainan mata. Namun, pada infeksi meningitis TB yang perlu tetap

menggunakan rifampisin maka LPV/r dapat digunakan dengan dosis ganda LPV/r

800 mg/200 mg 2x sehari atau 2 x 2 tablet.

Jika terjadi kegagalan lini kedua maka perlu dilakukan terapi penyelamatan

yang efektif. Kriteria yang digunakan untuk penentuan kegagalan terapi lini kedua

harus menggunakan kriteria virologis (pemeriksaan HIV RNA). Seperti pada


26

penentuan gagal terapi lini pertama, penentuan kegagalan terapi lini kedua harus

dilakukan saat ODHA menggunakan ART lini kedua minimal 6 bulan dalam

keadaan kepatuhan yang baik. Tes resistansi genotyping diwajibkan sebelum

pindah ke lini ketiga.

Tabel 2.7 Panduan ARV lini ketiga pada dewasa dan anak

Rekomendasi panduan ART lini ketiga


Dewasa ETR + RAL + DRV/r
Anak ETR + RAL + DRV/r
Keterangan:
ETR : Etravirin
RAL : Raltegravir
DRV/r : Darunavir/ Ritonavir

2.2 Diare kronik pada HIV

2.2.1 Definisi

Diare kronik pada penderita HIV/AIDS adalah buang air besar lebih dari tiga

kali sehari dengan konsistensi cair atau encer dan berlangsung terus menerus selama

4 minggu atau berulang-ulang selama 8 minggu dengan gejala diare paling sedikit

4 minggu dan disertai atau tanpa tenesmus.16

2.2.2 Patogenesis17

- Berkurangnya permukaan mukosa usus

Diare pada pasien terinfeksi HIV akibat adanya kerusakan sel-sel epitel usus

halus. Dengan keadaan ini terjadi proliferasi dari sel-sel usus halus untuk

mempertahankan fungsi hemostasis. Rata-rata turnover dari sel-sel epitel usus kira-

kira 72 jam. Selama rentang waktu ini terjadi pematangan dan fungsi absropsi dan

enterosit. Akibat peningkatan kerusakan sel-sel epitel ini, sehingga waktu maturasi
27

sel-sel usus halus tidak dapat menyeimbangkan antara kerusakan dan proses

pematangan sel-sel epitel, yang mengakibatkan terganggunya kerja enzim-enzim

enterosit seperti disakarida, maltosa, dan sukrosa. Hal ini menimbulkan atropi dari

villus dan mengakibatkan daya absropsi usus halus menjadi berkurang.

- Gangguan fungsi usus halus

Pada keadaan penurunan jumlah sel T CD4 yang berat dapat terjadi enteropati

bacterial, dimana bakteri-bakteri pathogen menimbulkan lesi-lesi ultrastuktural dan

kerusakan enterosit sepeti terjadi pada enteropatogenic dan enterohemorrhagic

yang diakibatkan oleh Escherichia coli. Akibatnya terjadi malabsrobsi dari garam

empedu. Garam empedu yang berlebihan di dalam lumen usus halus mengaktifkan

sekresi klorida ke dalam kolon melalui Cyclic Adenosine Monophosphat (AMP)

pada enterosit sehingga terjadi gangguan absropsi air, ion, dan lemak.

- Enteropati exudative

Beberapa peneliti menemukan kejadian diare pada pasien infeksi HIV karena

adanya hambatan aliran limfe oleh makrofag yang terinfeksi Mycobacterium avium

complex (MAC). Patofisiologi ini hampir sama dengan Whipple’s disease.

- Sekresi Enterotoksin

Pada pasien terinfeksi HIV, terutama pasien dengan Cryptosporidiosis,

mengalami volume diare yang sangat banyak. Hal ini disebabkan banyaknya

endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri di usus halus.


28

- Perubahan motilitas usus halus

Motilitas dari saluran cerna diatur oleh sistem saraf otonom. Pada pasien

terinfeksi HIV terjadi gangguan neural atau disebut neuropathy, yang

mengakibatkan percepatan waktu transit usus halus.

- Pertumbuhan bakteri yang berlebihan

Beberapa penelitian menentukan pertumbuhan bakteri yang berlebihan terjadi

pada pasien terinfeksi HIV sehingga meningkat di lumen usus. Keadaan ini

mempersingkat waktu transit usus halus.

- Mediator-mediator inflamasi

Sitokin mempunyai peran dalam sistem imun dan respon tubuh terhadap proses

inflamasi. Pada keadaan kadar sitokin sedikit berarti pertahanan tubuh dalam

keadaan baik, tetapi sebaliknya bila kadarnya tinggi sangat berhubungan dengan

adanya inflamasi. Beberapa sitokin, seperti interleukin-1 (IL-1) mempunyai

pengaruh pada proliferasi sel-sel epitel dan perbaikan mukosa usus halus dan kolon.

