Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Jalan napas merupakan hal penting yang harus dipertahankan dan paten dalam
anestesi. Dimulai dengan penilaian jalan napas rinci untuk mengidentifikasi kesulitan
jalan nafas, dan cara-cara untuk menanganinya.
Difficult airway atau kesulitan jalan nafas didefinisikan sebagai situasi klinis di mana
anestesiologis terlatih mengalami kesulitan dengan ventilasi masker di saluran napas
bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya. Kesulitan jalan napas
merupakan interaksi kompleks dari faktor pasien, klinis, dan kemampuan dokter.
Kesulitan jalan napas ini, apa bila tidak ditanggulangi dapat berujung pada kematian,
brain injury, cardiopulmonary arrest, pembuatan saluran napas secara operasi ayng
tidak perlu, trauma airway dan kerusakan pada gigi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI
Anatomi Jalan Napas

Gambar 1.1 Anatomi Jalan Napas

Jalan nafas pada manusia terdiri dari dua jalan, yaitu hidung yang menuju
nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis) yang di
pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di
bagian posterior dalam faring. Faring berbentuk seperti huruf U dengan struktur
fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid
pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung,
mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal).
Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior.

2
Pada dasar lidah, epiglotis memisahkan orofaring dari laringofaring (atau
hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup glotis,
gerbang laring, pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka kartilago yang
diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago: tiroid, krikoid,
epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme. 1

Gambar 1.2 Anatomi Laring

Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial membran mukosa
dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V 1) saraf
trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila
(V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari
saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari
palatum molle dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi
mandibula (V3) saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke
9) untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian
posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal untuk
sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga mempersarafi atap dari
faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10)
untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang

3
merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang
bersifat motoris dan saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring
antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal
rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea.1

Gambar 1.3 Persarafan Saluran Nafas

Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf laringeal
superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh saraf
laringeal externa (motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita suara,
seraya otot krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama.1
Fonasi merupakan kerja yang simultan dari beberapa otot laring. Kerusakan saraf
motoris yang mempersarafi laring, menyebabkan gangguan bicara. Gangguan
persarafan unilateral dari otot krikotiroid menyebabkan gangguan klinis.
Kelumpuhan bilateral dari saraf laringeal superior bisa menyebabkan suara serak
atau suara lemah, tapi tidak membahayakan kontrol jalan nafas.1
Paralisis unilateral dari saraf laringeal rekuren menyebabkan paralisis dari pita
suara ipsilateral, menyebabkan kemunduran dari kualitas suara. Pada saraf
laringeal superior yang intact, kerusakan akut saraf laringeal rekuren bilateral
dapat menyebabkan stridor dan distress pernafasan karena masih adanya tekanan
dari otot krikotiroid. Jarang terdapat masalah jalan nafas pada kerusakan kronis

4
saraf laringeal rekuren bilateral karena adanya mekanisme kompensasi (seperti
atropi dari otot laringeal).1
Kerusakan bilateral dari saraf vagus mempengaruhi kedua saraf laringeal rekuren
dan superior. Jadi, denervasi vagus bilateral menyebabkan pita suara flasid dan
midposisi mirip seperti setelah pemberian suksinilkolin. Walaupun fonasi
terganggu berat pada pasien ini, kontrol jalan nafas jarang terjadi masalah.1
Pasokan darah untuk laring berasal dari cabang arteri tiroidea. Arteri
krikoaritenoid berasal dari arteri tiroidea superior itu sendiri, cabang pertama dari
arteri karotis externa dan menyilang pada membran krikotiroid bagian atas, yang
memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroidea superior
ditemukan sepanjang tepi lateral dari membran krikotiroid. Ketika merencanakan
krikotirotomi, anatomi dari arteri krikoid dan arteri tiroid harus dipertimbangkan
tetapi jarang berefek pada praktek klinis. Teknik paling baik adalah untuk tetap
pada garis tengah, antara kartilago krikoid dan tiroid.1

2. DIFFICULT AIRWAY
Definisi
Difficult airway atau kesulitan jalan nafas didefinisikan sebagai situasi klinis di
mana anestesi konvensional terlatih mengalami kesulitan dengan ventilasi masker
di saluran napas bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya. 2

