Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Kebiasaan makan yang kurang baik pada remaja dan keinginan untuk
terlihat langsing, khususnya pada remaja putri seringkali menimbulkan gangguan
makan (eating disorder). Gangguan pola makan yang umum diderita khususnya
oleh remaja putri adalah bulimia dan anoreksia nervosa. Pada masa remaja
banyak anak, khususnya remaja putri, dengan berat badan normal tidak puas
dengan bentuk dan berat badannya dan ingin menjadi lebih kurus. Pada remaja
putri ini pada umumnya ingin mempunyai bentuk badan yang lebih langsing,
ramping dan menarik. Untuk mencapai hal tersebut mereka tidak segan-segan
melakukan hal-hal yang justru tidak mereka sadari dapat membahayakan diri dan
kesehatannya. Agar tampak langsing dan menarik mereka tidak mau makan pagi,
mengurangi frekuensi makan bahkan melakukan diet yang berlebihan. Hal senada
diungkapkan oleh Daniel dalam Arisman (2002) hampir 50% remaja terutama
remaja yang lebih tua, tidak sarapan. Penelitian lain membuktikan masih banyak
remaja sebesar 89% yang meyakini kalau sarapan memang penting, namun yang
sarapan secara teratur hanya 60%. Remaja putri malah melewatkan dua kali waktu
makan, dan lebih memilih kudapan. [1]
Gangguan makan yang umumnya ditemui pada remaja putri adalah
anoreksia nervosa dan bulimia. Anoreksia adalah aktivitas untuk menguruskan
badan dengan melakukan pembatasan makan secara sengaja dan melalui kontrol
yang ketat karena ketakutan akan kegemukan dan bertambahnya berat badan.
Penderita anoreksia sadar bahwa mereka merasa lapar namun takut untuk
memenuhi kebutuhan makan mereka karena bisa berakibat naiknya berat badan.
Persepsi mereka terhadap rasa kenyang terganggu sehingga pada saat mereka
mengkonsumsi sejumlah makanan dalam porsi kecil sekalipun, mereka akan
segera merasa ‘penuh’ atau bahkan mual. Mereka terus menerus melakukan diet
mati-matian untuk mencapai tubuh yang kurus. Pada akhirnya kondisi ini bisa
menimbulkan efek yang berbahaya yaitu kematian. Diperkirakan satu dari seratus
remaja putri atau 1% antara usia 12 tahun sampai 18 tahun mengalami anoreksia
nervosa. [1]

Gangguan makan terjadi dari beberapa perilaku makan berupa perilaku


mengurangi makan hingga pada perilaku mengkonsumsi makanan secara
berlebihan. Pola perilaku ini disebabkan oleh pengaruh distress atau disebabkan
oleh beberapa faktor pengkondisian bentuk tubuh tertentu. Individu yang memiliki
gangguan makan biasanya mereka makan dalam porsi tertentu, dalam jumlah
kecil atau banyak, akan tetapi dorongan-dorongan kuat untuk melakukan perilaku
tersebut merupakan permasalahan yang tidak bisa dikontrol oleh dirinya.
Gangguan makan biasanya dimulai pada awal dewasa, beberapa laporan
menyebutkan bahwa gangguan tersebut juga muncul di awal masa kanak-kanak
yang berlanjut pada usia dewasa. Gangguan makan yang terjadi pada masa kanak-
kanak biasanya mereka sembunyikan dari orangtua. Berdasarkan DSM IV,
gangguan makan dibagi dalam 3 tiga tipe yakni anoreksia nervosa, bulimia
nervosa dan gangguan makan yang tidak terdefinisi. [2]
BAB II

PEMBAHASAN

DEFINISI

Anoreksia (anorexia) berasal dari bahasa Yunani an-, yang artinya


“tanpa” dan orexis artinya “hasrat untuk”. Anoreksia memiliki arti “tidak
memiliki hasrat untuk (makan)”, yang sesungguhnya keliru, karena kehilangan
nafsu makan diatara penderita anoreksia nervosa jarang terjadi. Anoreksia nervosa
dapat diartikan sebagai gangguan makan karena adanya keinginan yang keras
untuk mendapatkan tubuh yang kurus dan ditandai oleh penurunan berat badan
yang yang ekstrim dengan cara sengaja melaparkan diri. [2]

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-


TR), anoreksia dicirikan sebagai gangguan yaitu orang menolak untuk
mempertahankan berat badan, rasa takut yang hebat akan kenaikan berat badan,
dan kesalahan yang menginterpretasikan tubuh dan bentuknya secara signifikan.
[3] Anoreksia nervosa ditandai dengan gangguan citra tubuh yang menonjol dan
terus menerus mengejar kekurusan, sering sampai titik kelaparan. Kira-kira
setengah orang-orang ini kehilangan berat badan secara drastis dengan
mengurangi asupan total makanan, dan beberapa diantara mereka mengikuti
program olahraga secara berlebihan. Setengahnya lagi berusaha melakukan diet
berlebihan tetapi kehilangan kendali dan terus menerus makan yang sangat
berlebihan dan diikuti dengan perilaku mengeluarkan kembali. [1]

EPIDEMIOLOGI

Terjadinya anoreksia nervosa (AN) meningkat sejak 2 dekade terakhir.


