Anda di halaman 1dari 16

MALNUTRISI DI RUMAH SAKIT

PENDAHULUAN
Malnutrisi adalah suatu keadaan defisiensi, kelebihan atau ketidakseimbangan protein energi
dan nutrien lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi pada tubuh. Malnutrisi menjadi
masalah kesehatan global terutama pada pasien rawat inap, dimana akan memperburuk
prognosis dan kualitas hidup dengan meningkatkan angkat kematian, kesakitan, infeksi dan
memperpanjang masa rawatan di rumah sakit.1
Dalam 50 tahun terakhir (1971-2021), populasi penduduk lansia di Indonesia meningkat dua
kali lipat menjadi 10,82% (sekitar 29,3 juta jiwa). Hal ini sejalan dengan peningkatan Angka
Harapan Hidup mencapai 69,67 tahun untuk laki-laki, 73,55 tahun untuk perempuan.2
Malnutrisi di rumah sakit dilaporkan tingkat prevalensi bervariasi antara 20% -65.5%.
Penelitian di RS Universitas King Abdulazis di Jeddah, Arab Saudi menunjukkan 76,6%
pasien berusia diatas 60 tahun mengalami malnutrisi atau beresiko malnutrisi. Prevalensi
malnutrisi di rumah sakit cukup tinggi, namun masalah tersebut sering tidak terdeteksi dan
tidak ditatalaksana dengan baik selama di rumah sakit. Hal ini disebabkan karena malnutrisi
seringkali tidak terdeteksi sejak awal sehingga tidak ditatalaksana dengan baik. Penelitian
Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo pada 2012
sebanyak 82 orang (46,3%) dalam kelompok status berisiko malnutrisi, 57 orang (32,2%)
dalam kelompok malnutrisi, dan 38 orang (21,5 %).3,4,5
Pada usia lanjut dengan satu atau lebih masalah kesehatan, baik akut maupun kronik,
pengkajian ulang {reassessments) keadaan status nutrisi harus sering dilakukan dan
selanjutnya rencana asuhan nutrisi dapat diperbaiki bila diperlukan. Tulisan ini akan
membahas masalah malnutrisi, khususnya masalah kurang nutrisi {undernutrition) yang
sering terjadi pada orang usia lanjut.

PATOFISIOLOGI
Malnutrisi protein energi terjadi karena asupan yang tidak adekuat (misalnya starvasi) atau
berhubungan dengan penyakit yang diderita yang memengaruhi metabolisme, komposisi
tubuh, dan nafsu makan (misalnya kaheksia). Terdapat hubungan yang kompleks antara
nutrisi, status kesehatan dan keluaran klinik.
Orang lanjut usia dan khususnya pasien rawat inap mempunyai risiko lebih tinggi mengalami
malnutrisi. Penurunan asupan makanan merupakan hal yang umum dan sering dikaitkan
dengan suatu penyakit, akut atau kronis, yaitu peningkatan kebutuhan energi. Kombinasi
penurunan asupan makanan dan peningkatan kebutuhan selama sakit menempatkan lansia
pada kelompok risiko tertentu.6
Penurunan asupan makanan sering dikaitkan dengan hilangnya kemampuan sensorik perasa
dan penciuman, yang mengakibatkan anoreksia dan disebut anoreksia karena penuaan, namun
mungkin juga disebabkan oleh kesehatan mulut yang buruk, kesulitan dalam mengunyah dan
menelan, efek samping pengobatan farmakologis, keterbatasan kognitif, isolasi sosial,
kesepian atau depresi. Banyak kondisi akut (misalnya infeksi, pembedahan) yang sering
terjadi karena penyakit penyerta kronis (misalnya gagal jantung, penyakit pernapasan,
kanker, gagal ginjal) dan meningkatkan kebutuhan energi serta memicu malnutrisi pada
lansia yang sudah rentan.7
Dengan bertambah umur, respon inflamasi sering mengalami disregulasi sehingga
terjadi peningkatan konsentrasi serum sitokin proinflamasi dan mediator inflamasi yang lain.
Sitokin proinflamasi tersebut adalah interleukin (IL)-6, IL-1 (beta), tumor necrosis factor
{JNF)-a dan IL-8. Fungsi sitokin ini sebagai perantara dan secara langsung menginduksi
manifestasi klinik penyakit yang berhubungan dengan inflamasi termasuk penurunan berat
badan.
Selain aspek individual ini, faktor eksternal seperti kualitas makanan, suasana makan,
dan kualitas layanan (medis dan gizi) dapat mempengaruhi asupan makanan dan
berkontribusi terhadap malnutrisi, khususnya di rumah sakit dan panti jompo.

