Anda di halaman 1dari 52

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anoreksia Geriatri

A. Definisi

Geriatri adalah orang yang berusia tua (secara biologis) yang beresiko akut

kehilangan kemandirian yang disebabkan oleh penyakit-penyakit akut/kronis

(multipel patologi) yang berhubungan dengan keterbatasan fisik, psikologis,

mental, dan sosial. Menurut World Health Organization (WHO) lanjut usia adalah

seseorang yang berusia antara 60-74 tahun, sedangkan menurut Kementerian

Kesehatan RI (Kemenkes RI) lanjut usia adalah seseorang berusia 60-69 tahun.

Lanjut usia (lansia) merupakan salah satu fase kehidupan yang mungkin akan

dilalui oleh setiap individu.1,2,3

Sindrom geriatri sulit dipahami karena kompleksitas berbagai faktor dan

efek sinergis dari berbagai faktor risiko. Situasi ini disebut sindrom untuk

menekankan bahwa manifestasi gabungan terkait dengan sejumlah besar faktor.

Sindrom geriatrik terdiri atas kelemahan, delirium, inkontinensia urin, pusing,

jatuh, masalah tidur, malnutrisi, nyeri, pengabaian diri bersifat multifaktorial, dan

terkait dengan morbiditas substansial dan hasil yang buruk dalam praktik klinis.4

Anoreksia pada lansia merupakan sindrom geriatri yang penting. Anoreksia

pada lansia didefinisikan sebagai hilangnya nafsu makan dan / atau penurunan

asupan makanan di usia lanjut. Patogenesis anoreksia ini adalah proses yang

kompleks. Hal ini tergantung pada jalur makan sentral yang dibatasi oleh sinyal
kenyang perifer. Anoreksia menyebabkan malnutrisi pada lansia, yang merupakan

salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan, kesejahteraan, dan otonomi.

Kekurangan gizi pada lansia dikaitkan dengan peningkatan risiko mortalitas dan

morbiditas, termasuk kelemahan, pressure ulcus, gangguan penyembuhan luka,

dehidrasi, dan penurunan fungsional.7

B. Epidemiologi

Hilangnya nafsu makan yang dialami oleh lansia sebagian besar dikaitkan

dengan proses penuaan dan sering disebut sebagai anoreksia akibat penuaan/

anoreksia geriatri. Prevalensi anoreksia geriatri yang dilaporkan berkisar dari

hingga 25% pada penghuni rumah, 62% di populasi rumah sakit dan 85% di

populasi panti jompo. Anoreksia geriatri telah dikaitkan dengan sejumlah

penyebab, terutama karena asupan oral yang buruk dan kurangnya asupan nutrisi

termasuk protein, serat, biji-bijian, buah-buahan, dan sayuran. Konsekuensi

anoreksia pada geriatri jika tidak tertangani dapat menimbulkan kekurangan gizi,

imunosupresi, sarcopenia, dan kelemahan (yang dapat memperburuk nafsu makan

lebih lanjut). Konsekuensi ini pada akhirnya menyebabkan tingkat morbiditas dan

mortalitas yang lebih tinggi. Penyebab anoreksia geriatri meliputi perubahan

pensinyalan hormon perifer, motilitas usus, dan persepsi sensorik akibat penuaan

serta faktor sosial dan lingkungan.8

C. Faktor Risiko

Ada banyak faktor risiko yang terkait dengan anoreksi geriatri. Faktor-

faktor itu terdiri dari gangguan fungsi fisik, kondisi sosial dan lingkungan,
penyakit akut dan kronis, dan pengobatan. Adapun faktor risiko tersebut sebagai

berikut:9

Gambar 2.1 Faktor risiko anoreksia geriatri

a. Faktor fisik berhubungan dengan gangguan fungsional dalam aktivitas dasar

sehari-hari yang terkait dengan berkurangnya asupan makanan dan hilangnya

nafsu makan. Ada kemungkinan bahwa gangguan fisik menyebabkan

keterbatasan mobilitas yang menyebabkan anoreksia melalui berbagai

mekanisme. Masalah makan sendiri, kesulitan mendapatkan makanan, dan

kurangnya keterampilan memasak merupakan faktor risiko yang relevan untuk

anoreksia geriatri. Defisiensi fungsional dan gangguan sensorik (pendengaran

dan penglihatan) juga dapat mengganggu kemampuan manula untuk

berbelanja, menyiapkan, dan mengonsumsi makanan. Faktor fisik tambahan,

seperti gigi yang rusak dan gigi palsu yang tidak pas, dapat membatasi jenis

dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Kondisi ini berkorelasi dengan masalah

mengunyah yang dapat menyebabkan status gizi buruk dan menurunnya

kualitas asupan gizi. Adanya masalah mengunyah dikaitkan dengan rendahnya


asupan nutrisi seperti serat, vitamin, kalsium, dan protein, dan dengan asupan

lemak dan kolesterol yang lebih tinggi.9

b. Faktor medis meliputi kondisi medis khusus pada orang tua, seperti penyakit

gastrointestinal, sindrom malabsorpsi, infeksi akut dan kronis, dan

hipermetabolisme (misalnya, hipertiroidisme), sering menyebabkan anoreksia

dan defisiensi mikronutrien dalam menghadapi peningkatan kebutuhan energi.

Selain itu, orang dewasa yang lebih tua sering kali menderita penyakit yang

mengubah nafsu makan dan menyebabkan malabsorpsi atau peningkatan

metabolisme. Gagal jantung kongestif (CHF), penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK) dan penyakit Parkinson sering dikaitkan dengan anoreksia dan

peningkatan pengeluaran energi. Depresi adalah salah satu gangguan

psikologis yang paling umum di antara orang tua dan sering dikaitkan dengan

hilangnya nafsu makan. Depresi yang terjadi pada orang tua dapat

mengakibatkan penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan yang lebih

parah jika dibandingkan pada orang yang lebih muda. Orang lanjut usia yang

depresi memiliki banyak gejala dan tanda yang dapat menyebabkan anoreksia

dan penurunan berat badan, seperti kelemahan, sakit perut, mual, dan diare.

Kehilangan nafsu makan dan berkurangnya asupan makanan juga sering

diamati pada orang dewasa yang lebih tua dengan gangguan kognitif, terutama

pada tahap selanjutnya dari kondisi tersebut. Orang tua biasanya mendapat

banyak resep serta obat bebas, beberapa di antaranya dapat menyebabkan

malabsorpsi, gangguan pencernaan, kehilangan nafsu makan dan akhirnya

mengurangi asupan makanan. Risiko anoreksia yang diinduksi obat semakin


meningkat oleh polifarmasi, karena peningkatan kemungkinan interaksi obat-

obat dan masalah gastrointestinal.9

c. Faktor sosial utama yang berkontribusi terhadap penurunan nafsu makan dan

asupan makanan pada hari tua adalah ketimpangan sosial ekonomi. Isolasi

sosial tentunya juga merupakan salah satu faktor penting yang berkontribusi

pada timbulnya anoreksia geriatri. Tinggal sendiri dikaitkan dengan penurunan

nafsu makan dan asupan energi. Lansia yang ditempatkan pada suatu lembaga

(panti jompo) dapat mengalami anoreksia dan penurunan berat badan yang

tidak terduga akibat kegiatan yang monoton dan pengulangan menu makanan

sehari-hari.9

D. Patofisiologi

Mekanisme yang berperan pada anoreksia yang terjadi pada lansia meliputi

bau/rasa, hormonal, fungsi gastrointestinal, dan proses inflamasi. Berikut

penjelasannya:

a. Bau dan rasa memainkan peran penting dalam membuat makan dan minum

menjadi menyenangkan. Indera penciuman dan perasa menurun seiring

bertambahnya usia. Hal ini berkontribusi pada berkurangnya asupan makanan

di usia tua dan juga berdampak negatif pada jenis makanan yang dicerna,

biasanya mengakibatkan pola makan yang kurang bervariasi dan lebih

monoton. Jumlah pengecap juga menurun selama proses penuaan dan papil

pengecap yang tersisa mulai menjadi atrofi. Penyakit, obat-obatan, merokok,

dan beberapa paparan lingkungan dapat memperburuk perubahan pada jumlah

dan fungsi pengecap. Orang yang lebih tua sering kali kehilangan rasa asin dan
manis, oleh karena itu mereka lebih memilih makaan yang enak walaupun

tidak sehat guna memuaskan nafsu makan. Penurunan sekresi air liur juga

berperan dalam anoreksia karena dapat mengurangi kemampuan untuk

melarutkan makanan dan membatasi interaksinya dengan sel reseptor rasa di

lidah.9

b. Ghrelin (hormon yang memicu rasa lapar) adalah satu-satunya hormon perifer

yang diidentifikasi untuk merangsang rasa lapar. Hormon ini dilepaskan secara

pulsatile oleh sel-sel ghrelin yang tertanam di mukosa gastrointestinal yang

ditempatkan di gaster. Sedikit bukti terkait tentang bagaimana fisiologi ghrelin

berubah selama proses penuaan. Proses penuaan mengakibatkan pelepasan

ghlerin bersamaan dengan peningkatan leptin dan insulin dalam sirkulasi yang

berpengaruh terhadap penurunan sensitifitas ghrelin. Mirip dengan ghrelin,

modifikasi dinamika cholecystokinin (CCK) telah diamati pada orang dewasa

yang lebih tua. CCK adalah prototipe hormon kenyang dan dilepaskan oleh

usus kecil bagian proksimal sebagai respons terhadap pengiriman nutrisi,

terutama protein dan lipid, dari antrum. Beberapa pengamatan menunjukkan

peran potensial dinamika CCK yang dimodifikasi dalam penyebab anoreksia

geriatri. Beberapa penelitian lain juga menunjukkan peningkatan konsentrasi

serum peptida YY (PYY) pada fase postprandial akhir pada orang tua

dibandingkan dengan kontrol muda. Tingkat PYY postprandial yang tinggi

dapat menghalangi keinginan untuk makan kedua, yang menyebabkan waktu

puasa lebih lama. Akibatnya, aksi gabungan CCK dan PYY menyampaikan

sinyal anoreksigenik penting ke hipotalamus. Leptin adalah hormon tambahan


yang telah terlibat dalam patogenesis anoreksia geriatri. Kadar leptin yang

tinggi dalam sirkulasi memainkan peran penting dalam jalur sinyal

postprandial pada anoreksia geriatri. Proses penuaan disertai dengan

peningkatan konsentrasi insulin plasma puasa dan pasca-prandial. Insulin

merupakan pengatur utama metabolisme glukosa, juga bertindak sebagai

hormon rasa kenyang. Toleransi glukosa yang berkurang dan peningkatan

kadar insulin yang diamati selama penuaan dapat mempercepat perkembangan

anoreksia. Tindakan insulin ini dilakukan secara tidak langsung dengan

meningkatkan sinyal anoreksigenik leptin ke hipotalamus dan menghambat

stimulus ghrelin.9

c. Kelainan motilitas lambung dapat menyebabkan kekenyangan dini yang

berkorelasi dengan penurunan pengembangan fundus. Pada orang tua,

penurunan sekresi nitrat oksida mengakibatkan hilangnya komplians lambung

dan pengisian antral yang lebih cepat. Pengosongan lambung yang tertunda

juga bertanggung jawab atas rasa kenyang postprandial. Pengosongan lambung

yang lebih lambat pada orang tua dikaitkan dengan penurunan kemampuan

pencernaan di lambung dan kegagalan motilitas lambung primitif terkait usia.