Diperkirakan ada satu setiap 100 wanita usia 16 – 18 tahun, menderita anoreksia
nervosa. Distribusinya merupakan distribusi bimodal, puncak pertama pada 14,5
tahun dan puncak yang lain pada 18 tahun; 25 % lebih muda dari 13 tahun.
Peningkatan telah dilaporkan disemua Negara barat, sedangkan Negara lain ada
beberapa laporan yang sporadic. Perbandingan penderita wanita dengan pria
adalha 10 : 1. Pada mulanya dilaporkan hanya ada pada kelompok sosioekonomi
menengah keatas, namun sekarang AN juga ada pada golongan sosioekonomi
yang lebih rendah. AN telah didiagnosis pada berbagai etnik dan ras. Bulimia
lebih umum terjadi daripada AN. Meningkatnya insidens gangguan makan yang
berhubungan dengan AN dan bulimia berkaitan dengan latar belakang keluarga.
Awitan anoreksia nervosa yang paling lazim adalah pada usia remaja
pertengahan, tetapi hingga 5% pasien anorektik memiliki awitan gangguan ini
pada usia awal 20 tahun. Anoreksia nervosa diperkirakan terjadi pada kira-kira 0,5
– 1 persen pada anak remaja perempuan. Gangguan ini terjadi 10-20 kali lebih
sering pada perempuan daripada laki-laki. [2]

SUBTIPE ANOREKSI NERVOSA

1. Restricting type, pembatasan secara berat asupan makanan (jumlah dan tipe
makanan yang dikonsumsi). Hal ini dapat dilihat dalam jalur yang berbesa
meliputi beberapa atau semua hal yang ada dibawah ini :
a. Pembatasan tipe makanan tertentu (contoh: karbohidrat dan berlemak)
b. Menghitung jumlah kalori
c. Melewatkan makan
d. Aturan obsesif dan pikiran yang kaku (contoh: hanya memakan makanan
yang sewarna). Pembatasan makanan dapat diikuti dengan olahraga yang
berlebih.[2]
2. Binge-eating/purging type, terdapat periode dimana untuk melakukan
kompensasi terhadap makanan yang telah dikonsumsi mereka melakukan
induksi muntah, penyalahgunaan diuretik dan pencahar, dan atau olahraga
secara berlebih.[2]

ETIOLOGI

Faktor biologis, sosial, dan psikologis terkait sebagai penyebab anoreksia


nervosa. Beberapa bukti mengacu pada angka koordinasi yang lebih tinggi pada
kembar monozigotik daripada kembar dizigotik. Saudara perempuan dari pasien
anoreksia nervosa kemungkinan terkena, tetapi hubungan ini lebih mencerminkan
pengaruh sosial daripada faktor genetik. Gangguan mood berat adalah lebih sering
ditemukan pada anggota keluarga daripada populasi umum. Secara neurokimiawi,
berkurangnya atau menurunnya aktivitas norepinefrin diperkirakan oleh berkurang
atau menurunnya 3-metoksi-4-hidroksifemilglikol (MHPG) di dalam urine dan
cairan serebrospinal (CSS) pada sejumlah pasien anoreksia nervosa. Suatu
hubungan terbalik terlihat antara MHPG dan depresi pada pasien anoreksia
nervosa: peningkatan MHPG menyebabkan penurunan depresi. [1]

3 Faktor yang terlibat dalam penyebab anoreksia nervosa :

1. Faktor Biologis
Opioid endogen dapat turut berperan dalam penyangkalan rasa lapar
pada pasien anoreksia nervosa. Kelaparan menimbulkan banyak perubahan
biokimia, beberapa diantaranya juga terdapat pada depresi, seperti
hiperkortisolemia dan nonsupresi oleh deksametason. Fungsi tiroid juga
ditekan. Kelainan ini diperbaiki dengan pemberian asupan nutrisi kembali.
Kelaparan menyebabkan amenore, yang mencerminkan penurunan kadar
hormon (luteinzing hormone, follicle-stimulating hormone, dan
gonadotrophin-releasing hormone), namun beberapa pasien anoreksia nervosa
menjadi amenorik sebelum menurunnya berat badan secara signifikan.
Beberapa studi computed tomographic (CT) mengungkapkan pembesaran
ruang CSS (melebarnya sulkus dan ventrikel) pada pasien anoreksia nervosa
selama kelaparan, sesuatu temuan yang dibalik dengan meningkatnya berat
badan. Pada satu studi positron emission tomographic (PET) scan,
metabolisme nukleus kaudatus lebih tinggi pada keadaan anorektik
dibandingkan setelah pemberian asupan nutrisi kembali.[1]

2. Faktor Sosial
Pasien anoreksia nervosa mendapat dukungan atas perbuatan mereka
melalui tekanan masyarakat akan olahraga dan kekurusan. Tidak ada
kelompok keluarga yang spesifik untuk anoreksia nervosa, tetapi beberapa
bukti menunjukkan bahwa pasien ini memiliki hubungan yang dekat tetapi
bermasalah dengan orang tuanya. Di dalam keluarga dengan anak yang
memiliki gangguan makan, terutama makan berlebihan atau subtipe
mengeluarkan kembali, mungkin terdapat tingkat permusuhan, kekacauan, dan
isolasi yang tinggi, serta tingkat empati dan pengasuhan yang rendah. Seorang
remaja dengan gangguan makan berat mungkin cenderung menjauhkan
perhatian dari hubungan perkawinan yang tidak nyaman.[1]