EVALUASI
Pengkajian status nutrisi yang rutin dan rinci merupakan bagian dari pengkajian paripurna
pada pasien geriatri, yang mutlak dilakukan pada pasien usia lanjut, meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan antropometrik, pemeriksaan penanda biokimiawi dan
penilaian usia lanjut yang berisiko malnutrisi dengan menggunakan tools yang sudah
divalidasi. Penilaian status nutrisi pada geriatri tidak mudah karena adanya perubahan
komposisi tubuh terkait usia dan penurunan fungsi yang menyerupai perubahan akibat
malnutrisi. Tidak seperti pada usia muda, pada usia lanjut tanda manutrisi dan malabsorpsi
nutrient seringkali tidak jelas kecuali pada keadaan yang sangat berat.
Pengkajian nutrisi secara komprehensif meliputi:
1. Anamnesis: Pengkajian penyebab berat badan turun/faktor risiko, pengkajian asupan
makanan
2. Pemeriksaan antropometrik
3. Laboratorium
ANAMNESIS
Kadangkala sulit mendapatkan data yang akurat pada anamnesis pasien usia lanjut,
disebabkan karena berkurangnya daya ingat, terjadi penurunan fungsi kognitif dan rasa takut.
Oleh karena itu, aloanamnesis dengan pramurawat (caregiver) dan keluarga penting
dilakukan.
Pada anamnesis dicari faktor risiko malnutrisi, misal- nya: penurunan berat badan,
riwayat penyakit kronik, riwayat obat-obatan, diet khusus, kesehatan mulut, depresi, keadaan
status fungsional dan sosial, peminum alkohol. Perlu dicurigai adanya masalah nutrisi bila
terdapat penyakit-penyakit yang sering terkait dengan timbulnya malnutrisi seperti gangguan
kognitif, gangguan mobilisasi, gangguan miokard kronik, gangguan ginjal kronik, masalah
paru, sindrom malabsorbsi, dan polifarmasi. Selain itu bila terdapat riwayat anoreksia, rasa
cepat kenyang, mual, perubahan pola defeksi, fatique, apatis, atau hilangnya daya ingat,
bahkan faktor sosial misalnya rasa kesepian, kemiskinan harus mendapat perhatian penuh
dalam mendeteksi malnutrisi. Faktor-faktor risiko yang memengaruhi masalah nutrisi harus
dicari dalam melakukan anamnesis.
Pasien usia lanjut yang dirawat karena kondisi medis akut atau masalah bedah sangat
berisiko berkembang menjadi malnutrisi. Keadaan yang sering terjadi pada perawatan di
rumah sakit yang memicu berkurangnya lean/ total body mass adalah tirah baring yang lama,
inflamasi akut, dan asupan nutrisi yang tidak adekuat. Keadaan tersebut merupakan faktor
risiko tinggi mortalitas. Oleh karena itu, pada orang usia lanjut yang dirawat di rumah sakit
karena kondisi medis akut harus dilakukan anamnesis yang mendalam dan rinci untuk
menemukan faktor risiko yang berkaitan dengan nutrisi.
Penyakit-penyakit kronik yang memengaruhi status nutrisi, antara lain disfungsi
pencernaan, sesak napas karena penyakit paru obstruktif kronik dan gagal jantung kongestif
(mempengaruhi kemampuan menyiapkan dan asupan makanan), gangguan endokrinologi
dapat meningkatkan metabolisme (hiperparatiroidisme) atau menurunkan nafsu makan
(Pheokromasitoma).
Efek samping obat-obat yang diminum dapat merupakan penyebab utama penurunan
berat badan, termasuk anamnesis obat-obat yang dibeli bebas, vitamin dan supplement
nutrisi. Mekanisme dapat melalui penurunan nafsu makan, gangguan absorpsi nutrien.
Kualitas pengecap makanan menurun dengan bertambah umur. terutama jika ada
riwayat merokok. Terjadi perubahan pada rasa dan bau. Jumlah papilla pengecap pada lidah
menurun sejalan dengan umur. Yang pertama menurun adalah rangsang pengecap manis dan
asin, makanan mulai terasa asam atau pahit, sehingga anamnesis pengecap rasa dan bau
penting untuk ditanyakan.
Pada usia lanjut yang menderita penyakit kronis, misalnya hipertensi, diabetes melitus, gagal
jantung, hiperurisemia pola diet sesuai yang dianjurkan dokter/ ahli gizi misalnya diet rendah
garam, diet DM, diet jantung dan rendah purin. Hal tersebut dapat menurunkan asupan kalori
yang meningkatkan risiko malnutrisi
Depresi dan demensia dapat menyebabkan penurunan berat badan pada usia lanjut.
Demensia lanjut berhubungan dengan gangguan menelan. Keadaan lain yang memengaruhi
status nutrisi pada usia lanjut adalah status fungsional yang rendah, kemiskinan, isolasi sosial,
dan perlakuan salah pada usia lanjut (elder abuse)
Skrining gizi bertujuan mengidentifikasi status gizi pasien yang masuk dalam kategori
malnutrisi atau risiko malnutrisi,membutuhkan kajian gizi yang lebih mendalam. Berbagai
metode skrining pada pasien di rumah sakit telah dikembangkan dan dilakukan review di
beberapa negara. Metode skrining gizi yang paling banyak digunakan adalah MST
(Malnutrition Screening Tool) dan MUST (Malnutrition Universal Screening Tool).
Penelitian meta analisis telah membuktikan MST dan MUST merupakan alat yang valid
dalam penentuan malnutrisi pasien di rumah sakit dan dapat memprediksi lama masa rawat
(LOS) dan mortalitas baik pada pasien dewasa maupun pasien lanjut usia. Sedangkan
rekomendasi ESPEN (2002) menganjurkan penggunaan Nutritional Risk Screening (NRS-
2002) yang mangandung komponen dari MUST dan menambahkan derajat beratnya penyakit
untuk mendeteksi malnutrisi di rumah sakit. Apabila didapatkan hasil skrining berisiko, perlu
dilanjutkan dengan asesmen dan perencanaan nutrisi, sedangkan pasien yang tidak berisiko,
dapat dilakukan skrining ulang dengan interval tertentu selama di rawat di rumah sakit. 8
Skrining sebaiknya bersifat sederhana, cepat dan mampu mendeteksi secara dini
pasien berisiko malnutrisi serta mampu dilaksanakan oleh staf admisi. Data skrining
umumnya meliputi usia, jenis kelamin, diagnosis medis, berat badan, tinggi badan,
perubahan berat badan dan diet yang sedang dijalankan. Pengembangan dan modifikasi
skrining gizi sesuai kondisi rumah sakit harus dilakukan dokter Spesialis Gizi Klinik (SpGK)
agar pasien berisiko malnutrisi dapat dideteksi secara dini dan ditangani dengan tepat. 8
Sistem akreditasi rumah sakit mengharuskan semua pasien masuk rumah sakit
dilakukan assesmen awal termasuk didalamnya skrining gizi awal yang dilakukan oleh
perawat, jika skrining gizi awal skor >2, maka diinformasikan kepada dietisien untuk
dilakukan skrining gizi lanjutan dengan menggunakan Malnutrition Universal Screening
Tools (MUST). Jika hasil skrining tersebut skor >2 maka pasien berisiko tinggi malnutrisi,
sehingga harus mendapatkan penanganan oleh tim terapi gizi.9