Gastritis kronis dan beberapa obat (penghambat proton-pomp) dapat

menyebabkan hipoklorhidria, yang selanjutnya menunda pengosongan

lambung. Pengosongan lambung yang lebih lambat dapat menurunkan nafsu

makan dan asupan makanan dengan meningkatkan dan memperpanjang

distensi antral, serta memodifikasi sinyal kenyang pada usus kecil.9


d. Peradangan kronis merupakan ciri dari proses penuaan yang dapat mengubah

respons area otak target terhadap rangsangan perifer. Kadar interleukin (IL) 1,

IL6 dan tumor necrosis factor alpha (TNF-α) yang bersirkulasi biasanya lebih

tinggi pada orang tua terlepas dari penyakit tertentu atau multimorbiditas.

Sitokin semacam itu mengurangi asupan makanan dan berkontribusi pada

pengosongan lambung yang tertunda dan penurunan motilitas usus halus.

Sitokin ini secara langsung merangsang ekspresi mRNA leptin dan juga

meningkatkan kadar leptin dalam sirkulasi. Selain efek langsungnya pada

leptin, sitokin pro-inflamasi juga merangsang produksi faktor pelepasan

kortikotropin hipotalamus (CRF), mediator dari efek anoreksigenik leptin.9

E. Skrining gizi

Penyebab kurangnya gizi pada lansia terdiri atas penyebab primer dan

sekunder. Penyebab primer terdiri dari isolasi sosial (hidup sendiri, kehilangan

gairah hidup, kehilangan pasangan hidup, tidak ada keinginan untuk memasak),

ketidaktahuan (dapat terjadi sejak kecil atau karena pengetahuan yang rendah),

gangguan fisik (gangguan indra, hemiplegic/hemiparese, artritis), gangguan

mental (depresi, demensia), kemiskinan, dan iatrogenic. Sedangkan penyebab

sekunder terdiri dari gangguan nafsu makan, gangguan mengunyah, malabsorbsi,

penggunaan obat-obatan, peningkatan kebutuhan gizi, alkoholisme.10,11

Proses perawatan gizi untuk orang tua terdiri dari beberapa langkah yang

didasarkan pada skrining sitematis untuk menilai kekurangan gizi. Jika didapatkan

indikator risiko gizi, rinci penilaian harus mengikuti dan memperkuat diagnosis

malnutrisi dan dijadikan dasar untuk perawatan gizi yang komprehensif.12


Gambar 2.2 Perawatan nutrisi pada geriatri12

Berdasarkan gambar diatas, dalam melakukan skrining gizi perlu dilakukan

penilaian, intervensi, dan pemantauan. Penilaian diawali dari individu yang

diidentifikasi mengalami malnutrisi atau berisiko kekurangan gizi dari skrining,

penilaian nutrisi yang komprehensif harus diikuti, pemberikan informasi tentang

jenis dan keparahan gizi buruk dan penyebab mendasarnya serta pada preferensi

individu (mengenai makanan dan minuman serta enteral dan PN) dan sumber

daya (kemampuan mengunyah, menelan, ketergantungan makan, fungsi

pencernaan, tingkat keparahan penyakit, dan prognosis umum) untuk terapi

nutrisi. Pemantauan asupan makanan direkomendasikan dilakukan selama

beberapa hari untuk memperkirakan jumlah makanan dan cairan yang dikonsumsi

dan menilai kesesuaian asupan makanan dengan kebutuhan individu.13

Berdasarkan hasil skrining dan penilaian, capaian mengenai asupan

makanan dan berat badan/ BMI harus diidentifikasi, dan perawatan gizi individu

harus dikembangkan dan diimplementasikan dengan pendekatan multidisiplin

ilmu kedokteran. Semua aspek seperti aspek fisik, mental / psikis, sosial, klinis
dan etika harus dipertimbangkan, dan pilihan harus mencakup asupan makanan

yang memadai. Diet, keperawatan dan tindakan medis harus dilaksanakan secara

terkoordinasi. Proses intervensi perlu dipantau, dan penilaian ulang harus

dilakukan secara berkala, misalnya beberapa hari setelahnya untuk memeriksa

apakah tujuan tercapai.12,14

F. Tatalaksana

Pada prinsipnya kebutuhan gizi pada lanjut usia mengikuti prinsip gizi

seimbang. Konsumsi makanan yang cukup dan seimbang bermanfaat bagi lanjut

usia untuk mencegah atau mengurangi risiko penyakit degeneratif dan kekurangan

gizi. Kebutuhan gizi lanjut usia dihitung secara individu.15

Menua (aging) merupakan proses normal yang dimulai sejak konsepsi dan

berakhir saat kematian. Selama periode pertumbuhan, proses anabolisme

melampaui proses katabolisme. Pada saat tubuh sudah mencapai tingkat

kematangan fisiologik, kecepatan katabolisme atau proses degenerasi lebih besar

daripada proses regenerasi sel. Akibat yang timbul adalah hilangnya sel – sel yang

berdampak dalam bentuk penurunan efisiensi dan gangguan fungsi organ.15

Kebutuhan kalori berkurang dengan bertambahnya usia, meskipun

kebutuhan individu sangat bervariasi tergantung pada tingkat aktivitas dan status

gizi mereka. Diet sehari penuh memerlukan 1800 kalori tetapi sekali lagi

tergantung pada status kesehatan. Kebutuhan protein orang dewasa tua yang sehat

sama dengan orang dewasa lainnya. Kebutuhan dasar adalah 0,8-1,0 g protein / kg

berat badan. Sayuran berdaun hijau, sayuran lain dan buah-buahan segar kaya

akan mineral dan vitamin sehingga dapat melindungi dari penyakit. Penggunaan
berlebihan lemak nabati dan hewan dapat meningkatkan lemak darah sehingga

meningkatkan risiko penyakit jantung dan penyakit lainnya.16,17

Pencegahan dan pengobatan anoreksia dapat dilakukan melalui intervensi

multi-stimulus, termasuk manipulasi makanan, koreksi faktor risiko lingkungan

dan farmakologis, dan pengobatan penyebab medis yang mendasari seperti

berikut:9

a) Manipulasi makanan merupakan pendekatan yang melibatkan peningkatan

tekstur dan kelezatan makanan, perbaikan rasa, penyediaan variasi

makanan, dan bantuan makanan sesuai kebutuhan. 

b) Adaptasi lingkungan bertujuan untuk mencegah pengasingan sosial dan

mendukung keramah-tamahan, terutama pada penghuni panti jompo. 

c) Pendekatan farmakologis diperlukan untuk mengidentifikasi obat yang

dapat menurunkan nafsu makan dan / atau mendukung penurunan berat

badan. Obat yang paling sering diresepkan yang dapat menghambat nafsu

makan terdiri dari obat kardiovaskular (digoxin, amiodarone dan

spironolactone), obat psikiatri (fenotiazin, litium, amitriptilin, fluoxetine,

dan penghambat reuptake serotonin selektif lainnya), dan obat anti-rematik

seperti agen antiinflamasi nonsteroid. Obat lain dapat berkontribusi pada

penurunan berat badan dengan menyebabkan malabsorpsi (misalnya obat

pencahar) atau meningkatkan metabolisme (misalnya, teofilin). 

d) Semua kemungkinan penyebab medis yang dapat berkontribusi pada

penurunan berat badan perlu dievaluasi dan ditangani secara khusus. Ini

terdiri dari gangguan menelan (misalnya, mulut kering, gigi tanggal, lesi
atau luka di mulut), dispepsia (gastritis dan ulkus), sindrom malabsorpi

(pertumbuhan bakteri yang berlebihan, enteropati gluten, insufisiensi

pankreas), penyebab neurologis (stroke dengan defisit sisa menelan),

gangguan endokrin (hiperkalsemia), gangguan kejiwaan (depresi,

delirium), penyakit pernapasan (PPOK), dan penyakit kardiovaskular

(CHF). 

e) Saat ini, tidak ada agen terapeutik spesifik yang terbukti efektif dalam

mengobati anoreksia karena penuaan. Suplementasi nutrisi tidak secara

langsung menyembuhkan anoreksia akibat penuaan tetapi hanya

memperbaiki komplikasinya, seperti penurunan berat badan dan malnutrisi

energi-protein. Sejumlah kecil penelitian telah menunjukkan efek positif

dari suplementasi energi pada lansia yang kekurangan gizi. Namun

demikian, heterogenitas protokol suplementasi yang diadopsi menghalangi

penerapannya pada perawatan pasien rutin. Satu-satunya bukti yang jelas

saat ini terbatas pada suplementasi protein. Menurut hasil penelitian,

asupan harian dalam kisaran setidaknya 1,0–1,2 g protein per kilogram

berat badan diperlukan untuk mengurangi hilangnya massa dan kekuatan

otot serta mencegah perjalanan penyakit serta kelemahan. 