3. Faktor Psikologis dan Psikodinamik


Anoreksia nervosa tampak sebagai reaksi terhadap tuntutan yang
mengharuskan remaja untuk berperilaku lebih mandiri dan meningkatkan
fungsi sosial serta seksualnya. Pasien dengan gangguan ini mengganti
preokupasi mereka, yang menyerupai obsesi, terhadap makan dan kenaikan
berat badan untuk mengejar kesetaraan dengan remaja normal lainnya. Pasien
seperti ini khasnya tidak memiliki autonomi dan kemandirian. Banyak yang
merasa tubuh mereka berada di bawah kendali orang tua mereka, sehingga
melaparkan-diri mungkin menjadi suatu upaya mendapatkan pengesahan
sebagai oran yang unik dan spesial. Hanya melalui tindakan disiplin diri yang
luar biasa. Pasien anorektik dapat mengembangkan rasa autonomi dan
kemandirian. [4]
Klinis psikoanalitik yang menerapi pasien anoreksia nervosa umumnya
sepakat bahwa pasien muda ini tidak mampu berpisah secara psikologis dari
ibunya. Tubuh dapat dirasakan seolah-olah dihambat oleh introjeksi ibu yang
mengganggu dan tidak empatik. Kelaparan dapat secara tidak sadar menjadi
alat penahan pertumbuhan objek internal yang menggangu sehingga
menghancurkannya. Sering, proses identifikasi proyektif dalam interaksi
antara pasien dan keluarganya. Banyak pasien anorektik merasa bahwa
keinginan oral bersifat tamak dan tidak dapat diterima; dengan demikian.
Keinginan ini secara proyektif dipungkiri. Teori lain memfokuskan pada
khayalan penyuburan oral. Orang tua berespons terhadap penolakan makan
dengan menjadi cemas mengenai kapan pasien benar-benar makan. Pasien
kemudian dapat melihat orang tua sebagai seseorang yang memiliki keinginan
yang tidak dapat diterima dan secara proyektif memungkirinya: Yang lainnya
dapat menjadi rakus dan diatur oleh keinginan, tetapi bukan pasien.[1]

Diagnosis

Dalam pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa edisi ke III


(PPDGJ– III). Pedoman diagnostik anoreksia nervosa.
Ciri khas gangguan adalah mengurangi berat badan dengan sengaja,
dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita. Untuk suatu diagnosis yang pasti,
dibutuhkan hal-hal seperti dibawah ini :
a. Berat badan tetap dipertahankan 15% dibawah yang seharusnya (baik
yang berkurang maupun yang tidak pernah dicapai) atau Quatelet’s body
– mass index : adalah 17,5 atau kurang [Quatelet’s body – mass index =
berat (Kg) / tinggi (M2)]. Pada penderita pria pubertas bisa saja gagal
mencapai berat badan yang diharapkan selama periode pertumbuhan.
b. Berkurangnya berat badan dilakukan sendiri dengan menghindarkan
makanan yang mengandung lemak dan salah satu atau lebih dari hal-hal
yang berikut ini
1. Merangsang muntah oleh diri sendiri.
2. Menggunakan pencahar.
3. Olah raga berlebihan.
4. Memakai obat penekan nafsu makan dan atau diuretika.
c. Terdapat distorsi “body image” dalam bentuk psikopatologi yang spesifik
dimana ketakutan gemuk terus menerus menyerang penderita, penilaian
yang berlebihan terhadap berat badan yang rendah.
d. Adanya gangguan endokrin yang meluas, melibatkan hypothalmic-
pituitary axis, dengan manifestasi pada wanita sebagai amenore dan pada
pria sebagai kehilangan minat dan potensi seksual.
e. Jika onsetnya terjadi pada masa prepubertas, perkembangan puber
tertunda atau dapat juga tertahan (pertumbuhan berhenti, pada anak
perempuan buah dadanya tidak berkembang dan terdapat amenorrhea
primer, pada anak laki-laki genitalianya tetap kecil). Pada penyembuhan,
pubertas kembali normal, tetapi menarche terlambat. [4]
Awitan anoreksia nervosa biasanya terjadi antara usia 10 dan 30 tahun,
walaupun menurut DSM-IV-TR, yang paling lazim adalah antara 14 dan 18 tahun.
[1]

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Anoreksia Nervosa

A. Penolakan mempertahankan berat badan pada atau diatas berat badan normal
minimal sesuai dengan usia dan tinggi badan (contoh : penurunan berat badan
untuk mempertahankan berat badan hingga di bawah 85% dari yang diharapkan;
atau kegagalan mencapai berat badan yang diharapkan selama periode
pertumbuhan, sehingga menyebabkan berat badan di bawah 85% dari yang
diharapkan).
B. Rasa takut yang hebat akan kenaikan berat badan atau menjadi gemuk
meskipun berat badannya kurang.
C. Gangguan cara menghayati berat atau bentuk tubuhnya, pengaruh yang tidak
semestinya pada evaluasi diri mengenai berat badan atau bentuk tubuh, atau
penyangkalan betapa seriusnya berat badan saat ini yang rendah.
D. Pada perempuan pasca-menstruasi, amenore, yaitu, tidak adanya siklus
menstruasi sedikitnya tiga bulan berturut-turut. (Seorang perempuan dianggap
mengalami amenore jika periode menstruasinya terjadi hanya setelah pemberian
hormon, contoh; estrogen).

PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG


Pemeriksaan fisik yang diperlukan untuk penderita gangguan makan meliputi
pemeriksaan tanda vital, mengukur tinggi dan berat badan penderita dan
pemeriksaan status pubertas. Kelainan yang didapat pada pemeriksaan fisik
berupa kehilangan berat badan yang nyata, bradikardi, hipotensi postural,
hipotermi, penipisan email akibat tumpahan asam lambung, luka pada anus akibat
penggunaan pencahar yang berlebihan, kulit dan bibir kering akibat dehidrasi.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain darah rutin, kadar elektrolit,
kadar kalsium dan fosfat serum, pemeriksaan fungsi hati dan tiroid. Pemeriksaan
elektrokardiografi dilakukan bila ada gangguan fungsi jantung atau mendapat
pengobatan antidepresan.
Foto rontgen dapat membantu menentukan densitas tulang dan keadaan dari
jantung dan paru-paru, juga bisa menemukan kelainan saluran pencernaan yang
disebabkan oleh malnutrisi. [5]
PeptideYY (PYY) adalah anorexigen yang diturunkan dari usus yang
bekerja melalui reseptor Y2, dan penghapusan reseptor Y2 pada tikus
meningkatkan pembentukan tulang. Anorexia nervosa (AN) dikaitkan dengan
pengurangan yang disengaja dalam asupan makanan dan kepadatan tulang yang
rendah, tetapi modulator endokrin dari asupan makanan di AN tidak diketahui.
Selain itu, pengatur pergantian tulang yang diketahui, seperti GH, kortisol, dan
estrogen, hanya menjelaskan sebagian kecil dari variabilitas tingkat penanda
pergantian tulang. [6]

Tanda Fisik

a. Penurunan berat badan yang cepat atau perubahan berat badan sering
terjadi
b. Kehilangan atau gangguan periode menstruasi pada wanita dan penurunan
libido pada pria
c. Pingsan atau pusing
d. Seringkali merasa dingin, walaupun di musim panas (dikarenakan
sirkulasi yang buruk)
e. Merasa penuh, konstipasi atau dapat menjadi intoleransi terhadap
makanan
f. Merasa lelah dan tidur yang terganggu
g. Letargi atau kekurangan energi
h. Perubahan pada wajah (tampak pucat, mata cekung). [2]

Gejala psikologi

a. Preokupasi dengan makan, makanan, bentuk tubuh dan berat badan


b. Merasa cemas dan iritabel selama waktu makan
c. Ketakutan peningkatan berat badan
d. Menolak untuk mempertahankan berat badan normal sesuai dengan umur
dan tingginya
e. Depresi dan cemas
f. Lambat berpikir dan susah untuk konsentrasi
g. Pemikiran “black and white” – pemikiran yang kaku tentang makanan –
baik buruknya
h. Distorsi terhadap bentuk tubuh (melihat diri mereka gemuk, padahal
dalam kenyataannya mereka underweight)
i. Harga diri yang rendah dan perfeksionis
j. Peningkatan sensitivitas tentang komentar/pembicaraan yang
berhubungan dengan makanan, berat badan, bentuk tubuh dan olahraga
k. Rasa tidak puas yang ekstrem terhadap bentuk tubuh.[2]

Perubahan kebiasaan

a. Kebiasaan untuk diet (berpuasa, menghitung kalori makanan,


menghindari kelompok makanan tertentu seperti yang berkarbohidrat dan
berlemak)
b. Perilaku yang berulang atau obsesif terhadap bentuk tubuh dan berat
badan (contohnya mengukur berat badan berulang kali, melihat diri
dicermin secara berlebihan dan memegang pinggang dan pergelangan
tangan)
c. Adanya bukti binge eating (makanan menghilang dan disimpan)
d. Makan sendirian dan menolak makan dengan orang lain
e. Perilaku anti-sosial, lebih banyak menghabiskan waktu seorang diri
f. Merahasiakan tentang makanan mereka ( contohnya berkata sudah makan
namun belum makan, menyembunyikan makanan yang tidak dimakan
didalam kamar mereka)
g. Kompulsif atau aktivitas yang berlebihan (contohnya berolahraga dalam
cuaca yang buruk, meskipun sedang sakit, cedera atau ada kegiatan sosial
lainnya dan merasakan distress jika berolahraga tidak dilakukan.
h. Perubahan yang radikal dalam pemilihan makanan (contohnya tiba-tiba
tidak menyukai makanan yang biasanya dia senang konsumsi dulunya,
melaporkan bahwa dia mempunyai alergi makanan, intoleransi makanan
atau menjadi vegetarian). [2]

KOMPLIKASI

Komplikasi tersering yang dapat terjadi bagi pasien yang mnedertia anoreksia: [7]

 Kaheksia : hilangnya lemak, massa otot, penurunan metabolisme tiroid

(sindrom T3 rendah), intoleransi dingin, dan sulit mempertahankan temperatur

inti tubuh.

