Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

“TONSILITIS KRONIS”

Pembimbimg :
dr. Eva Susana, Sp.An

Disusun oleh :
Diding Kusumawadi 2014730018
Rizti Rachmawati 2014730083
Agus Karyaman 2012730004

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA UTARA SUKAPURA
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum wr wb,
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan
Yang Maha Esa karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan penulisan laporan kasus mengenai Tonsilitis Kronis.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan
arahan demi terselesaikannya refreshing ini khususnya kepada dr. Eva Susana,
Sp.An selaku pembimbing laporan kasus.
Kami sangat menyadari dalam proses penulisan laporan kasus ini masih jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun metode penulisan. Namun demikian, kami
telah mengupayakan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Kami
dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima segala bentuk masukan,
saran dan usulan guna menyempurnakan laporan kasus ini.
Kami berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi siapapun
yang membacanya.
Wassalammu’alaikum wr wb.

Jakarta, Maret 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I STATUS PASIEN ........................................................................................3


1.1. Identitas Pasien..............................................................................................3
1.2. Anamnesis .....................................................................................................3
1.3. Pemeriksaan Fisik .........................................................................................4
1.5. Pemeriksaan Penunjang ................................................................................6
1.6. Resume ........................................................ Error! Bookmark not defined.
1.7. Diagnosis Banding ...................................... Error! Bookmark not defined.
1.8. Diagnosis Kerja .............................................................................................7
1.9. Saran Pemeriksaan ...................................... Error! Bookmark not defined.
1.10. Tatalaksana.................................................. Error! Bookmark not defined.
1.11. Prognosis ..................................................... Error! Bookmark not defined.

BAB II ANALISA KASUS ................................... Error! Bookmark not defined.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................13


2.1. Definisi ........................................................................................................13
2.2. Epidemiologi ............................................... Error! Bookmark not defined.
2.3. Etiologi ........................................................ Error! Bookmark not defined.
2.4. Patogenesis .................................................. Error! Bookmark not defined.
2.5. Manifestasi Klinis ....................................... Error! Bookmark not defined.
2.6. Diagnosis Banding ...................................... Error! Bookmark not defined.
2.7. Pemeriksaan Penunjang .............................. Error! Bookmark not defined.
2.8. Komplikasi .................................................. Error! Bookmark not defined.
2.9. Tatalaksana.................................................. Error! Bookmark not defined.
2.10. Pencegahan .................................................. Error! Bookmark not defined.
2.11. Prognosis ..................................................... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................30

ii
BAB I
STATUS PASIEN

1.1. Identitas Pasien


Nama : An. A
Jenis Kelamin : 16 tahun
Usia : Laki-Laki
Alamat : Koja
Suku Bangsa : Betawi
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pelajar
Status Marital : Belum Menikah

1.2. Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan nyeri menelan sejak 1 bulan yang lalu.
Keluhan Tamabahn
Tidak ada keluhan tambahan.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan sering nyeri menelan yang hilang timbul sejak 1 bulan
SMRS. Nyeri menelan dirasakan terutama saat menelan makanan. Sebelumnya pasien
juga mengeluh nyeri menelan disertai dengan sering demam, batuk, pilek dengan lender
putih yang kumat-kumatan dan hidung tersumbat. Keluhan nyeri menelan jika
mengkonsumsi makanan padat seperti nasi, tetapi tidak ada keluhan jika
mengkonsumsi cairan. Keluhan dirasa semakin hebat bila pasien mengkonsumsi makanan
pedas dan gorengan. Menurut orang tuanya, pasien saat tidur mengorok tetapi tidak
sampai terbangun. Pasien tidak mengeluh nyeri pada kedua telinga, tidak ada kurang
pendengaran dan tidak ada sakit kepala. Oleh orangtuanya, pasien diberi obat flu yang
dibeli di warung, pasien merasa baikan namun kambuh lagi.
Sejak 6 tahun SMRS, pasien mengeluh nyeri menelan yang hilang timbul. Nyeri
menelan terutama dirasakan saat menelan makanan padat disertai demam, batuk, pilek
yang kumat-kumatan dan hidung tersumbat selama 3 tahun dalam setahun lebih dari enam
kali serangan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada keluhan yang serupa sebelumnya. Riwayat penyakit hipertensi,
diabetes, penyakit jantung, asma, dan riwayat operasi disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengeluhkan keluhan yang sama. Riwayat penyakit
hipertensi, diabetes, penyakit jantung, asma disangkal.
Riwayat Pengobatan dan Alergi
Pasien belum berobat untuk keluhannya saat ini dan tidak ada riwayat alergi
apapun.
Riwayat Psikososial
Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya dan tidak mengonsumsi alkohol,
narkoba, ataupun merokok. Tidak ada yang mengalami keuhan serupa di lingkungan
rumah dan sekolah.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Keasadaran : Compos mentis / E4 M6 V5
Berat Badan : 60 kg
Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Suhu : 37.3 oC
Laju Nadi : 78 kali/menit
Laju Napas : 20 kali/menit
Status Generalisata
Kepala : Normocephal. Deformitas (-).
Rambut : Alopecia (-), Distribusi merata.
Mata : Sklera Ikterik -/-. Konjungtiva Anemis -/-. RCL +/+. RCTL +/+.
Hidung : Deviasi septum (-). Sekret (-/-).