2.2.3 Etiologi

Diare kronik yang terjadi pada penderita infeksi HIV dapat diakibatkan oleh

berbagai penyebab, antara lain: nfeksi bakteri, parasit, jamur, dan virus. Pada

stadium akhir, diare diduga menunjukkan perubahan cara saluran cerna menyerap

nutrisi dan mungkin merupakan komponen penting pembuangan yang berhubungan

dengan HIV.18
29

Penyebab diare kronik pada pasien AIDS multifaktoral. Lebih dari 80%

merupakan parasit, bakteri patogen, dan virus, sedangkan 10% merupakan berbagai

macam organisme. Penyebab diare dapat dilihat pada tabel 2.719

Tabel 2.7 Penyebab diare pada pasien infeksi HIV19

Protozoa Bakteri Virus


- Microsporidum - Salmonella - Cytomegalovirus
- Cryptosporidum - Campylobacter - Herpes simplex
- Isospora belli - Mycobacterium - Adenovirus
- Giardia lamblia avium complex - Rotavirus
- Entamoeba - Mycobacterium - Norwalk
histolytica tuberculosis - HIV
- Leishmania - Clostridium defficile
donovani - Shigella
- Blastocystis - Small bowel bacterial
hominis overgrowth
- Cyclospora sp - Vibrio sp
Jamur Neoplasma saluran cerna Idiopatik
- Histoplasmosis - Lymphoma - AIDS enteropathy
- Coccidiomycosis - Kaposi’s carcoma
- Candida albicans

2.2.4 Tatalaksana13

Prinsip diagnosis dan penatalaksaan diare kronik pada pasien HIV/AIDS

dapat dilihat pada gambar 2.7 dan untuk tatalaksana dehidrasi dapat dilihat pada

tabel 2.8.
30

Gambar 2.7 Diagnosis diare kronik pada pasien HIV/AIDS

Tabel 2.8 Penanganan dehidrasi

Penggantian
Derajat
Terapi dehidrasi kehilangan yang Nutrisi
dehidrasi
berlangsung
Minimal Tidak ada <10 kg BB.: 60-120 Lanjutkan
atau tidak mL solusi rehidrasi menyusui atau
ada oral (CRO) untuk lanjutkan dengan
setiap buang air besar diet normal sesuai
diare atau episode dengan usia setelah
muntah >10 kg BB: rehidrasi awal,
120-240 mL CRO termasuk asupan
untuk setiap buang air kalori yang
besar diare atau memadai untuk
episode muntah pemeliharaan
31

Ringan ke Oralit, 50-100 mL/kg Sama Sama


sedang BB selama 3-4 jam
Berat RL atau saline normal Sama: apabila tidak Sama
IV bolus dengan dosis bisa minum, berikan
20 mL/kg BB hingga melalui saluran
perfusi dan status nasogastrik atau
mental mengalami berikan 5% dekstrosa
perbaikan, kemudian ¼ saline normal
berikan 100 mL/kg BB dengan 20 mEq/L
CRO selama 4 jam Kalium klorida
atau dekstrosa 5% ½ intravena
saline normal
intravena sebanyak
dua kali dari tingkat
cairan untuk
pemeliharaan
Adapun tatalaksana diare spesifik berdasarkan kuman patogen umum dapat

dilihat pada tabel 2.9 dan terapi empiris pada tabel 2.10

Tabel 2.9 Tatalaksana diare spesifik berdasarkan kuman patogen

Penyakit Nama obat Dosis/ hari Lama terapi


Salmonelosis dan Ciprofloxacin 500mg 2 kali 7-10 hari
sigelosis Ofloxacin 400mg 2 kali 7-10 hari
Kampilobakteriosis Eritromisin 500mg 4 kali 7-10 hari
Giardiasis Metronidazole 500mg 3 kali 5 hari
Amebiasis Metronidazole 500mg 3 kali 5 hari
Isosporiasis Kortimoxazole 960mg 4 kali 7 hari
Strongiolodosis Tiabendazole 3 kali 3 hari
25mg/kgBB
32