 Jantung : hilangnya otot jantung, jantung kecil, aritmia jantung, termasuk

kontraksi premature atrium dan ventrikel, perpanjangan transmisi berkas HIS

(perpanjangan interval QT, bradikardia, takikardia ventricular, kematian

mendadak.

 Pencernaan-gastrointestinal: perlambatan pengosongan lambung, kembunng,

konstiopasi, nyeri abdomen.

 Reproduktif : Amenore, kadar leutenizing hormone (LH) dan follicle

stimulating hormone (FSH) yang rendah.

 Dermatologis: lanugo (rambut halus tumbuh di seluruh tubuh), edema.

 Hematologys : leucopenia.

 Neuropsikiatri : sensasi kecap yng abnormal ( mungkin karena defesiensi dari

seng ), depresi apatetik, gangguan kognitif ringan.

 Rangka osteoporosis. Berhubungan dengan mencahar ( muntah dan

penyalahgunaan laksatif).

 Metabolisme : kelainan elektrolit, terutama alkalosis hipokalemik,

hipokloremik, dan hipomagnesimia.


 Pencernaan-gastrointestinal : peradangan dan pembesaran kelenjar liur dan

pancreas, dengan peningkatan amylase serum, erosi esophagus dan lambung,

usus disfungsional dengan dilatasi haustra.

 Gigi: erosi enamel gigi, terutama bagian depan, dengan dengan kerusakan gigi

yang bersangkutan.

 Neuropsikiatrik : kejang (berhubungan dengan pergeseran cairan yang besar

dan gangguan elektrolit), neuropati ringan, kelelahan, dan kelemahan,

gangguan kognitif lainnya.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding anoreksia nervosa dipersulit oleh penyangkalan pasien
terhadap gejala, kerahasiaan seputar ritual makan mereka yang aneh, dan
penolakan mereka untuk mencari terapi. Dengan demikian, pengidentifikasian
mekanisme penurunan berat badan dan pikiran mengenai distorsi citra tubuh
mungkin sulit.[1]
Klinis harus memastikan bahwa pasien tidak memiliki penyakit medis yang
dapat menyebabkan penurunan berat badan (contohnya tumor atau kanker otak).
Penurunan berat badan, perilaku makan aneh, dan muntah dapat terjadi pada
beberapa gangguan jiwa. Gangguan depresif dan anoreksia nervosa memiliki
beberapa gambaran yang sama, seperti perasaan depresi, menangis sambil
mengutuk, gangguan tidur, pikiran obsesif yang dalam, dan kadang-kadang
pikiran bunuh diri. Meskipun demikian, kedua gangguan ini, memiliki beberapa
ciri yang membedakan. Umumnya, seorang pasien dengan gangguan depresi
mengalami berkurangnya nafsu makan, sedangkan pasien anoreksia mengatakan
memiliki nafsu makan normal dan merasa lapar; hanya pada tahap anoreksia
nervosa yang berat saja pasien benar-benar mengalami penurunan nafsu makan.
Berlawanan dengan agitasi depresif, hiperaktivitas yang terlihat pada anoreksia
nervosa direncanakann bersifat ritualistik. Preokupasi dengan resep dan
kandungan kalori makanan serta persiapan makanan pesta khas pada pasien
anoreksia nervosa tetapi tidak pada pasien dengan gangguan depresif dan pada
gangguan depresif, pasien tidak memiliki rasa takut yang hebat terhadap obesitas
atau gangguan citra tubuh.[1]
Fluktuasi berat badan, muntah, dan penanganan makanan yang aneh dapat
terjadi pada gangguan somatisasi. kadang-kadang, seorang pasien memenuhi
kriteria baik diagnosis gangguan somatisasi maupun anoreksia nervosa; pada
kasus seperti itu, kedua diagnosis harus ditegakkan. Umumnya, kehilangan berat
badan pada anoreksia nervosa, pasien dengan gangguan somatisasi juga tidak
menunjukkan rasa takut yang patologis akan memiliki berat badan berlebihan,
seperti yang lazim ditemukan pada pasien anoreksia nervosa. Amenore selama 3
bulan atau lebih tidak lazim ditemukan pada gangguan somatisasi.
Pada pasien skizofrenik. waham mengenai makanan jarang berkaitan dengan
kandungan kalori. Mereka lebih cenderung yakin bahwa makananya diracun.
Pasien skizofrenik jarang memiliki preokupasi dengan rasa takut mengalami
obesitas dan tidak memiliki hiperakitvitas yang terlihat pada pasien anoreksia
nervosa. Pasien skizofrenik memiliki kebiasaan makan yang aneh tetapi tidak
memiliki semua sindrom anoreksia nervosa.[1]
Anoreksia nervosa harus dibedakan dengan bulimia nervosa yaitu suatu
gangguan dengan perilaku makan berlebihan yang episodik, disertai dengan mood
depresif, pikiran mencela diri, dan sering muntah yang dibuat sendiri terjadi
sedangkan pasien berat badan dipertahankan dalam batas normal. Pasien bulimia
nervosa jarang kehilangan 15% berat badannya, tetapi kedua keadaan tersebut
sering terdapat bersamaan.[1]