Obat-obatan telah diuji untuk meningkatkan nafsu makan pada orang tua,

tetapi tidak satupun dari obat-obat itu direkomendasikan dalam praktek klinis

rutin. Kortikosteroid meningkatkan berat badan, terutama melalui peningkatan

massa lemak dan retensi cairan. Hormon pertumbuhan juga menghasilkan

penambahan berat badan pada lansia yang kekurangan gizi, tetapi tidak
meningkatkan hasil fisik dan fungsional apa pun. Steroid anabolik (misalnya,

testosteron dan oksandrolon) telah diuji pada orang tua dengan beberapa hasil

positif, tetapi memiliki banyak efek samping, seperti kejadian kardiovaskular dan

disfungsi hati. Metoclopramide dapat mengontrol gejala yang berhubungan

dengan rasa kenyang yang cepat, namun penggunaan jangka panjangnya dikaitkan

dengan efek samping negatif (gejala ekstra-piramidal). Demikian pula, obat

perangsang nafsu makan lainnya (misalnya, megesterol, meclobemide,

tetrahydrocannabinol, cyproheptadine, antagonis CCK seperti loxiglumide) telah

dikaitkan dengan banyak efek samping, termasuk delirium dan gejala perut.9

F. Komplikasi

Bukti kuat menunjukkan bahwa anoreksia geriatri berhubungan dengan

gangguan kesehatan di kemudian hari. Anoreksia geriatri adalah penyebab

malnutrisi keseluruhan atau selektif, sarcopenia, dan kelemahan fisik pada lansia.

Malnutrisi pada anoreksia dikaitkan dengan risiko malnutrisi kuantitatif yang

lebih tinggi (malnutrisi energi protein) karena asupan nutrisi keseluruhan yang

tidak memadai. Tahap awal anoreksia meningkatkan risiko malnutrisi kualitatif,

karena asupan nutrisi tunggal yang kurang optimal, seperti protein dan vitamin.

Studi telah menunjukkan bahwa malnutrisi selektif juga terkait dengan

perkembangan sarcopenia, gangguan kesehatan lainnya, serta peningkatan

morbiditas dan mortalitas.7,9

 Asupan makanan yang tidak memadai sering mengakibatkan berkurangnya

aktivitas fisik, penurunan massa dan kekuatan otot. Studi yang dilakukan pada

komunitas yang lebih tua telah menunjukkan bahwa anoreksia dikaitkan dengan
gangguan kinerja fisik dan secara signifikan meningkatkan risiko kecacatan.

Konsumsi leusin dan / atau vitamin D yang tidak mencukupi pada pasien

anoreksia berhubungan dengan perkembangan sarcopenia dan kelemahan.

Suplementasi dengan asam amino esensial dapat melawan defisiensi nutrisi, asam

amino esensial telah terbukti meningkatkan massa otot di usia tua. Panduan diet

yang direkomendasikan (RDA) untuk protein saat ini adalah 0,8 g/kg/hari.

Namun, ada kesepakatan bahwa asupan protein pada orang tua harus ditingkatkan

menjadi 1,0–1,3 g / kg/hari, namun protein harus dikonsumsi dalam pola yang

tersebar sepanjang hari (sekitar 30 g pada setiap makan untuk pasien dengan berat

badan 70 kg) untuk mengoptimalkan respon anabolik otot. Suplementasi vitamin

D (800 UI / hari) dapat meningkatkan jumlah dan luas penampang serat otot tipe

II (yang biasanya hilang pada orang sarcopeni). Adaptasi ini telah dibuktikan

dapat meningkatkan massa dan kekuatan otot sekaligus mengurangi risiko terjatuh

dan cedera.7,9

Menilai dampak anoreksia terhadap kelangsungan hidup orang tua adalah

masalah yang penting dan kompleks. Studi yang dilakukan pada sampel orang

berusia lebih dari 65 tahun mengungkapkan bahwa anoreksia dan penurunan berat

badan yang tidak terduga merupakan faktor risiko yang kuat dari kematian, tidak

tergantung pada usia, jenis kelamin dan faktor potensial lainnya. Subjek dengan

anoreksia memiliki risiko kematian hampir dua kali lipat lebih tinggi

dibandingkan dengan subjek tanpa anoreksia7,9

2. Anemia pada Geriatri


Anemia adalah kelainan yang sangat umum dalam praktik klinis di

masyarakat. Anemia menunjukkan nilai laboratorium yang abnormal, parameter

yang paling umum untuk menentukan anemia adalah kadar hemoglobin,

hematokrit dan jumlah sel darah merah. World Health Organization (WHO)

mendefinisikan anemia sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) <12 g / dL pada

wanita dan <13 g / dL pada pria.18

Prevalensi anemia pada geriatri telah diselidiki secara ekstensif oleh

sejumlah studi epidemiologi di rangkaian yang berbeda. Sebuah tinjauan

sistematis dari 34 studi menggunakan kriteria WHO dengan total 85.409 peserta,

didapatkan prevalensi rata-rata anemia sebagai berikut: 12% (3-25%) dalam

komunitas, 47% (31-50%) dalam perawatan/ penduduk rumah, dan 40% (40-72%)

pada lansia yang dirawat di rumah sakit. Penelitian juga dilakukan pada subjek

berusia >80 tahun dan didapatkan hasil bahwa prevalensi anemia meningkat

menjadi lebih dari 25% dalam kehidupan masyarakat yang berusia >80 tahun.

Berdasarkan angka-angka ini, diperkirakan bahwa hampir 15 juta lansia di Uni

Eropa mungkin menderita anemia. Anemia merupakan suatu penyakit yang paling

sering dialami oleh lansia. Kemenkes RI pada tahun 2013 menemukan prevalensi

penyakit tidak menular pada usia lanjut di Indonesia antara lain anemia (46,3%),

penyakit hipertensi (42,9%), penyakit sendi (39,6%), serta penyakit jantung dan

pembuluh darah (10,7%). Lansia usia 65–74 tahun di Indonesia yang mengalami

anemia sebesar 34,2% dan lansia usia >75 tahun sebesar 46%.5,19

Anemia pada lansia disebabkan karena kurangnya tingkat konsumsi zat gizi

seperti protein, zat besi, vitamin B12, asam folat, dan vitamin C. Kekurangan zat
gizi dapat dipengaruhi oleh perubahan karakteristik lansia antara lain fisiologi,

ekonomi, sosial dan penyakit penyerta pada lansia seperti penyakit degeneratif,

kronik, dan infeksi yang akan berpengaruh terhadap pola makannya. Selanjutnya

berpengaruh pula terhadap rendahnya konsumsi zat gizi yang menyebab lansia

mengalami anemia. Adapaun penyebab anemia dan persentasenya dapat dilihat

pada gambar berikut.6,20

Gambar 2.3 Penyebab anemia pada lansia

Prevalensi anemia yang tinggi pada lansia menjadikannya sebagai kondisi

yang sering ditemukan dalam paraktik kedokteran. Gejala dan tanda anemia

biasanya tidak berbahaya dan banyak pasien lanjut usia tidak memiliki keluhan

karena tubuh mereka melakukan adaptasi fisiologis untuk kondisi tersebut. Gejala

khas anemia, seperti kelelahan, kelemahan dan dispnea, tidak spesifik dan pada

pasien lanjut usia cenderung dikaitkan dengan usia lanjut. Pucat bisa menjadi

petunjuk diagnostik yang membantu proses diagnosis, tetapi pucat sulit dideteksi

pada orang tua. Konjungtiva anemis adalah tanda patognomonis dan kehadirannya

diharapkan dapat membuat dokter melalukan pemeriksaan labaoratorium darah


untuk melacak anemia. Seringkali, pasien memiliki tanda-tanda kelainan yang

dapat diperburuk oleh anemia, seperti memburuknya gagal jantung kongestif,

gangguan kognitif, pusing dan apatis.20

Anemia pada orang tua dievaluasi dengan cara yang mirip dengan orang

dewasa muda, yaitu penilaian untuk tanda-tanda kehilangan darah gastrointestinal,

hemolisis, defisiensi nutrisi, keganasan, infeksi kronis (endokarditis subakut),

penyakit ginjal atau hati, dan penyakit kronis lainnya. Pasien tanpa bukti penyakit

yang mendasari, evaluasi laboratorium awal harus mencakup hitung darah

lengkap, indeks sel darah merah, hitung retikulosit dan apus darah tepi. Gambar

hasil pemeriksaan darah pada anemia dan algoritma diagnosis anemia dapat

dilihat pada gambar 2.4 dan 2.520

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh

kekurangan zat besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin. Menurut

Dallman, anemia defisiensi adalah anemia akibat kekurangan zat besi sehingga

konsentrasi hemoglobin menurun di bawah 95% dari nilai hemoglobin rata-rata

dari umur dan jenis kelamin yang sama.21


Gambar 2.4 Hasil pemeriksaan darah pada anemia

Teh dan kopi mengandung tanin yang dapat mengikat mineral antara lain zat

besi. Pada teh hitam terkandung senyawa polifenol yang apabila teroksidasi akan

mengikat mineral seperti zat besi, zink, dan kalsium. Oleh sebab itu teh hitam

merupakan inhibitor yang paling kuat menghambat penyerapan zat besi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Thankachan (2008) menunjukkan

bahwa lansia yang mengonsumsi 1 cangkir teh dapat menurunkan absorbsi besi

sebanyak 49% dan mengonsumsi 2 cangkir sehari dapat menurunkan absorbsi besi

sebesar 67%. Apabila lansia tidak diperhatikan tingkat kecukupan zat gizi serta

lansia masih banyak mengonsumsi teh dan kopi akan menyebabkan lansia lebih

mudah mengalami anemia. Lansia yang mengalami anemia lebih mudah terkena

penyakit, memperlambat proses penyembuhan sehingga berdampak terhadap

status kemandirian lansia.6

Pasien dengan anemia sedang menunjukan gejala ringan karena mekanisme

kompensasi yang signifikan yang menjaga transportasi oksigen dalam pengaturan

hemoglobin yang berkurang. Mekanisme kompensasi ini meliputi peningkatan


aliran darah karena penurunan viskositas darah, peningkatan pelepasan oksigen ke

jaringan karena peningkatan bifosfogliserat sel darah merah, peningkatan volume

plasma, dan redistribusi aliran darah. Manifestasi klinis anemia terjadi ketika

hemoglobin di bawah dua pertiga dari normal (kurang dari 9 sampai 10 g/dL)

karena peningkatan curah jantung basal pada pasien anemia dan dimanifestasikan

secara klinis sebagai gejala kelelahan, dispnea dan takikardia. Mekanisme

kompensasi normal dari takikardia dan peningkatan stroke volume dapat

terganggu pada manula, terutama pada mereka yang menderita penyakit

kardiovaskular. Berdasarkan bukti Level 1, secara umum transfusi disepakati lebih

baik, karena dapat mempertahankan kadar hemoglobin di atas 10g/dL.22


Gambar 2.5 Algoritma diagnosis anemia

3. Sindroma Geriatri

Sindrom geriatri sulit dipahami karena kompleksitas berbagai faktor dan

efek sinergis dari berbagai faktor risiko. Situasi ini disebut sindrom untuk
menekankan bahwa manifestasi gabungan terkait dengan sejumlah besar faktor.