Klasifikasi Difficult Airways


Menurut ASA jenis kesulitan jalan napas dibagi menjadi 52 :
1. Kesulitan ventilasi dengan sungkup atau supraglottic airway (SGA)
Ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk menjaga
SO2 > 90 % saat ventilasi dengan menggunakan masker wajah dan O2
inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen pra
ventilasi masih dalam batas normal.
2. Kesulitan penempatan SGA
Penempatan SGA membutuhkan upaya berulang dengan ada ata tidaknya
patologi trakea.
3. Kesulitan dilakukan laringoskopi
Kesulitan untuk melihat bagian pita suara, setelah dicoba beberapa kali
dengan laringoskop sederhana.
4. Kesulitan intubasi trakea

5
Dibutuhkannya lebih dari 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang
terakhir lebih dari 10 menit
5. Kegagalan intubasi
Penempatan ETT gagal setelah beberapa kali percobaan intubasi

Diagnosis
 Anamnesis
Anemnesis riwayat terutama yang berhubungan dengan jalan napas atau
gejala-gejala yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Bila
mungkin, perlu dilakukan dokumentasi terhadap masalah-masalah yang
berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Tanda dan gejala yang
berhubungan dengan jalan napas harus dijelaskan misalnya snoring atau
mengorok (misalnya pada sleep apnea yang obstruktif), gigi terkikis,
perubahan suara, disfagi, stridor, nyeri servikal atau pergerakan leher yang
terbatas, neuropathi ekstremitas atas, nyeri atau disfungsi sendi temporo-
mandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang berlangsung lama setelah
pembiusan. Banyak kelainan kongenital dan gejala yang didapat ,
berhubungan dengan penyulit tatalaksana jalan napas.2

 Pemeriksaan fisik
o METODE LEMON
Salah satu alat yang dikembangkan untuk menentukan pasien mungkin
menimbulkan kesulitan manajemen jalan nafas adalah metode LEMON.3

L = Look externally
Melihat adanya hal-hal yang menyebabkan pasien membutuhkan tindakan
ventilasi atau intubasi dan evaluasi kesulitan secara fisik, misalkan leher
pendek, trauma facial, gigi yang besar, kumis atau jenggot, atau lidah yang
besar.3

E = Evaluate 3 – 3 – 2 rule
3 – 3 – 2 rule adalah penentuan jarak anatomis menggunakan jari sebagai
alat ukur untuk mengetahui seberapa besar bukaan mulut.3

6
Gambar 2.1 Evaluasi Jari 3 – 3 – 2

M = Mallampati score
Mallampati score digunakan sebagai alat klasifikasi untuk menilai
visualisasi hipofaring, caranya pasien berbaring dalam posisi supine,
membuka mulut sambil menjulurkan lidah. 3, 4

Gambar 2.2 Skor Mallampati

Klasifikasi Klinis
 Kelas I Tampak uvula, pilar fausial dan palatum mole
 Kelas II Pilar fausial dan palatum mole terlihat

 Kelas III Palatum durum dan palatum mole masih terlihat

 Kelas IV Palatum durum sulit terlihat


Tabel 2.1 Skor Mallampati pada klinis

7
O = Obstruction/Obesity
Menilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi misalkan
abses peritonsil, trauma.
Obesitas dapat menyebabkan sulitnya intubasi karena memperberat ketika
melakukan laringoskop dan mengurangi visualisasi laring.3

N = Neck deformity
Menilai apakah ada deformitas leher yang dapat menyebabkan
berkurangnya range of movement dari leher sehingga intubasi menjadi
sulit. Leher yang baik dapat fleksi dan ekstensi dengan bebas ketika
laringoskopi atau intubasi, Ektensi leher "normal" adalah 35° (The atlanto-
5
oksipital/ A-O joint).

Tabel 2. 2 Metode Lemon5

o METODE 4MS5
1. Mallampati
Klasifikasi Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari
orofaring.4, 5

8
Gambar 2.2 A. Skor Mallampati B. Skor Smasoon and Young

A. Klasifikasi Klinis
Mallampati
Kelas I Tampak uvula, pilar fausial dan
palatum mole
Kelas II Pilar fausial dan palatum mole
terlihat
Kelas III Palatum durum dan palatum mole
masih terlihat
Kelas IV Palatum durum sulit terlihat 2,3

Tabel 2.2 Skor Mallampati pada klinis

B. Klasifikasi Samsoon Klinis


Young
Kelas I Visualisasi seluruh bukaan
laring
Kelas II Visualisasi hanya komisura
posterior dari bukaan laring
Kelas III Visualisasi hanya epiglotis

