BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. HIV
2.1.1 Definisi
penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.1
Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya tidak bersifat
invasif namun dapat menyerang tubuh saat kekebalan tubuh menurun, seperti pada
orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Infeksi ini dapat ditimbulkan oleh patogen yang
berasal dari luar tubuh (seperti bakteri, jamur, virus atau protozoa), maupun oleh
mikrobiota sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal
2.1.2 Etiologi
biasanya menyerang organ vital sistem kekebalan manusia seperti sel T CD4,
makrofag, dan sel dendritik. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang
lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat
molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag.
Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh
7
protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global
terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa
2.1.3. Epidemiologi
HIV/ AIDS telah menjadi masalah darurat global. Di seluruh dunia, 35 juta
orang hidup dengan HIV dan 19 juta orang tidak mengetahui status HIV positif
mereka. Di Kawasan Asia, sebagian besar prevalensi HIV pada masyarakat umum
masih rendah yaitu <1%, kecuali di Thailand dan India Utara. Pada tahun 2012, di
Asia Pasifik diperkirakan terdapat 350.000 orang yang baru terinfeksi HIV dan
ke-5 paling berisiko HIV/AIDS di Asia. Laporan kasus baru HIV meningkat setiap
8
tahunnya sejak pertama kali dilaporkan. Peningkatan paling banyak pada tahun
2016 dibandingkan 2015. Kasus HIV pada tahun 2015 yaitu 30.935 dan pada 2016
yaitu 41.250 kasus. Sedangkan berdasarkan sumber dari Ditjen Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit (P2P), kasus HIV pada tahun 2017 mencapai 48.300 dan
Oktober-Desember tahun 2017 yaitu 38% diderita perempuan dan 62% diderita
laki-laki. Sedangkan persentase AIDS berdasarkan jenis kelamin yaitu, 36% pada
2.1.4 Patogenesis
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in
folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia,
astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.10
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama
HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui
kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal
nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan
lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan
berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan
mediasi antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel
CD4, sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA
dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan
berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang
terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan
melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi mRNA
terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik RNA
dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang nantinya akan menempel
pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion
akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi
defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio
HIV dibentuk terhada berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul
virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah
infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan
bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk
tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek.
Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T
sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel
T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV.4
kerusakan progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel
T CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi
CD4 jarang terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan
antiretrovirus.4
(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV
(sakit berat atau AIDS). Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4,
stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis
Stadium 1 Asimptomatik
- Tidak ada penurunan berat badan
- Tidak ada gejala atau hanya: Limfadenopati generalisata persisten
(pembesaran kelenjar limfe > 1 cm pada 2 atau lebih lokasi yang tidak
berdekatan, sebabnya tidak diketahui, bertahan selama 3 bulan atau lebih)
12
- TB paru
- Infeksi bakterial berat (pneumonia, meningitis, empiema, piomiositis, infeksi
tulang atau sendi, bakterimia, dan radang panggul berat)
- Anemia yang tidak dapat dijelaskan (Hb <8g/dL), neutropenia (<1000/mm3),
dan atau trombositopenia kronik (<50.000/mm3, > 1 bulan)
- Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan
- TB kelenjar (limfadenopati tanpa rasa nyeri, tidak akut, lokasi terbatas satu
regio, dan membaik dengan terapi TB standar dalam 1 bulan)
- Pneumonitis interstisial limfoid (PIL) simtomatik
- Penyakit paru berhubungan dengan HIV, termasuk bronkiektasis
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
- HIV wasting syndrome (penurunan berat badan > 10% dengan wasting yang