Sindrom geriatrik terdiri atas kelemahan, delirium, inkontinensia urin, pusing,

jatuh, masalah tidur, malnutrisi, nyeri, pengabaian diri bersifat multifaktorial, dan

terkait dengan morbiditas substansial dan hasil yang buruk dalam praktik klinis.4

Masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatri adalah sindrom geriatri

yang meliputi: imobilisasi, instabilitas, inkontinensia, insomnia, depresi, infeksi,

defisiensi imun, gangguan pendengaran dan penglihatan, gangguan intelektual,

kolon irritable, impecunity, dan impotensi. Gambar mengenai sindrom geriatric

dapat dilihat pada gambar dibawah.24


Gambar 2.6 Sindroma Geriatri

Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/ tirah baring selama 3 hari atau

lebih, diiringi gerak anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan fungsi

fisiologis. Imobilisasi menyebabkan komplikasi lain yang lebih besar pada pasien

usia lanjut bila tidak ditangani dengan baik. Gangguan keseimbangan (instabilitas)

akan memudahkan pasien geriatri terjatuh dan dapat mengalami patah tulang.24

Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak

terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan

jumlahnya, sehingga mengakibatkan masalah sosial dan higienis. Inkontinensia

urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya karena malu atau

tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang

wajar pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Prevalensi inkontinensia

urin di Indonesia pada pasien geriatri yang dirawat mencapai 28,3%. Biaya yang

dikeluarkan terkait masalah inkontinensia urin di poli rawat jalan Rp 2.850.000,-

per tahun per pasien. Masalah inkontinensia urin umumnya dapat diatasi dengan

baik jika dipahami pendekatan klinis dan pengelolaannya.24

Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering dijumpai pada pasien

geriatri. Umumnya mereka mengeluh bahwa tidurnya tidak memuaskan dan sulit

memertahankan kondisi tidur. Sekitar 57% orang usia lanjut di komunitas

mengalami insomnia kronis, 30% pasien usia lanjut mengeluh tetap terjaga

sepanjang malam, 19% mengeluh bangun terlalu pagi, dan 19% mengalami

kesulitan untuk tertidur.24


Gangguan depresi pada usia lanjut kurang dipahami sehingga banyak

kasus tidak dikenali. Gejala depresi pada usia lanjut seringkali dianggap sebagai

bagian dari proses menua. Prevalensi depresi pada pasien geriatri yang dirawat

mencapai 17,5%. Deteksi dini depresi dan penanganan segera sangat penting

untuk mencegah disabilitas yang dapat menyebabkan komplikasi lain yang lebih

berat.24

Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi sistem imun pada

usia lanjut. Infeksi yang sering dijumpai adalah infeksi saluran kemih, pneumonia,

sepsis, dan meningitis. Kondisi lain seperti kurang gizi, multipatologi, dan faktor

lingkungan memudahkan usia lanjut terkena infeksi.24

Gangguan penglihatan dan pendengaran juga sering dianggap sebagai hal

yang biasa akibat proses menua. Prevalensi gangguan penglihatan pada pasien

geriatri yang dirawat di Indonesia mencapai 24,8%. Gangguan penglihatan

berhubungan dengan penurunan kegiatan waktu senggang, status fungsional,

fungsi sosial, dan mobilitas. Gangguan penglihatan dan pendengaran berhubungan

dengan kualitas hidup, meningkatkan disabilitas fisik, ketidakseimbangan, jatuh,

fraktur panggul, dan mortalitas.24

Pasien geriatri sering disertai penyakit kronis degeneratif. Masalah yang

muncul sering tumpang tindih dengan gejala yang sudah lama diderita sehingga

tampilan gejala menjadi tidak jelas. Penyakit degeneratif yang banyak dijumpai

pada pasien geriatri adalah hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, osteoartritis,

dan penyakit kardiovaskular. Penelitian multisenter di Indonesia terhadap 544


pasien geriatri yang dirawat inap mendapatkan prevalensi hipertensi dan diabetes

melitus sebesar 50,2% dan 27,2%.24

Kondisi multipatologi mengakibatkan seorang usia lanjut mendapatkan

berbagai jenis obat dalam jumlah banyak. Terapi non-farmakologi dapat menjadi

pilihan untuk mengatasi masalah pada pasien usia lanjut, namun obat tetap

menjadi pilihan utama sehingga polifarmasi sangat sulit dihindari. Prinsip

penggunaan obat yang benar dan tepat pada usia lanjut harus menjadi kajian

multi/ interdisiplin yang mengedepankan pendekatan secara holistik.24

Sindroma frailty adalah suatu sindroma geriatri dengan karakteristik

berkurangnya kemampuan fungsional dan gangguan fungsi adaptasi yang

diakibatkan oleh merosotnya berbagai sistem tubuh, serta meningkatnya

kerentanan terhadap berbagai macam stressor, yang menurunkan performa

fungsional seseorang. Gambaran klinis sindroma frailty berdasarkan adanya

kelemahan, berkurangnya kecepatan jalan, rasa cepat lelah, aktivitas fisik yang

rendah, dan hilangnya berat badan. Diagnosis didasarkan atas tanda dan gejala

klinis serta penyakit komorbidnya.25

Diagnosis sindroma frailty menurut Fried ditegakkan berdasarkan tiga atau

lebih dari lima kriteria yaitu kelemahan, berkurangnya kecepatan jalan, keluhan

cepat lelah, menurunnya aktivitas, dan berkurangnya berat badan. Adapun kriteria

klinis sindroma frailty menurut Fried dapat dilihat pada gambar berikut.25
Gambar 2.7 Kriteria klinis sindroma frailty menurut Fried

4. Malnutrisi pada Lansia

Malnutrisi tersebar luas pada orang tua dan merupakan sindrom geriatri

mayor dengan etiologi multifaktorial dan konsekuensi parah terhadap hasil

kesehatan dan kualitas hidup. Cadangan fungsional berkurang dan kerentanan

terhadap stres meningkat sebagai akibat dari penurunan kumulatif di banyak

sistem fisiologis selama penuaan.26

Karena berbagai faktor, lansia dan khususnya pasien rawat inap

mengalami peningkatan risiko malnutrisi. Penurunan asupan makanan sering kali

terjadi dan sering dikaitkan dengan penyakit akut maupun kronis sehingga

meningkatkan kebutuhan energi. Penurunan asupan makanan sering dikaitkan

dengan hilangnya kemampuan indera perasa dan bau. Hal ini menyebabkan

anoreksia dan disebut "anoreksia akibat penuaan". Selain itu juga dapat

disebabkan oleh kesehatan mulut yang buruk, kesulitan dalam mengunyah dan

menelan, efek samping dari pengobatan farmakologis, keterbatasan kognitif,

isolasi sosial, kesepian atau depresi. Banyak kondisi akut (misalnya infeksi,

pembedahan) terjadi dengan latar belakang penyakit penyerta kronis (misalnya,


gagal jantung, penyakit pernapasan, kanker, gagal ginjal) dan meningkatkan

kebutuhan energi serta mencetuskan malnutrisi pada penderita lansia. Selain aspek

individu tersebut, faktor eksternal seperti kualitas makanan, suasana makan, dan

Kualitas perawatan (medis dan gizi) dapat mempengaruhi asupan makanan dan

berkontribusi pada malnutrisi, khususnya di rumah sakit dan panti jompo.26

Kehilangan protein tubuh akibat asupan protein yang tidak mencukupi

atau peningkatan kebutuhan pada penyakit merupakan salah satu ciri malnutrisi

yang diikuti dengan gangguan status imun dan hilangnya massa otot, yang

berkontribusi besar pada peningkatan morbiditas. Pada lansia terjadi penurunan

kekuatan dan massa otot disebut sarcopenia yang menyebabkan status fisik

terganggu, kehilangan kemandirian, peningkatan risiko jatuh dan patah tulang

berikut menurunkan kualitas hidup.26

Intervensi nutrisi pada lansia memiliki beberapa tujuan:26

 Pemeliharaan atau perbaikan status gizi yang dapat mengakomodasi

kebutuhan protein dan energi disebabkan oleh stres metabolik;

 Pemeliharaan atau peningkatan fungsi dan kapasitas untuk rehabilitasi;

sebagian besar berkaitan dengan massa otot. Aktivitas kehidupan pribadi

dan komunitas sehari-hari mungkin menjadi tujuan sekunder;

 Pemeliharaan atau peningkatan kualitas hidup pada yang berhubungan

dengan kesehatan pada lansia dianggap lebih penting dibandingkan

penurunan angka kematian, dibandingkan pada dewasa muda; memulihkan

asupan makanan mungkin memainkan peran langsung sebagai mediator

penting terhadap kesenangan dan kesejahteraan;


 Penurunan morbiditas, termasuk hasil yang lebih baik pada penyakit kronis

yang mendasari;

 Penurunan mortalitas sebagai akibat dari penurunan morbiditas tetapi juga

dengan meningkatkan pengobatan penyakit kronis yang mendasari

(misalnya, kanker) dengan pengobatan yang dapat ditoleransi;

 Pengurangan biaya terkait malnutrisi (pengurangan lama rawat inap,

kebutuhan untuk perawatan subakut, pengurangan penerimaan panti jompo,

jumlah pemeriksaan medis dan resep).