Tabel Malnutrition screening tools (MST)

Pertanyaan Skor

1 Apakah ada penurunan berat badan yang tidak direncanakan


Tidak 0
Tidak pasti/tidak tahu/ya 2

2 Bila ya, berapa kilogram penurunan tersebut (dalam kg)


1–5 1

6 -10 2

11 – 15 3
>15 4
Tidak pasti/tidak tahu 5

3 Penurunan nafsu makan/asupan makan


Tidak 0
Ya 1

TOTAL SKOR

PENGKAJIAN ASUPAN MAKANAN


Pengkajian asupan makanan secara terinci merupakan bagian yang krusial dalam pengkajian
nutrisi, walaupun seringkali sulit didapat. Pengkajian asupan makanan ini dapat dilakukan
bekerja sama dengan bagian gizi rumah sakit (dietisien yang terlatih).
Terdapat 4 cara untuk mendapatkan informasi asupan makanan:
1. Food record
Pasien mencatat semua makanan dan minumanyang dikonsumsi dalam waktu 7 hari. Cara
ini paling akurat dan praktis untuk mengumpulkan data, asalkan pasien kooperatif.
2. Food-frequency questionnaire
Cara ini kurang akurat bila dibanding dengan food record. Food Frequency Questionnaire
adalah untuk menilai perilaku makan dan mendapatkan data kuantitas asupan makanan 1
bulan terakhir dengan cara menanyakan frekuensi, jumlah dan jenis makanan yang
dikonsumsi dalam 1 minggu terakhir dengan bantuan food model sebagai panduan untuk
membantu ingatan subyek. Selanjutnya, data yang diperoleh dalam ukutan rumah tangga
(URT), dikonversikan dalam ukuran gram menggunakan daftar bahan makanan penukar
dan dianalisis dengan program nutrisurvey 2005
3. 24-hour recall
Pasien mengingat semua makanan yang dikonsumsi dalam 24 jam. Cara ini kurang
akurat,tergantung ketrampilan penanya, keterbatasan daya ingat pada usia lanjut dan
dipengaruhi variasi makanan dari hari ke hari.
4. Riwayat diet
Riwayat diet diceritakan oleh pasien, yang dilakukan oleh dietisien yang terlatih
Pengkajian asupan makanan tidak hanya ditanyakan pada saat sebelum pasien dirawat, tetapi
juga perlu dikaji asupan makanan selama dalam perawatan. Dokter bersama ahli gizi dan
perawat (sebagai bagian dari Tim Terpadu Geriatri) memantau perkembangan asupan
makanan pasien yang dirawat setiap hari.

PEMERIKSAAN FISIK/ANTROPOMETRIK
Nilai-nilai antropometrik berhubungan erat dengan nutrisi, lingkungan, kondisi sosiokultural,
gaya hidup, status fungsional dan kesehatan. Pemeriksaan antropometrik merupakan hal
esensial dalam penentuan malnutrisi pada evaluasi nutrisi geriatri.