9
Kelas IV Visualisasi hanya soft palate
Tabel 2.3 Skor Samsoon and Young untuk penilaian laring

2. Measurements 3-3-2-1 or 1-2-3-3 Fingers


3 – Jari. Bukaan mulut.
3 – Jari. Jarak hypomental = dari manthus sampai leher
2 – Jari antara thypiod sampai dasar dari mandibula
1 - Jari. Subluksasi mandibula

3. Movement of the neck


Ektensi leher "normal" adalah 35° (The atlanto-oksipital/ A-O joint).
Keterbatasan ektensi sendi terdapat pada spondylosis, rheumatoid arthritis,
halo-jaket fiksasi, pasien dengan gejala yang menunjukkan kompresi saraf
dengan ekstensi servikal.2,3

Gambar 2.3 Ekstensi leher normal

4. Malformation of the Skull (S), Teeth (T), Obstruction (O), Pathology


(P) àSTOP
S = Skull (Hidrocephalus dan mikrocephalus)
T = Teeth (Buck, protruded, & gigi ompong, makro dan mikro mandibula)
O = Obstruction (obesitas, leher pendek dan bengkak disekitar kepala and
leher)
P =Pathologi (kraniofacial abnormal & Syndromes: Treacher Collins,
Goldenhar’s, Pierre Robin, Waardenburg syndromes) 2,3

10
Tabel 2.4 Metode 4Ms
Jika score pasien 8 atau lebih, maka memungkinkan difficult airway5,6

 Pemeriksaan Penunjang
Radiografi , CT-scan , fluoroskopi dapat mengidentifikasi berbagai keadaan
yang didapat atau bawaan pada pasien dengan kesulitan jalan napas.2

3. PENANGANAN JALAN NAPAS SULIT


Evaluasi Jalan Napas
 Memperoleh riwayat kesulitan jalan napas
Riwayat penyakit (kesulitan jalan napas) dapat membantu dalam cara
menghadapi kesulitan jalan nafas, riwayat operasi atau riwayat anestesi,
jika ada kemudian tanyakan waktu pelaksanaan. 2
 Pemeriksaan fisik
Ciri-ciri anatomi tertentu (ciri-ciri fisik dari kepala dan leher) dan
kemungkinan dari kesulitan jalan nafas.2
 Evaluasi tambahan

11
Tes diagnostik tertentu (Radiografi , CT-scan , fluoroskopi ) dapat
mengidentifikasi berbagai keadaan yang didapat atau bawaan pada pasien
dengan kesulitan jalan napas 2

Persiapan Standar pada Managemen Kesulitan Jalan Napas


1) Tersedianya peralatan untuk pengelolaan kesulitan jalan napas2
 Laryngoscope dengan beberapa alternatif desain dan ukuran yang sesuai
 Endotrakea tube berbagai macam ukuran.
 Pemandu endotrakeal tube. Contohnya stylets semirigid dengan atau tanpa
lubang tengah untuk jet ventilasi, senter panjang, dan mangil tang
dirancang khusus untuk dapat memanipulasi bagian distal endotrakeal
tube.
 Peralatan Intubasi fiberoptik.
 Peralatan Intubasi retrograd.
 Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical. Contohnya sebuah jet
transtracheal ventilator, sebuah jet ventilasi dengan stylet ventilasi, LMA,
dan combitube.
 Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat (misalnya,
cricothyrotomy).
 Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf).
2) Menginformasikan kepada pasien atau keluarga tentang adanya atau dugaan
kesulitan jalan nafas, prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan kesulitan
jalan nafas, dan risiko khusus yang kemungkinan dapat terjadi
3) Memastikan bahwa setidaknya ada satu orang tambahan sebagai asisten dalam
manajemen kesulitan jalan nafas,
4) Melakukan preoksigenasi preanestesi dengan sungkup wajah sebelum
memulai manajemen kesulitan jalan nafas, kuran glebih selama 3 menit untuk
mencapai hasil saturasi oksigen yang baik
5) Secara aktif memberikan oksigen tambahan di seluruh proses manajemen
kesulitan jalan nafas. Dapat menggunakan nasal cannule, facemask, LMA.