PERJALANAN GANGGUAN DAN PROGNOSIS


Perjalanan gangguan anoreksia nervosa sangat beragam, pemulihan spontan
tanpa terapi dan pemulihan setelah berbagai terapi. Perjalanan kenaikan berat
badan yang berfluktuasi disertai kekambuhan, perjalanan gangguan yang secara
bertahap memburuk sehingga terjadi kematian yang disebabkan komplikasi
kelaparan. Sebuah studi terkini yang meninjau ulang subtipe pasien anorektik
menemukan bahwa pasien anorektik tipe membatasi tampak lebih kecil
kemungkinannya untuk pulih daripada mereka yang memiliki tipe makan
berlebihan/mengeluarkan makanan kembali. [8] Terdapat respons jangka pendek
yang baik pada pasien yang menjalani hampir semua program terapi rumah sakit.
Meskipun demikian, pada mereka yang kembali mendapatkan berat badan yang
cukup, preokupasi terhadap makanan dan berat badan sering berlanjut, hubungan
sosial sering buruk, dan depresi sering terjadi. Umumnya, prognosis tidak baik.
Studi menunjukkan suatu kisaran angka mortalitas dari 5 hingga 18%. [9]
Indikator hasil yang sesuai harapan adalah pengakuan bahwa ia lapar,
berkurangnya penyangkalan dan imaturitas, dan meningkatnya harga diri. Faktor
tertentu seperti neurotik masa kanak-kanak, konflik orang tua, bulimia nervosa,
muntah, penyalahgunaan laksatif, dan berbagai manifestasi perilaku (seperti
obsesif kompulsif, gejala histeris, depresif, psikomatik, neurotik, dan
penyangkalan) dikaitkan dengan hasil yang buruk pada sejumlah studi tetapi tidak
bermakna untuk memengaruhi hasil studi lain. [10]
Suatu Studi selama 18 tahun menunjukkan bahwa kira-kira seperempat dari
pasien pulih sempurna dan setengah lainnya sangat membaik dan berfungsi
dengan baik. Seperempat lainnya mencakup angka mortalitas keseluruhan 7% dan
mereka yang berfungsi buruk dengan keadaan kronis berat badan kurang. Studi di
inggris dan swedia dalam periode waktu 20 hingga 30 tahun memiliki angka
mortalitas 18%. Kira-kira setengah dari pasien anoreksia nervosa akhirnya
memiliki gejala bulimia. Biasanya dalam setahun pertama setelah awitan
anoreksia nervosa. [11]

TERAPI
Memandang dampak medis dan psikologis anoreksia nervosa yang rumit,
disarankan melakukan rencana terapi yang komprehensif termasuk rawat inap di
rumah sakit. Jika diperlukan, dan terapi individual maupun keluarga. Pendekatan
kognitif, interpersonal. Dan perilaku, serta pada beberapa kasus, obat-obatan.
Harus dipertimbangkan.[1]

1. Rawat Inap di Rumah Sakit


Pertimbangan pertama di dalam terapi anoreksia nervosa adalah
mengembalikan keadaan gizi pasien; dehidrasi, kelaparan, dan
ketidakseimbangan elektrolit dapat menyebabkan masalah kesehatan yang
serius serta, pada beberapa kasus, kematian. Keputusan untuk merawat pasien
di rumah sakit didasarkan pada keadaan medis pasien dan derajat keberadaan
struktur yang diperlukan untuk memastikan pasien bekerjasama. Pada
umumnya, pasien anoreksia nervosa yang berat badannya 20% dibawah berat
badan yang diharapkan, disarankan untuk menjalani program rawat inap di
rumah sakit, dan pasien yang berat badannya di bawah 30% dari berat badan
yang diharapkan membutuhkan perawatan psikiatrik yang berkisar antara 2
hingga 6 bulan. [12]
Program psikiatrik rawat inap untuk pasien anoreksia nervosa
umumnya menggunakan kombinasi pendekatan pengelolaan perilaku,
psikoterapi individual, edukasi dan terapi keluarga, dan pada beberapa kasus,
obat psikotropik. Keberhasilan terapi ditingkatkan melalui kemampuan
petugas rumah sakit untuk mempertahankan pendekatan yang tegas tetap
suportif pada pasien, sering dengan kombinasi penguatan positif (pujian) dan
penguatan negatif (pembatasan olah raga dan perilaku mengeluarkan kembali
makanan yang telah dimakan). Program harus memiliki fleksibilitas untuk
terapi perorangan agar memenuhi kebutuhan dan kemampuan kognitif pasien.
Pasien harus menjadi partisipan yang berkemauan agar terapi berhasil
meskipun lama. [13]
Setelah pasien dipulangkan dari rumah sakit, biasanya klinisi merasa
perlu untuk melanjutkan pemantauan rawat jalan terhadap masalah yang telah
diidentifikasi pada pasien dan keluarganya. [14]