Pengetahuan terkini tentang keefektifan intervensi nutrisi dirangkum

dalam pedoman ESPEN tentang nutrisi klinis dan hidrasi di geriatri. Rekomendasi

utama dari pedoman ESPEN untuk pengelolaan malnutrisi dan bukti yang sesuai

dirangkum dalam tabel berikut.26

Rekomendasi  Skrining rutin untuk malnutrisi dengan alat yang

dasar divalidasi (GPP) diikuti dengan penilaian, intervensi

individual, pemantauan dan penyesuaian intervensi

(GPP)

 Perawatan nutrisi individual dan komprehensif (A)

 Intervensi nutrisi sebagai bagian dari intervensi tim

multimodal dan multidisiplin (B)

 Identifikasi dan penghapusan potensi penyebab

malnutrisi (GPP)

 Menghindari pembatasan diet (GPP)


Intervensi suportif  Lingkungan yang menyenangkan terhadap proses
makan yang di institusi (A)

 Pendampingan diwaktu makan jika terjadi

ketergantungan (A di institusi, GPP dalam

perawatan di rumah)

 Berbagi waktu makan dengan orang lain (GPP)

 Makanan padat energi dengan makanan tambahan

(B)

 Informasi gizi dan edukasi (B)

 Akses mudah terhadap makanan *


Konseling nutrisi  Secara individual (bagi lansia / pemberi perawatan)

(B)

 Oleh orang yang berkualifikasi dalam beberapa sesi

(GPP)
Modifikasi  Fortifikasi makanan (B)

Makanan  Camilan / makanan tambahan *, cemilan (GPP)

 Makanan ddiperkaya dengan tekstur dimodifikasi

(GPP)

 Peningkatan organoleptik (rasa / rasa / tampilan

visual) *

 Meningkatkan variasi makanan *

 Mempertimbangkan preferensi individu *


Suplemen nutrisi oral (ONS)
Nutrisi enteral/parenteral
Tingkat rekomendasi: A = berdasarkan bukti kuat (setidaknya satu RCT

berkualitas tinggi), B = berdasarkan bukti sedang (studi kasus atau studi kohort
berkualitas tinggi); GPP = good practice point / konsensus pakar:

Direkomendasikan sebagai praktik terbaik berdasarkan pengalaman klinis dari

kelompok pengembang pedoman. * topik tidak dibahas dalam Pedoman ESPEN

2019.

Alat skrining yang paling umum dikembangkan dan divalidasi untuk

lansia adalah bentuk singkat dari Mini Nutritional Assessment (MNA), yang dapat

diterapkan di semua kondisi lansia. Namun, ada banyak alat lain yang tersedia.

Terdapat 48 alat yang digunakan untuk menyaring risiko malnutrisi pada lansia,

dan baru-baru ini dinilai sehubungan dengan validasi, parameter dan kepraktisan.

Alat skor tertinggi adalah: i) DETERMINE (tetapkan daftar periksa kesehatan

komunitas); ii) Nutritional Form for the Elderly (NUFFE) untuk pengaturan

rehabilitasi; iii) Short Nutritional Assessment Questionnaire-Residential Care

(SNAQRC) untuk perawatan di rumah dan iv) keduanya Malnutrition Screening

Tool (MST) dan Mini Nutritional Assessment Short Form Version 1 (MNA-SF-

V1) untuk perawatan di rumah sakit.26

Pada orang dengan hasil skrining positif, penilaian nutrisi yang

komprehensif harus dilakukan sebagai dasar target intervensi. Pengkajian harus

berfokus pada identifikasi potensi penyebab malnutrisi serta preferensi individu,

sumber daya dan harapan, evaluasi keparahan defisit nutrisi, dan tinjauan kritis

terhadap resep makanan yang ada. Periksa apakah tujuan intervensi telah tercapai,

pemantauan ketat diperlukan dalam praktik klinis.26

Diakui bahwa identifikasi dan menghilangkan penyebab potensial sejauh

mungkin merupakan hal mendasar, meskipun bukti ilmiah untuk rekomendasi ini
masih kurang. Pada pasien lansia, perawatan medis yang memadai tentunya

sangat penting, sebaiknya hindari pengobatan dengan efek samping yang

berpotensi berbahaya pada nafsu makan, persepsi rasa dan bau, produksi air liur

atau kognisi.26

Lingkungan makan seperti di rumah telah terbukti juga berkontribusi pada

kualitas hidup. Berdasarkan konsensus ahli, disarankan juga untuk mendorong

lansia berbagi waktu makan mereka dengan orang lain, karena makan bersama

diketahui dapat merangsang asupan makanan dan mungkin juga merupakan aspek

penting dalam kaitannya dengan kualitas hidup. Selain itu, kemampuan untuk

mengakses makanan (dalam kasus keterbatasan mobilitas) dan makanan

(misalnya, dalam paket yang sulit dibuka) mungkin relevan. Makanan harus

mudah diakses dan dalam kasus tertentu, mungkin masuk akal untuk menyediakan

alat makan yang disesuaikan secara khusus atau cangkir dengan bentuk khusus.26

Konseling nutrisi meliputi informasi dan edukasi dengan tujuan untuk

mengembangkan pemahaman yang baik tentang topik gizi dan untuk mendukung

kebiasaan makan yang mempromosikan kesehatan secara berkelanjutan, dan

dianggap sebagai lini pertama dari terapi gizi. Pedoman saat ini

merekomendasikan bahwa lansia berisiko malnutrisi dan pengasuh mereka harus

diberikan konseling nutrisi secara individual oleh ahli gizi yang berkualifikasi

dalam beberapa sesi untuk mengembangkan pemahaman mereka tentang

pentingnya nutrisi dan mendukung kebiasaan makan yang sehat. Sesi individu

dapat digabungkan dengan sesi kelompok, kontak telepon dan nasihat tertulis.26
Modifikasi makanan termasuk penyesuaian kandungan makro dan / atau

mikronutrien, atau menghindari alergen tertentu serta modifikasi tekstur makanan

atau rasa, rasa dan / atau tampilan visual (peningkatan organoleptik). Nutrisi atau

bahan tambahan dapat ditambahkan ke makanan biasa untuk meningkatkan energi

dan / atau kepadatan nutrisi (makanan yang diperkaya) atau untuk menghasilkan

efek kesehatan khusus yang bermanfaat. Makanan yang dimodifikasi teksturnya

tersedia dalam berbagai kualitas (misalnya, cairan / bubur tipis, bubur kental /

lembut dan halus, cincang halus) dan bertujuan untuk mengatasi masalah

mengunyah dan menelan, yang tersebar luas pada lansia dan terkait dengan orang

miskin asupan makanan.26

Beberapa rekomendasi pedoman ESPEN tentang nutrisi klinis dan hidrasi

lansia membahas apakah lansia dengan malnutrisi atau berisiko malnutrisi harus

ditawarkan ONS. Suplemen menyediakan makro dan mikronutrien sebagai cairan

siap minum, atau sebagai semi padat atau bubuk yang dapat disiapkan sebagai

minuman atau ditambahkan ke minuman atau makanan. Suplemen ini harus

menyediakan setidaknya 400 kkal dan minimal 30 g protein per hari. Suplemen

harus diberikan kepada semua lansia dengan (risiko) malnutrisi ketika tujuan gizi

tidak dapat dipenuhi melalui konseling diet untuk meningkatkan konsumsi

makanan, asupan makanan, berat badan, menurunkan risiko komplikasi dan rawat

inap, dan menurunkan risiko penurunan fungsi pasca rawat inap. ONS harus

diberikan setidaknya selama satu bulan dengan penilaian bulanan secara

bersamaan tentang asumsi manfaat dan evaluasi kepatuhan, dengan demikian


menyesuaikan jenis, rasa, tekstur, dan waktu pasokan ONS dengan karakteristik

lansia.26

Nutrisi enteral (EN) sebagian besar melalui selang nasogastrik atau

gastrostomi endoskopi perkutan (PEG) dan nutrisi parenteral (PN) melalui vena

sentral atau perifer juga merupakan pilihan penting untuk pasien lansia. Namun

tindakan invasif ini harus disediakan untuk mereka yang tidak dapat memenuhi

kebutuhan nutrisinya dengan rute oral atau enteral, tetapi memiliki prospek

pemulihan umum yang wajar. Dua belas rekomendasi dalam pedoman ESPEN

mengacu pada topik ini, semuanya berdasarkan studi deskriptif yang tersedia dan

konsensus ahli, karena uji coba secara acak akan menjadi tidak etis di bidang ini.

Penerapan teknik ini selalu membutuhkan pertimbangan yang cermat terhadap

manfaat dan risiko individu.26

Risiko RFS diduga tinggi terutama di antara pasien lansia malnutrisi, dan

tidak terbatas pada pemberian nutrisi enteral atau parenteral. Namun, karena

gejala awal yang tidak spesifik tetapi juga karena kurangnya pengetahuan di

antara banyak dokter, RFS sering tidak didiagnosis dan akibatnya tidak diobati

pada pasien ini. Sebuah studi multisenter cross-sectional baru-baru ini

menunjukkan bahwa hampir tiga perempat dari 342 pasien lansia yang dirawat di

rumah sakit yang berisiko malnutrisi menunjukkan risiko RFS yang signifikan.

Seperti malnutrisi, RFS tetap menjadi kondisi yang tidak diketahui dan tidak

diobati secara luas dalam praktik klinis.26

Kunci untuk meningkatkan perawatan pasien dalam konteks ini adalah

meningkatkan kesadaran RFS di antara dokter yang terlibat dalam perawatan


nutrisi untuk mengidentifikasi pasien berisiko dan mengenali terjadinya RFS.