Strategi Intubasi pada Kesulitan Jalan Napas


1) Intubasi sadar.
Intubasi endotraea dalam keadaan pasien sadar dengan anestesi topikal, pilhan
teknik untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma berat pada muka,
leher, perdaraha, usus, serta kesulitan jalan napas. Ketika intubasi endotrakeal
direncanakan dalam keadaan sadar di bawah anestesi topikal, kombinasi obat
premedikasi digunakan untuk menghilangkan kecemasan, memberikan jalan

12
napas yang jelas dan kering, dan mencegah aspirasi isi lambung.yaitu antara
lain seperti diazepam, fentanyl atau petidin untuk mempermudah kooperasi
pasien tanpa harus menghilangkan refleks jalan napas atas (yang harus
mencegah apirasi). Boleh spray lidokain 2% pada lidah dan farings, tetapi
jangan kena plika vocalis. Midazolam dalam dosis 20 sampai 40 mg / kg iv,
diulang setiap 5 menit yang diperlukan, yang digunakan untuk mencapai
tingkat yang diinginkan sedasi (dosis maksimal 100 sampai 200 mg / kg).8
Pada beberapa penelitian membuktikan bahwa intubasi sadar pada pasien yang
menderita kesulitan jalan napas memberikan hasil yang memuaskan 88-
100%.2
2) Laringoskopi dengan bantuan video.
Meningkatkan visualisasi laring, frekuensi kesuksesan lebih tinggi dibanding
intubasi dengan laringoskop, dan frekuensi yang lebih tinggi dari intubasi
upaya pertama; tidak ada perbedaan dalam waktu untuk intubasi, trauma jalan
nafas, bibir / trauma karet, trauma gigi, atau sakit tenggorokan.

Gambar 3.1 Laringoskop McGrath


3) Intubasi stylets atau tube-changer.
4) SGA untuk ventilasi (LMA, laringeal tube)
Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan
TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan
TT pada pasien dengan jalan nafas yang sulit, dan untuk membantu ventilasi
selama bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA

13
memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan
nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA
yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA
yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat
digunakan ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat
memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit. 3
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15
mm, dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat
dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas
dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon
dengan tekanan rendah ada di muara laring.

Gambar 3.2 Laryngeal Mask Airway


Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk
memasukan oral airway. Walaupun pemasangannya relatif mudah, perhatian
yang detil akan memperbaiki keberhasilan. Posisi ideal dari balon adalah dasar
lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan spincter oesopagus
bagian atas di inferior. Jika esophagus terletak di rim balon, distensi lambung
atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi mencegah fungsi
LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak

14
berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak baik,
kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya lebih besar
atau lebih kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan
penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan
secara langsung dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB)
menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian balon
digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester seperti
halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap
regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya
sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan
batuk atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai
lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia
dalam berbagai ukuran. 3

LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya
abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia
hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas)
yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O.
Secara tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau
resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa
karena tidak ditempatkan dalam trakea, penggunaan LMA dihubungkan
dengan kejadian bronkospasme lebih kurang dari pada dengan TT. Walaupun
hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk trakeal intubasi, LMA membuktikan
sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang
tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya
dan angka keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah digunakan
sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet,
fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm). 4
Keuntungan Kerugian
Perbandingan dengan  Hands-free operasi  Lebih invasif
sungkup  Segel yang lebih  Risiko lebih dari
baik pada pasien trauma jalan nafas
 Membutuhkan
berjenggot
 Kurang praktis keterampilan baru

15
dalam operasi THT  Anestesi yang
 Sering lebih mudah
lebih diperlukan
untuk  Membutuhkan
mempertahankan beberapa
jalan nafas mobilitas TMJ
 Melindungi  N2O difusi ke
terhadap sekresi dalam manset
saluran napas  beberapa
 Saraf wajah kurang kontraindikasi
dan trauma mata
 Kurang operasi
polusi kamar
Perbandingan dengan  Kurang invasif  Peningkatan
intubasi trakea  Sangat berguna risiko aspirasi
dalam intubasi sulit gastrointestinal
 Kurang gigi dan  Kurang aman di
trauma laring posisi rawan atau
 Kurang
berlipat
laringospasme dan  Batas maksimum
bronkospasme PPV
 Tidak memerlukan  Napas kurang
relaksasi otot aman
 Tidak memerlukan  Risiko yang lebih
mobilitas leher besar dari
 Tidak ada risiko
kebocoran gas dan
terserang atau
polusi dapat
intubasi
menyebabkan
endobronkial
distensi lambung
Tabel 3.1 Perbandingan LMA dengan Sungkup dan Intubasi Trakea

Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT


yang lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat
dilakukan dibawah anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan
nafas harus bebas seraya pasiennya sadar. 4
5) SGA untuk intubasi (ILMA),
6) Laryngoscopic berbagai desain dan ukuran,

16
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas
intubasi trakea. Handle biasanya berisi baterai untuk cahaya bola lampu pada
ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung
blade. Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.