jelas atau IMT <18,5)
- Pneumonia pnemosistis (PCP)
- Pneumonia bacterial berulang (episode saat ini bertambah satu episode atau
lebih dalam 6 bulan terakhir)
- Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, genital, atau anorektal selama > 1
bulan, atau visceral tanpa melihat lokasi ataupun durasi)
- Kandidiasis esophageal
- TB ekstraparu
- Sarkoma Kaposi (gambaran khas di kulit atau orofaring berupa bercak datar,
persisten, berwarna merah muda atau merah lebam, lesi kulit biasanya
berkembang menjadi plak atau nodul)
- Infeksi sitomegalovirus (retinitis atau infeksi CMV pada organ lain kecuali
hepar, lien, dan KGB)
- Toksoplasmosis otak
- Ensefalopati HIV
- Kriptokokosis ekstrapulmoner (termasuk meningitis)
- Infeksi mikobakteria non-tuberkulosa diseminata
- Progressive multi focal leukoencephalopathy (PML)
14
- Kriptosporidiosis kronik
- Isosporidiosis kronik
- Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
- Septisemia berulang (termasuk Salmonella non-tifoid)
- Limfoma (sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral atau tumor solid terkait
HIV lainnya)
- Karsinoma serniks invasif
- Nefropati terkait HIV (HIVAN)
- Kardiomiopati terkait HIV
- Malnutrisi, wasting, dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak
berespon terhadap terapi standar
- Infeksi bakterial berat yang berulang (empyema, piomiositis, infeksi tulang
dan sendi, meningitis)
- Kandidiasis esophagus (bisa pada trakea, bronkus, atau paru)
2.1.6 Diagnosis
pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
menentukan tata laksana selanjutnya. Dari anamnesis, perlu digali faktor resiko
HIV AIDS. Berikut ini mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan
tersangaka ODHA12
15
Gambar 2.4 Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV13
nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu
16
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat
menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama
(A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk
pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi
(>99%). Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3
bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang
dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu dilakukan
Gambar 2.3 Alur diagnosis HIV pada anak ≥18 bulan, remaja, dan dewasa11
17
kunci (pekerja seks, pengguna napza suntik, lelaki seks dengan lelaku, waria),
pasien hepatitis, ibu hamil, pasangan diskordan, pasien TB, pasien IMS, warga
binaan pemasyaraktan.14
2.1.7 Tatalaksana15
ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal
dan harga obat. Konseling terapi yang memadai sangat penting untuk terapi seumur
hidup dan keberhasilan terapi jangka panjang. Isi dari konseling terapi ini termasuk:
kepatuhan minum obat, potensi/kemungkinan risiko efek samping atau efek yang
dengan stadium klinis lanjut atau jumlah CD4 <100 sel/mm3, dan komplikasi yang
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:4
amprenavir.
Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk melihat kondisi
ODHA sebelum inisiasi ARV dan membantu penentuan paduan yang akan
Keterangan:
dengan HIV dan koinfeksi hepatitis B dan siapa ODHA yang perlu inisiasi ARV
dengan TDF.
risiko tinggi yang dimaksud adalah penasun, LSL, anak dengan ibu yang
narkoba intranasal, tato dan tindik, serta kelompok yang mendapat transfusi
- Terapi ARV dapat dimulai sambil menunggu hasil CD4. Pemeriksaan CD4 awal
- Untuk ODHA dengan risiko tinggi mengalami efek samping TDF: penyakit
ginjal, usia lanjut, IMT rendah, diabetes, hipertensi, penggunaan PI atau obat
- Untuk anak dan dewasa yang berisiko tinggi mengalami efek samping terkait
- Untuk ODHA dengan risiko tinggi efek samping NVP, misalnya ARV naif,
wanita dengan CD4 > 250 sel/mm3 dan koinfeksi HCV. Namun enzim hati awal
Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna untuk
HIV dalam populasi. Rekomendasi inisiasi ART pada dewasa dan anak dapat
Populasi Rekomendasi
Dewasa dan anak Inisiasi ART pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan
≥ 5 tahun 4, atau jika jumlah CD4 ≤350 sel/mm3
- Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan
berapapun jumlah CD4
- Koinfeksi TB
- Koinfeksi Hepatitis B
- Ibu hamil dan menyusui terinfeksi HIV
- Orang terinfeksi HV yang pasangannya HIV negative
(pasangan serodiskordan), untuk mengurangi risiko
penularan
- LSL, PS, Waria, atau Penasun
Populasi umum pada daerah dengan endemi HIV meluas
Anak < 5 tahun Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan
berapapun jumlah CD4
22
dalam 2-8 minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada
ODHA dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai dalam 2
- Bayi umur <18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif,
maka harus segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera dilakukan diagnosis
antibodi HIV ulang), maka perlu dilakukan penilaian ulang apakah anak pasti
terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif, maka pemberian ARV
dihentikan.