4
Telinga : Deformitas (-/-). Secret (-/-). Membran timpani intak (+/+).
Mulut : Mukosa oral basah. Palatum intak. Faring hiperemis. Tonsil T3/T3.
Leher : Trakea di tengah. Pembesran KGB (-).
Thorax : Normochest.
Paru
Inspeksi : Gerak napas simetris. Retraksi (-). Barrel chest (-).
Palpasi : Gerakan napas teraba simetris. Fremitus taktil kanan = kiri.
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru.
Auskultasi: Bronkovesikuler (+/+). Rhonki (-/-). Wheezing (-/-).
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 3 linea midclavicularis sinistra.
Perkusi : Batas jantung kanan : linea parasternal dextra ICS IV.
Auskultasi: Bunyi jantung I dan II reguler. Murmur (-). Gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : Tampak cembung
Palpasi : Tegang. Hepar tidak teraba. Lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani.
Auskultasi: Bising usus (+).
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan.
Punggung : Alignment vertebra baik.
Ekstremitas :
Atas : Lengkap. Akral hangat. CRT ≤ 2 detik. Edema (-/-).
Bawah : Lengkap. Akral hangat. CRT ≤ 2 detik. Edema (-/-).

5
1.4. Pemeriksaan Orofaringeal
DEXTRA PEMERIKSAAN OROFARING SINISTRA
MULUT
Tenang Mukosa mulut Tenang
Simetris (normal) Simetris (normal)
Lidah
bersih bersih
Simetris (normal) Simetris (normal)
Palatum molle
bersih bersih
Gigi Geligi
Gigi Bolong

Karies (-)
Karies (-)

Ditengah. Simetris Ditengah. Simetris


Uvula
(normal) bersih (normal) bersih
TONSIL
Hiperemis (+) Mukosa Hiperemis (+)

T3 T3

Melebar Kripta Melebar


(-) Perlengketan, detritus (-)
FARING
Hiperemis Mukosa Hiperemis
- Granula -

1.5. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada Jumat, 1 Maret 2019.
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
BEKUAN
Perdarahan 2’ 30” menit 1–3
Pembekuan 4’ 30” menit 2–6
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin 15,0 g/dL L = 13,7 – 17,5. P = 11,3 – 15,7
Leukosit 9,93 10^3/ul L = 4,23 – 9,07. P = 3,98 – 10,04
Hematokrit 44,0 % L = 40,1 – 51,0. P = 34,1 – 44,9
Trombosit 368 10^3/ul L = 163 – 337. P = 182 - 369

6
Pemeriksaan Radiologi
Hasil Rontgen Thorax : Cor dan pulmo dalam batas normal.

Kesimpulan Konsul Anestesi


 Status fisik ASA II
 ACC operasi

Laporan Anestesi Pasien


 Diagnosis Pra Bedah : Tonsilitis Kronik
 Diagnosis Pasca Bedah : Post Tonsilektomi
 Jenis pembedahan : Tonsilektomi

1.6. Laporan Anestesi Pasien


Jenis Anestesi : General Anestesi
Premedikasi : Ondansetron 4 mg
Ranitidin 50 mg
Midazolam 25mg
Sulfate Atropin 0,25 mg
Induksi : Propofol 100 mg
Fentanyl 75 μg
Forelax 30 mg
Medikasi Tambahan : Ketorolac 30 mg IV
Tramadol 100 mg
Asam Traneksmat 100 mg
Dexametasone 5 mg IV
Diphenhydramine 5 mg
Vitamin K 10mg
Obat Anestesi : Intubasi ET No.7,0
Maintenance : Inhalasi Isoflurane
Respirasi : Kontrol
Posisi : Terlentang
Cairan : Ringer Laktat

