Anda di halaman 1dari 10

B.

FAKTOR RESIKO YANG MEMPENGARUHI SISTEM PENCERNAAN

Beberapa gaya hidup yang salah, seperti membatasi asupan cairan dan
mengindari konsumsi buah segar, dapat menganggu gizi dan pencernaan pada lansia.
Selain gaya hidup, beberapa penyakit tertentu juga dapat menjadi paktor pemicu
gangguan pencernaan pada lansia. Lansia lebih rentan gangguan pencernaan
dikarenakan efek kolektif dan factor risiko dan perubahan terkait penuaan. Faktor resiko
mempengaruhi setiap fase pencernaan dan penyerapan nutrisi, dan hak ini secara
signifikan mempengaruhi pola makan serta asupan gizi. Sebuah studi yang dihasilkan
oleh locker dkk ( 2008 ) merinci beberapa factor risiko yang mempengaruhi timbulnya
gangguan pencernaan dan asupan gizi yang tidak memadai pada lansia antara lain
kmiskinan, gangguan kognisi, gangguan fungsional, pengunaan obat-obatan kesehatan
mulut yang buruk, kesehatan fisik atau mental yang buruk, dan kekurangan dukungan
social atau akses terhadap sumber daya masyarakat.

1. Kondisi perawatan kesehatan mulut


Kesehatan mempengaruhi status gizi karna mempengaruhi proses
menguyah, makan, menelan, berbicara, dan interaksi social. perawatan gigi dan
mulut yang tidak adekuat adalah dua kondisi umum pada orang dewasa
berpengaruh pada proses makan dan penyerapan nutrisi. Beberapa factor yang
berkontribusi terhadap buruknya perawatan gigi antara lain pendapat rendah,
kurangnya pendidikan, kurangnya transportasi, kurangnya asuransi gigi, biaya
yang tinggi untuk layanan gigi, masalah kesehatan yang lebih mendesak, dan
tidak dapat diaksesnya layanan kesehatan karena jarak atau rintangan
lingkungan lainnya. Dampak negative dari kesehatan mulut yang buruk antara
lain malnutrisi, dehidrasi, penyakit periodontal, infeksi sal;uran pernapasan,
infeksi sendi, penyakit koardivaskular, control glikemik yang buruk pada
diabetes, dan peningkatan risiko strok (Haumschild & haumschild 2009;
o’connor 2008;Miller 2012)
2. Penurunan fungsional dan timbulnya penyakit
Kerusakan fungsional berhubungan erat dengan gizi buruk, terutama
berkaitan dengan ketergantungan pada orang lain untuk makan (oliever) fogaca
& leandro-merhi (2009). misalnya gangguan mobilitas atau gangguan
penglihatan dapat menganggu kemampuan lansia untuk mendpatkan dan
menyiapkan makanan. Sejauh mana gangguan fungsional mempengaruhi nutrisi
tergantung pada tingkat besarnya ketersediaan dukungan social, seperti keluarga,
teman, atau perawat untuk membantu menyediakan makanan. Disfagia
(kesulitan menelan) adalah gangguan fungsional yang secara signifikan dapat
mempengaruhi proses mengunyah, menelan, danpenyerapan nutrisi. Lebih dari
separuh penduduk panti jompo memliki disfagia, yang paling sering desebabkan
oleh neurologis serta gangguan neromuskular.
Timbulnya sebuah penyakit juga meningkatkan risiko terjadinya
gangguan pada penyerapan gizi dan pencernaan. Kondisi patologis juga dapat
menganggu nafsu makan dan kenikmatan makanan lansia. Sebagai contoh
infeksi, hipertiroidisme, hipoadreanalisme, dangagal jantung kongestif
berhubungan dengan onoreksia, kondisi rheumatid dan penyakit paru obstruksi
kronik (PPOK) dikaitkan dengan penurunan nafsu makan dan meningkatya
pengeluaran energy. Demensia dan kelainan neurdegeneratif lainnya seringkali
memiliki efek negative yang serius pada kegiatan makan dan penyerapan nutrisi.
Hal tersebut terkait pengadaan dan penyiapan makanan, mengingat makan,
mengunyah, dan menelan makan.