Berat Badan, Tinggi Badan dan Indeks Massa Tubuh

Berat badan merupakan prediktor kuat morbiditas dan mortalitas pasien rawat inap.
Berat badan cenderung meningkat hingga akhir usia 60 tahun dan selanjutnya menurun secara
bertahap. Malnutrisi dapat terjadi pada usia lanjut yang overweight, yang perlu dicurigai bila
ditemukan penurunan berat badan bermakna.
Pengukuran antropometrik pertama adalah mengukur tinggi badan dan berat badan
kemudian mengukur indeks massa tubuh (IMT). Indeks massa tubuh dihitung dengan
membagi berat badan (dalam kilogram) dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter persegi).
Menurut Nutritional Survey Initiative (NSI) IMT normal 22-27, malnutrisi ringan IMT < 18,4
dan malnutrisi berat IMT < 16.
Pada saat mengukur tinggi badan seseorang berusia lanjut, perlu diingat bahwa dalam
perjalanan usianya dapat terjadi pengurangan tinggi badan. Pengurangan tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa hal antara lain: berkurangnya komponen cairan tubuh sehingga
diskus intervertebralis relatif kurang mengandung air sehingga menjadi lebih pipih; makin tua
seseorang ada kecenderungan semakin kifosis sehingga tinggi tegak lurusnya berkurang,
berkurang kekuatan otot dan perubahan postural. Penurunan tinggi badan tersebut akan
memengaruhi hasil perhitungan IMT; oleh sebab itu dianjurkan menggunakan tinggi lutut
{knee height) untuk menentukan secara pasti tinggi badan sesorang. Tinggi lutut tidak akan
berkurang kecuali jika terdapat fraktur tungkai bawah. Dari tinggi lutut dapat dihitung tinggi
badan sesungguhnya (lihat rumus)

Riwayat penurunan berat badan merupakan hal yang penting dalam anamnesis pasien
usia lanjut. Berdasarkan data dari Nutritional Screening Initiative (NSI), penurunan berat
badan > 5% dalam 1 bulan atau > 7,5% dalam 3 bulan, atau > 10% dalam 6 bulan dianggap
bermakna. Beberapa studi menyatakan terdapat hubungan antara turunnya berat badan
dengan peningkatan risiko mortalitas.
Pengukuran berat badan dilakukan dengan mengguna- kan timbangan yang dikalibrasi,
dengan memakai pakaian ringan dan tanpa sepatu dengan mempertimbangkan beberapa
faktor yang memengaruhi seperti edema, asites dan kehilangan anggota tubuh. Pada pasien
yang tidak dapat berdiri pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan upright
balance beam scale atau wheelchair scale, pada pasien imobilisasi pengukuran dilakukan
dengan menggunakan bed scale. Mat pengukur tersebut harus rutin dikalibrasi.

Pengukuran Tebal Lipatan Kulit dan Massa Otot

Persentase lemak pada orang tua lebih besar dibanding usia muda. Proses menuajuga
memengaruhi distribusi lemak dimana lemak pada tubuh dan intraabdomen meningkat
sementara pada ekstremitas kurang. Pengukuran lingkar lengan atas (LLA) dan lipatan triceps
berkorelasi dengan lemak tubuh pada orang usia lanjut dan merupakan perkiraan kasar
simpanan lemak dan massa otot. Pemeriksaan lipatan kulit lebih sulit dilakukan dibanding
pengukuran lingkar lengan atas dan butuh ketrampilan.

Pemeriksaan Penanda Biokimiawi

Selain untuk identifikasi malnutrisi, penanda biokimiawi dapat untuk mendeteksi defisiensi
mikronutrien dan untuk monitor efikasi intervensi nutrisi. Beberapa penanda biokimia yang
dipakai antara lain serum albumin, prealbumin, serum transferin, retinol binding protein dan
IGF-1. Peneltian Kuzuya dkk menunjukkan bahwa serum albumin pada pasien dengan ADL
rendah tidak berkorelasi dengan parameter nutrisi lain seperti antropometrik dan kuesioner
SGA.
Kelima langkah MUST sebagai berikut: 9

1. Langkah 1 : hitung indeks massa tubuh pasien (IMT) dengan menggunakan rumus
Jika tinggi badan atau berat badan tidak dapat diukur, dilakukan pengukuran panjang
lengan bawah (ulna) untuk memperkirakan tinggi badan dengan menggunakan tabel
di bawah ini.

Gambar 1. Cara Pengukuran panjang lengan bawah (ulna)

Tabel 3. Panjang lengan bawah (ulna) untuk memperkirakan tinggi badan

Untuk memperkirakan IMT, dapat menggunakan pengukuran lingkar lengan atas (LLA).