Tabel 2.10 Terapi empiris untuk diare kronis tanpa darah

Pilihan Nama obat Dosis/ hari Lama terapi

1 Ciprofloxacin 500mg 2 kali 7-10 hari

Ofloxacin 400mg 2 kali 7-10 hari

2 Metronidazole 500mg 3 kali 7 hari

3 Eritromisin 500mg 3 kali 10 hari

2.3 Kandidiasis

2.3.1 Definisi

Kandidiasis orofaringeal merupakan IO tersering pada penderita HIV,

mencapai 80-90% kasus pada masa pre-ARV. Sebagian besar kasus disebabkan

oleh Candida albicans dan paling sering didapatkan pada jumlah sel T CD4+ <200

cells/µL. Kandidiasis orofaringeal bermanifestasi sebagai plak atau patch berwarna

putih seperti krim yang dapat dikerok dengan punggung skalpel dan menampakkan

jaringan mukosa berwarna merah cerah di bawahnya. Manifestasi ini disebut

sebagai pseudomembran dan paling sering didapatkan pada palatum durum,

mukosa gusi atau bukal serta permukaan dorsal lidah.20,21

Gambar 2.8 Kandidiasis pada pasien HIV/AIDS


33

2.3.2 Tatalaksana

Rekomendasi terapi kandidiasis oral maupun esofagus menurut Permenkes

dapat dilihat pada tabel 2.11

Tabel 2.11 Rekomendasi terapi kandidiasis

Kandidiasis oral - Suspensi nystatin kumur 4x 4-6 ml


PO selama 7-14 hari
- Flukonazole kapsul 4x 100-
400mg/hari PO selama 7-14
- Itrakonazole 4x200mg/ hari PO
selama 7-14
Kandidiasus esofagus - Flukonazole 4x 200mg/ hari PO atau
IV selama 14-21 hari
- Itrakonazole 2x 200mg/ hari PO
selama 14-21 hari
- Amfoterisin B IV 0,6-1 mg/kg/hari
selama 14-21 hari

2.4 Toxoplasmosis

2.4.1 Definisi

Toksoplasmosis serebri adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

protozoa Toxoplasma gondii varian gondii atau gatii di dalam sistem saraf manusia.

Organisme ini merupakan parasit intraselluler yang menyebabkan infeksi

asimptomatik pada 80% manusia sehat, tetapi menjadi berbahaya pada penderita

HIV/AIDS. Ensefalitis merupakan manifestasi utama toksoplasmosis dan paling

sering berasal dari reaktivasi infeksi laten. Toksoplasmosis merupakan penyebab

infeksi SSP yang sering pada pasien HIV/AIDS dan biasanya didapatkan pada
34

jumlah CD4+ <200 sel/µL. Gejala klinisnya meliputi demam, nyeri kepala dan

defisit neurologis fokal.22

2.4.2 Patofisiologi23

Toxoplasma gondii ditularkan ke manusia melalui tertelannya daging yang

tidak dimasak dengan matang atau dengan tertelannya ookista pada kotoran kucing

secara tidak sengaja. Sebagian besar penyakit pada manusia muncul akibat

reaktivasi infeksi laten, walaupun beberapa kasus terjadi akibat infeksi akut yang

didapat saat dewasa. Pasien HIV dapat mengubah perilaku mereka untuk

mengurangi risiko paparan Toksoplasma dengan memakan daging yang benar-

benar matang dan menghindari kontak dengan kotoran kucing yang berisiko

infeksi.23

Gambar 2.9 Patofisiologi toxoplasmosis


35

2.4.3 Diagnosis15

Toksoplasmosis otak adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit

Toxoplasma gondii varian gondii dan atau gatii di dalam sistem saraf manusia.

Kelainannya dapat berupa ensefalitis (radang otak) atau abses dan merupakan

reaktivasi dari fokus laten. Sebelum memulai terapi toksoplasma sebaiknya di

pastikan tiga hal berikut ini:

- Tes HIV positif

- ODHA menunjukkan gejala klinis neurologi yang progresif atau ada tanda klinis

lesi fokal atau lesi desak ruang intrakranial

- Pada pemeriksaan neuroimaging (CT scan/MRI Otak) didapatkan gambaran lesi


fokal yang menimbulkan efek massa ke jaringan otak di sekitarnya. Lesi

toksoplasma otak bersifat menyangat (enhanced) kontras dan jumlahnya

seringkali lebih dari satu (multifokal).

2.4.4 Tatalaksana15

Pilihan pengobatan toksoplasmosis otak di Indonesia untuk fase akut adalah

kombinasi pirimetamin dan klindamisin disertai dengan asam folinat diberikan

selama 6 minggu. Adapun dosis terapi yaitu:

- Pirimetamin: loading 200mg PO, dilanjutkan dengan dosis 2x 25 mg/ hari

apabila BB < 50kg dan 3x 25 mg/ hari apabila BB> 50kg. Dapat disertai dengan

suplemen asam folinate 10-20 mg/hari untuk mencegah efek samping anemia

akibat pirimetamin.