Gambar 3.3 Laringoskop


Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang
MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus.
Pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien.
Disebabkan karena tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi
harus familier dan ahli dengan bentuk blade yang beragam.

17
Gambar 3.4 Blade untuk laringoskopi

7) Intubasi dengan bantuan fiberoptik


Pada beberapa situasi, misalnya pasien dengan tulang servikal yang tidak
stabil, pergerakan yang terbatas pada sendi temporo mandibular, atau dengan
kelainan kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi
langsung dengan penggunakan rigid laringoskop mungkin tidak
dipertimbangkan atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB (fiberoptik
bronchoscope) yang feksibel mungkin visualisasi indirek dari laring dalam
beberapa kasus atau untuk beberapa situasi dimana intubasi sadar (awake
intubation) direncanakan. FOB yang dibuat dari fiberglass ini mengalirkan
cahaya dan gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan cahaya akan
terjebak dalam fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan.
Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masing-masing berisi 10.000 –
15.000 fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari sumber cahaya ( sumber
cahaya bundel) yang terdapat diluar alat atau berada dalam handle yang
memberikan gambaran resolusi tinggi. 4

18
Gambar 3.5 Alat intubasi fiberoptik

Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan kawat yang


kaku. Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi O 2 atau
penyemprotan anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk dibersihkan, akan
tetapi, sebagai sumber infeksi sehingga memerlukan kehati-hatian pada
pembersihan dan sterilisasi telah digunakan. 4

Cara intubasi Nasal Fiberoptik Fleksibel


Kedua lubang hidung dipersiapkan dengan pemberian tetes vasokonstriktor.
Identifikasi lubang hidung dimana pasien bernafas lebih mudah. O 2 dapat
dihembuskan melalui ujung suction dan saluran untuk aspirasi dari FOB untuk
memperbaiki oksigenasi dan membuang sekret dari ujung tip. 4
Pilihan lain, nasal airway ukuran besar (ukuran 36F) dapat dipasang dalam
lubang hidung kolateral. Breathing sirkuit dapat langsung dihubungkan pada

19
ujung dari nasal airway untuk memberikan O2 100% selama laringoskopi. Jika
pasien tidak sadar dan tidak bernafas spontan, mulut dapat diplester dan
ventilasi dilakukan melalui na sal airway tunggal. Bila teknik ini digunakan
adekuat ventilasi dan oksigenasi harus di konfirmasi dengan capnograph dan
pulse oximetry. TT yang telah diberi pelumas dan dimasukkan ke dalam
lubang hidung lainnya sepanjang nasal airway. Tangkai dari FOB yang telah
diberi pelicin dimasukan ke dalam lubang TT. Selama endoskopi, jangan
dimajukan jika hanya dinding dari TT atau membran mukosa yang terlihat. Ini
juga penting untuk mempertahankan tangkai bronkoskop relatif lurus, jadi jika
kepala dari bronkhoskop diputar secara langsung, ujung distal akan bergerak
dengan derajat yang sama. Ketika ujung dari FOB masuk ujung distal dari TT,
epiglotis dan glotis harus tampak. Ujung dari bronchoskop dimanipulasi untuk
melewati pita suara yang telah abduksi. 4

Gambar 3.6 Nasal Flexible Fiberoptic

Jika ada asisten, maka lakukanlah jaw thrust atau lakukan tekanan pada
krikoid dapat membantu penglihatan pada kasus sulit. Jika pasien bernafas
spontan, tarik lidah dengan kasa dapat memfasilitasi intubasi.4
Sekali dalam trakea, FOB didorong masuk ke dekat carina. Adanya cincin
trakhea dan carina adalah membuktikan posisi yang tepat. TT di dorong dari
FOB. Sudut sekitar cartilago arytenoid dan epiglotis dapat mencegah
mudahnya memasukan pipa. Penggunaan pipa yang berkawat baja biasanya

20
menurunkan masalah ini disebabkan lebih besarnya fleksibilitas dan sudut
pada bagian distal lebih tumpul. Posisi TT yang tepat dikonfirmasi dengan
melihat ujung dari pipa diatas karina sebelum FOB ditarik.

8) Stylets menyala atau Ligth Wand.

Akibat dari kesulitan jalan napas


Akibat yang dapat terjadi dari kesulitan jalan napas, adalah:
 kematian,
 kerusakan otak,
 cardiac arrest,
 trauma jalan napas,
 kerusakan gigi.