a. Lengan bawah sisi kiri pasien ditekuk 90o terhadap siku, dengan lengan atas paralel di
sisi tubuh. Ukur jarak antara tonjolan tulang bahu (akromion) dengan siku
(olekranon). Tandai titik tengahnya.
b. Perintahkan pasien untuk merelaksasikan lengan atasnya, ukur lingkar lengan atas di
titik tengah, pastikan pita pengukur tidak menempel terlalu ketat
Gambar 2. Cara Pengukuran lingkar lengan atas (LLA)

c. LLA < 23,5 cm = perkiraan IMT < 20 kg/m2


d. LLA > 32 cm = perkiraan IMT > 30 kg/m2

2. Langkah 2 : nilai persentase kehilangan berat badan yang tidak direncanakan dan
berikanlah skor.
a. Skor 0 : penurunan BB <5%
b. Skor 1 : penurunan BB 5 – 10%
c. Skor 2 : penurunan BB >10%
3. Langkah 3 : nilai adanya efek/pengaruh akut dari penyakit yang diderita pasien, dan
berikan skor (rentang antara 0-2). Sebagai contoh, jika pasien sedang mengalami
penyakit akut dan sangat sedikit / tidak terdapat asupan makanan > 5 hari, diberikan skor
2.
4. Langkah 4 : tambahkan skor yang diperoleh dari langkah 1, 2, dan 3 untuk menilai
adanya risiko malnutrisi.

• Skor 0 : risiko rendah


• Skor 1 : risiko sedang
• Skor ≥ 2 : risiko tinggi

5. Langkah 5 : gunakan panduan tata laksana pelayanan gizi untuk merencanakan strategi
perawatan:
a. Risiko rendah:
1) Perawatan rutin: ulangi skrining pada pasien di rumah sakit (tiap minggu),
pada pasien rawat jalan (tiap bulan), masyarakat umum dengan usia > 75 tahun
(tiap tahun).

b. Risiko sedang:
1) Observasi:

a) Catat asupan makanan selama 3 hari


b) Jika asupan adekuat, ulangi skrining: pasien di rumah sakit (tiap minggu),
pada pasien rawat jalan (tiap bulan), masyarakat umum (tiap 2-3 bulan).
c) Jika tidak adekuat, rencanakan strategi untuk perbaikan dan peningkatan
asupan nutrisi, pantau dan kaji ulang program pemberian nutrisi secara
teratur.
c. Risiko tinggi : konsul ke ahli gizi atau tata laksana perawatan
dilakukan secara tim oleh Tim Terapi Gizi (TTG)

Tabel 4. Nutritional Risk Screening (NRS 2002) 8

Tabel A Skrining awal

1 Apakah IMT <20,5 kg/m2 Ya Tidak

2 Apakah pasien kehilangan berat badan dalam 3 bulan terakhir?

3 Apakah pasien mengalami penurunan asupan dalam 1 minggu


terakhir

4 Apakah pasien mengalami penyakit yang berat?


(misalnya terapi intensif)

Ya: jika jawaban adalah “Ya” untuk semua pertanyaan, skrining dilanjutkan dengan tabel B.
Tidak: Jika jawaban “Tidak” untuk semua pertanyaan, dilakukan skrining ulang dengan
interval 1 minggu pada pasien. Jika pasien misalnya direncanakan untuk operasi mayor,
perencanaan intervensi nutrisi preventif perlu dipertimbangkan untuk menghindari risiko.

Tabel B Skrining akhir

Gangguan status gizi Derajat beratnya penyakit (≈


Kebutuhan meningkat)

Tidak ada Status gisi normal Tidak ada Kebutuhan gizi normal
Skor 0 Skor 0

Ringan Kehilangan BB >5% dalam 3 Ringan Fraktur, penyakit kronis,


Skor 1 bulan atau asupan kurang dari Skor 1 khususnya dengan
50 – 75% dari kebutuhan komplikasi akut: sirosis,
normal 1 minggu sebelumnya COPD, hemodialisis kronis,
diabetes, kanker

Sedang Kehilangan BB >5% dalam Sedang Major abdominal surgery,


Skor 2 2 bulan atau IMT 18,5 20,5 + Skor 2 stroke, severe pneumonia,
gangguan kondisi umum atau hematologic malignancy
asupan kurang dari 25 – 60%
dari kebutuhan normal 1
minggu sebelumnya

Berat Kehilangan BB >5% dalam 1 Berat Head injury, Bone marrow


Skor 3 bulan atau IMT <18,5 + Skor 3 transplantation, intensive
gangguan kondisi umum atau care patients
asupan 0 – 25% dari kebutuhan (APACHE 10)
normal 1 minggu sebelumnya

Skor + Skor = Skor total

Usia Jika ≥70 tahun: tambahkan 1 untuk skor total di atas

Skor <3: skrining ulang tiap minggu. Jika pasien misalnya direncanakan untuk operasi mayor,
perencanaan intervensi nutrisi preventif perlu dipertimbangkan untuk menghindari risiko.

Diagnosis malnutrisi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


antropometri dan pemeriksaan klinis. 8

1. Anamnesis
Anamnesis yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis malnutrisi yaitu:

a. Riwayat asupan makanan sebelum dan selama dirawat di rumah sakit


b. Asupan makanan dalam 24 jam, perubahan konsistensi makanan
c. Ada tidaknya penurunan berat badan
2. Pemeriksaan antropometri
Pemeriksaan antropometri yang dapat dilakukan pada pasien yang masuk ke rumah sakit
yaitu:

a. Pengukuran berat badan


b. Pengukuran tinggi badan/panjang badan
c. Indeks massa tubuh (IMT)
d. Pengukuran lingkar lengan atas (LLA)
e. Pengukuran tebal lipatan kulit (TLK)
f. Pengukuran komposisi tubuh dengan BIA (Alat Bioelectrical Impedance
Analysis (BIA)
g. Fat free mass index (FFMI). Malnutrisi jika Fat free mass index (FFMI) <15 kg/m2
untuk perempuan atau FFMI <17 kg/m2 untuk laki-laki.