7
1.7. Laporan Durante Operasi
Mulai anestesi : 18.30 WIB
Mulai operasi : 18.45 WIB
Selesai operasi : 20.00 WIB
Berat Badan : 76 Kg
Lama Operasi :  90 menit
Pasien puasa :  8 jam
Cairan yang masuk : RL 4 plabot
Tekanan Darah dan Frekuensi Nadi
- Pukul 18.30 : 122/69 mmHg, N : 117x/mnt
- Pukul 18.45 : 128/54 mmHg, N : 98x/mnt
- Pukul 19.00 : 115/60 mmHg, N : 94x/mnt
- Pukul 19.15 : 124/68 mmHg, N : 96x/mnt
- Pukul 19.30 : 108/77 mmHg, N : 91x/mnt
- Pukul 19.45 : 115/59 mmHg, N : 88x/mnt
- Pukul 20.00 : 124/69 mmHg, N : 92x/mnt

1.8. Terapi Cairan


Maintanance
- 2cc/kgBB/jam
- 2 x 60 = 120 cc/jam
Pengganti puasa 8 jam
- 8 x maintenance
- 8 x 120 = 960 cc/jam
Stress operasi
- 8 cc/kgBB/jam
- 8 x 60 = 480 cc/jam
EBV
- 70 cc/kgBB/jam
- 70 x 60 = 4200 cc/jam
ABL

8
- 20% x EBV
- 20% x 4200 cc = 840 cc/jam
• Jam I : ½ puasa + maintenance + stress operasi
½ 960 + 120 + 480 = 1080 cc
• Jam II : ¼ puasa + maintenance + stress operasi
¼ 960 + 120 + 480 = 840 cc

1.9. Intruksi Post Operasi


Instruksi Post Operasi
Observasi :
- Bila sadar penuh minum/makan bertahap
- Bila kesakitan berikan tramadol 100 mg iv pelan diencerkan/8 jam
- Bila mual/muntah berikan ondancentron 4mg/8 jam iv
- Infus RL 500CC/8 jam
- Diet dan nutrisi: tinggi karbohidrat dan tinggi protein
- Observasi tanda vital/6 jam

MONITORING TTV ALDRETTE SCORE


- Kesadaran : CM - Aktivitas
- TD = 110/69 mmHg Mampu mengangkat semua ekstremitas. 2
- HR = 89x/menit - Pernapasan
- RR = 20x/menit Dapat bernapas dalam dan batuk. 2
- S = 36 °C - Sirkulasi
- SpO2 = 100 % Tekanan darah ± 20% dari nilai pra anetesi. 2
- Kesadaran
Sadar penuh mudah dipanggil. 2
- Saturasi O2
≥ 92 % dengan udara kamar. 2
Kesan Baik Skor 10

9
BAB II
ANALISA KASUS

 Dari hasil pemeriksaan preoperatif, kami dapat menentukan status pasien adalah
ASA II dengan interpretasi bahwa pasien kemungkinan memiliki penyakit sistemik
ringan atau sedang. Selain itu, kita juga memberikan edukasi kepada pasien untuk
puasa ± 8 jam sebelum operasi.

KEADAAN PRE-OPERATIVE
 Pasien datang dengan kesadaran compos mentis dan telah mengalami program puasa
selama 8 jam. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 80x/menit. Hb : 15,0 gr/ dl.

DURANTE OPERATIVE
 Sebelum dilakukan tindakan pembedahan pada pasien ini diputuskan untuk
dilakukan general anestesi dengan tekhnik semi closed dan memakai fasilitas intubasi
dengan menggunakan ET nomor 7.
 Tekhnik general anestesi ini perlu di perhatikan terhadap pengawasan jalan nafas,
terutama pada pasien dengan operasi goiter.
 Hindari agen induksi yang menstimulasi saraf simpatis seperti penggunaan ketamin.
 Thiopenthal merupakan agen induksi pilihan karena memiliki aktivitas antitiroid
pada dosis tinggi.
 Kedalaman pembiusan harus cukup kuat sebelum dilakukan manipulasi seperti
pemakaian laringoskop untuk intubasi guna menghindari gejolak hemodinamik.
 Pemeliharaan dapat digunakan agen inhalasi seperti Isofluran, desfluran Sevofluran
dan lain-lain.
 N2O dapat digunakan sebagai analgetik selain dengan opioid.
 Perhatian terhadap ablasi kornea atau ulserasi pada pasien dengan eksoftalmus
dengan pemberian salep mata.
 Untuk induksi diberikan Fentanyl dan propofol.