Dalam pedoman ESPEN, dianjurkan untuk memberikan perhatian khusus selama

tiga hari pertama terapi EN dan PN pada individu malnutrisi terhadap kadar serum

fosfat, magnesium kalium dan tiamin, yang menurunkan RFS dan harus ditambah

jika sesuai. Oleh karena itu, sebuah tinjauan baru-baru ini juga merekomendasikan

pemantauan ketat dari parameter vital, cairan, elektrolit serum dan tiamin pada

pasien lansia dengan risiko RFS, sedangkan penggantian nutrisi harus dimulai

secara perlahan dan ditingkatkan dengan hati-hati untuk mencapai tujuan nutrisi

setelah empat sampai tujuh hari.26

5. Infeksi Saluran Kemih pada Lansia

Infeksi saluran kemih merupakan infeksi yang melibatkan struktur mulai

tempat dibentuknya urin (glomerulus) sampai dengan muara saluran urin di

meatus uretra eksterna dengan didapatkannya mikroorganisme di urin yang

disertai gejala sebagai tanda adanya infeksi. Istilah bakteriuria sering pula

digunakan karena diketahui bahwa sebagian besar (95%) penyebab ISK adalah

bakteri. Terdapatnya mikroorganisme di urin merupakan syarat untuk diagnosis

ISK. Di satu sisi pada penderita geriatri sering terjadi gejala yang mengarah

kepada ISK namun pemeriksaan bakteriologik urin tidak menunjang. Di sisi lain

pada pemeriksaan urin sering ditemukan lekosituria yang banyak tanpa gejala ISK

yang khas. Karena hal tersebut, para ahli menetapkan kriteria mikrobiologik untuk

mendiagnosis ISK pada penderita geriatri.27


Gambar 2.8 Kriteria Mikrobiologi Diagnosis ISK pada Geriatri

Menurunnya nafsu makan hampir selalu menjadi gejala awal berbagai jenis

infeksi pada penderita geriatri termasuk ISK. Penurunan nafsu makan tersebut

sayangnya sering dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa pada warga usia lanjut

sehingga keluarga tidak begitu mempermasalahkannya. Perlu diwaspadai bahwa

perubahan nafsu makan tidak saja berperan sebagai tanda awal adanya penyakit

yang serius, namun juga merupakan kondisi yang menurunkan status gizi dan

kekebalan seseorang, apalagi pada warga usia lanjut. Jika keadaan dibiarkan maka

keadaan umum penderita akan semakin lemah dan penderita cenderung lebih

banyak berbaring. Kondisi kelemahan tubuh akan menurunkan status

fungsionalnya, sehingga penderita cenderung immobile. Kondisi tersebut

mempunyai berbagai dampak yang sangat luas. Penurunan status fungsional yang

berujung pada tirah baring lama sering mengakibatkan inkontinensia urin. Jika

penderita menggunakan popok dan tidak kerap diganti dengan yang bersih dan
kering, maka daerah genitalia akan terus menerus menjadi area yang sangat baik

untuk berkembang biaknya bakteri penyebab ISK. Inkontinensia urin sendiri

sering merupakan gejala ISK pada penderita geriatri. Kondisi lebih jauh adalah

munculnya gejala perubahan kesadaran, delirium atau perubahan perilaku yang

sering disalah-tafsirkan oleh keluarga dan tenaga kesehatan sebagai perubahan

kepribadian atau stroke. Sindrom delirium yang sesungguhnya sedang terjadi itu

juga merupakan salah satu bentuk gejala yang muncul pada ISK. Penderita boleh

jadi menjadi hipoaktif, hiperaktif, pola tidurnya berubah, atau faal kognitifnya

menurun. ISK sering muncul dalam bentuk kegawatdaruratan akibat jatuh yang

membawa penderita ke unit gawat darurat. Penderita mungkin masih mampu aktif

dan kesadarannya kompos mentis namun tiba-tiba tanpa alasan yang jelas

mengalami jatuh di rumah. Komplikasi dari jatuh merupakan topik bahasan

sendiri yang memerlukan pendekatan khusus jika tenaga kesehatan berhadapan

dengan penderita berusia lanjut. Gejala klinis yang muncul seperti disuri dan

polakisuri jarang ditemukan, walaupun bisa saja terjadi. Hal itu disebabkan

kemampuan ekspresi penderita geriatri berbeda dari penderita dewasa muda.

Seperti telah dikemukakan, gangguan faal kognitif dan emosi sering mewarnai

gejala berbagai penyakit pada penderita geriatri. Tanda-tanda seperti demam,

nyeri tekan daerah suprapubik maupun sakit pinggang jarang sekali ditemukan.

Kurva suhu basal harian (jika ada) yang dibandingkan dengan suhu tubuh saat

terdapat ISK dapat dijadikan patokan dalam rangka membantu menegakkan

diagnosis.27
Penatalaksanaan selalu terdiri atas dua ranah modalitas yakni yang

nonfarmakologik dan farmakologik. Inkontinensia urin harus dievaluasi dengan

cermat dan dikelola sesuai penyebabnya. Program nutrisi yang adekuat juga

merupakan bagian dari terapi yang tidak terpisahkan. Tahap demi tahap asupan

makanan dan cairan yang menuju optimal harus dikerjakan sesuai kemampuan

penderita. Jika penderita dirawat inap maka program aktivitas harus dirancang

agar penderita tidak mengalami imobilisasi terlalu lama. Terapi farmakologik

yang dianjurkan secara empiris disesuaikan dengan pola kuman yang ada di setiap

tempat. Secara umum trimetoprim-sulfametoksasol masih dapat dibenarkan.

Golongan beta-laktam dan sefalosporin juga masih cukup efektif, namun akhir-

akhir ini sudah mulai terdapat kecenderungan resistensi. Saat ini golongan

kuinolon merupakan terapi pilihan secara empiris yang bisa diberikan kepada

penderita baik yang berobat jalan maupun rawat inap. Lama pengobatan minimal

tujuh hari. Pada keadaan yang lebih berat atau dengan penyulit sebaiknya

diberikan selama 14 hari. Penderita geriatri laki-laki secara umum mendapat terapi

antibiotik selama 14 hari. Karena penderita geriatri biasanya mempunyai

komorbiditas yang multipel maka pemberian obat harus hati-hati dan

mempertimbangkan prioritas pemecahan masalah. Pemberian obat pada ISK

penderita geriatri mengacu kepada prinsip pemberian obat pada usia lanjut

umumnya dengan memperhitungkan kelarutan obat, perubahan komposisi tubuh,

status nutrisi (kadar albumin), dan efek samping obat (mual, gangguan faal

ginjal). Pada penderita rawat inap atau disertai penyulit, infeksi pada saluran
kemih bagian atas, infeksi berulang, atau penderita dalam penggunaan kateter,

harus dilakukan pemeriksaan untuk memantau faal ginjal secara berkala.27

6. Disfagia pada Lansia

Kata disfagia, yang berasal dari kata Yunani dys (kesulitan) dan fagia

(makan), mengacu pada sensasi makanan yang tertunda atau terhalang dalam

perjalanannya dari mulut ke perut. Disfagia dapat diklasifikasikan secara anatomis

sebagai orofaringeal atau esofagus. Disfagia orofaring berhubungan dengan

permulaan menelan (yaitu, pergerakan bolus makanan dari hipofaring ke

esofagus). Disfagia esofagus muncul di tubuh kerongkongan dan berhubungan

dengan kesulitan dalam mengalirkan makanan ke perut. Disfagia dapat terjadi

akibat obstruksi mekanis atau perubahan fungsi motorik di sepanjang area jalur

makanan.28

Lansia berisiko lebih tinggi mengalami disfagia karena penyakit yang

mempengaruhi mekanisme menelan. Untuk melayani kelompok pasien yang

rentan ini dengan lebih baik, penyedia layanan kesehatan harus menanyakan

tentang adanya disfagia dan memiliki pengetahuan tentang patofisiologinya.

Ulasan ini membahas beberapa pertanyaan yang sering ditemui tentang merawat

orang lanjut usia dengan disfagia, termasuk diskusi tentang mekanisme penting

untuk menelan normal dan bagaimana mereka dapat dipengaruhi oleh proses

penuaan.28

A. Fisiologis Menelan

Menelan merupakan fungsi yang melibatkan lebih dari 30 saraf dan otot.

Persiapan bolus makanan dan perjalanan dari rongga mulut ke kerongkongan


bersifat volunter, sementara perjalanan selanjutnya melintasi saluran aerodigestif

ke perut bersifat refleksif. Setelah memulai menelan, dibutuhkan waktu kurang

dari 1 detik untuk bolus mencapai esofagus dan tambahan 10 hingga 15 detik

untuk menyelesaikan menelan. Rata-rata, seseorang melakukan sekitar 600

menelan setiap hari dengan mudah. Pusat menelan secara bilateral diwakili dalam

sistem saraf pusat, dan tingkat representasi belahan otak tampaknya sangat

penting dalam menentukan pemulihan fungsi menelan setelah dysphagic stroke.28

Menelan secara konvensional digambarkan dalam 3 fase anatomi: oral,

faring, dan esofagus. Fase oral adalah komponen volunter dari aktivitas menelan,

yang mempersiapkan dan mendorong makanan ke dalam faring dan melibatkan

penggunaan saraf kranial V (trigeminal), VII (fasialis), dan XII (hipoglosus). Fase

faring melibatkan penyegelan jalan napas dan proyeksi bolus ke kerongkongan.

Mekanisme ini dimediasi secara refleks dan melibatkan saraf kranial V

(trigeminal), X (vagus), XI (aksesori), dan XII (hipoglosus). Fase esofagus

selanjutnya mendorong bolus ke dalam lambung dengan gerakan peristaltik

esofagus terkoordinasi dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah.28

Penuaan normal dikaitkan dengan atrofi serebral, penurunan fungsi saraf,

dan penurunan massa otot yang bergantung pada wilayah, yang dapat

mempengaruhi fungsi menelan. Lebih lanjut, efek usia pada evolusi temporal dari

isometrik dan tekanan menelan tampaknya berkembang seiring waktu. Jadi,

banyak lansia asimtomatik (84% dalam satu laporan) menunjukkan perubahan

videofluoroskopik pada fase faring dibandingkan dengan apa yang terjadi.

dianggap normal pada dewasa muda yang sehat.28


B. Etiologi

Entitas penyakit yang beragam yang terkait dengan disfungsi orofaring

(Tabel 1) atau esofagus (Tabel 2) dapat menyebabkan disfagia pada lansia.