3. Efek konsumsi obat-obatan


Konsumsi obat-obatan tertentu dapat membuat factor risiko gangguan
pencernaan dan gangguan nutrisi melalui efeknya terhadap pencernaan, pola
makam, dan pemanfaaatan nutrisi. Efek negatif konsumsi obat-obatan lebih
mungkin terjadi pada orang dewasa karena penongkatan penggunaan obat-
obatan. Obat dapat mempengaruhi nutrisi denganmenganggu penyerapan dapat
eksresi nutrisi seperti berikut ini:
a. Antibiotik dapat mengubah flora usus dan merusak sistensis nutrisi
b. Obat dan vitamin yang memiliki struktur kimia sejenis dapat bersaing dalam
tubuh sehingga mengubah pola ekskresi.
c. Beberapa obat mengikat ion tertetu dan membentuk senyawa yang tidak
dapat diserap. Misalnmya tetrasiklin dapat mengikat zat besi dan kalsium.
d. Suplemen gizi dan herbal juga bisa mempengaruhi nutrisi.

4. Faktor gaya hidup


Mengkonsumsi alcohol dan merokok bias mengubah status nutrisi lansia
dengan beberapa cara. Alokol memiliki kandungan kaori yang tinggi tapi nilai
nutrisinya rendah, sehingga memberikan kalori kosong. Selain itu, alcohol juga
menganggu penyerapan vitamin B-kompleks dan vitamin C. Merokok
mengurangi kemampuan untuk membaui dan mencecap makanan serta
menganggu penyerapan vitamin C dan asam folat.

5. Faktor psikososial
Faktor psikososial cenderung mempengaruhi nafsu makan dan pola
makan lansia. Setiap perubahan dalam kebiasaan makan, seperti kehilangan
pasangan, cenderung berdampak negative pada pola makan. Lansia biasanya
membentuk pola persiapan jangka panjang mengenai makanan bagi keluarga,
akan sangat sulit bagi lansia untuk menyesuaikan diri dengan pembelian,
persiapan, dan makanan untuk seorang diri. Lansia juga biasanya bergantung
pada orang lain untuk mempersiapkan makanan, setiap factor yang membatasi
ketersediaan sumber daya pendukung akan mempengaruhi kemampun orang
dewasa untuk mendapatkan makanan.
Stress dan kecemasan mempengaruhi proses pencernaan melalui proses
pencernaan pada system saraf otonom. Meski berhubungan dengan efek sres
pada pencernaan tidak selalu terjadi pada lansia, perubahan system saraf otonom
terkait penuaan bias terjadi namun tidak ada banak berpengaruh pada
pencernaan. Lansia yang mengalami depresi cenderung mengalami anoreksia
dan kehilangan minat pada makanan. Masalah memori dan gangguan kognitif
lainnya dapat menganggu secara signifikan dengan pola makan dan kemampuan
menyiapkan makanan. Studi menunjukkan bahwa gangguan kognitif dan depresi
terkait dengan status gizi buruk pada lansia di masyarakatdan pengaturan
perawatan jangka panjang (Grieger, nowson & Ackland 2009; Johansson,
sidenvall, malmberg, & christesson, 2009; sahyoun, anyanwu, sharkey & miller,
2012).