2. Psikoterapi
Terapi Perilaku - Kognitif. Prinsip terapi perilaku dan kognitif
dapat diterapkan di lingkungan rawat inap maupun rawat jalan. Terapi
perilaku ternyata efektif untuk mencetuskan peningkatan berat badan.
Pemantauan adalah komponen penting pada terapi perilaku-kognitif. Pasien
diajarkan untuk mengawasi asupan makanan, emosi, dan perasaan. Perilaku
makan berlebihan dan mengeluarkan kembali, serta masalah mereka di dalam
hubungan interpersonal. Pembentukan ulang struktur kognitf adalah metode
yang diajarkan pada pasien untuk mengidentifikasi pikiran autonom dan
untuk menantang keyakinan inti mereka. Pemecahan masalah merupakan
metode yang spesifik; pada metode ini, pasien belajar berpikir dan membuat
strategi untuk menghadapi masalah interpersonal serta masalah yang
berkaitan dengan makanan. Kerentanan pasien untuk mengandalkan perilaku
anoreksik sebagai cara menghadapi masalah dapat diatasi jika mereka belajar
menggunakan teknik ini dengan efektif. [15]
Psikoterapi Dinamik. Psikoterapi ekspresif-suportif yang dinamik
kadang-kadang digunakan untuk terapi pasien anoreksia nervosa. Tetapi
resistensi pasien dapat membuat proses menjadi sulit dan harus dilakukan
dengan seksama. Karena pasien memandang gejala mereka sebagai inti
keistimewaan mereka, terapis harus menghindari upaya yang berlebihan
untuk mengubah perilaku makan pasien. Fase pembukaan proses psikoterapi
harus diarahkan untuk membangun hubungan terapeutik. Pasien mungkin
akan merasakan interpretasi awal seolah-olah seseorang mengatakan pada
mereka apa yang benar-benar mereka rasakan sehingga yang sebenarnya
dirasakan sendiri menjadi minimal dan tidak berlaku lagi. Namun, terapis
yang berempati terhadap cara pandang pasien dan menunjukkan minat aktif
terhadap apa yang pasien pikirkan dan rasakan. Akan membuat pasien
merasakan bahwa otonomi mereka dihormati. Di atas semua itu, psikoterapi
harus fleksibel, persisten, dan tahan lama dalam menghadapi kecenderungan
pasien mengalahkan semua upaya untuk membantu mereka. [1]
Terapi Keluarga. Analisis keluarga harus dilakukan pada semua
pasien anoreksia nervosa yang tinggal dengan keluarganya. Berdasarkan
analisi ini, penilaian klinis dapat dibuat untuk menentukan jenis terapi
keluarga atau konseling yang disarankan. Pada beberapa kasus, terapi
keluarga tidak mungkin dilakukan, dengan demikian terapi individu
disarankan untuk menyelesaikan masalah hubungan keluarga. [16] Di dalam
satu studi terapi keluarga terkontrol di London, pasien anorektik yang berusia
dibawah 18 tahun memperoleh keberhasilan melalui terapi keluarga
sedangkan pasien berusia diatas 18 tahun menjadi lebih buruk dengan terapi
keluarga dibandingkan dengan terapi kontrol. Tidak ada studi terkontrol
untuk kombinasi terapi individu dan terapi keluarga. Meskipun demikian,
didalam praktik sebenarnya sebagian besar klinisi memberikan terapi individu
sekaligus beberapa bentuk konseling keluarga di dalam mengelola pasien
anoreksia nervosa. [17]

3. Farmakoterapi
Studi farmakologis belum berhasil menemukan obat yang
menghasilkan perbaikan yang pasti untuk gejala inti anoreksia nervosa.
Sejumlah laporan menyokong penggunaan cyproheptadine (periactin), suatu
obat dengan sifat antihistaminik dan antiserotonergik, untuk pasien dengan
tipe anoreksia nervosa yang membatasi. Amitriptyline (Elavil) juga telah
dilaporkan memberikan manfaat. Obat lain yang telah dicobakan kepada
pasien anoreksia nervosa dengan beragam hasil mencakup clomipramine
(Anafranil), pimozide (Orap), dan chloropromazine (Thorazine). Percobaan
fluoxatine (Prozac) dalam beberapa laporan menyebabkan kenaikan berat
badan, dan agen serotonergik mungkin memberikan respons positif di masa
mendatang. Pada pasien anoreksia nervosa dengan gangguan depresif yang
juga ada, keadaan depresif harus diterapi. Terdapat kekhawatiran mengenai
penggunaan obat trisiklik pada pasien depresi dengan berat badan rendah dan
anoreksia nervosa, yang mungkin rentan terhadap hipotensi, aritmia jantung,
dan dehidrasi. Jika status gizi yang adekuat telah diperoleh. risiko efek
samping serius obat trisiklik mungkin berkurang; pada beberapa kasus,
depresi membaik di sertai penambahan berat badan dan status gizi normal. [1]
Selain itu anorexia mengakibatkan banyak komplikasi akibat
kurangnya nutrisi yang masuk ke dalam tubuh. Komplikasi yang sering
termasuk tulang. Karena itu penting juga untuk mengembangkan strategi
terapi yang meningkatkan kepadatan tulang agar tidak terjadi komplikasi
yang lebih parah. [18]
BAB III
KESIMPULAN

Anoreksia memiliki arti “tidak memiliki hasrat untuk (makan)”, yang


sesungguhnya keliru, karena kehilangan nafsu makan diatara penderita anoreksia
nervosa jarang terjadi. Anoreksia nervosa dapat diartikan sebagai gangguan
makan karena adanya keinginan yang keras untuk mendapatkan tubuh yang kurus
dan ditandai oleh penurunan berat badan yang yang ekstrim dengan cara sengaja
melaparkan diri.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of mental disorder (DSM-IV-


TR), anoreksia dicirikan sebagai gangguan yaitu orang menolak untuk
mempertahankan berat badan, rasa takut yang hebat akan kenaikan berat badan,
dan kesalahan yang menginterpretasikan tubuh dan bentuknya secara signifikan.