Disfagia orofaring pada lansia paling sering disebabkan oleh stroke, terjadi pada

sepertiga dari semua pasien stroke. Disfagia esofagus dapat disebabkan oleh

sejumlah penyebab motorik atau mekanis (Tabel 2 dan Gambar 2). Pada beberapa

pasien, tidak ada penyebab yang dapat diidentifikasi, dan kasus seperti itu telah

dikategorikan sebagai disfagia fungsional.28

Meskipun etiologi disfagia beragam, secara mekanis, gangguan menelan

disebabkan oleh motilitas yang tidak teratur atau gangguan dari dalam atau luar

(disfagia mekanis) saluran bolus oropharyngoesophageal. Mengidentifikasi

perbedaan antara motorik dan mekanis atau disfagia orofaring dan esofagus tidak

hanya penting dalam kaitannya dengan etiologi tetapi juga merupakan kunci

dalam penatalaksanaan.28

Tabel 1 Etiologi Disfagia Orofaring

1. Divertikulum Zenker (dehiscence Killian)


2. Kantung atau divertikula faring lateral
3. Akalasia krikofaringeal, batang, cincin, dan
stenosis
Kelainan 4. Jaringan esofagus proksimal (Plummer-Vinson)
Struktural 5. Tumor orofaringeal dan laring
6. Operasi kepala dan leher
7. Radioterapi
8. Kompresi ekstrinsik (osteofit serviks, skeletal
kelainan, dan tiromegali)
Kelainan Motorik Sistem saraf 1. Stroke
pusat 2. Trauma kepala
3. Tumor otak
4. Sindrom ekstrapiramidal
(penyakit Parkinson,
Huntington penyakit, dan
penyakit Wilson)
5. Sklerosis ganda
6. Cerebral palsy
7. Demensia
8. Ensefalopati metabolik
9. Tardive dyskinesia
(penggunaan fenotiazin)
1. Amyotrophic lateral sclerosis
2. Bulbar poliomyelitis
3. Tabes dorsalis
Sistem saraf tepi
4. Sindrom Guillain-Barré
5. Obat-obatan (toksin botulinum,
prokainamid, dan sitotoksin)
1. Myasthenia gravis
2. Dermatomiositis, polymyositis
3. Penyakit jaringan ikat
campuran
4. Hipertiroidisme, hipotiroidisme
Miogenik
5. Sindrom Cushing
6. Amiloidosis
7. Sindrom paraneoplastik
8. Obat-obatan (amiodarone,
alkohol, dan statin)

Tabel 2 Etiologi Disfagia Esofagus

Kelainan Struktural Intrinsik 1. Cincin dan jaring mukosa:


Schatzki, Plummer-Vinson, atau
esofagus multiringed (esofagitis
eosinofilik)
2. Striktur (inflamasi atau
fibrotik): peptik, kaustik, pil,
atau radiasi
3. Tumor esofagus:
adenokarsinoma, karsinoma sel
skuamosa, metastasis (payudara
atau melanoma), leiomioma,
limfoma, atau tumor sel
granular
4. Penyakit sistemik: skleroderma
(multifaktorial), pemfigus /
pemfigoid, lichen planus, atau
penyakit Crohn
5. Lain-lain: pasca operasi (kanker
laring, esofagus, atau lambung),
infeksi esofagus akut,
divertikula esofagus, atau benda
asing
1. Massa mediastinal: kanker paru-
paru, limfoma, kelenjar getah
bening, atau tiromegali
2. Kompresi vaskular: disfagia
lusoria (arteri subklavia kanan
menyimpang), disfagia aortika
Ekstrinsik (aorta sisi kanan), atau
kardiomegali (atrium kiri
membesar)
3. Lain-lain: osteofit / spondilosis
atau fundoplikasi tulang
belakang leher

1. Primer: akalasia, spasme esofagus difus, sfingter


esofagus bagian bawah hipertensi, gangguan
motilitas esofagus yang tidak efektif, atau
Kelainan Motorik pemecah buah esofagus
2. Sekunder: penyakit jaringan ikat, skleroderma,
sindrom CREST, diabetes, penyakit Chagas,
atau sindrom paraneoplastik
Gambar 2.8 Evaluasi klinis disfagia esofagus pada lansia

C. Diagnosis

Langkah awal yang penting termasuk memastikan adanya disfungsi

menelan; menentukan tingkat anatominya (oropharyngeal vs esophageal),

mekanismenya (motorik vs mekanik), dan etiologi spesifik yang mendasari; dan

memastikan integritas menelan oropharyngeal dan tingkat risiko atau adanya

aspirasi diam atau terang-terangan. Penilaian selanjutnya harus menentukan

kemampuan dan gangguan pasien dan sejauh mana gangguan tersebut dapat

ditingkatkan.28

Riwayat yang cermat tetap menjadi landasan evaluasi disfagia dan tinjauan

menyeluruh gejala dapat membedakan esofagus dari disfagia orofaring dan

memprediksi penyebab spesifik disfagia dengan akurasi sekitar 80% dikonfirmasi

oleh pengujian spesifik. Bagaimana seorang pasien menggambarkan kesulitannya

dan waktunya, gejala yang terkait, dan karakterisasi lainnya (Tabel 3) dapat secara
khusus menunjukkan tingkat anatomi disfagia. Meskipun gejala sakit maag

kronis, hematemesis, coffee ground emesis, dan anemia pada pasien dengan

disfagia menunjukkan adanya komplikasi penyakit gastroesophageal reflux

(GERD), seperti esofagitis erosif, striktur peptikum, dan adenokarsinoma

esofagus, baik ada maupun tidak adanya. Gejala mulas memiliki nilai diagnostik

yang signifikan. Setidaknya sepertiga pasien dengan adenokarsinoma esofagus

dan sekitar seperempat pasien dengan striktur peptik telah terbukti tidak

mengalami mulas sebelum diagnosis. Di sisi lain, lebih dari 40% pasien dengan

akalasia memiliki riwayat nyeri ulu hati, meskipun penyebabnya masih

kontroversial.28

Penggunaan obat juga dapat mempengaruhi fungsi menelan. Sejumlah

obat yang umum digunakan, melalui efek farmakologis pada sistem saraf pusat,

transmisi neuromuskuler, atau efek miotoksik dapat menghambat fungsi otot

polos dan lurik, menghambat aktivitas menelan dan transit bolus, dan mengurangi

tonus sfingter esofagus bagian bawah. Kedua mekanisme tersebut dapat

meningkatkan insidensi dan keparahan GERD dan striktur peptikum. Selain itu,

xerostomia terkait obat dapat memengaruhi kemampuan mengunyah makanan,

memulai menelan, dan membentuk serta mengangkut bolus.28

Disfagia juga dapat terjadi sebagai efek samping atau komplikasi

pengobatan. Kemoterapi, imunosupresi, dan terapi antibiotik jangka panjang

diketahui dapat memfasilitasi infeksi esofagus oportunistik dan pembentukan

striktur. Obat yang mengandung Sulfa juga telah dikaitkan dengan komplikasi
alergi sistemik seperti sindrom Stevens-Johnson dan mungkin melibatkan pipa

makanan.28

Cedera esofagus yang diinduksi obat biasanya disebabkan oleh iritasi lokal

pada mukosa esofagus dan disebut sebagai esofagitis pil dapat menyebabkan

kesulitan menelan. Di Amerika Serikat, esofagitis pil sebagian besar disebabkan

oleh tetrasiklin, formulasi kalium klorida, obat antiinflamasi nonsteroid,

alendronat, dan kuinidin. Lokasi paling sering esofagitis terkait pil adalah di dekat

lengkung aorta, dan daerah yang ditandai dengan kompresi dari lengkungan,

transisi otot rangka ke otot polos. Risiko esofagitis meningkat jika obat

dikonsumsi dalam posisi terlentang dan sebelum tidur karena frekuensi menelan

dan kemampuan air liur untuk mengencerkan obat di kerongkongan berkurang

selama tidur. Faktor lain termasuk asupan obat tanpa air / cairan yang cukup,

polifarmasi, ukuran dan bentuk pil, dan gangguan motilitas esofagus.28

Tabel 3 Lokasi anatomis gangguan menelan berdasarkan deskripsi pasien

Orofaringeal Esofageal
Bagaimana Pasien tidak dapat menelan, Setelah tertelan, makanan
atau makanan terasa seperti menempel di belakang tulang
rasanya? tergantung di leher. dada atau di epigastrium atau,
lebih jarang, di leher.
Kapan itu Dalam 1 detik setelah Beberapa detik setelah
percobaan menelan menelan
terjadi?
Adakah  Ketidakmampuan untuk  Sakit dada
mengunyah atau  Regurgitasi nokturnal
gejala atau mendorong bolus atau terlambat dari
kondisi  Sialorrhea, air liur, atau makanan yang tidak
tumpahan makanan tercerna
terkait?  Batuk, tersedak, atau  Mulas kronis,
regurgitasi hidung hematemesis, emesis
 Perlu menelan berulang bubuk kopi, dan anemia
kali untuk membersihkan dapat mengarah ke
makanan dari faring komplikasi GERD;
 Suara serak, bicara cadel Namun, ada atau tidak
atau sengau, disartria, atau adanya mulas tidak
disfonia spesifik.
 Otalgia yang dirujuk  Disfagia pada padatan
dapat mengindikasikan dan cairan sejak awal
kanker hipofaring, laring, mengindikasikan
faring, atau pangkal lidah. gangguan motilitas.
 Intubasi berkepanjangan  Disfagia progresif dari
 Operasi atau radiasi padatan ke cairan
kepala dan leher menunjukkan lesi
 Menelan dengan suara struktural (striktur,
gemericik, sensasi cincin, jaring, atau
kenyang di leher, tumor).
halitosis, dan regurgitasi Disfagia intermiten pada
terlambat dari makanan padatan tanpa penurunan
yang tidak tercerna dapat berat badan yang
menunjukkan signifikan sering
divertikulum Zenker. dikaitkan dengan cincin
esofagus.
 Odynophagia sering
menunjukkan
peradangan esofagus
(erosif, diinduksi pil,
atau menular), esofagitis,
atau konsumsi kaustik.
Bagaimana  Menelan berulang kali, Regurgitasi atau muntah
mengangkat lengan,
lega dicapai melempar bahu ke
belakang, atau melakukan
setelah
manuver Valsava
impaksi  Kemampuan untuk
mengeluarkan bolus yang
bolus? menyinggung
Apakah Stroke, penyakit Parkinson, Penyakit pembuluh darah
miastenia, multiple atau kolagen seperti skleroderma,
Anda amyotrophic lateral sclerosis, sindrom CREST, rheumatoid
mengidap tirotoksikosis, dan kondisi arthritis, lupus eritematosus
terkait lainnya sistemik, dan sindrom Sjögren
penyakit

sistemik?

D. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang komprehensif harus menjadi bagian dari evaluasi

awal dari semua pasien disfagia. Informasi mengenai kemampuan bicara dan

kognitif pasien, disfungsi perilaku, kekuatan, dan rentang pergerakan otot yang

terlibat dalam bicara dan menelan secara langsung memengaruhi keputusan

tentang kesesuaian pasien untuk terapi menelan dan jenis terapi yang dipilih.28

Pemeriksaan rongga mulut, kepala, dan leher dapat menunjukkan gigi

yang buruk, massa, limfadenopati, gondok, kantong faring, tanda-tanda

tirotoksikosis (miopati tirotoksik), atau tanda-tanda pembedahan sebelumnya,

trakeostomi, dan radioterapi. Erosi gigi yang menyebar mungkin mengarah pada

GERD yang mendasari. Kelenjar getah bening supraclavicular (Virchow) yang

teraba mungkin menunjukkan disfagia yang disebabkan oleh keganasan perut

(misalnya, adenokarsinoma pada sambungan esofagogastrik). Seseorang dapat

memeriksa pendakian laring dengan menempatkan jari telunjuk dan jari tengah

secara ringan masing-masing pada tulang rawan hyoid dan laring, dan meminta

pasien untuk menelan. Penurunan laring sering terlihat pada disfagia neurologis.