6. Faktor budaya dan social ekonomi


Latar belakang etnis, kepercayaan agama, dan factor budaya lainnya
sangat mempengaruhi cara orang mendefinisikan, memilih, mempersiapkan,
makan dan minuman. Faktor budaya juga bias mempengaruhi pola makan dan
pemilihan makanan yang berkaitan dengan status kesehatan. Misalya, beberapa
suku atau ras tertentu menglasifikasikan makanan, minuman, dan obat-
obatanharus dikonsumsi dalam kondisi panas atau dingin, dan mereka mungkin
memilih makanan tertentu berdasarkan kepercayaan mereka.
Warisan budaya makan biasanya tidak merugikan lansia, asalkan
makanan mengandung nutrisi penting bagi kesehatan namun, untuk lainsia yang
memiliki kondisi medis yang memerlukan modifikasi diet (misalnya diabetes tau
hipertensi).budaya makan bisa memperparah kondisi dan menciptakan hambatan
terhadap terapi nutrisi. Dalam kondisi ini, perawat gerontik harus selalu
memperhatikan bahwalansia dengan pola makan yang mengikuti kebudayaan
tidakdapat diubah secara total. Namun perawat harus mengenali setiap factor
budaya yang dapat mempengaruhi nutrisi lansia.
Status ekonomi juga mempengaruhi pilihan makanan. Jika asupan gizi
sudah tidak memadai karena keterbatasan keungan yang sudah berlangsung
lama, efek gizi buruk bagi lansia. Hal ini terutama didukung perubahan terkait
penuaan pada asupan nutrisi dan pemanfaatannya. Orang dengan status ekonomi
rendah biasanya memiliki pilihan makanan yang lebih sedikit daripada social
ekonomi endah, termasuk tingkat pendidikan, juga terkait dengan kurangnya
perawatan gigi dan kerontokan gigi (starr & hall,2010 miller 2012).

7. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan mempengaruhi kenikmatan makanan dan kemampuan
untuk mendapatkan dan menyiapkan makanan tersebut. Lansia yang tinggal di
fasilitas perawatan lansia dalam jangka waktu panjang akan sulit menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang tidak biasa. Selain itu meeka mungkin tidak
mengingankan interaksi social waktu mkana, padahal hal tersebut tidak bias
dihindari apabila tinggal difasilitas perawatan lansia. Kondisi yang ramai dan
berisik bias berdampak negative pada konsumsi makanan. Lingkungan tersebut
akan menimbulkan stress pada lansia yang menggunakan alat bantu dengan atau
yang terbiasa makan sendiri.
Pengaruh lingkungan seperti kondisi cuaca buruk, terutama
mempengaruhi orang tua yang mengalami gangguan fisik yang tinggal dirumah
mereka sendiri. Misalnya orang tua yang biasanya berjalan ke pasar atau
bergantung pada transportasi umum tidak mendapatkan belanjaan pada saat
kondisi hujan. Lansia yang bergantung pada orang lain untuk transportasi atau
yang mengalami kesulitan bepergian dalam cuaca buruk cenderung berbelanja
bahan makanan lebih jarang atau hanya berbelanja di warung dengan harga lebih
mahal dan pilihan terbatas. Tambahan biaya dan pilihan terbatas dapa
menganggu asupan makanan dan menyebabkan kekurangan nutrisi.

8. Perilaku berdasarkan mitos atau kesalahpahaman


Mitos dan kesalahpahaman bisa berdampak negatif pada asupan
makanan dan perilaku yang berhubungan dengan fungsi usus. Saat ini
masyarakat sudah mengetahui bahwa kurangnya serat dalam konsumsi buah dan
sayuran yang dimasak adalah pola makan yang berkontribusi terhadap sembelit
dengan cara memperlambta waktu transit kotopran melewati usus besar.
Kenyakinan umum lain yang dipegang adalah bahwa buang air besar setiap hari
baik untuk funsi pencernaan. Ketaatan yang ketat terhadap standar tersebut pada
kenyataanya, mengarah pada hal yang tidak perlu dan merugikan. Misalnya
banyak orang yang akhirnya menggunakan obat pencahar agar dapat BAB
dengan lancer. Gencarnya iklan yang dilakukan di berbagai media mengenai hal
in juga semakin memperkuat keyakinan salah bahwa buang air besar setiap hari
seharusnya dilakukan dicapai melalui pengobatan.
Kesalahphaman tentang asupan cairan mungkin juga menganggu
pencernaan dan nutrisi. Banyak lansia yang nengurangi jumlah cairan yang
mereka konsumsi dalam upaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
inkontinnensia urin.asupan cairan juga bias berkurang karena keterbatasan
fungsional misalnya gangguan mobilitas dapat menggunakan kemampuan untuk
mendapatkan cairan ekskresi urin. Mengurangi asupan cairan bisamenimbulkan
sejumlah konsekuensi yang merugikan, seperti konstipasi, xerostomia sdan lain-
lain.