PENAPISAN STATUS NUTRISI


Beberapa instrumen telah dikembangkan untuk mendeteksi adanya malnutrisi, berupa
kuesioner selfassessment maupun yang harus dikerjakan oleh tenaga medis, diantaranya:
Mini Nutritional Assessment (MNA)
Mini nutritional assessment (MNA) merupakan instrumen terpilih karena cukup sederhana,
lengkap dalam menilai faktor-faktor yang mungkin berperan pada status nutrisi, dan validitasnya
sudah banyak diuji oleh berbagai studi di berbagai negara dan pada berbagai kondisi. Penilaian nutrisi
mini (MNA) merupakan alat spesifik yang didesain untuk tujuan mengidentifikasi risiko malnutrisi
pada lanjut usia sedini mungkin. MNA dapat digunakan secara berkala untuk lingkup masyarakat
maupun di rumah sakit.

MNA merupakan kuesioner yang terdiri atas 18 pertanyaan untuk menilai dan
mendeteksi adanya risiko malnutrisi, terbagi menjadi menjadi 6 butir pertanyaan untuk
skrining malnutrisi dan dilanjutkan dengan 12 pertanyaan full MNA untuk menilai status
nutrisi. Pertanyaan pada MNA mencakup antropometrik (penurunan berat badan, IMT, LLA
dan lingkar betis), asupan makanan (asupan makanan dan cairan, frekuensi makanan, dan
kemampuan makan sendiri), penilaian global (gaya hidup, obat-obatan, mobilitas, ada
tidaknya stres akut, demensia atau depresi) dan self-assessment (persepsi pasien tentang
kesehatan dan nutrisi). Skor 3 24 menunjukkan status nutrisi baik, skor 17-23,5 menunjukkan
risiko malnutrisi dan skor < 17 menunjukkan malnutrisi. MNA selain mudah digunakan, tidak
mahal, memiliki sensitivitas 96% dan spesifisitas 98%. Donini,dkk mendapatkan hasil
sensitivitas dan spesifisitas MNA adalah 96% dan 98%. MNA telah divalidasi di berbagai
negara dan berkorelasi dengan penilaian klinis dan indikator objektif status nutrisi lain seperti
albumin dan IMT.
Uji keandalan di Perancis membandingkan MNA dengan klinis, skala ADL, penanda
biokimiawi sesuai dengan klinis pada 89% responden sedangkan pengelompokkan
berdasarkan MNA dengan penanda biokimiawi sesuai dengan klinis pada 88% responden.
Neumann dkk melaporkan uji keandalan inter-rater pada pasien usia lanjut di bangsal
rehabilitasi di Australia didapat hasil interdass correlation coefficient (ICC) 0,833 yang
berarti memiliki korelasi baik sedangkan Bleda dkk di Spanyol mendapatkan nilai ICC 0,89.
Penelitian yang dilakukan Ellen S (2009) di RSCM pada 193 responden, mendapatkan
penilaian status nutrisi berdasarkan skor total MNA memiliki nilai keterandalan yang cukup
baik, dengan nilai ICC 0,794 dan 0,750 untuk inter dan intraobserver. Hal tersebut
menunjukkan MNA memiliki keterandalan yang baik untuk menilai status gizi pada usia
lanjut.
Kelebihan lain MNA adalah dapat mendeteksi orang usia lanjut dengan risiko
malnutrisi sebelum tampak perubahan bermakna berat badan dan protein. Nilai MNA yang
rendah merupakan prediktor lamanya perawatan dan mortalitas tinggi.
Subjective Global Assessment (SGA)
Instrumen ini memiliki sensitivitas 82% dan spesifisitas 72%. Studi kesahihan
menunjukkan bahwa hasilnya tergantung pengalaman pelaksana dan sensitivitas tergantung
tanda fisik mikronutrien yang umumnya baru nampak jelas pada keadaan lanjut, sehingga
SGA tidak dapat dipakai untuk deteksi dini, follow up maupun monitor dukungan nutrisi.