Algoritma Kesulitan Jalan Napas2, 4


1. Menilai kemungkinan dan dampak klinis dari masalah pada
penanganan dasar:
• Kesulitan dengan kerjasama atau persetujuan pasien
• Kesulitan ventilasi sungkup
• Kesulitan penempatan Supraglottic Airway
• Kesulitan laringoskopi
• Kesulitan intubasi
• Kesulitan akses bedah jalan napas
2. Aktif memberikan oksigen tambahan selama proses manajemen
kesulitan jalan napas
3. Mempertimbangkan manfaat relatif dan kelayakan dari penanganan
dasar :
• Awake intubation vs intubasi setelah induksi anestesi umum
• Teknik non-invasif vs teknik invasif untuk pendekatan awal untuk intubasi
• Video laringoskopi sebagai pendekatan awal untuk intubasi
• Menjaga Ventilasi spontan vs pelepasan ventilasi spontan
4. Mengembangkan strategi primer dan strategi alternative
Kotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi, sedangkan kotak B untuk
situasi dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. A tidak pada retardasi

21
mental, intoksikasi, kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia. Pasien ini
mungkin masih memasuki kotak A, tetapi intubasi “awake” mungkin
membutuhkan modifikasi teknik yang mempertahankan ventilasi spontan (cth,
induksi inhalasi) 2

Gambar 3.7 Algoritma Difficult Airway


a) Pilihan lain termasuk: operasi menggunakan masker wajah atau supraglottic
airway (SGA) (Misalnya, LMA, ILMA, laringeal tube), infiltrasi anestesi lokal
atau blokade saraf regional.
b) Akses jalan napas invasif meliputi bedah atau jalan napas percutaneous, jet
ventilation, dan intubasi retrograde.
c) Pendekatan alternatif : laringoskopi dengan video, bilah laringoskop
alternatif, SGA (LMA atau ILMA) sebagai saluran intubasi (dengan atau tanpa
bimbingan serat optik), intubasi dengan serat optik , intubasi dengan stylet
atau tabung changer, light wand, dan blind oral or nasal intubation.
d) Pertimbangkan kembali persiapan pasien untuk intubasi sadar atau
membatalkan operasi.
Pemasangan face mask, jika “facemask” adekuat, masuk jalur nonemergensi ASA-
DAA. Jika face mask gagal, lanjutkan dengan ventilasi supraglotis dengan LMA.

22
Jika berhasil, dilanjutkan jalur nonemergensi ASA-DAA dan dilakukan intubasi
trakea.
Bila ventilasi LMA gagal, dilanjutkan dengan jalur emergency. ASA-DAA
menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube, rigid bronkoskopi,
oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah.
Kegagalan penggunaan LMA, karena; sudut oral-faring sempit, sumbatan pada level
hipofaring, sumbatan di bawah liptan fokal. 2

Gambar 3.8 Algoritma Difficult Airway Sederhana menurut difficult Airway


Society

23
Unanticipated difficult tracheal intubation-
during routine induction of anaesthesia in an adult patient

Direct Any Call


laryngoscopy problems for help

Plan A: Initial tracheal intubation plan

Direct laryngoscopy - check:


Neck flexion and head extension
Laryngoscope technique and vector Not more
External laryngeal manipulation - than 4 attempts,
succeed
maintaining: Tracheal intubation
by laryngoscopist (1) oxygenation
Vocal cords open and immobile with face mask and
If poor view: Introducer (bougie) - (2) anaesthesia
seek clicks or hold-up Verify tracheal intubation
and/or Alternative laryngoscope (1) Visual, if possible
(2) Capnograph
failed intubation (3) Oesophageal detector
"If in doubt, take it out"
Plan B: Secondary tracheal intubation plan

Confirm: ventilation, oxygenation,


ILMATM or LMATM anaesthesia, CVS stability and muscle
Not more than 2 insertions succeed relaxation - then fibreoptic tracheal intubation
Oxygenate and ventilate through IMLA TM or LMATM - 1 attempt
If LMATM, consider long flexometallic,nasal
failed oxygenation RAE or microlaryngeal tube
(e.g. SpO 2 < 90% with FiO 2 1.0) Verify intubation and proceed with surgery
via ILMATM or LMATM
failed intubation via ILMA TM or LMATM
Plan C: Maintenance of oxygenation, ventilation,
postponement of surgery and awakening

Revert to face mask


Oxygenate and ventilate
Reverse non-depolarising relaxant succeed Postpone surgery
1 or 2 person mask technique Awaken patient
(with oral ± nasal airway)

failed ventilation and oxygenation

Plan D: Rescue techniques for


"can't intubate, can't ventilate" situation

Difficult Airway Society Guidelines Flow-chart 2004 (use wit h DAS guidelines paper)