Gambaran fisik penyakit kolagen-vaskular, jika ada, dapat memberikan bukti

lebih lanjut tentang disfungsi esofagus.28

Pemeriksaan neurologis wajib sebagai evaluasi setiap kasus disfagia yang

tidak diketahui penyebabnya dan harus mencakup pengujian semua saraf kranial,
terutama saraf sensorik (saraf kranial V, IX, dan X) dan motorik (saraf kranial V,

VII, X, XI, dan XII) komponen yang terlibat dalam menelan. Adanya tremor,

cogwheeling, rigiditas, dan gangguan gaya berjalan mungkin menunjukkan

parkinson disease, yang sangat terkait dengan disfagia. Kombinasi kelainan

motorik dan sensorik, terutama dalam pengaturan durasi penyakit yang lebih lama

dan kelainan motorik yang signifikan, mungkin menunjukkan sklerosis multipel.

Kelemahan otot proksimal mungkin disebabkan untuk dermatomiositis atau

polimyositis. Myasthenia gravis sering dikaitkan (hingga 70% kasus) dengan

kelemahan wajah dan faring, dan disfagia terlihat pada sekitar 30% myasthenia.28

E. Pemeriksaan Penunjang

Dalam kebanyakan kasus, penyebab disfagia sudah terbukti setelah

mendapatkan riwayat pasien dan melakukan pemeriksaan fisik. Pengukuran

laboratorium dapat membantu dalam mengkonfirmasi diagnosis disfagia

sementara atau dalam mendeteksi miastenia gravis, miopati inflamasi, atau

miopati toksik (misalnya miopati tirotoksik atau miksedema). Deteksi serologis

antibodi acetylcholine receptor (AChR) hampir dapat mendiagnosis miastenia

gravis. Namun, antibodi AChR tidak ada pada sekitar setengah dari myasthenics

tanpa temuan okular yang khas. Dalam kasus seperti itu, uji stimulasi tensilon

(edrophonium) dapat digunakan. Sebagai alternatif, diagnosis dapat dicapai

dengan menggunakan stimulasi saraf berulang atau elektromiografi serat tunggal.

Serum kreatinin fosfokinase atau keberadaan antibodi antinuklear dapat

membantu dalam mendiagnosis miopati inflamasi. Elektromiografi jarum berguna

dalam membedakan miosit inflamasi dari gangguan neurogenik tetapi tidak


sepenuhnya spesifik. Untuk diagnosis pasti miositis dan untuk membedakan

dermatomiositis, polimiositis, dan miositis tubuh inklusi, biopsi otot mungkin

diperlukan. Tes fungsi tiroid sangat membantu dalam mendiagnosis miksedema

dan tirotoksikosis. Tirotoksikosis adalah penyebab disfagia yang reversibel dan

harus selalu dipertimbangkan dalam diagnosis banding, terutama pada pasien usia

lanjut di mana tanda-tanda tirotoksikosis yang lebih klasik biasanya tidak ada.28

Lima tes utama saat ini digunakan untuk memperkirakan dan mengukur

disfungsi menelan: radiografi barium, videofluoroscopic swallowing study

(VFSS; modifikasi barium swallow), fiberoptic endoscopic evaluation of

swallowing (FEES), endoskopi atas, dan manometri esofagus. Alat-alat ini

ditujukan untuk memperoleh pengukuran obyektif dari waktu, tekanan,

jangkauan, dan kekuatan, dari pergerakan peralatan menelan, aliran bolus, dan

jarak bebas; sensasi; dan proteksi jalan nafas bersama dengan resiko atau adanya

aspirasi.28

VFSS, tetap menjadi pemeriksaan awal yang paling umum digunakan

untuk mengevaluasi disfagia orofaring. Pemeriksaan ini sangat sensitif dan dapat

memandu manajemen untuk sebagian besar pasien ini, karena memberikan

informasi penting tentang semua 4 kategori disfungsi menelan oropharyngeal:

ketidakmampuan faring atau penundaan yang berlebihan dalam inisiasi menelan,

aspirasi menelan, regurgitasi nasofaring, dan residu menelan dalam rongga faring

setelah menelan.28

Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988, FEES telah berkembang

sebagai teknik pemeriksaan bedside yang cepat, valid, aman, berbiaya rendah, dan
tepat untuk mengevaluasi disfagia di semua kelompok umur, termasuk panti

jompo dan fasilitas perawatan jangka panjang. Pada temuan endoskopi fiberoptik

pada pasien stroke akut, skala keparahan disfagia yang berbeda telah

dikembangkan untuk membantu memprediksi hasil dan komplikasi yang terjadi.

Setiap kali ada kecurigaan klinis disfagia orofaringeal mekanik, VFSS harus

menjadi pemeriksaan pertama yang digunakan karena dapat memberikan peta

jalan anatomi untuk FEES berikutnya.28

Sebagian besar dokter AS menggunakan endoskopi sebagai pemeriksaan

diagnostik awal. Dalam kasus di mana skenario klinis menunjukkan lesi esofagus

proksimal (misalnya, operasi leher atau radiasi sebelumnya atau adanya

divertikulum Zenker), striktur kompleks ( menelan atau radiasi kaustik), atau

achalasia, menelan barium mungkin merupakan penyelidikan yang lebih sensitif

dan lebih aman sebelum mencoba endoskopi. Sensitivitas pemeriksaan barium

untuk mendeteksi lesi struktural dan fungsional dapat lebih ditingkatkan melalui

manuver Valsava atau menelan a bolus padat seperti marshmallow.28

F. Tatalaksana

VFSS atau FEES dapat dengan mudah mengidentifikasi striktur faring

atau krikofaringeal, neoplasma orofaringeal, divertikula hipofaring posterior

(Zenker), dan jaringan serviks. Kelainan mekanis ini mungkin memerlukan

pembedahan, dilatasi, kemoterapi, terapi radiasi, atau kombinasi dari modalitas

ini. Dilatasi esofagus biasanya aman dan efektif pada 75% kasus striktur jinak

atau jaring. Dilatasi atau miotomi krikofaringeal (terbuka atau endoskopi dengan

atau tanpa divertikulektomi terkait divertikulum Zenker) dapat membantu pada


98% pasien dengan disfungsi sfingter esofagus bagian atas. Kelainan struktural

lainnya termasuk batang cricopharyngeal, osteophytes serviks, atau hiperostosis

skeletal, dan divertikula faring lateral juga dapat secara umum diidentifikasi

selama evaluasi menelan. 28

Resolusi disfungsi faring pada keadaan eutiroid telah dilaporkan pada

tirotoksikosis. Demikian pula, terapi imunosupresif untuk miopati inflamasi

dikaitkan dengan peningkatan fungsi menelan. Berbeda dengan miopati tirotoksik

dan inflamasi, manajemen disfagia dengan penyebab neuromuskuler

menimbulkan kesulitan yang signifikan pada kebanyakan pasien. Dalam

kelompok ini, tingkat keparahan disfungsi menelan tidak terkait dengan tingkat

keparahan penyakit yang mendasari, juga tidak ada terapi obat khusus yang dapat

diprediksi membantu disfungsi menelan. 28

G. Rehabilitasi

Kebanyakan pasien usia lanjut dengan disfagia neurogenik membutuhkan

terapi menelan. Selama pelatihan menelan, pasien diminta 1.) makan beberapa

makanan secara oral sambil mencegah aspirasi melalui teknik postural

kompensasi, rangsangan sensorik, manuver menelan, dan perubahan pola makan

dan 2.) latihan untuk membangun kekuatan dan koordinasi untuk mendapatkan

kembali fungsi menelan penuh tanpa kompensasi. Efektivitas teknik kompensasi

yang berbeda untuk pasien tertentu dapat dinilai selama evaluasi.28

Lima teknik postur tubuh (dagu ke bawah, dagu ke atas, kepala menoleh,

kepala dimiringkan, dan berbaring) dan beberapa kombinasi postur tubuh saat ini

digunakan untuk membantu menelan, dengan khasiat yang dilaporkan pada


beberapa populasi. Setiap postur memiliki efek spesifik dalam hal aliran makanan

dan hubungan struktur oropharyngeal serta dapat memberikan kompensasi yang

optimal pada pasien dengan defek spesifik pada oropharyngeal swallow.

Misalnya, postur dagu ke bawah sangat cocok pada pasien dengan gangguan dasar

lidah, dan postur berbaring berguna pada pasien dengan kerusakan faring bilateral

atau penurunan ketinggian laring. Stimulasi kimiawi, termal, dan taktil melalui

perubahan rasa, volume, suhu, dan karbonasi makanan (bolus) dan bahkan

tekanan tambahan pada lidah dengan sendok saat makanan disajikan telah

digunakan secara efektif untuk mengatur perilaku menelan manusia. Baru-baru ini

, rangsangan rasa, stimulasi oral termal taktil, dan stimulasi listrik faring telah

terbukti memodulasi jalur motorik menelan, representasi kortikal menelan, dan

membalikkan kecacatan menelan. Seperti teknik postural, efektivitas rangsangan

sensorik dapat dinilai selama evaluasi instrumental. Beberapa manuver menelan

seperti supraglottic, super-supraglottic, dan usaha menelan dan manuver

Mendelsohn telah digunakan oleh subjek normal dan pasien dysphagic untuk

mengkompensasi pharyngeal swallow dan digunakan dalam rehabilitasi menelan.

Semua manuver ini menghasilkan perubahan spesifik pada menelan faring, tetapi

beberapa penelitian telah meneliti protokol optimal untuk mengobati berbagai

jenis pasien disfagik dalam hal frekuensi dan durasi pengobatan. Perubahan pola

makan, terutama diet cairan kental, biasanya digunakan untuk mencegah aspirasi

cairan pada pasien dengan disfagia oropharyngeal. Namun, hasil dari uji klinis

baru-baru ini menunjukkan bahwa cairan yang mengental ke berbagai viskositas

mungkin tidak memberikan keamanan yang lebih baik.28

Anda mungkin juga menyukai