10
 Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter recovery
anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual yang bekerja cepat yang efek
kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik.
 Setelah pasien masuk dalam stadium anestesi disusul dengan pemberian Rocuronium
40 mg IV (dosis 0,6 mg/kgBB) sebagai muscle relaxan untuk memudahkan intubasi
endotrakeal.
 Rocuronium merupakan pelumpuh otot non depolarisasi dengan onset cepat, durasi
sedang, pemulihan cepat, akumulasi minimal, serta tendensi histamin release yang
rendah
 Setelah itu pasien diberi O2 murni selama ± 1 menit, setelah terjadi relaksasi
kemudian dilakukan intubasi dengan pipa endotrakeal nomor 7.
 Balon pipa endotrakeal dikembangkan. Kemudian diyakinkan bahwa pipa
endotrakeal ada dalam trakea dan tidak masuk ke dalam salah satu bronkus atau
esophagus dengan mendengarkan suara paru-paru dengan stetoskop. Gerakan
dinding dada harus simetris pada setiap inspirasi buatan.
 Kemudian orofaringeal tube dimasukkan mulut agar lidah tidak jatuh ke belakang,
lalu difiksasi dan dihubungkan dengan mesin anestesi.
 Untuk pemeliharaan anestesi diberikan dengan cara inhalasi. Zat anestesi yang
digunakan adalah N2O 2 liter/menit, O2 2 liter/menit, isoflurane.
 N2O merupakan zat anestesi yang lemah tapi mempunyai efek analgetik yang kuat.
 Pemberian N2O biasanya bersamaan dengan O2 dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya hipoksia.
 Selain itu juga dikombinasikan dengan isoflurane.
 Isoflurane merupakan eter berhalogen, berbau tajam, dan tidak mudah terbakar.
 Keuntungan penggunaan isoflurane adalah irama jantung stabil, dan tidak terangsang
oleh adrenalin serta induksi, dan masa pulih anestesinya cepat.
 Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi senantiasa dikontrol
tiap 15 menit. Tekanan darah sistolik berkisar antara 108 – 70 mmHg. Tekanan
diastolik berkisar antara 80 – 40 mmHg. Di lihat dari tekanan darah yang turun, maka
di berikan efedrin 1 cc.
 Untuk mencegah perdarahan yang banyak, maka pada kasus ini di berikan, asam
traneksamat dan vitamin K, , Infus RL diberikan pada pasien sebagai cairan rumatan.

11
 Ondansetron juga di berikan untuk mengurangi mual.
 Untuk mengatasi atau mengurangi nyeri pasca operasi diberikan ketorolac dengan
dosis 30 mg/ml.
 Ketorolac tromethamine merupakan senyawa anti inflamasi non steroid bekerja pada
jalur siklo oksigenase, menghambat biosintesis prostaglandin dengan aktifitas
analgetik yang kuat secara perifer maupun sentral, disamping itu memiliki efek anti
inflamasi dan anti piretik.
 Ketorolac memiliki efek analgetik yang setara dengan morfin atau pethidine namun
efeknya lebih lambat.
 Untuk mengganti kehilangan cairan tubuh diberikan cairan RL setelah selesai operasi

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa
sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh.Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes SpRada tahun
1846.
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai
dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Anestesi memungkinkan
pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak
tertahankan,mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang
tidak menyenangkan.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

3.2. Pilihan Metode Anestesi


Dalam melakukan suatu tindakan anestesi, ada beberapa pilihan yang bias
digunakan dengan mempertimbangkan :
 Umur
- Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
- Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermudahkan
dilakukan dengan anestesi local atau umum
 Status fisik
- Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui apakah pernah
dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui apakah ada komplikasi
anestesia dan pasca bedah.
- Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari
penggunaan anestesia umum.

13
- Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa
sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.
- Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul gangguan
sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi anestesia. Pilihan
anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi umum endotrakeal.
 Posisi pembedahan
- Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesis
umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan.demikian
juga pembedahan yang berlangsung lama.
 Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
- Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
kebutuhan dokter bedah antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi
perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah
plastik dan lain-lain.
 Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
 Keinginan pasien
 Bahaya kebakaran dan ledakan
- Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak eksplosif adalah pilah
utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter.