Awitan anoreksia nervosa yang paling lazim adalah pada usia remaja
pertengahan, tetapi hingga 5% pasien anorektik memiliki awitan gangguan ini
pada usia awal 20 tahun Memandang dampak medis dan psikologis anoreksia
nervosa yang rumit, disarankan melakukan rencana terapi yang komprehensif
termasuk rawat inap di rumah sakit. Jika diperlukan, dan terapi individual maupun
keluarga. Pendekatan kognitif, interpersonal dan perilaku, serta pada beberapa
kasus farmakoterapi harus dipertimbangkan.
Bibliography

[1] Andersen AE, Yager J, "Eating Disorders," in Kaplan & Sadock's Comprehensive
Textbook of Psychiatry, 10th Edition , Lippincott Williams & Wilkins, 2010, pp. 2003-
2027.

[2] Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA, "Gangguan Makan," in Kaplan-Sadock Sinopsis
Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis`, Binarupa Aksara, 2010, pp. 194-
203.

[3] A. P. Association, Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders 4th Edition,
Text-Revised: DSM-IV-TR., Washington DC: American Psychiatric Publishing Inc.,
2000.

[4] Zonnevijlle-Bendek MJS, Van Goozen SHM, Cohen-Kettenis PT, Van Elburg A, Van
Engelan H, "Do adolescent anorexia nervosa patients have deificit in emotional
functioning?," European Child & Adolescent Psychiatry, pp. 38-42, 2002.

[5] Soyka LA, Misra M, Frenchman A, Miller KK, Grinspoon S, Schoenfeld DA, Klibanski
A, "Abnormal bone mineral accrual in adolescent girls with anorexia nervosa," the
journal of Clinical Endocrinology, pp. 4177-4185, 2002.

[6] "Elevated peptide YY levels in adolescent girls with anorexia nervosa," the journal of
clinical endocrinology , pp. 1027-1033, 2006.

[7] Misra M, Aggrawal A, Miller KK, Almazan C, Worley M, "Effects of anorexia on


clinical, hematologic, biochemical and bone density parameters in community-
dwelling adolescent girls," PEDIATRICS, pp. 1574-1586, 2004.

[8] Couturier J, Lock J, "What is recorvery in adolescent anorexia nervosa?," Int J Eat
Disord, pp. 50-55, 2006.

[9] Dahlman BH, Muller B, Herpetz S, Heussen N, "Prospective 10-year follow-up in


adolescent anorexia nervosa," J Child Psych, pp. 603-612, 2001.

[10] Zonnevylle MJS, Van Goozen HM, Cohen PT, "Emotional functioninng in adolecent
anorexia nervosa patients a controlled study," European Child & Adoles Psychiatry,
pp. 28-34, 2004.

[11] Wentz E, Gillberg IC, Anckarsater H, Gillberg C, Rastam M, "Adolescent-onset


anorexia nervosa 18-year outcome," the british journal of psychiatry, pp. 168-174,
2009.
[12] Lock J, LeGrange D, Agras S, Moye A, Bryson SW, Jo B, "Rondomized clinical trial
comparing family-based treatment with adolecent-focused individual therapy for
adolescents with anorexia nervosa," Arc Gen Psychiatry, pp. 1025-1032, 2010.

[13] Grange DL, Eisler I, "Family Interventions in Adolescent Anorexia Nervosa," Child
Adolesc Psychiatric Clin N Am, pp. 159-173, 2008.

[14] Gowers SG, Weetman J, Shore A, Hossain F, Elvins R, "Impact of hospitalisation on


the outcome of adolescent anorexia nervosa," British Journal of Psychiatry, pp. 138-
141, 2000.

[15] Heffner M, Sperry J, Eifert GH, Detweiler M, "Acceptance commitmen therapy in


the treatment of an adolescent female with anorexia nervosa : a case example,"
cognitive Behavioral Case, pp. 232-238, 2002.

[16] Lock J, Agras WS, Bryson S, Kraemer HC, "A comparison of short and long term
family therapy for adolescent anorexia nervosa," J Am Acad Child Adolesc, pp. 632-
640, 2005.

[17] Eisler I, Dare C, "Family therapy for adolecent anorexia nervosa : the result of a
controlled comparison of two family interventions," J child Psychi, pp. 727-736,
2000.

[18] Misra M, Katzman D, Miller KK, Mendes N, Snelgrove D, "psychologic estrogen


replacement increases bone density in adolescent girls with anorexia nervosa,"
JBMR, pp. 2430-2438, 2011.

Anda mungkin juga menyukai