- Klindamisin: 4x 600mg/ hari PO


36

Setelah pengobatan fase akut berhasil, dianjurkan untuk memberikan terapi

rumatan berupa pirimetamin + klindamisin + asam folinat selama CD4

<200sel/mm3 dengan dosis setengah dari dosis fase akut. Pencegahan sekunder juga

dapat menggunakan kotrimoxazole dengan dosis yang sama dengan pengobatan

pencegahan primer. Pencegahan paparan terhadap toksoplasma terdiri dari yaitu:

Penderita HIV harus diperiksa IgG toksoplasmanya untuk mengetahui ada/tidaknya

infeksi laten T. Gondii, dan penderita HIV dianjurkan untuk menghindari

kemungkinan kontak dengan sumber infeksi toksoplasma seperti daging yang tidak

dimasak dengan baik, buah dan sayur mentah. Pencegahan primer pasien HIV

terhadap toxoplasmosis yaitu:

- Semua orang dengan HIV yang memiliki jumlah sel CD4 < 200 sel/mm3

dianjurkan minum pencegahan primer terhadap toksoplasmosis yaitu

Trimetoprim-Sulfametoksazol sediaan forte 960 mg sekali sehari.

- Jika ada perbaikan klinis dengan pemberian ARV, yang ditandai dengan CD4 >

200 sel/mm3 selama setidaknya 6 bulan, dapat dipertimbangkan penghentian

pencegahan primer.

Anda mungkin juga menyukai

  • BAB II Revisi Fix
    BAB II Revisi Fix
    Dokumen50 halaman
    BAB II Revisi Fix
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • FILE KTI Lengkap Dilla PDF
    FILE KTI Lengkap Dilla PDF
    Dokumen89 halaman
    FILE KTI Lengkap Dilla PDF
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • BAB II Revisi
    BAB II Revisi
    Dokumen52 halaman
    BAB II Revisi
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen3 halaman
    Bab 1
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen1 halaman
    Bab V
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Bahan Tutor 1 PDF
    Bahan Tutor 1 PDF
    Dokumen10 halaman
    Bahan Tutor 1 PDF
    Prayana Banjarnahor
    Belum ada peringkat
  • Slide
    Slide
    Dokumen18 halaman
    Slide
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Lembar Visite Coass
    Lembar Visite Coass
    Dokumen3 halaman
    Lembar Visite Coass
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • BAB II Fix
    BAB II Fix
    Dokumen19 halaman
    BAB II Fix
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Anastes
    Laporan Kasus Anastes
    Dokumen9 halaman
    Laporan Kasus Anastes
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Reading Zaini
    Jurnal Reading Zaini
    Dokumen8 halaman
    Jurnal Reading Zaini
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Lembar Visite Coass
    Lembar Visite Coass
    Dokumen3 halaman
    Lembar Visite Coass
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Reading Zaini
    Jurnal Reading Zaini
    Dokumen8 halaman
    Jurnal Reading Zaini
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Lampiran 10 Foto
    Lampiran 10 Foto
    Dokumen4 halaman
    Lampiran 10 Foto
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Asessment Urologi
    Asessment Urologi
    Dokumen21 halaman
    Asessment Urologi
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Anfis TLG
    Anfis TLG
    Dokumen16 halaman
    Anfis TLG
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • BAB II Keni
    BAB II Keni
    Dokumen24 halaman
    BAB II Keni
    putri
    Belum ada peringkat
  • Gabungan Referat
    Gabungan Referat
    Dokumen21 halaman
    Gabungan Referat
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • BAB II Keni
    BAB II Keni
    Dokumen24 halaman
    BAB II Keni
    putri
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen7 halaman
    Bab Iv
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen1 halaman
    Bab V
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Bab II Anfis
    Bab II Anfis
    Dokumen16 halaman
    Bab II Anfis
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Euthanasia
    Euthanasia
    Dokumen5 halaman
    Euthanasia
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Aborsi
    Aborsi
    Dokumen7 halaman
    Aborsi
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • SLIDE Insyaallah
    SLIDE Insyaallah
    Dokumen30 halaman
    SLIDE Insyaallah
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Hipertensi Dalam Kehamilan
    Hipertensi Dalam Kehamilan
    Dokumen8 halaman
    Hipertensi Dalam Kehamilan
    I Putu Sakamekya Sujaya
    Belum ada peringkat
  • SLIDE Insyaallah
    SLIDE Insyaallah
    Dokumen30 halaman
    SLIDE Insyaallah
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • 1 Cover
    1 Cover
    Dokumen1 halaman
    1 Cover
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Sungsang + KPD
    Lapsus Sungsang + KPD
    Dokumen43 halaman
    Lapsus Sungsang + KPD
    jhnaidilla
    Belum ada peringkat