3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum


3.3.1. Faktor Respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam paru-paru
(alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Kemudian zat
anestesika akan berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat
disfusi zat anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan
parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:
- Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi konsentrasinya,
makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam alveolus.
- Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat meningginya
tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi.

14
3.3.2. Faktor Sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi antara lain :
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan sebagian
kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak aliran darah
yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil dari alveolus,
konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai tingkat anesthesia yang adekuat.
3.3.3. Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat anestesika,
kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a. Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar, ginjal. Organ-
organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat
anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima
14% curah jantung.
b. Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c. Lemak : jaringan lemak
d. Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran darah :
ligament dan tendon.
3.3.4. Faktor Zat Anestetik
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-beda. Untuk
menentukan derajata potensi ini dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration
atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa
sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesika tersebut.

15
3.4. Tahapan Tindakan Anestesi Umum
3.4.1. Penilaian dan Persiapan Pra Anastesi
3.4.1.1. Penilaian Pra Bedah
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan
pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar.
Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
3.4.1.1.1. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca
bedah, sehingga dapat dirancang anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa
penelitit menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau
sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam
waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan
diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya
3.4.1.1.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting
untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek
dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua system organ tubuh
pasien.
3.4.1.1.3. Pemeriksaan Penunjang
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah
kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien
diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.

16
3.4.1.1.4. Kebugaran
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu
harus dihindari.
3.4.1.1.5. Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah
yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini
bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat
dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
1. Kelas I
Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
2. Kelas II
Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.Contohnya: pasien batu ureter
dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan
lekositosis dan febris.
3. Kelas III
Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan septisemia, atau pasien
ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.
4. Kelas IV
Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan
penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.Contohnya: Pasien
dengan syok atau dekompensasi kordis.
5. Kelas V
Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak
akan lebih dari 24 jam.Contohnya: pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan
syok hemoragik karena ruptur hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan
tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE

17
3.4.1.1.6. Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien
yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-
4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi anestesia. Minuman
bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam
jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.
3.4.2. Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anesthesia.
Tujuan
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
- Kunjungan pre anestesi
- Pengertian masalah yang dihadapi
- Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2 antagonis
6. Mengurangi rasa sakit

18
Waktu dan Cara Pemberian
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat dengan
waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena.
Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu
1 jam dianjurkan pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan.
Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit
hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara
perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat-obatan yang Digunakan
1. Analgesik narkotik
a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB
2. Analgesik non narkotik
a. Ponstan
b. Tramol
c. Toradon
3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
5. Anti emetic
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001 mg/kgBB
b. DBP
c. Narfoz, rantin, primperan.

19
3.4.3. Induksi Anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan
secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi
anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan
pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan STATICS, yaitu antara lains ebagai
berikut :
- S : Scope
Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.Laringo-Scope, pilih bilah
atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
- T : Tube
Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun
dengan balon (cuffed).
- A : Airway
Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
- T : Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
- I : Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokan
untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
- C : Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
- S : Suction
Penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

3.5. Stadium Anestesi


Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa
analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3 dan
stdium 4 sampai henti napas dan henti jantung.

20
- Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat
anestetik sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih dapat
mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan
pada stadium ini.Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflekss
bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).
- Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai
dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+),
pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri
dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak mata.
- Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga hilangnya
pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan,
hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan
kekanan dengan mudah.
- Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera
diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien
sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi
yang berlebihan.

3.6. Teknik Anestesi Umum


3.6.1. Sungkup Muka (Face Mask) dengan Napas Spontan
Indikasi :
1. Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
2. Keadaan umum baik (ASA I – II)
3. Lambung harus kosong
Prosedur :
1. Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
2. Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)

21
3. Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang)
efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll
4. Induksi
5. Pemeliharaan
3.6.2. Intubasi Endotrakeal dengan Napas Spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal
tube) kedalam trakea via oral atau nasal.
Indikasi :
1. Operasi lama
2. Sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dengan
durasi singkat)
2. Intubasi setelah induksi dan suksinil
3. Pemeliharaan
Teknik :
1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)
3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala
sedikit ekstensi → mulut membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit,
menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau
angkat epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )
8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ET melalui rima glottis
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas (alat
resusitasi)
Klasifikasi Mallampati :
Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :

22
3.6.3. Intubasi Endotrakeal dengan Napas Kendali (Kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol
pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12-20 x permenit.Setelah operasi selesai
pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya.
- Teknik sama dengan diatas
- Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
- Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.