C. KONSEKUENSI FUNGSIONAL YANG MEMPENGARUHI SISTEM


PENCERNAAN
Konsekuensi fungsional yang mempengaruhi aspek pencernaan dan
nutrisi pada lansia meliputi hal-hal berikut :
1. Pengadaan, persiapan, dan kenikmatan makanan.
2. Mstikasi dan pencernaan makanan
3. Status gizi
4. Fungsi psikososial
Konsekuensi fungsional negative terjadi terutama karena banyak factor
risiko yang mempengaruhi lansia, bukan karna perubahan terkait penuaan
saja. Kemampuan untuk mempersiapkan dan menikmati makanan, kegiatan
yang melibatkan pengadaan, persiapan, konsumsi, dan menikmati makanan
bergantung pada keterampilan kognisi, keseimbangan, mobilitas, serta panca
indra.
Pengadaan makanan tergantung pada penyiapan bahan makanan,
misalnya pagi belanja kepasar atau warung kelontong, mengetahui informasi
biaya dan gizi dari bahan makanan yang dibeli, dan proses penyimpanan
bahan makanan. Perubahan terkait penuaan dan kondisi yang menganggu
proses tersebut meliputi gangguan penglihatan dan timbulnya penyakit,
seperti Arthritis yang membatasi mobilitas dan keseimbangan. Kegiatan
persiapan makanan yang cenderung lebih sulit untuk lansia termasuk
memotong makanan, mengukur bahan secara akurat, membawa makanan
dan cairan tanpa tumpah, berdiri untuk waktu yang lama di dapur, meraih
barang-barang pad arak tinggi atau lemari, menggunakan kompor secara
aman, dan sebagainya. Penurunan penglihatan, keseimbangan, kognisi, atau
mobiltas cenderung menyebabkan kesulitan dalam melakukan tugas ini.
Fungsi sensorik yang berkurang dapat mempengaruhi kenikmatan
dengan beberapa cara sebagai berikut:
1. Persepsi warna, rasa, atau bau yang tidak akurat dapat menganggu selera
makan makanan
2. Sensitivitas keringat dan penciuman yang berkurang dapat menyebabkan
penggunaan bumbu yang berlebihan, seperti garam dan gula
3. Kerusakan visual dan penciuman bias menyulitkan mendeteksi makanan
busuk.

Beberapa konsekuensi fungsional yang mempengaruhi pencernaan dan


nutrisi pada lansia antara lain sebagai berikut :

1. Perubahan funsi mulut


Proses pencernaan pada lansia yang sehat tidak secara signifikan
dipengaruhi oleh perubahan terkait penuaan, namun lansia bias sering
mengalami gangguan pencernaaan (misalnya mulas atau konstipasi) yang
disebabkan oleh faktor risiko yang biasa terjadi. Xerostomia
menyebabkan konsekuensi fungsional yang negatif karena bias
menganggu kenyamanan mengunyah, kenikmatan makanan, dan
sensitivitas rasa. Selain itu, penurunan produksi air liur membuat lansia
lebih sulit mengunyah, makanan dan meningkatkan risiko gigi dan lidah
terserang bakteri.
Quandt dkk. (dalam Miller 2012) menyimpulkan bahwa lansia
dengan kesehatan mulut yang buruk cenderung menghindari makan buah
utuh, sayuran mentah, dan daging. Konsekuensi fungsional untuk
mengunakan gigi palsu juga bisa menyebabkan menghindari makanan
tertentu, mengurangi efisiensi mengunyah, dan meningkatkan kerentanan
tersedak karena pengunyahan yang tidak efektif. Lansia dengan gigi
palsu biasanyaa mengindari daging, salad, buah segar, dan sayuran
mentah. Hal ini meningkatkan risiko kekurangan nutrisi bagi mereka
(savaco dkk., 2010; tsakos, herrick, sheiham, & watt, 2010; miller,
2012).