Pilihan paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang
belum pernah mendapatkan ARV sebelumnya (naive ARV). Untuk ODHA yang
akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka
minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kepatuhan
pasien untuk minum obat dan menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang
tindih antara kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV
Tabel 2.5 ART lini pertama untuk anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa, termasuk
ibu hamil dan menyusui, ODHA koinfeksi hepatitis B, dan ODHA dengan TB.
Panduan pilihan TDF + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDT
Keterangan:
TDF : Tenofovir FTC : Emtricitabin
EFV : Efavirenz AZT : Zidovudin
TC : Lamivudin NVP : Nevirapin
- Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50 ml/menit,
atau pada kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal
imunologis, dan klinis, seperti dalam gambar 2.6. Kriteria terbaik adalah kriteria
virologis, namun bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan maka digunakan kriteria
melakukan switch ke lini selanjutnya lebih dini. ODHA harus menggunakan ARV
minimal 6 bulan sebelum dinyatakan gagal terapi dalam keadaan kepatuhan yang
baik. Kalau ODHA kepatuhan tidak baik atau berhenti minum obat, penilaian
kegagalan dilakukan setelah minum obat kembali secara teratur minimal 3-6 bulan
Gambar 2.5 Alur pemeriksaan HIV RNA untuk evaluasi terapi ARV
Gambar 2.6 Definisi kegagalan terapi dan keputusan untuk ubah panduan ARV
25
Prinsip pemilihan paduan ARV lini kedua adalah pilih kelas obat ARV
sebanyak mungkin, dan bila kelas obat yang sama akan dipilih maka pilihlah obat
Tabel 2.6 Panduan ARV lini kedua pada remaja dan dewasa
evaluasi rutin kelainan mata. Namun, pada infeksi meningitis TB yang perlu tetap
menggunakan rifampisin maka LPV/r dapat digunakan dengan dosis ganda LPV/r
Jika terjadi kegagalan lini kedua maka perlu dilakukan terapi penyelamatan
yang efektif. Kriteria yang digunakan untuk penentuan kegagalan terapi lini kedua
penentuan gagal terapi lini pertama, penentuan kegagalan terapi lini kedua harus
dilakukan saat ODHA menggunakan ART lini kedua minimal 6 bulan dalam
Tabel 2.7 Panduan ARV lini ketiga pada dewasa dan anak
2.2.1 Definisi
Diare kronik pada penderita HIV/AIDS adalah buang air besar lebih dari tiga
kali sehari dengan konsistensi cair atau encer dan berlangsung terus menerus selama
4 minggu atau berulang-ulang selama 8 minggu dengan gejala diare paling sedikit
2.2.2 Patogenesis17
Diare pada pasien terinfeksi HIV akibat adanya kerusakan sel-sel epitel usus
halus. Dengan keadaan ini terjadi proliferasi dari sel-sel usus halus untuk
mempertahankan fungsi hemostasis. Rata-rata turnover dari sel-sel epitel usus kira-
kira 72 jam. Selama rentang waktu ini terjadi pematangan dan fungsi absropsi dan
enterosit. Akibat peningkatan kerusakan sel-sel epitel ini, sehingga waktu maturasi
27
sel-sel usus halus tidak dapat menyeimbangkan antara kerusakan dan proses
enterosit seperti disakarida, maltosa, dan sukrosa. Hal ini menimbulkan atropi dari
Pada keadaan penurunan jumlah sel T CD4 yang berat dapat terjadi enteropati
yang diakibatkan oleh Escherichia coli. Akibatnya terjadi malabsrobsi dari garam
empedu. Garam empedu yang berlebihan di dalam lumen usus halus mengaktifkan
pada enterosit sehingga terjadi gangguan absropsi air, ion, dan lemak.
- Enteropati exudative
Beberapa peneliti menemukan kejadian diare pada pasien infeksi HIV karena
adanya hambatan aliran limfe oleh makrofag yang terinfeksi Mycobacterium avium
- Sekresi Enterotoksin
mengalami volume diare yang sangat banyak. Hal ini disebabkan banyaknya
Motilitas dari saluran cerna diatur oleh sistem saraf otonom. Pada pasien
pada pasien terinfeksi HIV sehingga meningkat di lumen usus. Keadaan ini
- Mediator-mediator inflamasi
Sitokin mempunyai peran dalam sistem imun dan respon tubuh terhadap proses
inflamasi. Pada keadaan kadar sitokin sedikit berarti pertahanan tubuh dalam
keadaan baik, tetapi sebaliknya bila kadarnya tinggi sangat berhubungan dengan
pengaruh pada proliferasi sel-sel epitel dan perbaikan mukosa usus halus dan kolon.