Mini Nutritional Assement (Penilaian Nutrisi Mini)


Penilaian Nutrisi Mini
Nama : Jenis Kelamin : L / P Tgl :
Usia : thn BB : Kg TB : Cm
Tinggi Lutut : Cm
Nama Pewawancara / Pemeriksa :
Tuliskan angka penilaian dalam kotak. Jumlahkan nilai-nilai dalam kotal dan sesuaikan
jumlah penilaian ke dalam Skor Indikator Malnutrisi
Penilaian Antropometri Nilai
1. Indeks Massa Tubuh : BB/ TB (dlm m2)
a. < 19 = 0
b. 19-21 = 1
c. 21-23 = 2
d. > 23 = 3
2. Lingkar lengan atas (cm)
a. < 21 = 0
b. 21-22 = 0.5
c. >22 = 1
3. Lingkar betis (cm)
a. <= 31 = 0
b. > 31 = 1
4. BB selama 3 bulan terakhir
a. Kehilangan BB > 3 Kg =0
b. Tidak tahu =1
c. Kehilangan BB antara 1-3 kg = 2
d. Tidak ada kehilangan BB =3
Penilaian Umum Nilai
5. Hidup tidak tergantung (tidak ditempat perawatan atau rumah sakit
a. Tidak =0
b. Ya =1
6. Menggunakan lebih dari 3 obat per hari
a. Tidak =0
b. Ya =1
7. Mengalami stress psikologis atau penyakit akut dalam 3 bulan terakhir
a. Tidak =0
b. Ya =1
8. Mobilitas
a. Hanya terbaring atau di atas kursi roda =0
b. Dapat bangkit dari tempat tidur tapi tidak keluar rumah = 1
c. Dapat pergi ke luar rumah =2
Penilaian Diet Nilai
9. Masalah Neuropsikologis
a. Demensia berat dan depresi = 0
b. Demensia ringan =1
c. Tidak ada masalah psikologis = 2
10. Nyeri tekan atau luka kulit
a. Ya = 0
b. Tidak = 1
11. Berapa banyak daging yang dimakan setiap hari
a. 1x makan = 0
b. 2x makan = 1
c. 3x makan = 2
12. Asupan protein terpilih
a. Minimal 1x penyajian produk-produk susu olahan (susu, yoghurt, es
krim, dll) per hari
o Ya
o Tidak
b. Dua atau lebih penyajian produk-produk kacang-kacangan (tahu,
tempe, susu, kedelai, dll) dan telur perminggu.
o Ya
o Tidak
c. Daging, ikan, unggas tiap hari (ayam, sapi, kambing, kerbau, kerrang-
kerangan, teri, burung, dll)
o Ya
o Tidak
Untuk jawaban no 1. 0
2. 0.5
3. 1
13. Konsumsi 2 atau lebih penyajian sayuran atau buah-buahan per hari
a. Tidak = 0
b. Ya = 1
14. Bagaimana asupan makanan 5 bulan terakhir karena hilangnya
nafsu makan, masalah pencernaan, atau kesulitan menelan
a. Kehilangan nafsu makan yang berat = 0
b. Kehilangan nafsu makan sedang =1
c. Tidak kehilangan nafsu makan =2
15. Berapa banyak cairan (air, jus, teh, susu, dll) yang dikonsumsi per
hari
a. < 3 cangkir = 0
b. 3-5 cangkir = 1
c. > 5 cangkir = 2
16. Pola Makan
a. Tidak dapat makan tanpa bantuan = 0
b. Dapat makan sendiri dengan sedikit kesulitan = 1
c. Dapat makan sendiri tanpa masalah = 2
Penilaian Diri
17. Apakah mereka tahu bahwa mereka memiliki masalah gizi?
a. Malnutrisi berat = 0
b. Tidak tahu atau malnutrisi sedang = 1
c. Tidak ada masalah gizi = 2
18. Dibandingkan dengan orang lain, dengan usia yang sama, bagaimana
mereka menilai kesehatan mereka sekarang?
a. Tidak baik = 0
b. Tidak tahu = 0.5
c. Baik = 1
d. Lebih baik = 2
Total Penilaian (Maksimal 30 point)
Skor Indikator Malnutrisi
Skor 24 = gizi baik
Skor 17 – 23.5 = berisiko malnutrisi
Skor < 17 = malnutrisi