2. Status gizi dan perubahan berat badan


Lansia membutuhkan lebih sedikit kalori, akibatnya kekurangan
mineral atau vitamin penting cenderung terjadi jika jumlah kalori
berkurang tanpa peningkatan kualitas makanan yang dikonsumsi. Selain
itu factor risiko (misalnya obat-obatan dan kondisi patologis) yang bisa
terjadi pada lansia sering menyebabkan kondisi kekurangan nutrisi.
Sebagai contoh, kekurangan zat besi dikaitkan dengan penyakit kronis
dan status social ekonomi rendah. Lansia biasanya kekurngan mineral
dan vitamin, seperti kalsium, vitamin B, Vitamin D, dan vitamin E.
Jenis malnutrisi yang umum terjadi pada lansia adalah malnutrisi
kurang energi protein (KEP) yang terjadi saat asupan kalori dan protein
kurang dari jumlah yang dibutuhkan untuki memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Kondisi ini berhubunga erat dengan karbohidrat tinggi, diet, protein,
satu atau beberapa factor risiko (misalnya depresi, kehilangan nafsu
makan, kondisi patologis). Gejala ringan atau sedang dari KEP antara
lain lesu, penurunan berat badan yang tidak disengaja, berkurangnya
massa otot (ditandai penurunan lemat subkutan), dan gangguan
kemampuan unuk merespons tekanan fisiologis (misalnya pembedahan
aau infeksi). Jika kondisi berkembang menjadi parah, gejala ini bisa
diikuti dengan edema dan hilangnya protein visceral. Penelitian yang
dilakukan price 2008 pada lansia antara usia 65 dan 99 tahun, menaril
kesimpulan bahwa KEP memiliki dampak negative seperti anemia,
penurunan fungsi tiroid, perubahan produksi insulin, anomaly retensi
pada garam dan air, hilangnya massa otot, menurunya filtrasi
glomerulus, penurunan pembersihan kreatinin, dan peningkatan risiko
pneumonia.
Perubahan terkait penuaan dalam komposisi tubuh dan
metabolism karbohidrat berkontribusi terhadap kenaikan berat badan
secara bertahap. Proporsi lemak tubuh kejaringan ramping mulai
meningkat sekitar usia 30 tahun dan menyebabkan peningkatan lemak
perut yang tidak proporsional seiring bertambahnya usia. Pola distribusi
lemak ini berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes, penyakit
kardiovaskular, dan kondisi kronis lainnya yang berusia 65-74 tahun.

3. Kualitas hidup
Makanan dan gizi cukup merupakan komponen penting yang
berhubungan dengan kualitas hidup seseorang, kegiatan yang
berhubunga dengan makanan sering menjadi inti dari sebuah perayaan,
ritual, keagamaan, atau pertemuan untuk berbagai peristiwa penting.
Selain itu, waktu makan biasanya berhubungan dengan kepedulian,
kenyamanan, dan interaksi social. Jadi, apabila kenikmatan makan
terkena dampak negative, aspek psikososial makan juga terpengaruh.
Lansia yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan makan keluarga atau
makan di tempat ramai bisa saja menarik diri dari kegiatan ini jika
kegiatan makan bersama dirasa tidak lagi menyenangkan. Bila asupan
cairan atau nutrisi tidak memadai, lansia cenderung mengalami
kekurangan gizi dan dehidrasi karena gangguan mekanisme homeostatic.
Perubahan status kognitif termasuk gangguan memori merupakan
salah satu tanda awal malnutrisi, dehidrai, dan ketidakseimbagan
elektrolit pada lansia. Terkadang perubahan mental ini disebabkan salah
dipersepsikan sebagai akibat kondisi interversibel (misalnya demensia)
dan bukan ketidakseimbangan metabolsme yang bisa diobati dan dapat
dipulihkan. Misalnya kekurangan vitamin B12 atau vitamin D adalah
penyebab perubahan mental yang umum (morley 2010).

Anda mungkin juga menyukai