Gambar 3.9 Algoritma Difficult Airway Pada Intubasi Trakea Pasien Dewasa
Menurut Difficult Airway Society

24
Unanticipated difficult tracheal intubation - during rapid s equence
induction of anaestheia in non-obstetric adult patient
Direct Any Call
laryngoscopy problems for help

Plan A: Initial tracheal intubation plan

Pre-oxygenate succeed
Cricoid force: 10N awake 30N anaesthetised Tracheal intubation
Direct laryngoscopy - check:
Neck flexion and head extension Not more than 3
Laryngoscopy technique and vector attempts, maintaining: Verify tracheal intubation
(1) oxygenation with (1) Visual, if possible
External laryngeal manipulation -
face mask
by laryngoscopist (2) cricoid pressure and
(2) Capnograph
Vocal cords open and immobile (3) anaesthesia (3) Oesophageal detector
If poor view: "If in doubt, take it out"
Reduce cricoid force
Introducer (bougie) - seek clicks or hold-up
and/or Alternative laryngoscope

failed intubation

Plan C: Maintenance of Maintain


oxygenation, ventilation, 30N cricoid
postponement of force Plan B not appropriate for this scenario
surgery and awakening

Use face mask, oxygenate and ventilate


1 or 2 person mask technique
(with oral ± nasal airway)
Consider reducing cricoid force if
ventilation difficult succeed
failed oxygenation
(e.g. SpO2 < 90% with FiO2 1.0) via face mask

Postpone surgery
LMATM succeed and awaken patient if possible
Reduce cricoid force during insertion or continue anaesthesia with
Oxygenate and ventilate LMATM or ProSeal LMA TM -
if condition immediately
failed ventilation and oxygenation life-threatening

Plan D: Rescue techniques for


"can't intubate, can't ventilate" situation

Difficult Airway Society Guidelines Flow-chart 2004 (use wit h DAS guidelines paper)

Gambar 3.10 Algoritma Difficult Airway Menurut Difficult Airway Society

25
Failed intubation, increasing hypoxaemia and difficult venti lation in the paralysed
anaesthetised patient: Rescue techniques for the "can't intu bate, can't ventilate" situation
failed intubation and difficult ventilation (other than laryngospasm)

Face mask
Oxygenate and Ventilate patient
Maximum head extension
Maximum jaw thrust
Assistance with mask seal
Oral ± 6mm nasal airway
Reduce cricoid force - if necessary

failed oxygenation with face mask (e.g. SpO 2 < 90% with FiO 2 1.0)
call for help

Oxygenation satisfactory
LMATM Oxygenate and ventilate patient
succeed and stable: Maintain
Maximum 2 attempts at insertion
oxygenation and
Reduce any cricoid force during insertion
awaken patient

"can't intubate, can't ventilate" situation with increasing hypoxaemia


Plan D: Rescue techniques for
"can't intubate, can't ventilate" situation

or

Cannula cricothyroidotomy Surgical cricothyroidotomy


Equipment: Kink-resistant cannula, e.g. Equipment: Scalpel - short and rounded
Patil (Cook) or Ravussin (VBM) (no. 20 or Minitrach scalpel)
High-pressure ventilation system, e.g. Manujet III (VBM) Small (e.g. 6 or 7 mm) cuffed tracheal
Technique: or tracheostomy tube
1. Insert cannula through cricothyroid membrane fail
4-step Technique:
2. Maintain position of cannula - assistant's hand 1. Identify cricothyroid membrane
3. Confirm tracheal position by air aspiration - 2. Stab incision through skin and membrane
20ml syringe Enlarge incision with blunt dissection
4. Attach ventilation system to cannula
(e.g. scalpel handle, forceps or dilator)
5. Commence cautious ventilation
3. Caudal traction on cricoid cartilage with
6. Confirm ventilation of lungs, and exhalation
through upper airway
tracheal hook
7. If ventilation fails, or surgical emphysema or any 4. Insert tube and inflate cuff
other complication develops - convert immediately Ventilate with low-pressure source
to surgical cricothyroidotomy Verify tube position and pulmonary ventilation

Notes:
1. These techniques can have serious complications - use onl y in life-threatening situations
2. Convert to definitive airway as soon as possible
3. Postoperative management - see other difficult airway guidelines and flow-charts
4. 4mm cannula with low-pressure ventilation may be successf ul in patient breathing spontaneously