3.6.4. Induksi Intravena


Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena dikerjakan dengan hati-
hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan
tekanan darah harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.
Obat-obat induksi intravena
a. Tiopental (pentotal, tiopenton)  amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan
2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7
mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan
pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas.
Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan

23
diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-
analgesi.
b. Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic
dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan intravena sering menyebabkan
nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg
intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia
intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2
mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk
anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
c. Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah,
pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan
sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas
dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml
= 100 mg).
d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia
opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.
3.6.5. Induksi Intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
3.6.6. Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi dapat diberikan dengan beberapa pilihan, antara lain sebagai
berikut :
a. N2O (Nitrogen Monoksida)

24
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5
kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik
lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi
dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain seperti halotan.
b. Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4%
atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis,
terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi
kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula
darah.
c. Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif
disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi
lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik
disbanding halotan.
d. Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran
darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien
dengan gangguan koroner.
e. Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya
seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan
untuk induksi anestesi.

25
f. Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk
induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
3.6.7. Induksi Perrektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.
3.6.8. Induksi Mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa hanya
sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa
sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup muka kita tempelkan.
Pelumpuh otot nondepolarisasi  Tracurium 20 mg (Antracurium)
1. Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkna
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin
tidak dapat bekerja.
2. Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi selama 20-45
menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit.
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
1. Cegukan (hiccup)
2. Dinding perut kaku
3. Ada tahanan pada inflasi paru

3.7. Rumatan Anestesi


Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi
atau dengan campuran intravena inhalasi.
Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar
tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan
nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12

26
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator.
Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan
perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4
vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau
dikendalikan.

3.8. Tatalaksana Jalan Napas


Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
1. Hidung
Menuju nasofaring.
2. Mulut
Menuju orofaring.
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan palatum
molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju esophagus dan
laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid,
krikoid, epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform.
Triple Airways Manuver antara lain terdiri dari :
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga
gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
a. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas
mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung
(naso-pharyngeal airway).
b. Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke
jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan
untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk
semua ke trakea lewat mulut atau hidung.

27
c. Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-
kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa
kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya
pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.
d. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari
bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut
(orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
e. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop
merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita
dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal
dua macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal
dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4
gradasi.
Gradasi Pilar Faring Uvula Palatum Molle
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

3.9. Intubasi Trakea


Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui
rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita
suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai
berikut:

28
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret
jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
3.9.1. Kesulitan Intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
3.9.2. Komplikasi Intubasi
1. Selama intubasi
- Trauma gigi geligi
- Laserasi bibir, gusi, laring
- Merangsang saraf simpatis
- Intubasi bronkus
- Intubasi esophagus
- Aspirasi
- Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glottis-subglotis
- Infeksi laring, faring, trakea

29
3.10. Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan
tak akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan
lainnya.

3.11. Skor Pemulihan Pasca Anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang
menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu untuk
menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di
observasi di ruang Recovery Room (RR).
3.11.1. Skor Aldrete
a. Nilai Warna
- Merah muda, 2
- Pucat, 1
- Sianosis, 0
b. Pernapasan
- Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
- Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
- Apnoea atau obstruksi, 0
c. Sirkulasi
- Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
- Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
- Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
d. Kesadaran
- Sadar, siaga dan orientasi, 2
- Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
- Tidak berespons, 0
e. Aktivitas

30
- Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
- Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
- Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

3.11.2. Skor Steward


a. Pergerakan
- Gerak bertujuan 2
- Gerak tak bertujuan 1
- Tidak bergerak 0
b. Pernafasan
- Batuk, menangis 2
- Pertahankan jalan nafas 1
- Perlu bantuan 0
c. Kesadaran
- Menangis 2
- Bereaksi terhadap rangsangan 1
- Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI 2009. Anastetik Umum, dalam


Farmakologi dan Terapi. Balai penerbit FKUI , Jakarta. Hal 122-138
2. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi, EGC, 1994, Jakarta.
3. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia 2009.
4. Rahardjo, E., Rahardjo, P., Sulistiyono, H., Anestesi untuk pembedahan darurat
dalam Majalah Cermin Dunia Kedokteran no. 33, 1984 : 6-9.
5. Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, Anestesiologi, 1989,
Jakarta.
6. Zuhardi, T.B, Anestesi untuk pembedahan darurat dalam Majalah Cermin Dunia
Kedokteran no. 33, 1984 : 3-5

32

Anda mungkin juga menyukai