2.2.3 Etiologi
Diare kronik yang terjadi pada penderita infeksi HIV dapat diakibatkan oleh
berbagai penyebab, antara lain: nfeksi bakteri, parasit, jamur, dan virus. Pada
stadium akhir, diare diduga menunjukkan perubahan cara saluran cerna menyerap
dengan HIV.18
29
Penyebab diare kronik pada pasien AIDS multifaktoral. Lebih dari 80%
merupakan parasit, bakteri patogen, dan virus, sedangkan 10% merupakan berbagai
2.2.4 Tatalaksana13
dapat dilihat pada gambar 2.7 dan untuk tatalaksana dehidrasi dapat dilihat pada
tabel 2.8.
30
Penggantian
Derajat
Terapi dehidrasi kehilangan yang Nutrisi
dehidrasi
berlangsung
Minimal Tidak ada <10 kg BB.: 60-120 Lanjutkan
atau tidak mL solusi rehidrasi menyusui atau
ada oral (CRO) untuk lanjutkan dengan
setiap buang air besar diet normal sesuai
diare atau episode dengan usia setelah
muntah >10 kg BB: rehidrasi awal,
120-240 mL CRO termasuk asupan
untuk setiap buang air kalori yang
besar diare atau memadai untuk
episode muntah pemeliharaan
31
dilihat pada tabel 2.9 dan terapi empiris pada tabel 2.10
2.3 Kandidiasis
2.3.1 Definisi
mencapai 80-90% kasus pada masa pre-ARV. Sebagian besar kasus disebabkan
oleh Candida albicans dan paling sering didapatkan pada jumlah sel T CD4+ <200
putih seperti krim yang dapat dikerok dengan punggung skalpel dan menampakkan
2.3.2 Tatalaksana
2.4 Toxoplasmosis
2.4.1 Definisi
protozoa Toxoplasma gondii varian gondii atau gatii di dalam sistem saraf manusia.
asimptomatik pada 80% manusia sehat, tetapi menjadi berbahaya pada penderita
infeksi SSP yang sering pada pasien HIV/AIDS dan biasanya didapatkan pada
34
jumlah CD4+ <200 sel/µL. Gejala klinisnya meliputi demam, nyeri kepala dan
2.4.2 Patofisiologi23
tidak dimasak dengan matang atau dengan tertelannya ookista pada kotoran kucing
secara tidak sengaja. Sebagian besar penyakit pada manusia muncul akibat
reaktivasi infeksi laten, walaupun beberapa kasus terjadi akibat infeksi akut yang
didapat saat dewasa. Pasien HIV dapat mengubah perilaku mereka untuk
benar matang dan menghindari kontak dengan kotoran kucing yang berisiko
infeksi.23
2.4.3 Diagnosis15
Toxoplasma gondii varian gondii dan atau gatii di dalam sistem saraf manusia.
Kelainannya dapat berupa ensefalitis (radang otak) atau abses dan merupakan
- ODHA menunjukkan gejala klinis neurologi yang progresif atau ada tanda klinis
2.4.4 Tatalaksana15
apabila BB < 50kg dan 3x 25 mg/ hari apabila BB> 50kg. Dapat disertai dengan
suplemen asam folinate 10-20 mg/hari untuk mencegah efek samping anemia
akibat pirimetamin.
<200sel/mm3 dengan dosis setengah dari dosis fase akut. Pencegahan sekunder juga
kemungkinan kontak dengan sumber infeksi toksoplasma seperti daging yang tidak
dimasak dengan baik, buah dan sayur mentah. Pencegahan primer pasien HIV
- Semua orang dengan HIV yang memiliki jumlah sel CD4 < 200 sel/mm3
- Jika ada perbaikan klinis dengan pemberian ARV, yang ditandai dengan CD4 >
pencegahan primer.