Difficult Airway Society guidelines Flow-chart 2004 (use wit h DAS guidelines paper)

Gambar 3.11 Algoritma Difficult Airway Menurut Difficult Airway Society

Ekstubasi
Ekstubasi terbaik dilakukan ketika pasien sedang teranestesi dalam atau bangun.
Pasien juga harus pulih sepenuhnya dari pengaruh obat pelemas otot pada saat
sebelum ekstubasi. Jika pelemas otot digunakan, pernapasan pasien akan

26
menggunakan ventilasi mekanik terkontrol, maka dari itu pasien harus dilepaskan dari
ventilator sebelum ekstubasi.4
Ekstubasi selama anestesi ringan (masa antara anestesi dalam dan bangun) harus
dihindari karena meningkatnya risiko laringospasme. Perbedaan antara anestesi dalam
dan ringan biasanya terlihat saat suction/ penyedotan sekret faring : adanya reaksi
pada penyedotan (tahan napas, batuk) menandakan anestesia ringan, dimana jika tidak
ada reaksi menandakan anestesia dalam. Pasien membuka mata atau bergerak yang
bertujuan menandakan pasien sudah bangun. 2, 4
Mengekstubasi pasien yang sudah bangun biasanya berhubungan dengan batuk pada
TT. Reaksi ini meningkatkan denyut nadi, tekanan vena sentral, tekanan darah arteri,
tekanan intrakranial, dan tekanan intraokular. Hal ini juga dapat menyebabkan
dehisensi luka dan perdarahan. Adanya TT pada pasien asma yang sudah sadar dapat
memicu bronkospasme. Meskipun konsekuensi ini dapat diturunkan dengan
premedikasi 1,5 mg/kg lidokain intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi,
ekstubasi saat anestesia dalam lebih dianjurkan pada pasien yang tidak dapat
mentolerir hal ini. Ekstubasi menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki risiko
aspirasi atau yang jalan napasnya sulit untuk dikontrol setelah pencabutan TT. 2
Pasien teranestesi dalam atau sudah sadar, faring pasien juga sebaiknya disuction
terlebih dahulu sebelum ekstubasi untuk mengurangi risiko aspirasi atau
laringospasme. Pasien juga harus diventilasi dengan 100% oksigen sebagai cadangan
apabila sewaktu-waktu terjadi kesulitan untuk mengontrol jalan napas setelah TT
dicabut. Sesaat sebelum ekstubasi, TT dilepas dari plester dan balon dikempiskan.
Pemberian sedikit tekanan positif pada jalan napas pada kantong anestesia yang
dihubungkan dengan TT dapat membantu meniup sekret yang terkumpul pada ujung
balon supaya ke luar ke arah atas, menuju faring, yang kemudian dapat disuction.
Pencabutan TT pada saat akhir ekspirasi atau akhir inspirasi mungkin tidak terlalu
penting. TT dicabut dengan satu gerakan yang halus, dan sungkup wajah biasanya
digunakan untuk menghantarkan oksigen 100% sampai pasien menjadi cukup stabil
untuk diantar ke ruang pemulihan. Pada beberapa institusi, oksigen dengan sungkup
wajah dipertahankan selama pengantaran pasien. 2, 4

27
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical
Book. 2006. pg: 310-2.
2. American Society of Anesthesiologists: Practice guidelines for management of
the difficult airway: An Updated Report by the American Society of
Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway.
Anesthesiology 2013; 118:251–70
3. Birnbaumer DM. Airway Assessment Using "LEMON" Score Predicts Difficult
ED Intubation. Emerg Med J 2005 Feb; 22:99-102. Available at:
http://www.jwatch.org/em200502160000001/2005/02/16/airway-assessment-
using-lemon-score-predicts#sthash.E216Wqd6.dpuf
4. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical
Book. 2006. pg: 317-31.
5. Reed MJ, Dunn MJG, McKeown DW. Can an airway assessment score predict
difficulty at intubation in the emergency department? Emerg Med J 2005;22:99-
102. Available at: http://emj.bmj.com/content/22/2/99
6. Magboul A. The Dilemma of Airway Assessment and Evaluation. The Internet
Journal of Anesthesiology. 2004 Volume 10 Number 1.
7. Latief S, Suryadi K, Dachlan M. Petunjuk Praktis Anestesologi. FKUI, Jakarta,
2009.
8. Rankumar V. Preparation of the patient and the airway for awake intubation.
Indian J Anaesth. 2011 Sep-Oct; 55(5): 442–447. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3237141/?report=reader

28

Anda mungkin juga menyukai