TATALAKSANA
Tatalaksana malnutrisi pada usia lanjut memerlukan pendekatan multidisiplin dengan
kerjasama interdisiplin, yang melibatkan dokter, perawat, ahli gizi, dan keluarga atau
pramurawat (care giver). Pengkajian paripurna yang meliputi pengkajian status nutrisi pada
setiap pasien usia lanjut yang dirawat mutlak harus dilakukan agar diketahui dan dideteksi
adanya malnutrisi atau risiko mengaiami malnutrisi pada pasien-pasien tersebut. Selanjutnya
tatalaksana dapat diterapkan sesuai dengan masalah yang dialami oleh pasien.
Tatalaksana meliputi tatalaksana umum, obat-obatan, dan dukungan nutrisi
(nutritional support). Secara umum pasien dikelola berdasarkan penyakit dan atau masalah -
masalah yang diderita. Perlu dipahami, pada umumnya pasien usia lanjut yang dirawat di
rumah sakit mengalami berbagai macam penyakit (tidak satu penyakit) dan masalah
kesehatan. Penyakit dan masalah kesehatan tersebut harus dikelola secara komprehensif dan
terintegrasi oleh tim terpadu geriatri atau tim kesehatan yang terlibat, jangan sampai terjadi
polifarmasi yang justru akan memperburuk kondisi pasien. Perlu dipertimbangkan semua
jenis obat yang diberikan, efek sampingnya terhadap pasien, termasuk terhadap nafsu makan
pasien yang mungkin sudah kurang baik.
Dukungan nutrisi amat penting diperhatikan dan dievaluasi secara seksama dan teratur
selama perawatan. Cara pemberian nutrisi harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Pada
awal atau selama perawatan, pasien mungkin memerlukan nutrisi parenteral total, mungkin
juga kombinasi nutrisi parenteral dan enteral, atau cukup nutrisi enteral atau nutrisi per oral,
sangat tergantung pada situasi dan kondisi kesehatan pasien. Jumlah, jenis, komposisi nutrisi
yang diberikan juga perlu diperhatikan dan dihitung dengan baik, apapun bentuk nutrisi yang
diberikan.
KESIMPULAN
Malnutirisi khsusunya kurang nutrisi (undernutrition) di rumah sakit merupakan
masalah yang sering dialami oleh pasien, khsusunya pasien berusia lanjut. Berbagai masalah
kesehatan akut maupun kronik, gangguan fisik maupun mental psikologi-kognitif dapat
memicu timbulnya masalah malnutrisi tersebut. Gangguan nutrisi tersebut akan berdampak
buruk pada status kesehatan usia lanjut dan menimbulkan komplikasi yang meningkatkan
lama penyembuhan, lama perawatan, mortalitas dan morbiditas. Untuk itu, pengkajian
paripurna yang meliputi pengkajian status nutrisi perlu dilakukan sejak dini, sejak awal
pasien masuk rumah sakit dan secara berkala dikerjakan selama pasien dirawat hingga
menjelang pemulangan pasien ke rumah.
Mini nutritional assessment (MNA) merupakan instrumen terpilih karena cukup
sederhana, lengkap dalam menilai faktor-faktor yang mungkin berperan pada status nutrisi,
dan validitasnya sudah banyak diuji oleh berbagai studi di berbagai negara dan pada berbagai
kondisi. Pengkajian MNA dapat digunakan untuk mengkaji status nutrisi pasien usia lanjut
yang dirawat baik kelompok berisiko malnutrisi dan tidak berisiko malnutrisi di rumah sakit.
Tatalaksana yang komprehensif dan terintegrasi harus dilakukan pada semua pasien
usia lanjut yang dirawat, termasuk tatalaksana nutrisinya. Untuk itu diperlukan kerjasama
yang baik antar sesama petugas kesehatan yang terlibat, termasuk ahli gizi, dan juga yang
tidak kalah penting adalah peran keluarga dan atau pramurawat selama perawatan
berlangsung.
1. Inciong JFB, Chaudhary A, Hsu HS, Joshi R, Seo JM, Trung LV, et al. Hospital
malnutrition in northeast and southeast Asia: a systematic literature review. Clin Nutr
ESPEN. 2020;39:30-45
2. Girsang APL, Ramadani KD, Nugroho SW, Sulistyowati NP, Putrianti R, Wilson H.
Statistik Penduduk Lanjut Usia 2021. 2021st ed. (Mustari AS, Santoso B, Maylasari I, Sinang
R, eds.). Jakarta: Badan Pusat Statistik; 2021.
3. Alzahrani SH, Alamri SH. Prevalence of malnutrition and associated factors among
hospitalized elderly patients in King Abdulazi University Hospital, Jeddah, Saudi Arabia.
BMC Geriatry. 2017;17(1):1-7.
4. Syam, A. F., Sobur, C. S., Abdullah, M., & Makmun, D. (2018). Nutritional status of
hospitalized nonsurgery patients
at a nationwide referral hospital in Indonesia. Journal of International Dental and Medical
Research, 11(2), 732–739.
5. Lugito, Nata Pratama Hardjo; Soejono, Czeresna Heriawan; Wahyudi, Edy Rizal; and
Dewiasty, Esthika (2015) "Pengaruh Status Nutrisi terhadap Kesintasan 30 Hari Pasien
Geriatri yang Dirawat di Rumah Sakit," Jurnal Penyakit Dalam Indonesia: Vol. 2: Iss. 3,
Article 6
6. Agarwal E., Miller M., Yaxley A., Isenring E. Malnutrition in the elderly: A narrative
review. Maturitas. 2013;76:296–302. doi: 10.1016/j.maturitas.2013.07.013
7. Malafarina V., Uriz-Otano F., Gil-Guerrero L., Iniesta R. The anorexia of ageing:
Physiopathology, prevalence, associated comorbidity and mortality. A systematic
review. Maturitas. 2013;74:293–302. doi: 10.1016/j.maturitas.2013.01.016
8. J. Kondrup, Allison SP, Elia M. Vellas B, Olauth M. ESPEN Guidelines for Nutrition
Screening 2002. Clinical Nutrition; 2003: 415-421
9. Elia M. Screening for malnutrition: A multidisiplinary responsibility. Development and use
of the malnutrition universal screening tool (MUST) for adults. BAPEN. 2003.
10. Sari NK. Deteksi dini malnutrisi usia lanjut. Dalam: Harjodisastro D, Syam AF, Sukrisman L,
editors. Dukungan nutrisi pada kasus penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI; 2006.

Anda mungkin juga menyukai